Translated by 2020.
,
Diterjemahkan dari teks milik TC.
Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Prepared by Arya Karniawan.
Dharmaguptaka Bhikṣuṇī Pratimokṣa Sūtra
Diterjemahkan oleh Tripiṭakadhara
Buddhayaśas dari Kashmir pada akhir Dinasti Qin
Aku
bersujud dan memberi hormat kepada semua Buddha, Dharma, dan Saṅgha. Sekarang
aku akan menyatakan Śīla dari Vinaya sehingga Dharma Sejati akan bertahan
selamanya.
Śīla
adalah tak terbatas layaknya samudera, seperti permata yang dapat dicari tanpa
lelah. Untuk melindungi harta karun Dharma yang suci, Saṅgha telah berkumpul
untuk mendengarkanku. Untuk mengeliminasi 8 Pārājika, untuk menghancurkan 17 Saṃghāvaśeṣa,
dan untuk mencegah 30 Naiḥsargika Pāyattika, kalian berkumpul untuk
mendengarkanku.
Vipaśyin,
Śikhin, Viśvabhū, Krakucchanda, Kanakamuni, Kāśyapa, dan Śākyamuni—semua
Bhagava dengan kebajikan agung itu mengajarkan Prātimokṣa Sūtra ini kepadaku.
Aku sekarang ingin menyatakannya dengan baik. Kalian semua para Ārya
dengarkanlah bersama-sama.
Sama
seperti seseorang yang kakinya terluka tidak dapat berjalan, demikian pula
orang yang telah melanggar Śīla tidak dapat terlahirkan sebagai seorang Deva
atau seorang manusia. Mereka yang ingin terlahirkan di alam surgawi atau alam
manusia harus selalu melindungi semua Śīla dan tidak melanggarnya dengan cara
apapun.
Sama
seperti seorang kusir yang berkendara di suatu jalan berbahaya menjadi khawatir
karena baut-baut rodanya telah hilang dan porosnya rusak, demikianlah seseorang
yang telah merusak Śīla menjadi takut pada saat kematian.
Sama
seperti ketika melihat pada sebuah cermin. yang cantik merasa senang sementara
yang jelek merasa sedih, demikian pula selama pembacaan Prātimokṣa, mereka yang
menjaga Śīla merasa senang, sementara para pelanggar merasa sedih.
Sama
seperti dalam pertempuran antara dua pasukan, yang pemberani maju sementara
yang pengecut mundur, demikian pula selama pembacaan Prātimokṣa yang murni
merasa tenang, sedangkan yang tercemar merasa takut.
Seorang
raja adalah yang terbesar di dunia, samudera adalah tubuh terbesar dari air,
bulan adalah bintang terbesar, dan Buddha adalah bijaksanawan terbesar.
Di
antara semua peraturan, yang tertinggi adalah Prātimokṣa Sūtra. Sang Tathāgata
menyatakan Śīla ini dibacakan setiap setengah bulan.
Pendahuluan
Pembaca Prātimokṣa: Apakah Saṅgha telah berkumpul?
Pemimpin:
Telah berkumpul.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah dalam harmoni?
Pemimpin:
Dalam harmoni.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah semua yang belum ditahbiskan sepenuhnya telah pergi?
Pemimpin: (Jika
terdapat mereka yang belum ditahbiskan penuh, keluarkan mereka dan katakan:)
Mereka telah dikeluarkan. (Atau jika tidak ada katakan:) Semuanya di sini
telah ditahbiskan sepenuhnya.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah ada para Bhikṣuṇī yang tidak hadir yang tidak dapat
berpartisipasi dan telah memberikan perkenan mereka dan menyatakan kemurnian
mereka?
Pemimpin: (Jika
ada, katakan) Mereka telah memberikan persetujuan. (Atau jika tidak ada,
katakan:) Tidak, tidak ada.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah tujuan Saṅgha yang harmonis ini pada hari ini?
Pemimpin:
Untuk membacakan Prātimokṣa.
Kata Pengantar
Pembaca Prātimokṣa: Ārya Saṅgha, mohon perhatian.
Hari ini adalah tanggal 15 (atau 14) dalam penanggalan bulan, hari di mana Saṅgha
membacakan Prātimokṣa. Jika Saṅgha sudah siap, semoga Saṅgha setuju untuk
membacakan Prātimokṣa dengan harmonis. Ini adalah mosinya. Apakah mosi ini
dapat diterima?
Pemimpin: Ya.
Pembaca Prātimokṣa: Para Ārya, sekarang aku akan
melafalkan Prātimokṣa Śīla. Dengarkanlah dengan saksama dan renungkanlah dengan
baik. Mereka yang belum melanggarnya harus tetap diam. Dengan kalian diam, kami
akan tahu bahwa kalian murni. Jika seseorang bertanya kepada kalian, jawablah
dengan cara yang sama. Setiap Bhikṣuṇī di perkumpulan yang mengingat pelanggarannya tetapi tidak
mengakui dan menyesalinya setelah ditanya tiga kali melakukan pelanggaran
berupa kebohongan yang disengaja. Sang Buddha menyatakan bahwa kebohongan yang
disengaja adalah sebuah penghalang untuk Sang Jalan. Jika seorang Bhikṣuṇī mengingat
pelanggarannya dan ingin untuk mencari kemurnian, ia harus mengakui dan
menyesalinya. Pengakuan dan penyesalan akan membawa kedamaian dan kebahagiaan.
Para
Ārya, aku telah membacakan kata pengantar Prātimokṣa Sūtra. Sekarang aku
bertanya kepada kalian, Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga
kalinya, apakah kalian murni? Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya
murni. Aku mengerti.
Delapan Pārājika
Para
Ārya, delapan Pārājika berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan
setiap setengah bulan.
1.
Jika seorang Bhikṣuṇī terlibat dalam
hubungan seksual, bahkan dengan seekor binatang, ia melakukan sebuah Pārājika
dan tidak lagi dalam kumpulan.
2.
Jika seorang Bhikṣuṇī, dengan niat untuk
mengambil apa yang tidak diberikan, mengambil sesuatu di suatu tempat yang
berpenduduk atau di suatu tempat kosong, sehingga ia dapat ditangkap oleh raja
atau seorang pejabat tinggi, diikat, dieksekusi, atau dideportasi [dengan
kata-kata ini], "Engkau adalah seorang pencuri, engkau orang bodoh, engkau
orang dungu." Jika seorang Bhikṣuṇī mengambil apa yang tidak
diberikan dengan cara ini, ia melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam
kumpulan.
3.
Jika seorang Bhikṣuṇī
membunuh
seorang manusia, memberikan sebuah senjata kepada seseorang [untuk tujuan itu],
memuji kematian, memuliakan kematian, atau mendukung kematian, Bhikṣuṇī ini melakukan
sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
4.
Jika seorang Bhikṣuṇī
yang
tidak memiliki pencapaian spiritual memuji dirinya sendiri, dengan mengatakan,
"Aku telah mencapai kemampuan batin luar biasa," "Aku telah
menembus tingkatan-tingkatan kesucian' kebijaksanaan dan Dharma
tertinggi," "Aku mengetahui hal ini. Aku melihatnya." Kemudian,
berharap untuk menyucikan dirinya sendiri, ia mengatakan, apakah setelah
ditanya atau atas kemauannya sendiri, "Para Ārya, aku benar-benar tidak
mengetahui atau melihat apa yang aku katakan sebelumnya." Karena ia memuji
dirinya sendiri dengan tujuan untuk menipu, bukan karena kesombongan dalam
pencapaian luhurnya, Bhikṣuṇī ini melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam
kumpulan.
5.
Jika seorang Bhikṣuṇī dengan pikiran
penuh nafsu melakukan kontak fisik dengan seorang pria di area sekitar ketiak
dan lutut, dengan menyentuh, membelai, menarik, mendorong, mengusap keatas atau
kebawah, mengangkat atau menurunkannya, menggenggam, atau menekannya, Bhikṣuṇī ini melakukan
sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
6.
Jika seorang Bhikṣuṇī
dengan pikiran penuh nafsu mengetahui seorang pria memiliki pikiran penuh nafsu
kemudian mengizinkan ia untuk memegang tangannya, menggenggam pakaiannya, dan
mengarahkannya ke sebuah tempat terasing, di mana mereka berdiri bersama,
berbincang bersama, berjalan bersama, saling bersandar satu sama lain, dan
melakukan perjanjian untuk bertemu (untuk melakukan hubungan seksual). Jika
seorang Bhikṣuṇī
terlibat dalam delapan pelanggaran ini, ia melakukan sebuah Pārājika dan
tidak lagi dalam kumpulan.
7.
Jika seorang Bhikṣuṇī,
mengetahui bahwa Bhikṣuṇī lain telah melakukan sebuah Pārājika dan
menyembunyikannya, tidak menunjukkan pelanggarannya, melaporkan itu ke Saṅgha,
atau membuat hal itu diketahui oleh para Bhikṣuṇī lain. Kemudian, setelah Bhikṣuṇī
itu telah mati, telah diusir oleh Saṅgha, lepas jubah, atau bergabung pada parivrājaka,
kemudian ia berkata, “Aku tahu bahwa ia sebelumnya telah melakukan sebuah
pelanggaran demikian,” Bhikṣuṇī ini melakukan sebuah Pārājika karena menyembunyikan
pelanggaran serius (Bhikṣuṇī) lain dan tidak lagi dalam kumpulan.
8. Jika seorang Bhikṣuṇī tetap bersahabat dengan
seorang Bhikṣu
yang ia tahu telah ditangguhkan dengan sebuah Saṅghakarman sesuai dengan Dharma,
Vinaya, dan Ajaran Sang Buddha, dan belum diampuni melalui sebuah karman karena
ia menolak untuk kooperatif dan menyesal. Para Bhikṣuṇī lain berkata kepadanya,
“Ārya,
Bhikṣu
itu telah ditangguhkan dengan sebuah Saṅghakarman sesuai dengan Dharma, Vinaya, dan Ajaran
Sang Buddha, dan belum diampuni melalui sebuah karman karena ia menolak untuk
kooperatif dan menyesal. Janganlah bersahabat dengannya.” Jika ia terus bertahan dalam tindakan salahnya
dan menolak untuk menyesalinya, para Bhikṣuṇī harus menegurnya hingga tiga kali sehingga ia dapat
menyesal. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia
melakukan sebuah Pārājika karena bersahabat
dengan seorang Bhikṣu yang ditangguhkan dengan sebuah karman dan
tidak lagi dalam kumpulan.
Para
Ārya, aku telah membacakan delapan Pārājika. Seorang Bhikṣuṇī yang telah
melakukan salah satu dari Pārājika ini tidak lagi dalam kumpulan dengan para Bhikṣuṇī lainnya seperti
sebelumnya. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Ārya, apakah kalian murni?
Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Ārya, karena kalian diam,
kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tujuh Belas
Saṃghāvaśeṣa
Para
Ārya, tujuh belas Saṃghāvaśeṣa berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang
dibacakan setiap setengah bulan.
1.
Jika seorang Bhikṣuṇī bertindak sebagai seorang perantara, membawa pesan dari
seorang pria ke seorang wanita atau dari seorang wanita ke seorang pria, dan
dengan melakukan bantuan demikian untuk mewujudkan pernikahan atau hubungan
mereka, bahkan dalam waktu singkat, ia langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
2. Jika
seorang Bhikṣuṇī, karena marah atau
dendam, memfitnah Bhikṣuṇī lain
dengan tuduhan tidak berdasar suatu tindakan Pārājika dengan harapan merusak
kemurnian prilakunya dan kemudian, apakah ditanyai atau tidak, ia mengakui,
“Tuduhanku adalah tidak berdasar. Aku membuat tuduhan itu karena kebencian,” ia
langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
3. Jika
seorang Bhikṣuṇī, karena marah atau
dendam, mengutip informasi yang tidak relevan dan memfitnah Bhikṣuṇī lain dengan tuduhan tidak
berdasar suatu tindakan Pārājika dengan harapan merusak kemurnian prilakunya
dan kemudian, apakah ditanyai atau tidak, diketahui bahwa Bhikṣuṇī tersebut membuat tuduhan
karena marah dan dendam dan mengutip informasi yang tidak relevan, ia langsung
melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
4. Jika
seorang Bhikṣuṇī, pada siang atau malam hari, pergi menghadap seorang pejabat
pemerintah untuk mengajukan gugatan terhadap seorang perumah tangga, seorang
anak perumah tangga, seorang pelayan, atau seorang pekerja sementara, bahkan
selama waktu yang dibutuhkan untuk sebuah pikiran, sebuah jentikkan jari, atau
sebuah momen, ia langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
5. Jika
seorang Bhikṣuṇī, mengetahui bahwa seorang wanita adalah seorang pencuri dan
diketahui telah melakukan sebuah kejahatan yang dapat dihukum mati, tanpa
berkonsultasi dengan raja atau seorang pejabat tinggi dan tanpa bertanya
tentang latar belakang keluarga wanita itu, menahbiskannya dan mengizinkan ia
untuk menerima pelatihan penuh, ia langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
6. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui bahwa Bhikṣuṇī lain telah ditangguhkan oleh seorang
Saṅghakarman sesuai dengan Dharma, Vinaya, dan Ajaran Sang Buddha dan belum
diampuni melalui sebuah karman karena ia menolak untuk kooperatif dan menyesal.
Namun, karena keberpihakan, Bhikṣuṇī ini, tanpa meminta Saṅgha dan tanpa
persetujuan Saṅgha, melakukan sebuah karman pengampunan di luar wilayah, ia
langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
7. Jika
seorang Bhikṣuṇī menyebrangi air sendirian, pergi ke sebuah desa sendirian,
tidur sendirian saat malam hari [di rumah seorang perumah tangga], atau
berjalan sendirian [di belakang orang lain], ia langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
8. Jika
seorang Bhikṣuṇī dengan pikiran penuh nafsu mengetahui seorang pria memiliki
pikiran penuh nafsu, namun tetap menerima makanan atau hal-hal lain darinya, ia
langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
9. Jika
seorang Bhikṣuṇī membujuk Bhikṣuṇī lain, “Ārya, apa hubungannya denganmu jika
ia memiliki pikiran penuh nafsu atau tidak? Selama engkau tidak memiliki
pikiran penuh nafsu, engkau dapat menerima makanan darinya secara murni,” ia
langsung melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
10. Jika
seorang Bhikṣuṇī berniat untuk menghancurkan Saṅgha yang harmonis, bertahan
dalam tindakan demikian dan mengambil metode-metode untuk menciptakan sebuah
perpecahan dalam Saṅgha, bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk
menyesalinya, Bhikṣuṇī lain harus menegurnya, dengan mengatakan, “Ārya,
janganlah menghancurkan Saṅgha yang harmonis. Jangan bertindak untuk
menghancurkan Saṅgha yang harmonis atau mengambil metode-metode untuk
menciptakan sebuah perpecahan dalam Saṅgha, bertahan dalam tindakan salahmu dan
menolak untuk menyesalinya. Ārya, jadilah harmonis dengan Saṅgha. Dengan
menjadi harmonis dengan Saṅgha, engkau akan bahagia dan tidak bertentangan.
Engkau akan belajar dengan yang lain di bawah guru yang sama dan tergabung secara
benar dengan mereka, seperti susu dan air. Dengan demikian engkau akan
mendapatkan manfaat dari Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan
kebahagiaan." Jika Bhikṣuṇī itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan
menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus
menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus.
Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
11. Jika
seorang Bhikṣuṇī bergabung dengan satu, dua, tiga, atau bahkan para Bhikṣuṇī yang
tak terhitung jumlahnya dan berkata kepada seorang Bhikṣuṇī [yang bajik], “Ārya,
janganlah menasihati Bhikṣuṇī ini. Bhikṣuṇī ini berbicara sesuai dengan Dharma
dan Vinaya. Kami senang dengan apa yang ia katakan. Kami setuju dengan apa yang
ia katakan." Bhikṣuṇī [yang bajik] itu menjawab, “Para Ārya, janganlah
mengatakan, ' Bhikṣuṇī ini berbicara sesuai dengan Dharma dan Vinaya. Kami
senang dengan apa yang ia katakan. Kami setuju dengan apa yang ia katakan.'
Mengapa? Karena apa yang dikatakan oleh Bhikṣuṇī ini bertentangan dengan Dharma
dan Vinaya. Para Ārya, janganlah berniat untuk menciptakan sebuah perpecahan
dan menghancurkan Saṅgha yang harmonis. Kalian harus bersenang di dalamnya dan
berniat untuk Saṅgha yang harmonis. Para Ārya, dengan menjadi harmonis dengan
Saṅgha, kalian akan bahagia dan tidak bertentangan. Kalian akan belajar dengan
yang lain di bawah guru yang sama dan tergabung secara benar dengan mereka,
seperti susu dan air. Dengan demikian kalian akan mendapatkan manfaat dari
Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan kebahagiaan." Jika (para) Bhikṣuṇī
itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya
ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika
mereka menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, mereka
melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
12. Jika
seorang Bhikṣuṇī, yang tinggal di suatu kota atau desa, berperilaku buruk dan
merusak para anggota perumah tangga. Perilaku buruknya telah terlihat dan
terdengar, demikian pula pengrusakannya terhadap para perumah tangga. Seorang Bhikṣuṇī
[yang bajik] menasihatinya, dengan mengatakan, “Ārya, engkau berperilaku buruk
dan merusak para perumah tangga. Perilaku burukmmu telah terlihat dan
terdengar, demikian pula pengrusakanmu terhadap para perumah tangga. Ārya,
karena engkau berperilaku buruk dan merusak perumah tangga, tinggalkan desa ini
sekarang dan jangan tinggal di sini lagi.” Jika Bhikṣuṇī itu menjawab, “Ārya,
para Bhikṣuṇī memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan.
Beberapa Bhikṣuṇī sama bersalahnya denganku, namun aku diusir, sementara mereka
tidak," Bhikṣuṇī [yang bajik] harus mengatakan, "Ārya, janganlah
mengatakan, 'Para Bhikṣuṇī memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan
kebodohan. Beberapa Bhikṣuṇī sama bersalahnya denganku, namun aku diusir,
sementara mereka tidak,' Mengapa? Karena para Bhikṣuṇī ini bebas dari
keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan. [Tidak ada alasan bagimu untuk
mengatakan] ‘Beberapa Bhikṣuṇī sama bersalahnya denganku, namun aku diusir,
sementara mereka tidak. Ārya, engkau berprilaku buruk dan merusak perumah
tangga. Perilaku burukmmu telah terlihat dan terdengar, demikian pula
pengrusakanmu terhadap para perumah tangga.” Jika Bhikṣuṇī itu terus bertahan
dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī
[yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan
ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan
ketiga.
13. Jika
seorang Bhikṣuṇī, yang pada dasarnya tidak menyenangkan, tidak mau mendengarkan
nasihat. Setelah para Bhikṣuṇī menasihatinya sesuai dengan Dharma dan Vinaya,
ia menolak untuk menerima nasihat, dengan mengatakan, “Para Ārya, janganlah
mengatakan padaku apa yang baik atau buruk, dan aku juga tidak akan mengatakan
kepada kalian apa yang baik atau buruk. Para Ārya, berhentilah
menasihatiku!" Para Bhikṣuṇī harus berkata kepada Bhikṣuṇī itu, “Ārya,
janganlah menolak untuk menerima nasihat. Ārya, terimalah nasehat. Ārya, engkau
harus menasihati Bhikṣuṇī lain sesuai dengan Dharma. Begitu juga Bhikṣuṇī
lainnya menasehatimu sesuai dengan Dharma. Dengan demikian para siswa Buddha
akan mendapat manfaat dengan menasihati, mengajar, mengaku, dan menyesali satu
sama lain.” Jika Bhikṣuṇī itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan
menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh para Bhikṣuṇī, mereka harus
menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus.
Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
14. Jika
beberapa Bhikṣuṇī tinggal bersama dengan sangat akrab, terlibat dalam perilaku
buruk bersama-sama, dan menyembunyikan pelanggaran satu sama lain sementara
reputasi buruk mereka tersebar, seorang Bhikṣuṇī [yang bajik] harus menasihati
mereka, dengan mengatakan, “Para Ārya,
janganlah bersahabat dengan sangat akrab, terlibat dalam perilaku buruk
bersama-sama, dan menyembunyikan pelanggaran satu sama lain sementara reputasi
buruk kalian tersebar. Jika kalian berhenti bersahabat dengan sangat akrab satu
sama lain, kalian akan mendapatkan manfaat dari Buddha Dharma dan berdiam dalam
kedamaian dan kebahagiaan." Jika para Bhikṣuṇī itu terus bertahan dalam
tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī
[yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika mereka menyesal dengan
peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, mereka melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa
pada peringatan ketiga.
15.
Ketika para Bhikṣuṇī sedang dinasehati Bhikṣuṇī Saṅgha, jika Bhikṣuṇī lain
memberikan mereka nasehat [buruk], dengan mengatakan, “Kalian seharusnya hidup
bersama dan tidak terpisah. Aku telah melihat para Bhikṣuṇī lain hidup bersama,
terlibat dalam perilaku buruk bersama-sama, dan menyembunyikan pelanggaran satu
sama lain sementara reputasi buruk mereka tersebar. Karena kemarahanlah Saṅgha
memerintahkan kalian untuk hidup terpisah." Bhikṣuṇī [yang bajik] harus
menasihati Bhikṣuṇī ini dengan mengatakan, “Ārya, janganlah memberikan nasihat
[buruk] kepada para Bhikṣuṇī itu dengan mengatakan,“ Janganlah hidup secara
terpisah. Aku telah melihat para Bhikṣuṇī lain hidup bersama, terlibat dalam
perilaku buruk bersama-sama, dan menyembunyikan pelanggaran satu sama lain
sementara reputasi buruk mereka tersebar. Karena kemarahanlah Saṅgha
memerintahkan kalian untuk hidup terpisah.' Sekarang dua Bhikṣuṇī ini adalah
satu-satunya yang hidup bersama, terlibat dalam perilaku buruk bersama-sama,
dan menyembunyikan pelanggaran satu sama lain sementara reputasi buruk mereka
tersebar. Tidak ada lagi yang seperti
mereka. Jika mereka hidup secara terpisah, mereka akan mendapatkan manfaat dari
Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan kebahagiaan." Jika para Bhikṣuṇī
itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya
ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika
mereka menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, mereka
melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
16. Jika
seorang Bhikṣuṇī menjadi marah dan tidak senang karena masalah sepele dan
berkata, “Aku meninggalkan Sang Buddha, Dharma, dan Saṅgha. Pengikut Buddha
bukanlah satu-satunya pelepasan keduniawian (Śramaṇa) yang mengembangkan
kehidupan suci; kita juga dapat mengembangkan kehidupan suci dengan para
pertapa dan brahmana lainnya,” Bhikṣuṇī [yang bajik] harus menasehati Bhikṣuṇī
itu dengan mengatakan, “Ārya, engkau seharusnya tidak menjadi marah dan tidak
senang karena masalah sepele dan berkata, “Aku meninggalkan Sang Buddha,
Dharma, dan Saṅgha. Pengikut Buddha bukanlah satu-satunya pelepasan keduniawian
(Śramaṇa) yang mengembangkan kehidupan suci; kita juga dapat mengembangkan
kehidupan suci dengan para pertapa dan brahmana lainnya,” Jika Bhikṣuṇī itu
terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika
ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia
menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah
Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
17. Jika
seorang Bhikṣuṇī berselisih namun tidak pandai dalam mengingat apa yang ia
perdebatkan. Setelah [ditegur oleh kumpulan], ia menjadi marah dan berkata, “Saṅgha
memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan ketidaktahuan." Seorang
Bhikṣuṇī [yang bajik] harus menasehatinya, dengan mengatakan, “Ārya, janganlah
senang berdebat dan tidak pandai dalam mengingat apa yang engkau perdebatkan,
menjadi marah setelahnya dan mengatakan, ‘Saṅgha memiliki keberpihakan,
kebencian, ketakutan, dan ketidaktahuan, 'karena Saṅgha bebas dari
keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan ketidaktahuan." Jika Bhikṣuṇī itu
terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika
ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia
menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah
Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
Para
Ārya, aku telah membacakan tujuh belas Saṃghāvaśeṣa. Sembilan yang pertama
menjadi pelanggaran saat melakukannya; delapan yang berikutnya menjadi
pelanggaran pada peringatan ketiga. Jika seorang Bhikṣuṇī melakukan salah satu
dari pelanggaran ini, ia harus mempraktekkan penebusan kesalahan (Mānatva)
selama setengah bulan di dalam kedua Saṅgha Bhikṣu dan Bhikṣuṇī. Setelah
latihan penebusan kesalahan, melakukan rehabilitasi (Abhyāyana). Bhikṣuṇī itu
harus direhabilitasi dihadapan kedua Saṅgha, masing-masing terdiri dari 20 orang.
Jika terdapat bahkan kurang seorang dari 40 dan rehabilitasi dilakukan, Bhikṣuṇī
ini tidak direhabilitasi, dan para Bhikṣuṇī itu bersalah. Ini adalah prosedur
[untuk penebusan kesalahan]. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Ārya,
apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Ārya,
karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tiga Puluh
Naiḥsargika Pāyattika
Para
Ārya, tiga puluh Naiḥsargika
Pāyattika
berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika
seorang Bhikṣuṇī telah memiliki [lima] jubah dan periode Kaṭhina berakhir, ia
dapat menyimpan jubah ekstra selama sepuluh hari tanpa pemberian murni. Jika ia
menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
2. Jika
seorang Bhikṣuṇī telah memiliki [lima] jubah dan periode Kaṭhina telah
berakhir, dan ia berdiam terpisah dari salah satu dari lima jubahnya bahkan
untuk satu malam, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika kecuali [diizinkan
oleh seorang] Saṅghakarman.
3. Jika
seorang Bhikṣuṇī telah memiliki jubah [lima] dan periode Kaṭhina telah
berakhir, dan ia ditawarkan sepotong kain di luar periode waktu yang
ditentukan, ia dapat menerimanya jika dibutuhkan dan harus dengan cepat
membuatnya menjadi sebuah jubah. Jika bahan itu cukup, itu bagus; jika tidak,
ia dapat menyimpannya sampai satu bulan, menunggu hingga cukup kain untuk
membuat jubah. Jika ia menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
4. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta jubah dari seorang perumah tangga yang tidak memiliki
hubungan keluarga dengannya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika kecuali
pada waktu-waktu tertentu—ketika jubahnya telah dicuri, hilang, terbakar, atau
hanyut oleh air. Ini adalah waktu-waktu tertentu.
5. Jika
jubah seorang Bhikṣuṇī telah dicuri, hilang, terbakar, atau hanyut oleh air dan
seorang perumah tangga yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya
menawarkan ia lebih banyak jubah, ia harus puas dengan hanya menerima apa yang
ia butuhkan. Jika ia menerima lebih banyak, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
6. Jika
sebuah pasangan perumah tangga menyiapkan uang untuk membeli sebuah jubah untuk
seorang Bhikṣuṇī dan memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu untuk tujuan
itu. Tanpa diminta untuk memilih, Bhikṣuṇī itu pergi ke rumah pasangan perumah
tangga dan berkata, “Itu akan baik, perumah tangga, jika kalian menyiapkan
sejumlah ini dan itu untuk membeli sebuah jubah untukku sehingga itu akan
menjadi sesuatu yang baik." Jika Bhikṣuṇī itu mendapatkan sebuah jubah
dengan cara ini, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
7. Jika
dua pasangan perumah tangga menyiapkan uang untuk membeli sebuah jubah untuk
seorang Bhikṣuṇī dan memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu untuk tujuan
itu. Tanpa diminta untuk memilih, Bhikṣuṇī itu pergi ke setiap rumah kedua
pasangan dan berkata, “Itu akan baik, perumah tangga, jika kalian menyiapkan
sejumlah ini dan itu untuk membeli sebuah jubah untukku sehingga itu akan
menjadi sesuatu yang baik.” Jika Bhikṣuṇī itu mendapatkan sebuah jubah dengan
cara ini, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
8. Jika
seorang raja, pejabat, atau umat awam mengirim utusan dengan uang untuk membeli
sebuah jubah untuk seorang Bhikṣuṇī. Ketika utusan telah tiba di tempat di mana
Bhikṣuṇī itu berada, ia berkata, “Ārya, aku telah membawa uang untukmu untuk
membeli sebuah jubah. Tolong terimalah." Bhikṣuṇī itu menjawab, “Aku tidak
seharusnya menerima uang ini untuk membeli jubah. Jika aku memerlukan sebuah
jubah, aku harus menerimanya secara murni dalam cara yang benar dan pada waktu
yang tepat." Utusan itu berkata, “Ārya, apakah engkau memiliki
asisten?" Bhikṣuṇī yang membutuhkan sebuah jubah menjawab, “Ya, pengurus
Saṅgha dan Upāsika adalah asisten para Bhikṣuṇī dan selalu membantu para Bhikṣuṇī.”
Setelah utusan itu pergi ke tempat asisten dan memberinya uang untuk membeli
sebuah jubah, ia kembali ke Bhikṣuṇī itu dan berkata, “Ārya, aku telah
memberikan uang untuk membeli sebuah jubah kepada asisten yang engkau telah
tunjuk. Ārya, pada waktunya engkau dapat pergi ke sana dan mengambil
jubahnya.”Jika Bhikṣuṇī itu membutuhkan sebuah jubah, ia harus pergi ke asisten
dua atau tiga kali dan berkata, "Aku butuh sebuah jubah." Jika ia
pergi dua atau tiga kali untuk mengingatkan sang asisten dan mendapatkan jubahnya,
itu bagus. Jika tidak, ia dapat pergi untuk yang ke empat, kelima, atau keenam
kalinya dan berdiri diam di depan sang asisten untuk mengingatkannya. Jika ia
pergi untuk yang keempat, kelima, atau keenam kalinya, berdiri diam di
depannya, dan mendapatkan jubahnya,itu baik. Jika ia tidak mendapatkan
jubahnya, tetapi mencoba lagi untuk mendapatkannya dan ia mendapatkannya, ia
melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika. Jika ia gagal mendapatkannya, ia harus
mengirim seseorang ke tempat di mana utusan itu datang dan berkata [kepada
donatur], “Engkau mengirim seseorang untuk memberikan uang untuk membeli sebuah
jubah untuk Bhikṣuṇī, tetapi Bhikṣuṇī itu tidak mendapatkannya. Pergi dan
dapatkan kembali uang itu agar tidak hilang. Ini adalah cara yang tepat."
9. Jika
seorang Bhikṣuṇī secara pribadi menerima emas, perak, atau uang, memberi tahu
seseorang untuk menerima itu untuknya, atau menerima itu secara lisan, ia
melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
10. Jika
seorang Bhikṣuṇī membeli atau menjual barang-barang berharga, ia melakukan
sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
11. Jika
seorang Bhikṣuṇī terlibat dalam kegiatan bisnis dalam bentuk apa pun, ia
melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
12. Jika
seorang Bhikṣuṇī memiliki sebuah mangkuk derma yang diperbaiki di kurang dari
lima tempat tetapi tidak bocor, dan ia mencari dan memperoleh sebuah mangkuk
derma baru hanya karena itu lebih baik, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika. Ia harus mengambil mangkuk derma ini dan mempersembahkannya kepada
para Bhikṣuṇī lainnya dengan urutan senioritas ke yang terakhir. Ia kemudian
menerima mangkuk dari Bhikṣuṇī terakhir yang mengatakan kepadanya. "Simpan
mangkuk derma ini, Bhāginī, sampai mangkuk ini pecah. Ini adalah cara yang
tepat.”
13. Jika
seorang Bhikṣuṇī secara pribadi meminta benang [dan memperolehnya] dan menyuruh
seorang penenun yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya membuat
(benang) itu menjadi sebuah jubah untuknya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
14. Jika
sebuah pasangan perumah tangga menyuruh seorang penenun membuat sebuah jubah
untuk seorang Bhikṣuṇī. Bhikṣuṇī itu, tanpa diminta untuk memilih, pergi ke
tempat penenun dan berkata, "Jubah ini ditenun untukku. Tenunlah dengan
baik—lebar, panjang, tahan lama, dan tenunlah dengan rapat. Jika ini selesai,
aku akan membayarmu dengan sejumlah ini dan itu." Jika Bhikṣuṇī itu
membayarnya, bahkan sesedikit [biaya untuk] sebuah makanan dan memperoleh
jubah, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
15. Jika
seorang Bhikṣuṇī memberikan sebuah jubah kepada Bhikṣuṇī yang lain dan kemudian
karena marah mengambil jubah itu kembali atau memberi tahu seseorang untuk
mengambil jubah itu kembali, dengan mengatakan, "Kembalikanlah jubah ini
kepadaku. Aku tidak mau memberikannya kepadamu,” Bhikṣuṇī itu harus mengembalikan
jubahnya. Jika ia mengambilnya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
16.
Seorang Bhikṣuṇī yang sakit dapat menyimpan obat-obatan seperti ghee, minyak
[sayur], mentega, madu, dan gula batu, dan mengambil sisanya untuk tujuh hari.
Jika ia mengambil sisanya setelah hari ketujuh, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
17. Jika
seorang Bhikṣuṇī dengan mendesak dipersembahkan sebuah jubah sepuluh hari
sebelum akhir dari tiga bulan Varṣā, dan ia tahu bahwa itu adalah jubah yang
dipersembahkan dengan mendesak, ia seharusnya menerimanya dan menyimpannya
hingga akhir periode yang ditetapkan untuk [menerima ekstra] jubah. Jika ia
menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
18. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui bahwa suatu persembahan adalah untuk Saṅgha, lalu
meminta dan memperolehnya untuk dirinya sendiri, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
19. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta satu demi satu, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
20. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui tujuan dari persembahan seorang penderma adalah
kepada Saṅgha, tetapi menggunakannya untuk tujuan lain, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
21. Jika
seorang Bhikṣuṇī mencari sebuah persembahan untuk seorang Bhikṣuṇī tertentu,
namun malah memberikannya kepada Saṅgha, dan menggunakannya untuk tujuan lain,
ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
22. Jika
seorang Bhikṣuṇī menggunakan persembahan seorang penderma untuk seoang Bhikṣuṇī
tertentu untuk tujuan lain, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
23. Jika
seorang Bhikṣuṇī [bersama dengan Bhikṣuṇī lainnya] mencari persembahan untuk Saṅgha
dan menggunakannya untuk tujuan lain, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
24. Jika
seorang Bhikṣuṇī menyimpan lebih dari satu mangkuk derma, ia melakukan sebuah
Naiḥsargika Pāyattika.
25. Jika
seorang Bhikṣuṇī menyimpan terlalu banyak peralatan bagus, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
26. Jika
seorang Bhikṣuṇī menjanjikan seorang Bhikṣuṇī sebuah kain menstruasi namun
kemudian menolak untuk memberikannya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
27. Jika
seorang Bhikṣuṇī menerima jubah pada waktu yang tidak tepat sebagai jubah pada
waktu yang tepat, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
28. Jika
seorang Bhikṣuṇī bertukar jubah dengan Bhikṣuṇī lain dan kemudian karena marah
mengambilnya kembali atau menyuruh seseorang mengambilnya untuknya, dengan
berkata, “Bhāginī, kembalikan jubahku. Aku tidak akan memberikannya untukmu.
Jubahmu adalah milikmu. Jubahku adalah milikku, ”ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
29. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta sebuah jubah yang tebal, (jubah) itu tidak boleh lebih
dari empat Kárshápaṇa (satuan mata uang India kuno). Jika (jubah) itu lebih
mahal, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
30. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta sebuah jubah tipis, (jubah) itu tidak boleh lebih dari
dua setengah Kárshápaṇa. Jika (jubah) itu lebih mahal, ia melakukan sebuah Naiḥsargika
Pāyattika.
Para
Ārya, aku telah membacakan tiga puluh Naiḥsargika Pāyattika. Sekarang aku
bertanya kepada kalian, Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga
kalinya, apakah kalian murni? Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya
murni. Aku mengerti.
Seratus
Tujuh Puluh Delapan Pāyattika
Para
Ārya, seratus tujuh puluh delapan Pāyattika berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan
setiap setengah bulan.
1. Jika
seorang Bhikṣuṇī dengan sengaja berbohong, ia melakukan sebuah Pāyattika.
2. Jika
seorang Bhikṣuṇī memfitnah Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
3. Jika
seorang Bhikṣuṇī menabur perselisihan di antara para Bhikṣuṇī, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
4. Jika
seorang Bhikṣuṇī melewati malam dengan tidur di ruangan yang sama dengan
seorang pria, ia melakukan sebuah Pāyattika.
5. Jika
seorang Bhikṣuṇī melewati malam dengan tidur selama lebih dari tiga malam di
ruangan yang sama dengan seseorang yang belum menerima pelatihan penuh, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
6. Jika
seorang Bhikṣuṇī membaca [Prātimokṣa] Sūtra bersama dengan seseorang yang tidak
menerima pelatihan penuh, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
7. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui seorang Bhikṣuṇī telah melakukan pelanggaran serius
dan mengungkapkannya kepada seseorang yang tidak sepenuhnya ditahbiskan, ia
melakukan sebuah Pāyattika, kecuali Saṅgha telah melakukan rehabilitasi Karman.
8. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengatakan tentang kemampuan batin luar biasa kepada seseorang
yang tidak sepenuhnya ditahbiskan, dengan mengatakan, “Aku mengetahui hal ini.
Aku melihatnya,” ia melakukan sebuah Pāyattika, bahkan jika apa yang ia katakan
itu benar.
9. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengajarkan lebih dari lima atau enam kalimat Dharma kepada
seorang pria tanpa kehadiran wanita yang berpengetahuan, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
10. Jika
seorang Bhikṣuṇī menggali tanah atau menyuruh orang lain untuk menggalinya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
11. Jika
seorang Bhikṣuṇī merusak sebuah desa hantu dan makhluk halus, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
12. Jika
seorang Bhikṣuṇī berbicara mengelak atau mengganggu Saṅgha, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
13. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengeluh dan mengangkat kesalahan-kesalahan atau melecehkan
Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
14. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengambil tempat tidur tali milik kumpulan, tempat tidur kayu,
kain tidur, atau bantal, meletakkannya di tanah kosong atau menyuruh orang lain
melakukannya, dan pergi tanpa mengangkatnya atau meminta orang lain
melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
15. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengambil kain tidur tali milik kumpulan dan meletakkannya di
dalam ruangan Vihara atau menyuruh orang lain melakukannya, duduk atau
berbaring di sana dan pergi tanpa mengangkatnya atau meminta orang lain
melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
16. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui Bhikṣuṇī lain telah berdiam di suatu tempat
tertentu, dan bertentangan dengan kehendaknya yang terakhir, ia meletakkan kain
tidurnya sendiri di tempat yang sama dan tidur di sana dengan berpikir, “Jika
ia tidak suka keramaian, ia akan menjauh dariku dan pergi." Jika seorang
Bhikṣuṇī bertingkah laku dengan tidak hormat hanya untuk mengusir Bhikṣuṇī
lainnya, bukan untuk hal lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
17. Jika
seorang Bhikṣuṇī menarik Bhikṣuṇī lain yang tidak disukai dan dibencinya keluar
dari sebuah ruangan di Vihara atau menyuruh orang lain melakukannya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
18. Jika
seorang Bhikṣuṇī duduk atau berbaring di tempat tidur tali atau tempat tidur
kayu dengan kaki yang longgar di sebuah loteng, ia melakukan sebuah Pāyattika.
19. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui ada serangga di dalam air dan secara pribadi
menuangkannya ke tanah atau rumput atau menyuruh orang lain melakukannya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
20. Jika
seorang Bhikṣuṇī membangun sebuah rumah besar dengan pintu, jendela, dan
dekorasi, ia dapat menutupi atapnya dengan dua atau tiga lapisan jerami. Jika
ia menggunakan lebih banyak, ia melakukan sebuah Pāyattika.
21. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang sehat menetap suatu di tempat di mana hanya
mempersembahkan satu porsi makan, ia harus makan satu porsi saja. Jika ia
mengambil lebih banyak, ia melakukan sebuah Pāyattika.
22. Jika
seorang Bhikṣuṇī makan terpisah dari kumpulan, ia melakukan sebuah Pāyattika
kecuali pada waktu tertentu seperti ketika ia sedang sakit, membuat jubah,
persembahan jubah, bepergian di jalan, bepergian dengan perahu, persembahan
makanan dengan pelepasan, atau ada suatu puja besar. Ini adalah waktu
[tertentu].
23. Jika
seorang Bhikṣuṇī pergi ke suatu rumah penyokong dan dengan sungguh-sungguh ia
dipesembahkan kue atau tepung goreng. Jika ia membutuhkannya, ia dapat menerima
dua atau tiga mangkuk penuh untuk dibawa ke Vihara dan dibagikan kepada para
Bhikṣuṇī lainnya. Jika ia tidak sakit dan menerima lebih dari tiga mangkuk
penuh dan tidak membaginya dengan para Bhikṣuṇī lainnya setelah membawa
(makanan) itu ke Vihara, ia melakukan sebuah Pāyattika.
24. Jika
seorang Bhikṣuṇī makan pada waktu yang salah, ia melakukan sebuah Pāyattika.
25. Jika
seorang Bhikṣuṇī memakan sisa makanan yang disimpan semalaman, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
26. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasukkan makanan atau obat ke dalam mulutnya yang tidak
diberikan kepadanya, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali itu adalah air atau
sebuah sikat gigi.
27. Jika
seorang Bhikṣuṇī telah menerima undangan untuk jamuan utama, kemudian pergi ke
rumah lainnya antara fajar dan waktu makan atau antara saat waktu makan hingga
tengah hari tanpa memberi tahu Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika,
kecuali pada waktu-waktu tertentu seperti ketika ia sakit, menjahit jubah, atau
perjalanan. Ini adalah waktu-waktu [tertentu].
28. Jika
seorang Bhikṣuṇī bersikeras untuk tinggal di sebuah rumah penyokong di mana
terdapat sebuah harta, ia melakukan sebuah Pāyattika.
29. Jika
seorang Bhikṣuṇī duduk di suatu tempat terasing di sebuah rumah penyokong di
mana terdapat sebuah harta, ia melakukan sebuah Pāyattika.
30. Jika
seorang Bhikṣuṇī duduk sendirian dengan seorang wanita di ruangan terbuka, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
31. Jika
seorang Bhikṣuṇī berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, mari kita pergi bersama
ke desa. Aku akan memberimu makanan." Kemudian Bhikṣuṇī ini tidak
memberikan Bhikṣuṇī lain makanan namun mengatakan, “Ārya, pergilah! Aku tidak
suka duduk dan berbicara denganmu. Aku suka duduk sendirian dan berbicara pada
diriku sendiri.” Jika ia mengusir Bhikṣuṇī lain pergi karena alasan ini dan
bukan yang lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
32. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang sehat dipersembahkan obat-obatan selama empat bulan musim
panas, ia dapat menerimanya. Jika ia menerima itu melebihi waktu tersebut, ia
melakukan sebuah Pāyattika kecuali penyokongnya mengungkapkan keinginan mereka
untuk mempersembahkan obat-obatan secara terus menerus, mempersembahkan
obat-obatan lagi, mempersembahkan secara individu kepada Bhikṣuṇī, atau
mengungkapkan keinginan mereka untuk mempersembahkan obat-obatan sepanjang
hidup mereka.
33. Jika
seorang Bhikṣuṇī pergi menonton suatu parade militer, ia melakukan sebuah
Pāyattika kecuali jika itu untuk sebuah alasan yang diperbolehkan.
34.
Seorang Bhikṣuṇī dapat tinggal dua atau tiga malam di suatu kamp militer jika
itu untuk sebuah alasan yang diperbolehkan. Jika ia tinggal lebih lama, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
35. Jika
seorang Bhikṣuṇī tinggal di barak militer selama dua atau tiga malam
berturut-turut. Selama periode itu, jika ia menonton parade militer dan latihan
atau peragaan kekuatan penuh pasukan, gajah, dan kuda, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
36. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminum minuman keras, ia melakukan sebuah Pāyattika.
37. Jika
seorang Bhikṣuṇī bermain di air, ia melakukan sebuah Pāyattika.
38. Jika
seorang Bhikṣuṇī memukul [Bhikṣuṇī] lain dengan jari tangan [atau kakinya], ia
melakukan sebuah Pāyattika.
39. Jika
seorang Bhikṣuṇī tidak menerima nasihat, ia melakukan sebuah Pāyattika.
40. Jika
seorang Bhikṣuṇī menakuti Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
41.
Seorang Bhikṣuṇī yang sehat dapat mandi sekali setiap setengah bulan. Jika ia
(mandi) melebihi itu, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu-waktu
tertentu seperti saat cuaca panas, ia sedang sakit, ia melakukan pekerjaan
kasar, ada suatu angin kencang, saat hujan, atau ia telah melakukan perjalanan
panjang. Inilah waktu-waktu tertentu.
42. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang sehat membuat sebuah api di atas tanah kosong untuk
menghangatkan dirinya, atau memberitahu orang lain untuk melakukannya, ia
melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu-waktu tertentu.
43. Jika
seorang Bhikṣuṇī secara pribadi menyembunyikan mangkuk derma, jubah, kain duduk,
atau kotak jarum Bhikṣuṇī lain atau menyuruh seseorang untuk melakukannya, ia
melakukan sebuah Pāyattika, bahkan jika ia melakukannya hanya untuk
bersenang-senang.
44. Jika
seorang Bhikṣuṇī memberikan sebuah jubah murni karena kemurahan hati kepada
seorang Bhikṣu, Bhikṣuṇī, Śikṣamāṇā, Śrāmaṇera, atau Śrāmaṇerī, dan kemudian
mengambilnya kembali dan memakainya tanpa meminta izin pemiliknya, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
45.
Ketika seorang Bhikṣuṇī mendapatkan sebuah jubah baru, ia harus menandainya
dengan satu dari tiga warna tidak menarik: hijau keruh, hitam, atau coklat.
Jika seorang Bhikṣuṇī mendapatkan sebuah jubah baru tetapi tidak melakukan ini,
ia melakukan sebuah Pāyattika.
46. Jika
seorang Bhikṣuṇī dengan sengaja membunuh seekor binatang, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
47. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminum air, mengetahui ada serangga di dalamnya, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
48. Jika
seorang Bhikṣuṇī dengan sengaja mengganggu Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah
Pāyattika, bahkan jika pada akhirnya ia dibuat tidak bahagia walau hanya
sesaat.
49. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui Bhikṣuṇī lain yang telah melakukan suatu
pelanggaran yang serius dan menyembunyikannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
50. Jika
seorang Bhikṣuṇī membuka kembali perselisihan dalam kumpulan meskipun ia tahu
(masalah) itu telah diselesaikan sesuai dengan Dharma, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
51. Jika
seorang Bhikṣuṇī pergi ke suatu kota atau desa dengan seseorang yang ia kenal
sebagai seorang pencuri, ia melakukan sebuah Pāyattika.
52. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengatakan, “Aku mengerti Dharma yang diajarkan oleh Sang
Buddha. Bersenang dalam nafsu seksual bukanlah sebuah halangan untuk Sang
Jalan,” Bhikṣuṇī yang lain harus menasihatinya, dengan mengatakan,“ Ārya,
janganlah mengatakan hal seperti itu. Janganlah memfitnah Sang Bhagava.
Tidaklah baik memfitnah Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak pernah mengatakan hal
seperti itu. Dengan terampil dalam berbagai cara tak terhingga untuk
menjelaskan makna Sang Bhagava mengajarkan bahwa nafsu seksual adalah sebuah
halangan untuk Sang Jalan dan bahwa melakukan pelanggaran seksual adalah
halangan untuk Sang Jalan.” Jika Bhikṣuṇī itu terus bertahan dalam tindakan
salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang
bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan
ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Pāyattika pada peringatan
ketiga.
53.
Misalkan seorang Bhikṣuṇī mengetahui bahwa [Bhikṣuṇī] lain telah mengatakan
hal-hal [absurd] demikian [seperti di atas], belum direhabilitasi dengan suatu
Karman yang tepat, bertahan dalam tindakan salahnya, dan menolak untuk
menyesalinya. Jika ia menyediakan untuknya, menghadiri Karman yang sama
dengannya, atau tidur di ruangan yang sama dengannya, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
54. Jika
seorang Śrāmaṇerī berkata, “Aku mengerti Dharma yang diajarkan oleh Sang
Buddha. Bersenang dalam nafsu seksual bukanlah sebuah halangan untuk Sang
Jalan,” seorang Bhikṣuṇī harus menasihati Śrāmaṇerī itu, dengan mengatakan, “Śrāmaṇerī,
janganlah mengatakan hal seperti itu. Janganlah memfitnah Sang Bhagava.
Tidaklah baik memfitnah Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak pernah mengatakan hal
seperti itu. Dengan terampil dalam berbagai cara tak terhingga untuk
menjelaskan makna Sang Bhagava mengajarkan bahwa nafsu seksual adalah sebuah
halangan untuk Sang Jalan dan bahwa melakukan pelanggaran seksual adalah
halangan untuk Sang Jalan.” Jika Śrāmaṇerī itu terus bertahan dalam tindakan
salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī itu, Bhikṣuṇī
itu harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu
bagus. Jika tidak, Bhikṣuṇī itu harus berkata kepada Śrāmaṇerī, “Mulai
sekarang, engkau bukan lagi seorang siswa Buddha. Engkau tidak dapat mengikuti
praktik para Bhikṣuṇī. Tidak seperti Śrāmaṇerī lainnya, engkau tidak boleh
berbagi tempat menginap dengan para Bhikṣuṇī selama dua atau tiga malam.
Pergilah; enyahlah. Engkau tidak dapat tinggal di sini." Jika seorang Bhikṣuṇī
mengetahui seorang Śrāmaṇerī telah diusir demikian dan kemudian tetap
bersamanya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
55.
Ketika dinasihati sesuai dengan Dharma, jika seorang Bhikṣuṇī mengatakan, “Aku
tidak akan mengikuti Śīla ini sampai aku berkonsultasi dengan seorang praktisi
Śīla yang bijaksana, aku akan menanyakan pertanyaanku kepada mereka,” ia
melakukan sebuah Pāyattika. Adalah tepat baginya untuk mengajukan pertanyaan
jika ia mencari sebuah penjelasan.
56. Pada
saat pembacaan Śīla, jika seorang Bhikṣuṇī mengatakan, “Para Ārya, apakah
gunanya Śīla-Śīla yang sepele ini? Membacakannya hanya membuat seseorang
menjadi kesal, malu, dan curiga,” karena menghina dan merendahkan Śīla, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
57. Jika
seorang Bhikṣuṇī pada saat pembacaan Śīla mengatakan, “Para Ārya, aku baru saja
mengetahui pelatihan-pelatihan ini dari Prātimokṣa Sūtra yang dibacakan setiap
setengah bulan." Bhikṣuṇī lain yang mengetahui bahwa ia telah menghadiri
pembacaan Śīla dua atau tiga kali, atau bahkan lebih. Bahkan jika ia tanpa
pengetahuan dan pemahaman, ia harus diurus dengan benar jika ia melakukan
sebuah pelanggaran, dan terlebih untuk pelanggaran karena tidak mengetahui.
Mereka berkata kepadanya, “Ārya, engkau tidak menerima manfaat dan engkau
mengumpulkan keburukan karena engkau tidak penuh perhatian selama pembacaan
Śīla dan tidak mendengarkan dengan perhatian terpusat." Karena tidak
mengetahui Śīla, ia melakukan sebuah Pāyattika.
58.
Setelah melakukan sebuah Karman dengan Bhikṣuṇī lain, jika seorang Bhikṣuṇī mengatakan,
“Para Bhikṣuṇī memberikan kepemilikan kumpulan kepada orang-orang yang dekat
dengan mereka,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
59. Jika
seorang Bhikṣuṇī bangkit (dari tempat duduknya) dan pergi selama sebuah Saṅghakarman,
ia melakukan sebuah Pāyattika.
60. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta Bhikṣuṇī lain untuk menjelaskan ketidakhadirannya dan
menyampaikan perkenannya untuk sebuah Karman dan setelahnya menegurnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
61.
Setelah beberapa Bhikṣuṇī telah bertengkar, jika seorang Bhikṣuṇī mendengarnya
dan berbicara kepada Bhikṣuṇī lain tentang (pertengkaran) itu, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
62. Jika
seorang Bhikṣuṇī memukul Bhikṣuṇī lain dengan amarah dan dendam, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
63. Jika
seorang Bhikṣuṇī mencengkram Bhikṣuṇī lain dengan tangannya karena marah dan
dendam, ia melakukan sebuah Pāyattika.
64. Jika
seorang Bhikṣuṇī karena marah dan dendam dan tanpa bukti menuduh seseorang
melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa, ia melakukan sebuah Pāyattika.
65. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki pintu istana seorang Raja yang dinobatkan sebelum
Sang Raja telah keluar dan harta telah disembunyikan, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
66. Jika
seorang Bhikṣuṇī menyimpan harta atau barang berharga atau memberitahu
seseorang untuk melakukannya, kecuali itu di sebuah Vihara (Saṃghārāma) atau
tempat tinggal sementara, ia melakukan sebuah Pāyattika. Jika ia menyimpan
harta atau barang berharga di Vihara atau tempat tinggal sementara atau
memberitahu seseorang untuk melakukannya, ia harus mengembalikannya setelah
pemiliknya mengenalinya.
67. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki suatu kota atau desa pada waktu yang salah tanpa
memberi tahu Bhikṣuṇī yang lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
68.
Ketika seorang Bhikṣuṇī membuat sebuah tempat tidur tali atau tempat tidur
kayu, kaki-kaki bagian bawah dari tempat tidur yang dimasukkan ke dalam
sambungan tidak boleh lebih dari delapan ruas jari tangan Buddha. Jika
kaki-kaki itu lebih panjang, ia melakukan sebuah Pāyattika.
69. Jika
seorang Bhikṣuṇī menggunakan benang tula untuk membuat sebuah tempat tidur
tali, sebuah tempat tidur kayu, kain tidur, atau sebuah kain duduk, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
70. Jika
seorang Bhikṣuṇī memakan bawang merah atau bawang putih, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
71. Jika
seorang Bhikṣuṇī mencukur rambut di tiga tempat [area kemaluan dan kedua
ketiak], ia melakukan sebuah Pāyattika.
72.
Ketika seorang Bhikṣuṇī membersihkan kemaluannya dengan air, ia tidak boleh
menggunakan lebih dari ruas jari pertama dari dua jari. Jika ia melebihi itu
[dengan menggunakan lebih banyak jari atau lebih dalam], ia melakukan sebuah
Pāyattika.
73. Jika
seorang Bhikṣuṇī membuat sebuah organ pria dengan lem [dan menggunakannya untuk
masturbasi], ia melakukan sebuah Pāyattika.
74. Jika
para Bhikṣuṇī saling menepuk organ seksual mereka satu sama lain, mereka
melakukan sebuah Pāyattika.
75. Jika
seorang Bhikṣuṇī memberikan air kepada seorang Bhikṣu yang sehat atau
mengipasinya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
76. Jika
seorang Bhikṣuṇī meminta biji-bijian mentah, ia melakukan sebuah Pāyattika.
77. Jika
seorang Bhikṣuṇī beristirahat di atas rumput hidup, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
78. Jika
seorang Bhikṣuṇī buang air di dalam pispot kamar pada malam hari dan membuang
air kencing dan tinja ke dinding pada siang hari tanpa memeriksa terlebih
dahulu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
79. Jika
seorang Bhikṣuṇī pergi menonton hiburan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
80. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki sebuah desa, berdiri, dan berbicara dengan seorang
pria di tempat terpencil, ia melakukan sebuah Pāyattika.
81. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki tempat terasing bersama seorang pria, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
82. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki sebuah desa dan dalam suatu jalan atau jalur, membuat
teman-temannya pergi dan dengan berdiri, berbisik dengan seorang pria di tempat
terpencil, ia melakukan sebuah Pāyattika.
83. Jika
seorang Bhikṣuṇī duduk di rumah seorang perumah tangga dan pergi tanpa memberi
tahu perumah tangga itu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
84. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki rumah seorang perumah tangga dan duduk di sebuah sofa
tanpa memberi tahu perumah tangga itu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
85. Jika
seorang Bhikṣuṇī membuat tempat tidurnya dan menginap di rumah seorang perumah
tangga tanpa memberi tahu perumah tangga itu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
86. Jika
seorang Bhikṣuṇī memasuki suatu ruangan gelap bersama dengan seorang pria, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
87. Jika
seorang Bhikṣuṇī memberi tahu orang lain apa yang dikatakan oleh Acārya-nya
kepadanya tanpa berusaha untuk memahaminya sendiri, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
88. Jika
seorang Bhikṣuṇī bersumpah untuk jatuh ke dalam ketiga alam rendah karena
masalah yang sepele dan tidak terlahir di mana Buddha Dharma ada, dengan
mengatakan, “Jika aku melakukan hal itu, semoga aku jatuh ke dalam tiga alam
rendah dan tidak terlahir di manaBuddha Dharma ada," atau "Jika
engkau melakukan hal demikian, semoga engkau jatuh ke dalam tiga alam rendah
dan tidak terlahir di mana Buddha Dharma ada,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
89. Jika
seorang Bhikṣuṇī berselisih dengan Bhikṣuṇī lain namun tidak pandai mengingat
apa yang dia perdebatkan, dan memukul dadanya dan menangis karena hal ini, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
90. Jika
dua Bhikṣuṇī yang sehat berbaring bersama di suatu tempat tidur, mereka
melakukan sebuah Pāyattika.
91. Jika
para Bhikṣuṇī berbaring bersama di satu kasur dan berbagi selimut yang sama,
mereka melakukan sebuah Pāyattika, kecuali itu waktu yang sangat spesial.
92. Jika
seorang Bhikṣuṇī mengetahui Bhikṣuṇī lain akan menginap di suatu tempat sebelum
atau sesudahnya dan untuk mengganggunya, ia membacakan Sūtra dihadapannya,
memintanya untuk menjelaskan artinya, atau mengajarinya, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
93. Jika
seorang Bhikṣuṇī tidak merawat seorang Bhikṣuṇī yang sakit yang tinggal
bersamanya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
94.
Selama Varṣā, jika seorang Bhikṣuṇī pertama mengizinkan Bhikṣuṇī lainnya untuk
membaringkan tempat tidurnya dikamarnya dan kemudian, menjadi kesal,
mengusirnya keluar, ia melakukan sebuah Pāyattika.
95. Jika
seorang Bhikṣuṇī melakukan perjalanan setiap saat selama musim semi, musim
panas, dan musim dingin, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali ia memiliki
suatu alasan tertentu.
96. Jika
seorang Bhikṣuṇī tidak pergi setelah Varṣā, ia melakukan sebuah Pāyattika.
97. Jika
seorang Bhikṣuṇī bepergian di suatu daerah perbatasan yang diduga berbahaya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
98. Jika
seorang Bhikṣuṇī melakukan perjalanan di suatu daerah yang berpenghuni yang
diduga berbahaya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
99. Jika
seorang Bhikṣuṇī bersahabat terlalu dekat dengan seorang perumah tangga dan
anak perumah tangga, hidup bersama dengan mereka, dan terlibat dalam perilaku
yang tidak pantas, Bhikṣuṇī lain harus menasihatinya, dengan mengatakan, “Ārya,
janganlah bersahabat terlalu dekat dengan seorang perumah tangga dan anak
perumah tangga. Ini tidak sesuai dengan Dharma atau Śīla. Ārya, engkau harus
berdiam di tempat lain. Jika engkau melakukannya, engkau akan mendapatkan
manfaat dari Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan kebahagiaan."
Jika Bhikṣuṇī itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk
menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣuṇī [yang bajik], ia harus menegurnya
tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia
melakukan sebuah Pāyattika pada peringatan ketiga.
100.
Jika seorang Bhikṣuṇī pergi ke suatu istana, suatu aula yang didekorasi dengan
elegan, suatu taman, atau suatu kolam renang, ia melakukan sebuah Pāyattika.
101.
Jika seorang Bhikṣuṇī mandi telanjang di suatu sungai, mata air, pancuran, atau
kolam, ia melakukan sebuah Pāyattika.
102.
Jika seorang Bhikṣuṇī membuat sebuah jubah mandi, ia harus membuatnya sesuai
dengan ukuran— enam bentang jari tangan Buddha panjangnya dan dua setengah
bentang jari tangan lebarnya. Jika ia membuatnya lebih besar, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
103.
Jika seorang Bhikṣuṇī tidak selesai membuat sebuah Saṃghāṭī dalam lima hari, ia
melakukan sebuah Pāyattika. kecuali kesulitan muncul.
104.
Jika seorang Bhikṣuṇī tidak memeriksa Saṃghāṭī nya setiap lima hari sekali, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
105.
Jika seorang Bhikṣuṇī mencegah seorang penyokong mempersembahkan jubah kepada
kumpulan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
106.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengenakan jubah Bhikṣuṇī lain tanpa meminta izin kepada
pemiliknya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
107.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan jubah monastik kepada seorang perumah tangga
atau Parivrājaka, ia melakukan sebuah Pāyattika.
108.
Jika seorang Bhikṣuṇī berpikir, “Aku akan mencegah distribusi jubah yang sesuai
di dalam kumpulan jika murid-muridku gagal mendapatkannya,” ia melakukan sebuah
Pāyattika.
109. Jika
seorang Bhikṣuṇī berpikir, “Aku akan membuat kumpulan melepaskan jubah Kaṭhina
lebih lama dari waktu yang ditentukan sehingga kita dapat menikmati lima hak
istimewa lebih lama,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
110.
Jika seorang Bhikṣuṇī berpikir, “Aku akan mencegah kumpulan Bhikṣuṇī untuk
melepaskan jubah Kaṭhina sehingga kita dapat menikmati lima hak istimewa lebih
lama,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
111.
Jika seorang Bhikṣuṇī berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Tolong selesaikan
perselisihan ini untuk kami." Jika ia tidak menggunakan cara-cara terampil
untuk menyelesaikannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
112.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan makanan kepada seorang perumah tangga, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
113.
Jika seorang Bhikṣuṇī bekerja sebagai seorang pelayan bagi seorang perumah
tangga, ia melakukan sebuah Pāyattika.
114.
Jika seorang Bhikṣuṇī menggulung benang dengan tangannya sendiri, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
115.
Jika seorang Bhikṣuṇī duduk atau berbaring di suatu sofa atau tempat tidur di
rumah seorang perumah tangga, ia melakukan sebuah Pāyattika.
116.
Jika seorang Bhikṣuṇī memasuki rumah seorang perumah tangga, minta pemiliknya
menyiapkan tempat tidur baginya untuk menginap, dan kemudian pergi keesokan
harinya tanpa memberi tahu perumah tangga itu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
117.
Jika seorang Bhikṣuṇī membaca dan mempelajari mantra-mantra sekuler, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
118.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengajari orang lain untuk membaca dan mempelajari
mantra-mantra sekuler, ia melakukan sebuah Pāyattika.
119.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui seorang wanita sedang hamil dan memberinya
pelatihan penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
120.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui seorang wanita sedang menyusui seorang anak
dan memberinya pelatihan penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
121.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui seseorang berusia di bawah 20 tahun dan
memberinya pelatihan penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
122.
Jika seorang Bhikṣuṇī tidak memberikan pelatihan selama dua tahun dalam Śikṣamāṇā
Śīla kepada seorang wanita yang belum menikah berusia 18 tahun tetapi
memberinya pelatihan penuh ketika ia berusia 20, ia melakukan sebuah Pāyattika.
123.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan selama dua tahun dalam Śikṣamāṇā
Śīla kepada seorang wanita yang belum menikah berusia 18 tahun tanpa memberikan
instruksi dalam enam Śīla, dan memberinya pelatihan penuh ketika dia berusia
20, ia melakukan sebuah Pāyattika.
124.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan selama dua tahun dalam Śikṣamāṇā
Śīla kepada seorang wanita yang belum menikah berusia 18 tahun bersama dengan
instruksi dalam enam Śīla, dan memberinya pelatihan penuh ketika ia berusia 20
tahun terlepas dari ketidak-setujuan Saṅgha, ia melakukan sebuah Pāyattika.
125.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelepasan kepada seorang gadis berusia sepuluh
tahun yang telah menikah dan memberinya dua tahun pelatihan dalam Śikṣamāṇā
Śīla, ia dapat memberinya pelatihan penuh ketika ia berusia 12 tahun. Jika
[gadis itu] lebih muda dari 12 tahun, ia melakukan sebuah Pāyattika.
126.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelepasan kepada seorang gadis muda yang telah
menikah, memberinya dua tahun pelatihan dalam Śikṣamāṇā Śīla, dan memberinya
pelatihan penuh ketika ia berusia 12 tahun tanpa persetujuan Saṅgha, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
127.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang yang ia kenal
adalah seorang pelacur, ia melakukan sebuah Pāyattika.
128.
Jika seorang Bhikṣuṇī menahbiskan banyak murid, namun tidak mengajarkannya Śikṣamāṇā
Śīla selama dua tahun, juga tidak memberikan mereka dua hal [Dharma dan
persyaratan], ia melakukan sebuah Pāyattika.
129.
Jika seorang Bhikṣuṇī tidak mengikuti penahbis Bhikṣuṇīnya (Upādhyāyā) selama
dua tahun setelah penahbisan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
130.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang terlepas dari
ketidak-setujuan Saṅgha, ia melakukan sebuah Pāyattika.
131.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh sebelum ia menjadi seorang
Bhikṣuṇī selama 12 tahun, ia melakukan sebuah Pāyattika.
132.
Jika seorang Bhikṣuṇī telah ditahbiskan 12 tahun dan memberikan pelatihan penuh
terlepas dari ketidak-setujuan Saṅgha, ia melakukan sebuah Pāyattika.
133.
Jika seorang Bhikṣuṇī telah dilarang oleh Saṅgha untuk memberikan pelatihan
penuh dan mengatakan, “Saṅgha memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan
ketidaktahuan. Jika mereka menyukai sesuatu, mereka menyetujuinya; jika mereka
tidak menyukainya, mereka tidak menyetujuinya,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
134.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seorang wanita terlepas
dari ketidak-setujuan orang tua, suami, atau penjaga wanita itu, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
135.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui seorang wanita jatuh cinta dengan seorang pria
remaja atau pria dewasa dan akan mudah depresi atau marah, namun mengizinkannya
untuk meninggalkan kehidupan perumah tangga dan memberinya pelatihan penuh, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
136.
Jika seorang Bhikṣuṇī berkata kepada seorang Śikṣamāṇā, “Kanīyo Bhaginī,
tinggalkanlah ini dan pelajarilah itu, dan aku akan memberimu pelatihan penuh,”
dan kemudian tidak menggunakan kebijaksanaannya untuk memberinya pelatihan
penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
137.
Jika seorang Bhikṣuṇī berkata kepada seorang Śikṣamāṇā, “Bawakan sebuah jubah
dan berikan kepadaku dan aku akan memberikanmu pelatihan penuh," dan
kemudian tidak menggunakan kebijaksanaannya untuk memberinya pelatihan penuh,
ia melakukan sebuah Pāyattika.
138.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang kurang dari
setahun setelah menahbiskan orang lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
139.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan seseorang pelatihan penuh tetapi menunggu
hingga keesokan harinya untuk membawa ia ke Bhikṣu Saṅgha, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
140.
Jika seorang Bhikṣuṇī yang sehat tidak pergi untuk menerima instruksi dari Saṅgha
Bhikṣu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
141.
Seorang Bhikṣuṇī harus pergi ke Saṅgha Bhikṣu setiap setengah bulan untuk
meminta instruksi. Jika ia tidak melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
142. Di
akhir Varṣā, Saṅgha Bhikṣuṇī harus pergi ke Saṅgha Bhikṣu untuk memberikan
Pravāraṇā dengan meminta mereka untuk menunjukkan pelanggaran yang telah mereka
lihat, dengar, atau curigai. Jika mereka tidak melakukannya, mereka melakukan
sebuah Pāyattika.
143.
Jika seorang Bhikṣuṇī menjalani Varṣā di tempat di mana tidak ada Bhikṣu, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
144.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui bahwa para Bhikṣu berada di suatu Vihara dan
masuk tanpa membuat pemberitahuan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
145.
Jika seorang Bhikṣuṇī memarahi seorang Bhikṣu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
146.
Jika seorang Bhikṣuṇī berselisih namun tidak pandai mengingat apa yang sedang
ia perdebatkan, dan setelah suatu perselisihan ia menjadi tidak senang dan
karena kebencian menyalahkan kumpulan para Bhikṣuṇī, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
147.
Jika seorang Bhikṣuṇī memiliki bisul bernanah atau borok dan membiarkan seorang
pria membuka dan membalutnya tanpa memberitahu kumpulan atau Bhikṣuṇī lain, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
148.
Jika seorang Bhikṣuṇī, terlepas dari suatu perjanjian sebelumnya untuk makan
siang, mengisi perutnya terlebih dahulu dan kemudian [saat makan siang] memakan
biji-bijian yang sudah dimasak, tepung yang dipanggang, biji-bijian yang
dicampur, ikan, atau daging, ia melakukan sebuah Pāyattika.
149.
Jika seorang Bhikṣuṇī iri kepada Bhikṣuṇī lain karena seorang penyokong, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
150.
Jika seorang Bhikṣuṇī menggunakan parfum dan mengoleskannya di tubuhnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
151.
Jika seorang Bhikṣuṇī menggunakan pasta wijen dan mengoleskannya di tubuhnya,
ia melakukan sebuah Pāyattika.
152.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyuruh seorang Bhikṣuṇī menggosok tubuhnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
153.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyuruh seorang Śikṣamāṇā menggosok tubuhnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
154.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyuruh seorang Śrāmaṇerī menggosok tubuhnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
155.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyuruh seorang Upāsika menggosok tubuhnya, ia melakukan
sebuah Pāyattika.
156.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengenakan bantalan untuk memperbesar pinggulnya, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
157.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyimpan ornamen feminin, ia melakukan sebuah Pāyattika
kecuali jika ada kesempatan untuk ini.
158.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengenakan sepatu kulit dan membawa payung ketika
berjalan, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali jika ada kesempatan untuk ini.
159.
Jika seorang Bhikṣuṇī yang sehat bepergian dengan kendaraan, ia melakukan
sebuah Pāyattika kecuali jika ada kesempatan untuk ini.
160.
Jika seorang Bhikṣuṇī memasuki sebuah desa tanpa menggunakan Saṃkakṣikā, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
161.
Jika seorang Bhikṣuṇī memasuki rumah seorang perumah tangga menjelang malam
hari tanpa diundang sebelumnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
162.
Jika seorang Bhikṣuṇī membuka gerbang Vihara menjelang sore hari dan pergi
keluar tanpa memberi tahu Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
163.
Jika seorang Bhikṣuṇī membuka gerbang Vihara setelah matahari terbenam dan
pergi keluar tanpa memberi tahu Bhikṣuṇī lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
164.
Jika seorang Bhikṣuṇī tidak menjalani Varṣā masa awal atau masa akhir, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
165.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seorang wanita yang
sering ia ketahui sering kehilangan kontrol dalam mengeluarkan urin, tinja,
lendir [dari hidung], atau air liur, ia melakukan sebuah Pāyattika.
166.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang dengan kedua
organ pria dan wanita, ia melakukan sebuah Pāyattika.
167.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang yang ia
ketahui mengeluarkan urin dan tinja dari satu jalur, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
168.
Jika seorang Bhikṣuṇī memberikan pelatihan penuh kepada seseorang yang berada
dalam kesulitan karena sakit atau hutang, ia melakukan sebuah Pāyattika.
169.
Jika seorang Bhikṣuṇī mempelajari keterampilan duniawi untuk penghidupan, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
170.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengajarkan keterampilan duniawi kepada seorang perumah
tangga, ia melakukan sebuah Pāyattika.
171.
Jika seorang Bhikṣuṇī menolak untuk pergi setelah diusir dari kumpulan, ia
melakukan sebuah Pāyattika.
172.
Jika seorang Bhikṣuṇī bertanya kepada seorang Bhikṣu untuk menjelaskan arti
dari suatu hal tanpa meminta izinnya terlebih dahulu, ia melakukan sebuah
Pāyattika.
173.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengetahui Bhikṣuṇī lain akan menginap di suatu tempat
sebelum atau sesudahnya dan untuk mengganggunya, ia berjalan, berdiri, duduk,
atau berbaring dihadapannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
174.
Jika seorang Bhikṣuṇī membangun sebuah Stupa di sebuah Vihara di mana ia tahu
terdapat para Bhikṣu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
175.
Ketika seorang Bhikṣuṇī melihat seorang Bhikṣu yang baru ditahbiskan, ia harus
bangkit, memberikan penghormatan kepadanya, menyapanya, dan memintanya untuk
duduk. Jika ia tidak melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali ia
memiliki suatu alasan khusus untuk bertindak demikian.
176.
Jika seorang Bhikṣuṇī mengayunkan tubuhnya ketika berjalan demi penampilannya,
ia melakukan sebuah Pāyattika.
177.
Jika seorang Bhikṣuṇī menghiasi dirinya seperti seorang wanita perumah tangga
dan memakai parfum pada tubuhnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
178.
Jika seorang Bhikṣuṇī menyuruh seorang wanita Tīrthika (non-Buddhis) untuk memakaikan
parfum di tubuhnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
Para
Ārya, aku telah membacakan seratus tujuh puluh delapan Pāyattika. Sekarang aku
bertanya kepada kalian, Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga
kalinya, apakah kalian murni? Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya
murni. Aku mengerti.
Delapan Pratideśanīya
Para
Ārya, delapan Pratideśanīya berikut berasal
dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta mentega untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah melakukan
suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang
mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
2. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta minyak untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah
melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya.
Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah
Pratideśanīya.
3. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta madu untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah
melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya.
Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah
Pratideśanīya.
4. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta gula yang mengkristal untuk
dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain,
“Ārya, aku telah melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak
melakukannya. Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut
sebuah Pratideśanīya.
5. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta susu untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah melakukan
suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang
mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
6. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta keju untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah
melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya.
Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah
Pratideśanīya.
7. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta ikan untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah
melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya.
Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
8. Jika
seorang Bhikṣuṇī yang tidak sakit meminta daging untuk dikonsumsi, Bhikṣuṇī ini
harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣuṇī lain, “Ārya, aku telah
melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya.
Aku sekarang mengakui kepada Ārya." Inilah yang disebut sebuah
Pratideśanīya.
Para
Ārya, aku telah membacakan delapan Pratideśanīya. Sekarang aku bertanya kepada
kalian, Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian
murni? Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Seratus Śaikṣadharma
Para
Ārya, seratus
Śaikṣadharma berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah
bulan.
1.
Melatih ini: Memakai jubah bawah (antarvāsas) dengan rapi.
2. Melatih
ini: Memakai lima jubah dengan rapi.
3.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan memakai sebuah
jubah dalam diluar.
4.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
memakai jubah dalam diluar.
5. Melatih
ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan sebuah syal di leher.
6.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
sebuah syal di leher.
7.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan kepala
tertutup.
8.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
kepala tertutup.
9.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan
melompat-lompat.
10.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
melompat-lompat.
11.
Melatih ini: Tidak berjongkok di rumah seorang perumah tangga.
12.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tanganmu
menyentuh pinggulmu.
13.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
tanganmu menyentuh pinggulmu.
14.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan mengayunkan
tubuh.
15.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
mengayunkan tubuh.
16. Melatih
ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan lengan menggelantung.
17.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
lengan menggelantung.
18.
Melatih ini: Memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tubuh tertutup rapat.
19.
Melatih ini: Memasuki dan duduk di rumah
seorang perumah tangga dengan tubuh tertutup rapat.
20.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan melihat
sekeliling.
21.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
melihat sekeliling.
22.
Melatih ini: Memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tenang.
23.
Melatih ini: Memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan tenang.
24.
Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan bercanda dan
tertawa.
25.
Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan
bercanda dan tertawa.
26.
Melatih ini: Menerima makanan dengan hati-hati.
27.
Melatih ini: Menerima makanan dalam kapasitas mangkuk derma.
28.
Melatih ini: Menerima sup dalam kapasitas mangkuk derma.
29.
Melatih ini: Menunggu untuk makan hingga nasi dan sup disajikan.
30.
Melatih ini: Makan dengan sikap yang tertib.
31.
Melatih ini: Tidak memakan apa yang hanya ada di tengah mangkuk derma.
32.
Melatih ini: Seorang Bhikṣuṇī yang
sehat tidak boleh berupaya untuk mendapatkan sup atau nasi untuk dirinya
sendiri.
33.
Melatih ini: Tidak menutupi sup dengan nasi dengan harapan mendapat lebih
banyak sup.
34.
Melatih ini: Tidak melihat dan membandingkan makanan di dalam mangkuk derma
seseorang yang duduk di dekatnya.
35.
Melatih ini: Perhatian penuh pada mangkuk derma ketika makan.
36.
Melatih ini: Tidak mengambil terlalu banyak makanan ke dalam mulut saat makan.
37.
Melatih ini: Tidak membuka mulut lebar-lebar ketika menunggu suapan.
38.
Melatih ini: Tidak berbicara dengan makanan di mulut.
39.
Melatih ini: Tidak membentuk makanan menjadi gumpalan dan melemparnya ke mulut.
40.
Melatih ini: Tidak menjatuhkan makanan dari mulut ketika makan.
41.
Melatih ini: Tidak mengisi mulut dengan makanan sehingga pipinya mengembang
ketika makan.
42.
Melatih ini: Tidak mengunyah makanan dengan berisik.
43.
Melatih ini: Jangan menghirup makanan dengan mulut terbuka lebar ketika makan.
44.
Melatih ini: Tidak menjilati makanan dengan lidah ketika makan.
45.
Melatih ini: Tidak menggoyangkan tangan seseorang ketika makan.
46.
Melatih ini: Tidak makan dengan makanan berserakan.
47.
Melatih ini: Tidak membawa mangkuk derma dengan tangan kotor.
48.
Melatih ini: Tidak membuang air bekas mencuci mangkuk derma di rumah seorang
perumah tangga.
49.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil, membuang lendir, atau meludah di rumput
yang hidup, kecuali engkau sedang sakit.
50.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil, membuang lendir, atau meludah di air
yang bersih, kecuali engkau sedang sakit.
51.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil sambil berdiri.
52.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang tidak sopan
menggunakan sebuah jubah dalam diluar kecuali orang itu sedang sakit.
53.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sebuah syal
di lehernya kecuali orang itu sedang sakit.
54.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang kepalanya tertutup
kecuali orang itu sedang sakit.
55. Melatih
ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sebuah topi kecuali
orang itu sedang sakit.
56.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berdiri dengan
tangan di punggungnya kecuali orang itu sedang sakit.
57.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sepatu
kulit kecuali orang itu sedang sakit.
58.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sandal kayu
kecuali orang itu sedang sakit.
59.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang menunggangi seekor
binatang atau di dalam sebuah kendaraan kecuali orang itu sedang sakit.
60.
Melatih ini: Tidak berdiam di sebuah Stūpa kecuali sebagai penjaganya.
61.
Melatih ini: Tidak menyimpan barang bawaan di sebuah Stūpa kecuali untuk
mengamankan [barang berharga].
62.
Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan memakai sepatu kulit.
63.
Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan membawa sepatu kulit di
tanganmu.
64.
Melatih ini: Tidak mengelilingi sebuah Stūpa dengan memakai sepatu kulit.
65.
Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan memakai sepatu boot pendek yang
berornamen.
66.
Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan membawa sepatu boot pendek yang
berornamen di tanganmu.
67.
Melatih ini: Tidak duduk di kaki sebuah Stūpa untuk makan dan meninggalkan
rumput atau makanan di atas tanah.
68.
Melatih ini: Tidak melewati kaki sebuah Stūpa dengan membawa seonggok mayat.
69.
Melatih ini: Tidak mengubur seonggok mayat di sebuah Stūpa.
70.
Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat di kaki sebuah Stūpa.
71.
Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat dengan menghadap sebuah Stūpa.
72.
Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat di sisi mana pun dari sebuah
Stūpa sehingga membuat bau busuk.
73. Melatih
ini: Tidak melewati kaki sebuah Stūpa dengan membawa jubah-jubah dan kain tidur
mendiang kecuali mereka telah dicuci, dicelup, dan diharumkan dengan zat
pengharum.
74.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil di kaki sebuah Stūpa.
75.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil dengan menghadap sebuah Stūpa.
76.
Melatih ini: Tidak membuang air kecil di sisi mana pun dari sebuah Stūpa
sehingga membuat bau busuk.
77.
Melatih ini: Tidak membawa gambar Buddha ke toilet.
78.
Melatih ini: Tidak menyikat gigimu di kaki sebuah Stūpa.
79.
Melatih ini: Tidak menyikat gigimu dengan menghadap sebuah Stūpa.
80.
Melatih ini: Tidak menyikat gigimu di sisi mana pun dari sebuah Stūpa.
81.
Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah di kaki sebuah Stūpa.
82.
Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah dengan menghadap ke sebuah
Stūpa.
83.
Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah di sisi manapun dari sebuah
Stūpa.
84.
Melatih ini: Tidak duduk dengan kaki tejulur ke arah sebuah Stūpa.
85.
Melatih ini: Tidak berdiam di ruangan utama ketika terdapat sebuah Stūpa yang
diletakkan di ruangan yang lebih kecil.
86.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan berdiri kepada seseorang yang
duduk kecuali orang itu sedang sakit.
87.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk kepada seseorang yang
berbaring kecuali orang itu sedang sakit.
88.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk di tempat yang tidak sesuai
kepada seseorang yang duduk di tempat yang sesuai kecuali orang itu sedang
sakit.
89.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk di posisi yang lebih rendah
kepada seseorang yang duduk di posisi yang lebih tinggi kecuali orang itu
sedang sakit.
90.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan didepanmu
kecuali orang itu sedang sakit.
91.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan di tempat
yang lebih tinggi ketika engkau berjalan di tempat yang lebih rendah kecuali
orang itu sedang sakit.
92.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan di tengah
jalan saat engkau berjalan di bahu jalan, kecuali orang itu sedang sakit.
93.
Melatih ini: Tidak berjalan bergandengan tangan di jalan.
94.
Melatih ini: Tidak memanjat sebuah pohon ke posisi yang lebih tinggi dari
manusia kecuali ada kesempatan untuk perilaku tersebut.
95.
Melatih ini: Tidak memasukkan mangkuk derma ke dalam sebuah kantung jaring,
menggantungnya di ujung sebilah tongkat, dan membawa tongkat di bahumu sambil
berjalan.
96.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang tidak sopan
memegang sebilah tongkat kecuali orang itu sedang sakit.
97.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah
pedang kecuali orang itu sedang sakit.
98.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah
tombak kecuali orang itu sedang sakit.
99.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah
pisau kecuali orang itu sedang sakit.
100.
Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebuah
payung kecuali orang itu sedang sakit.
Para
Ārya, aku telah membacakan seratus Śaikṣadharma. Sekarang aku bertanya kepada
kalian, Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian
murni? Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tujuh Adhikaraṇaśamatha
Para
Ārya, tujuh
Adhikaraṇaśamatha berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah
bulan. Ketika sebuah permasalahan muncul diantara para Bhikṣuṇī, mereka harus menyelesaikannya.
1. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) kehadiran pihak-pihak (terkait), biarlah pihak-pihak (terkait) hadir.
2. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) mengingat peristiwa, biarlah mereka mengingatnya.
3. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) kewarasan, biarlah di sana menjadi waras.
4. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) pengakuan seseorang, biarlah pengakuan dibuat.
5. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) mayoritas, biarlah mayoritas menyelesaikannya.
6. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) menemukan di mana tanggung jawab berada, biarlah itu ditemukan.
7. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan
dengan (metode) menugaskan setiap perwakilan dari masing-masing pihak, biarlah
perwakilan ditugaskan.
Para
Ārya, aku telah membacakan tujuh Adhikaraṇaśamatha. Sekarang aku bertanya kepada kalian,
Para Ārya, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni?
Para Ārya, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti
Kesimpulan
Para Ārya, aku telah membacakan kata pengantar Prātimokṣa
Sūtra, delapan Pārājika, tujuh belas Saṃghāvaśeṣa, tiga puluh Naiḥsargika Pāyattika, seratus tujuh puluh delapan Pāyattika, delapan Pratideśanīya, seratus
Śaikṣadharma, dan tujuh Adhikaraṇaśamatha. Semua ini diajarkan oleh Sang Buddha
dan berasal dari
Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan. Jika terdapat Dharma Sang Buddha lainnya yang selaras
dengan ini, latihlah juga mereka.
Syair
Kesimpulan
Kesabaran adalah Jalan
Utama dan terpenting. Sang Buddha menganggap hal ini sebagai yang tertinggi
dalam ajaranNya. Ia yang telah meninggalkan kehidupan perumah tangga tetapi
mengganggu yang lain tidaklah disebut seorang Śramaṇa. Ini adalah Vinaya dari
Tathāgata Vipaśyin, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Seperti halnya seseorang
dengan penglihatan yang jernih dapat menghindari suatu jalan yang berbahaya,
demikian pula seorang bijaksana di dunia dapat menghindari semua hal buruk. Ini
adalah Vinaya Tathāgata Śikhin, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Tidak memfitnah atau
mendengki pada yang lain. Selalu menjaga Śīla. Menjadi puas dengan makanan dan
minuman. Selalu menikmati hidup dalam suatu tempat terasing. Berkonsentrasi
pada pikiran dan bersenang dalam usaha yang sepenuh hati. Ini adalah Vinaya
Tathāgata Viśvabhu, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Seperti halnya seekor
lebah yang mencari makan pada bunga hanya mengambil nektar mereka tanpa merusak
warnanya atau baunya, demikian pula seorang Bhikṣuṇī memasuki suatu kota atau
desa dengan penuh perhatian hanya pada perilakunya sendiri untuk melihat apakah
itu benar dan tidak mengganggu yang lain' mengingat atau menyelidiki apa yang
mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan. Ini adalah Vinaya Tathāgata Krakucchanda,
Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Janganlah kehilangan
kendali atas pikiran dan dengan tekun mempelajari Dharma yang Suci. Dengan
terbebas dari kegelisahan dan dukacita, konsentrasikan pikiran dan masukilah
Nirvāṇa. Ini adalah Vinaya dari Tathāgata Kanakamuni, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Untuk menghindari semua
yang salah; Untuk membawa semua kebaikan pada kesempurnaan; Untuk sepenuhnya
mendisiplinkan pikiranmu; ini adalah Ajaran Buddha. Ini adalah Vinaya Tathāgata
Kāśyapa, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Menjaga ucapanmu dengan
baik, murnikan pikiranmu, dan hindari semua hal buruk dari tubuh sehingga
perbuatan dari ketiga pintumu menjadi murni. Mampu melakukan semua ini adalah
Jalan Bijaksanawan Agung. Ini adalah Vinaya Tathāgata Śākyamuni, Arhat,
Samyaksaṃbuddhā, diajarkan kepada Saṅgha yang tidak tercemar selama 12 tahun
[pertama]. Hanya setelah itu terjadi Ia menguraikannya.
Jika
seorang Bhikṣuṇī bersenang dalam Dharma dan dalam kehidupan suci, memiliki rasa
integiritas diri dan mempertimbangkan orang lain, dan bersenang dalam
mempelajari Śīla, ia harus mempelajari [ketujuh Vinaya] ini.
Seorang
bijaksana yang mampu menjaga Śīla dapat menikmati tiga hal ini: (1) Reputasi
baik dan perolehan materi [dalam kehidupan ini]; (2) Kelahiran di alam surgawi
dalam kehidupan selanjutnya. (3) Engkau harus merenungkan demikian: Para
bijaksanawan dengan tekun menjaga Śīla. Śīla yang murni memunculkan
kebijaksanaan, dan tercapainya Jalan Tertinggi.
Para
Buddha di masa lampau dan masa depan dan Sang Bhagava pada saat ini yang telah
melampaui semua kesedihan, semuanya menghormati Śīla. Inilah Dharma dari semua
Buddha. Mereka yang mencari Jalan
ke-Buddha-an haruslah, demi keuntungan mereka sendiri, selalu
menghormati Dharma Sejati. Inilah Ajaran semua Buddha.
Ketujuh
Buddha, Sang Bhagava, mengajarkan tujuh Vinaya Sūtra untuk memotong semua
kekotoran batin dan menghilangkan semua kesesatan selamanya sehingga makhluk
hidup dapat terbebas dari semua belenggu dan memasuki Nirvāṇa.
Untuk
mengikuti kata-kata Bijaksanawan Agung dan Śīla yang dihormati oleh
Arhat—inilah praktik para siswi.
Ketika
Sang Bhagava akan memasuki Parinirvāṇa, belas kasih yang besar dibangkitkan di
dalam diriNya dan Ia mengumpulkan kumpulan monastik bersama dan memberikan
instruksi ini:
“Jangan
berkata setelah Parinirvāṇa-Ku bahwa praktek murni tidak memiliki pelindung.
Sekarang Aku telah mengajarkan Prātimokṣa Sūtra dan Vinaya yang sangat baik,
anggaplah hal ini sebagai Sang Bhagava setelah Parinirvāṇa-Ku.“
Jika
Sūtra ini tetap bertahan di dunia, Buddha Dharma akan tersebar luas, dan karena
tersebar luas, Nirvāṇa dapat dicapai.
“Kegagalan
dalam menjaga Prātimokṣa Sūtra dan melaksanakan Poṣadha sebagaimana mestinya
seperti terbenamnya matahari, ketika kegelapan menyelimuti seluruh dunia.“
"Lindungilah
dan jagalah selalu Śīla, seperti halnya seekor Yak melindungi ekornya. Tetaplah
selalu bersama dalam harmoni sesuai dengan kata-kata Sang Buddha."
Aku
telah membacakan Prātimokṣa Sūtra dan Poṣadha bagi kumpulan telah lengkap.
Sekarang Aku mendedikasikan semua jasa dari pembacaan Prātimokṣa Sūtra sehingga
semua makhluk dapat mencapai Kebuddhaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar