法句譬喻經 [Fǎ jù pì yù jīng] (T 211)
Dharmapada
ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin
Kuno oleh Bhiksu Faju 法炬,
dan Fali 法立 selama tahun-tahun Kekaisaran
Huidi 惠帝 (290–306 M)
dari Dinasti Jin Barat 西晉
di Luoyang. Dikenal juga dengan judul 法句本末經 [Fǎ jù běn mò jīng],
法句喩經 [Fǎ jù yù jīng], 法喩經 [Fǎ yù jīng],
dan 法句譬經 [Fǎ jù pì jīng]. Ditulis dalam tiga puluh
sembilan bab yang terbagi dalam empat buku, Dharmapada ini, seperti 法句經 [Fǎ jù jīng]
(T 210), memiliki hubungan yang erat dengan Dhammapada dari Kanon Pāli, dan
sekitar dua pertiga dari teks ini sama dengan T 210. Dharmapada ini terdiri
dari teks komentar yang ditambahkan pada syair-syair Dharmapāda. Versi
terjemahan ini berasal dari terjemahan Inggris edisi Suttacentral yang telah
diedit dan dimodernisasi oleh Yasoj dan Ayya Vimala. Teks aslinya diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh Samuel Beal pada tahun 1878 yang dipublikasikan
oleh Trübner & CO. Teks aslinya (buku ‘The
Buddhist Canon, Commonly Known as Dhammapada, With Accompanying Narratives’)
dapat dilihat di sini. Saya (Arya
Karniawan) yang menerjemahkan Dharmapada ini. Dharmapada ini tidak pernah
dipublikasikan kemanapun selain di sini. Jika terdapat kesalahan dalam
terjemahan ini, jangan sungkan komen di kolom komentar. Copyright Dharmapada
ini adalah:
Translated
by Arya Karniawan, 2025.
Diterjemahkan
dari teks milik Samuel Beal.
Anda
dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan
karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2)
Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk
terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks
lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika
tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Prepared
by Arya Karniawan.
###
Buku Pertama – Bab 1 – 8.
###
無常品第一
[Wú cháng pǐn dì yī] - 1. Ketidak-kekalan (Aniccatā).
[1] Perumpamaan
pertama dalam bagian ini menceritakan bahwa Deva Śakra pada suatu kesempatan
terlahir ke dalam keluarga seorang pengrajin tembikar, sebagai keturunan
keledai betina yang memutar penggilingan, keledai itu, yang sangat gembira
dengan calon keturunan, menendang tumitnya ke atas, dan memecahkan semua kendi
dan pot yang dibuat oleh tuannya. Atas kejadian ini, lelaki itu, mengambil
sebilah tongkat, memukul binatang itu sedemikian rupa, sehingga janin yang baru
terbentuk itu hancur, dan calon keturunannya pun terputus. Pada kesempatan itu
Sang Buddha mengucapkan syair-syair ini—
[1.1]
“Apapun yang terkondisi (sanskāra)
tidak akan bertahan lama. Itulah sebabnya terdapat istilah “berkembang” dan
“menua.” Seseorang dilahirkan, lalu ia meninggal. Oh, sungguh bahagia terbebas
dari kondisi ini! Karena kehidupan manusia hanyalah bagaikan wadah tanah liat
yang dibuat di suatu pabrik tembikar; Dibentuk dengan kehati-hatian, semuanya
berakhir pada kehancuran.”
Deva Śakra,
setelah mendengar syair-syair ini, mencapai tingkat kesucian pertama, dan
memperoleh kedamaian.
[2] Pada suatu
kesempatan, Sang Buddha berdiam di negeri Śrāvastī (Sewet). Raja Prasenajit sedang menyelenggarakan upacara pemakaman
ibu surinya, yang berusia lebih dari sembilan puluh tahun. Selagi pulang, ia
datang ke tempat di mana Sang Buddha berada dan memberi hormat kepada-Nya. Pada
kesempatan ini, Sang Guru Agung itu berkata demikian (setelah bertanya tentang
alasan kunjungan tersebut): “Terdapat empat hal, O Rāja! Yang sejak dulu hingga sekarang telah menjadi
penyebab kekhawatiran dan ketakutan manusia—Ketakutan akan usia tua, penyakit,
kematian, dan kesedihan akibat kematian. Sial! Kehidupan manusia hanyalah
seperti hal-hal yang mengalami kehancuran yang terlihat di sekitar kita; Hari
ini mereka berkembang, esoknya mereka lenyap. Seperti halnya air dari lima
sungai yang terus mengalir tanpa henti siang dan malam, demikian pula halnya
dengan manusia—Kehidupannya akan terus memudar.” Dan kemudian Sang Bhagavantnt
mengucapkan syair-syair ini dan berkata—
[1.2]
“Seperti halnya air sungai yang terus mengalir dengan cepat, dan sekali pergi,
tidak akan pernah kembali, demikianlah kehidupan manusia. Apa yang telah pergi
tidak akan pernah kembali.”
Setelah Sang Buddha
menjelaskan lebih lanjut tentang hal ini, Raja dan para pelayannya meninggalkan
kesedihan mereka, dan, dipenuhi dengan kegembiraan, memasuki “Sang Jalan.”
[3] Pada suatu
kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Hutan Bambu dekat Rājagriha,
Beliau sedang berkhotbah di kota tersebut, dan selagi pulang bersama para
pengikut-Nya, Beliau bertemu dengan seorang pria yang sedang menggiring
sekawanan sapi gemuk dan berkulit lembut menuju gerbang kota. Sehubungan dengan
hal ini, Sang Bhagavant mengangkat topik tersebut, dan berkata demikian:
[1.3]
“Seperti halnya seorang pria dengan tongkat di tangannya yang terus mengarahkan
dan menggembalakan sapi, demikian pula usia tua dan kematian, mereka juga
mengawasi kehidupan (menuju) kehancuran; Dan dari semua yang mereka awasi,
tidak ada satu pun, dari kelas apa pun, pria atau wanita, kaya atau miskin,
yang pada akhirnya akan menua dan lenyap. Setiap siang dan malam merenggut
sedikit ruang dari setiap orang yang terlahir; Terdapat penuaan (secara)
bertahap selama beberapa tahun dan semuanya lenyap, seperti halnya air pada
suatu kolam yang terputus (atau habis).”
Sang Buddha
setelah tiba di hutan, dan setelah mencuci kaki-Nya dan merapikan jubah-Nya,
duduk; Pada kesempatan ini, Bhiksu Ānanda dengan penuh hormat meminta Sang
Buddha untuk menjelaskan syair yang baru saja diucapkan-Nya, yang dikisahkan
oleh Sang Bhagavant bahwa pemilik sapi yang baru saja dilihat-Nya, setiap hari
menggiring mereka keluar menuju padang rumput dan memberi makan, agar ketika
mereka sudah gemuk dan dalam kondisi baik, mereka dapat dibunuh satu per satu.
“Demikianlah,” tambah-Nya, “Nasib semua yang hidup; Seperti itulah mereka
berkembang biak untuk sesaat dan kemudian mati.” Karena hal ini, lebih dari dua
ratus Śrāvaka memperoleh kemampuan batin, dan menjadi Rahat.”
[4] Pada suatu
kesempatan ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, di Taman
Anāthapindada, seorang Brahmachārin tertentu, yang telah kehilangan seorang
putri tunggalnya, berusia sekitar empat belas atau lima belas tahun, sangat
cantik dan amat dicintai, (ia) hampir kehilangan akal sehatnya karena dukacita,
setelah mendengar kabar tentang kebijaksanaan dari Yang Suci (Sang Buddha),
datang kepada-Nya di mana Beliau berada, dan mengungkapkan penyebab
ketidak-bahagiaannya, yang kemudian Sang Guru mengangkat diskusi-Nya, dan
berkata—"Terdapat empat hal di dunia, Brahmachārin! Yang tidak dapat
bertahan selamanya, dan apakah keempat hal itu? Berpikir bahwa kita telah
memperoleh sesuatu: Yang akan bertahan lama, seyogyanya akan kita lihat bahwa
hal itu tidak akan bertahan lama. Menjadi kaya, seyogyanya kemiskinan akan
datang. Menjadi bersatu dan sepakat, akan ada perpecahan dan perpisahan.
Menjadi kuat dan sehat, namun akan datang kematian" Dan kemudian Sang Bhagavant
menyatakan syair-syair ini—
[1.4]
“Yang tampak kekal akan binasa; Yang tinggi akan direndahkan; Di mana terdapat
kesepakatan, di situ akan terjadi perpecahan; Dan di mana terdapat kelahiran,
di situ akan terjadi kematian."
Pada saat itu,
sang Brahmachārin menerima pencerahan, dan setelah mencukur rambut dan memakai
jubah seorang Bhiksu, ia dengan cepat menjadi seorang Rahat.
[5] Pada suatu
kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta, dekat
Rājagriha, terdapat seorang pelacur terkenal di kota itu, yang disebut
"Lien-hwa" (Pundarī, atau Padma) yang paling cantik rupanya, dan
keanggunannya tidak tertandingi. Wanita ini, yang telah lelah dengan
kehidupannya, memutuskan untuk bergabung dengan Sang Buddha dan menjadi seorang
Bhiksunī. Karena alasan itulah ia berjalan menuju ke tempat di mana Sang Buddha
berada, dan setelah setengah mendaki gunung, ia berhenti sejenak di sebuah
sumber air untuk minum; Ketika mengangkat air ke mulutnya, ia melihat wajahnya
terpantul di sumber air, dan ia tidak dapat tidak memperhatikan kecantikannya sendiri
yang tak tertandingi, kelembutan kulitnya, rambutnya yang kemerahan, bentuk
tubuhnya yang anggun. Ketika melihat dirinya sendiri demikian, ia mengubah
pikirannya, dan mengatakan—"Haruskah seseorang yang terlahir secantik
diriku akan meninggalkan dunia ini dan menjadi seorang petapa?— Tidak! Lebih
baik biarlah aku menikmati kesenanganku dan merasa puas"—Atas hal ini ia
bersiap untuk berbalik dan pulang. Namun saat itu Sang Buddha, melihat
kesempatan itu, dan mengetahui bahwa Pundarī berada dalam kondisi yang dapat
diselamatkan (beralih keyakinan), segera mengubah Dirinya menjadi Seorang
Wanita Cantik, jauh lebih menawan dari Pundarī. Ketika bertemu saat mereka
berpapasan, pelacur itu kagum dengan kecantikan Wanita Asing itu, dan bertanya
kepada-Nya, "Dari mana Engkau datang, Wanita Cantik? Dan di mana
keluarga-Mu tinggal? Dan mengapa Engkau bepergian sendiri tanpa pelayan?"
Orang Asing itu menjawab, "Aku akan kembali ke kota di sana, dan meskipun
kita tidak saling kenal, marilah kita bergabung dan pergi bersama."
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mereka hingga tiba di sebuah sumber
air di jalan, di mana mereka duduk. Pada akhirnya, setelah percakapan itu
berakhir, (Wanita) Asing yang cantik itu, yang sedang bersandar di lutut
Pundarī, tertidur. Setelah beberapa saat, pelacur itu, menatap ke arah
Temannya, terkejut melihat wujud-Nya berubah total; Ia telah menjadi menjijikkan
seperti seonggok mayat, wajah-Nya pucat, gigi-Nya hilang, rambut-Nya rontok
dari kepala-Nya, serangga-serangga yang menjijikkan memakan daging-Nya. Karena
takut dan terkejut melihat pemandangan itu, Pundarī bergegas meninggalkan
tempat itu, dan sambil berteriak, "Betapa singkatnya kecantikan
manusia!" Ia bergegas kembali lagi ke arah Sang Buddha berdiam, dan
setelah tiba, Ia bersujud di kaki-Nya, dan menceritakan kepada-Nya apa yang
telah dilihatnya, sehubungan itu Sang Buddha menjelaskan kepadanya
demikian—"Terdapat empat hal, Pundarī, yang pasti akan menyebabkan
kesedihan dan kekecewaan. Bahwa seseorang, betapapun cantiknya, pasti akan
menjadi tua; Bahwa seseorang, betapapun kuatnya, (pasti) akan mati; Bahwa
seseorang yang terikat dalam ikatan hubungan dan kasih sayang yang erat, masih
harus terpisahkan dari mereka yang dicintainya; Dan kekayaan itu, yang ditumpuk
dalam limpahan demikian, masih harus tersebar dan hilang.” Dan kemudian Sang Bhagavant
mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—
[1.5]
“Usia tua juga mendatangkan hilangnya semua ketertarikan jasmani; Melalui
penuaan dan penyakit seseorang binasa; Tubuhnya bungkuk, dan dagingnya susut,
inilah akhir kehidupan. Apalah gunanya tubuh ini ketika ia terbaring membusuk
di tepi arus Sungai Gangga? Tubuh ini hanyalah penjara, rumah dari penyakit,
dan penderitaan dari usia tua dan kematian. Bersenang dalam kesenangan, dan
menjadi tamak setelah memanjakan diri sendiri, sama saja dengan menambah
kumpulan kekotoran, melupakan perubahan besar yang harus terjadi, dan
ketidak-kekalan kehidupan manusia. Dengan tanpa putera yang dapat diandalkan,
tanpa ayah ataupun saudara; Kematian mendesak di depan pintu—Tanpa seorang
teman (kerabat) untuk dimintai bantuan.”
Pelacur itu
setelah mendengar syair-syair ini, mampu melihat bahwa kehidupan hanyalah
seperti bunga, bahwa tiada yang kekal kecuali Nirvāna (tanpa kondisi), dan
karena itulah ia memohon izin untuk menjadi seorang Bhiksunī, yang langsung
dikabulkan, ia mencukur rambutnya dan mengenakan jubah, dan segera menjadi
seorang Rahat, dan semua yang mendengar Sabda Sang Buddha dipenuhi dengan
kegembiraan yang tak terlukiskan.
[6] Dahulu kala,
ketika Sang Buddha berdiam di Hutan Bambu dekat Rājagriha, membabarkan Dharma,
terdapat seorang Brahmachārin tertentu dan tiga saudaranya, yang telah
memperoleh mata dewa, dan karenanya mereka tahu bahwa setelah tujuh hari mereka
akan mati. Karena hal tersebut mereka berkata, "Dengan kekuatan batin
kita, kita dapat memutar-balikkan surga dan bumi, menyentuh matahari dan bulan,
memindahkan gunung, dan menahan derasnya arus air, namun bagaimanapun juga kita
tidak dapat menghentikan kematian." Kemudian salah satu dari mereka
berkata, "Aku akan mencari di kedalaman samudera, Setan ketidak-kekalan
ini dan menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku akan membelah
Gunung Sumeru menjadi dua, dan masuk ke sana untuk mencari Setan
ketidak-kekalan ini untuk menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku
akan naik ke angkasa yang terjauh untuk mencari Setan ketidak-kekalan dan
menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku akan memasuki perut bumi
untuk mencarinya dan menghancurkannya." Raja negeri itu setelah mendengar
tentang orang-orang ini, mendatangi Sang Buddha untuk menanyakan tentang hal
tersebut, yang kemudian dijelaskan oleh Sang Bhagavant bahwa terdapat empat hal
yang, selama kita berada di dunia (yin),
tidak dapat dihindari. (1.) Tidaklah mungkin menghindari kelahiran dalam bentuk
apa pun; (2.) Setelah dilahirkan, tidaklah mungkin menghindari usia tua; (3.)
Ketika tua, tidaklah mungkin menghindari kelemahan dan penyakit; (4.) Dalam
keadaan demikian, tidaklah mungkin menghindari kematian—Dan kemudian ia
mengucapkan syair-syair ini dan berkata—
[1.6]
“Tidak di angkasa, tidak di kedalaman samudera, tidak di celah tersembunyi di
pegunungan, ataupun di tempat lain mana pun kematian dapat dihindari. Dengan
mengetahui dan merenungkan hal ini Bhiksu tersebut dapat mengalahkan bala
tentara Māra dan memperoleh pembebasan dari kelahiran dan kematian.”
###
法句譬喻經教學品第二 [Fǎ jù pì yù jīng jiào xué pǐn dì èr] - 2. Mendorong pada
Kebijaksanaan.
[1] Pada bab ini
terdiri dari dua puluh sembilan syair, yang dirancang untuk membangkitkan
semangat para Bhiksu yang lesu agar kembali semangat dalam Jalan Pelatihan.
Empat gātha pertama disabdakan oleh Sang Buddha di Jetavana, di Śrāvastī. Pada
kesempatan ini, seorang siswa yang ceroboh telah meninggalkan Samgha para Śrāvaka,
ketika ia sedang berkhotbah tentang perlunya upaya dalam menyingkirkan
rintangan dan belenggu yang menghalangi kemajuan dalam kehidupan suci. Setelah
kembali ke dalam Kutinya, ia memanjakan dirinya dalam tidur dan sifat
feminim—tidak mengetahui bahwa setelah tujuh hari ia akan meninggal. Kemudian
Sang Buddha menasehatinya demikian:
[2.1]
“Sial! Bangunlah engkau! Mengapa tidur di sana? Seorang rekan laba-laba, dan
serangga melata. Tersembunyi dari pandangan, melakukan ketidak-murnian, dengan
menyedihkan tertipu oleh karakteristik tubuh (atau Kehidupan), bahkan seperti
orang yang takut akan amputasi lengannya yang membusuk, batinnya berat, dan
penderitaannya besar, berusaha melupakan dalam tidur, namun tetap tidak dapat
melarikan diri dari ingatan akan malapetakanya yang akan datang—Seperti itulah
kasusmu. Tetapi orang yang berusaha mengejar kebijaksanaan sejati, tidak
merasakan dukacita demikian, selalu merenungkan Dharma, ia melupakan dirinya
sendiri—Dengan memiliki pemahaman benar tentang Kebenaran ia semakin bijaksana
setiap harinya, ia menjadi seorang penerang di dunia; Bagaimanapun ia
dilahirkan, kebahagiaannya seribu kali lipat lebih besar, dan pada akhirnya ia
akan terhindar dari setiap cara kelahiran yang jahat.”
Mendengar
syair-syair ini Bhiksu itu bangkit dan datang ke hadapan Sang Buddha, dan
bersujud di hadapan-Nya; Kemudian Sang Bhagavant bertanya kepadanya apakah ia
mengetahui kelahiran-kelahiran sebelumnya; Bhiksu itu mengakui bahwa karena
bersenang dalam nafsu ragawinya, ia tidak mampu menembus misteri-misteri
tersebut—Kemudian Sang Guru menjelaskan bagaimana pada masa satu Buddha
sebelumnya ia pernah menjadi seorang Śrāvaka, tetapi telah menyerah pada
pemanjaan diri dan tidur—Karenanya ia telah dilahirkan selama ribuan tahun,
sebagai seekor serangga, dan dalam bentuk-bentuk serupa lainnya—Tetapi sekarang
Karma buruknya telah habis, ia telah terlahir kembali sebagai seorang manusia
dan menjadi seorang Bhiksu. Mendengar hal ini sang Bhiksu, yang diliputi
penyesalan, menyesali perbuatan buruknya dan menjadi seorang Rahat.
[2] Dahulu kala,
ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, di Jetavana, ketika berkhotbah
demi manfaat keempat kelompok pengikut-Nya, terdapat seorang Bhiksu muda, yang
diliputi oleh pikiran-pikiran bodoh, tidak mampu menahankan nafsu keinginannya.
Merasa sedih akan hal ini, ia memutuskan untuk menggunakan pisau, dan untuk
tujuan tersebut ia pergi ke rumah Penyokongnya (dānapati), dan setelah memperoleh sebilah pisau, ia menuju ke
kutinya, dan duduk di tempat duduknya, ia mulai merenungkan kejahatan yang
diakibatkan oleh kekuatan pemuasan nafsu keinginan. Sang Buddha yang mengetahui
pikirannya, dan menyadari bahwa ia diliputi oleh ketidak-tahuan akan penyebab
sebenarnya dari perilakunya, (yakni) pikiran yang tidak terkendali, menuju ke
kutinya, dan menanyakan apa yang akan ia lakukan. Sehubungan dengan hal ini,
Bhiksu tersebut menjelaskan bahwa ia tidak mampu menahankan nafsu keinginan,
dan sebagai akibatnya untuk maju dalam Jalan Pelatihan, ia hendak menggunakan
pisau. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha menjelaskan bahwa ketidak-pastian
dan keragu-raguan merupakan penyebab hambatan dalam kemajuan Latihan, bahwa hal
utama yang harus dilakukan adalah mengendalikan pikiran, dan menahankan
pemikiran-pemikiran, yang tanpanya, hanya sekadar menyingkirkan
penyebab-penyebab kejahatan eksternal adalah tidak berguna, dan kemudian Beliau
menyatakan syair-syair berikut—
[2.2]
“Pelajarilah dahulu untuk menyingkirkan Sang Ibu, dan mengikuti satu-satunya
pemandu sejati (Menteri), singkirkan semua bawahan penggantinya, inilah
(perilaku) orang yang benar-benar tercerahkan.”
Dan kemudian
menjelaskan bahwa “Keragu-raguan” adalah Sang Ibu, dan dua belas (kondisi)
sebab-akibat adalah bawahannya, sementara Kebijaksanaan adalah satu-satunya
Menteri, Bhiksu tersebut memperoleh pencerahan, dan menjadi tenang.
[3] Dahulu kala,
ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta dekat Rājagriha dan
membabarkan Dharma tentang Tanpa Kondisi (yakni Nirvāna) kepada banyak
kumpulan, terdapat seorang Bhiksu tertentu yang pembangkang dan keras kepala,
yang tidak terpengaruh oleh kata-kata Sang Guru. Sehubungan dengan hal ini Sang
Buddha, yang mengetahui pikirannya, mengirimnya ke belakang pegunungan untuk
bermeditasi di bawah sebatang pohon di tengah jurang, yang dikenal sebagai
jurang "Hantu Jahat"—Dengan tujuan untuk menyingkirkan rintangan yang
mencegahnya mencapai Nirvāna. Sesampainya di tempat itu ia terus-menerus
waspada dan terganggu oleh suara-suara dari hantu-hantu jahat, walaupun ia
tidak melihat wujud apa pun, dan karena itulah alih-alih mencapai keadaan
tenang yang stabil, ia lebih senang untuk kembali ke tempat asalnya—Tetapi
setelah merenungkan bahwa suara-suara yang didengarnya hanyalah suara
hantu-hantu jahat yang ingin mengusirnya dari tujuannya, ia (memutuskan) tetap
pada tempatnya. Kemudian Sang Buddha mendekatinya ketika ia sedang duduk, duduk
di sampingnya dan berkata—"Apakah engkau tidak takut tinggal sendirian di
tempat terasing ini?" Ia menjawab—"Pada awalnya ketika aku baru saja
memasuki sisi Gunung ini, aku sejenak diliputi dengan ketakutan—Tetapi kemudian
seekor gajah liar datang ke tempatku duduk, dan berbaring dekat denganku di bawah
sebatang Pohon, tertidur, seolah-olah ia sangat bergembira karena dapat menjauh
dari kawanan lainnya, dan merasa tenang (dan demikianlah aku merasa
tenang)." Kemudian Sang Buddha, yang mengetahui dengan sempurna keadaan
pada kasus tersebut, berkata, "Gajah itu adalah pemimpin dari kawanan yang
berjumlah lima ratus ekor, yang karena takut akan disergap oleh kawanannya,
menemukan kegembiraannya dalam perpisahan, dan kehidupan yang terasing—Lebih
jauh lagi, jika demikian, (bukankah) engkau seharusnya mencari kebahagiaan
dalam meninggalkan rumahmu, dan mempraktikkan dalam keterasingan aturan-aturan
kehidupan pertapaan?" Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini—
[2.3]
“Mengetahui bahwa kawanan yang bodoh tidak akan pernah dapat mencapai
Kebijaksanaan Sejati, orang bijaksana lebih memilih keterasingan demi menjaga
dirinya sendiri dalam perilaku bajik, tidak berhubungan dengan orang bodoh;
Bersenang dalam menjalankan tugas moral (Sila) dan mempraktekkan perilaku
demikian yang sesuai dengan cara hidup ini, tidak memerlukan seorang teman atau
rekan dalam praktik demikian—Sendirian dalam kebajikan, tanpa dukacita,
seseorang yang bersenang seperti gajah liar (yang lari dari kawanan).”
Mendengar
kata-kata ini Bhiksu itu memperoleh ketenangan, dan "Hantu-hantu
Jahat" juga, yang mendengarkan dan memahaminya, sangat tergugah hingga
mereka bersumpah tidak akan lagi mengganggu para petapa yang sedang menyendiri,
dan kemudian Sang Buddha dan Bhiksu itu kembali ke tempat mereka.
[4] Pada suatu
kesempatan ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana di Śrāvastī,
membabarkan (Dharma) demi manfaat para Deva dan manusia, dua murid baru dari
Rājagriha berkeinginan untuk pergi ke tempat di mana mereka dapat menemui-Nya.
Di antara kedua negara terdapat gurun yang tak berpenghuni dan tidak dapat
ditinggali. Karena terbakar oleh panas matahari dan sangat kelelahan, mereka
akhirnya tiba di sebuah kolam air dan duduk, dengan penuh semangat ingin
memuaskan dahaga mereka. Namun mereka menyadari bahwa air itu penuh dengan
serangga, dan (mereka) menjadi ragu untuk minum. Pada akhirnya salah seorang
berkata, “Jika aku tidak minum, aku tidak akan dapat menemui Sang Buddha,
tujuannya untuk membenarkan rencananya,” dan demikianlah ia meminum air itu. Yang
lain, merenungkan bahwa salah satu Dharma Sang Buddha adalah cinta kasih
universal, yang melarang pembunuhan, menolak untuk minum, dan ketika orang
pertama melanjutkan perjalanannya sendirian, orang kedua meninggal dunia dan
terlahir kembali di alam Surga. Kemudian (dengan) mengingat keadaan di
kehidupan lampaunya, ia segera turun dan datang ke tempat di mana Sang Buddha berada
dan memberi hormat kepada-Nya. Dalam waktu singkat, orang pertama juga tiba di
tempat itu, dan ketika Sang Buddha bertanya kepadanya dari mana ia datang dan
di mana temannya berada, ia dengan sedih menceritakan semua keadaan yang telah
terjadi, yang mana Sang Guru, menunjuk ke Deva yang cemerlang, yang turun dari
Surga, meyakinkan orang pertama bahwa ini adalah mantan temannya; Ia telah
menjaga Dharma dan terlahir di alam Surga, dan merupakan orang pertama yang
melihat tubuh Sang Buddha; Tetapi engkau "Yang mengatakan engkau
melihat-Ku, namun telah melanggar Dharma-Ku, (engkau) tidak terlihat oleh-Ku,
namun seolah-olah engkau berada sepuluh ribu Li jauhnya, sedangkan orang ini
yang telah menjaga Dharma, berdiam selamanya di hadapan-Ku," dan Sang Bhagavant
mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—
[2.4]
“Murid yang taat yang tanpa gagal mengikuti aturan-aturan, di alam mana pun (Surga
atau Bumi) adalah mulia, ia akan memperoleh keinginan dan tujuannya
(harapannya). Namun, di sisi lain, murid yang kurang taat, tidak menjaga
aturan-aturan dengan ketat, di alam mana pun akan sangat menderita, meratapi
sumpah-sumpah sebelumnya (yang tidak terpenuhi). Namun keduanya, jika mereka
tekun dalam penyelidikan dan pencarian, akan selamat dari kesesatan, walaupun
dengan susah payah.”
Mendengar
kata-kata ini, murid yang telah (berbuat) salah itu sangat gembira, dan
mencapai Pencerahan.
###
法句譬喻經多聞品第三 [Fǎ jù pì yù jīng duō wén
pǐn dì sān] - 3. Murid,
atau “Śrāvaka.”.
[1] Pada suatu
ketika di Śrāvastī terdapat seorang istri perumah tangga tertentu, walaupun ia
miskin, tidak memiliki prinsip Dharma, dan tidak memiliki keyakinan. Sang
Buddha melihat kondisinya dan berbelas kasihan. Beliau melihat bahwa, setiap
kali para siswa-Nya berpindapatta di kota, mereka tidak mendapatkan apa pun
kecuali hinaan di depan pintu rumah wanita ini. Ketika seorang Bhiksu berdebat
dengannya, dengan alasan bahwa ia hanya meminta derma makanan sebagai tugas
pertapaan, wanita itu berkata, "Jika engkau sedang sekarat, aku tidak akan
memberimu apa pun, apalagi sekarang engkau sehat dan bugar." Mendengar
ini, Bhiksu itu, berdiri di hadapannya, mengubah kondisinya seperti seseorang
yang benar-benar mati. Berbagai fungsi tubuhnya berhenti, dan dari mulut dan
hidungnya keluar masuk serangga-serangga yang menjijikkan seraya dengan
kematian. Ketika melihat hal yang mengerikan ini, wanita itu jatuh pingsan, dan
terbaring di sana. Sementara itu, Bhiksu itu, dengan kekuatan batinnya, pergi
dari sana sejauh beberapa Li, dan, (sambil) duduk di bawah sebatang pohon,
menenangkan dirinya pada perenungan. Sementara suami wanita itu kembali, dan
menemukan istrinya dalam kondisi demikian, menanyakan alasannya, karena itu ia
menjawab bahwa ia telah ditakut-takuti oleh seorang Bhiksu kejam. Mendengar itu
sang suami karena amarah mengambil busur dan pedangnya, lalu pergi mengejar dan
membalas dendam kepada Bhiksu itu. Sesampainya di tempat di mana Bhiksu itu
berada, Bhiksu itu dengan kekuatan batinnya mengelilingi dirinya dengan sebuah
tembok, walaupun di dalamnya terdapat gerbang untuk mendekat, tetapi semuanya
tertutup. Suami yang marah tersebut, karena tidak berhasil mendapatkan Bhiksu
itu, memintanya untuk membuka gerbang; Bhiksu itu kemudian menjawab,
"Singkirkan busur dan pedangmu dan engkau boleh masuk." Mendengar hal
ini pria itu berpikir, "Bahkan jika aku meninggalkan senjataku, aku akan
dapat melukainya dengan tinjuku." Karena itu, ia meletakkan busur dan
pedangnya, lalu meminta izin untuk masuk lagi. Namun, Bhiksu itu berkata,
"Gerbang ini tidak dapat dibuka, karena busur dan pedang yang harus engkau
singkirkan bukanlah senjata yang engkau bawa di tanganmu, tetapi permusuhan dan
kedengkian yang memenuhi batinmu; Singkirkanlah hal ini dan engkau boleh
masuk.” Mendengar demikian lelaki itu, yang tersadar akan keburukannya, baik ia
maupun istrinya menyesal atas rencana jahat mereka dan (mereka) menjadi
murid—pada saat itulah siswa Sang Buddha yang tercerahkan (Manusia Bōdhi, atau
manusia Dharma) mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—
[3.1]
“Sang Murid (Śrāvaka) yang mampu memegang (Sila) dengan tekun, seperti sebuah
tembok yang sulit dirubuhkan, mengelilingi dirinya dengan perlindungan Dharma,
dan demikianlah dengan cara terbaik (ia) menjaga dirinya sendiri dalam keamanan
kebijaksanaan. Sang murid, dengan pikirannya yang tercerahkan, dengan
pencerahan ini menambah timbunan kebijaksanaannya, dan dengan demikian
memperoleh pandangan sempurna tentang misteri Dharma (Kebenaran), dan
demikianlah (ia) tercerahkan, ia mempraktikkan tugas-tugas panggilannya dengan
damai. Sang murid, (yang) mampu menyingkirkan (penyebab) dukacita, dalam
ketenangan sempurna menikmati kebahagiaan, dan dengan kebajikan membabarkan
Dharma yang Tanpa Kondisi, dirinya memperoleh Nirvāna. Dengan mendengar, ia
mengenali Aturan-aturan Kehidupan Suci; Ia melepaskan keragu-raguan dan menjadi
kokoh dalam keyakinan. Dengan mendengar, ia mampu untuk menolak semua yang
bertentangan dengan Dharma (Kebenaran), dan demikianlah (ia) maju, ia tiba di
tempat di mana tidak terdapat lagi Kematian.”
Mendengar
syair-syair tersebut suami dan istrinya, menyaksikan tanda-tanda menakjubkan
Sang Buddha yang ditunjukkan pada diri Sang Murid tersebut, menepuk dada mereka
dalam penyesalan, dan tak terhitung banyaknya ribuan insan, seperti mereka, di
seluruh dunia, beralih keyakinan dan terselamatkan.
[2] Dahulu kala,
ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kausāmbī, di sebuah Vihāra bernama Mei-yin
(suara merdu), dan membabarkan Dharma demi manfaat empat golongan, terdapat
seorang Brahmachārin tertentu, yang tak tertandingi dalam hal pengetahuan
Dharma, yang karena tidak menemukan seorang pun yang setara dengannya dalam
berargumen, terbiasa membawa, ke mana pun ia pergi, sebuah Obor menyala di
tangannya. Suatu hari seseorang di pasar suatu kota tertentu, melihatnya
demikian, bertanya kepadanya alasan perilaku anehnya, karena itu ia
menjawab—"Dunia ini begitu gelap, dan manusia begitu terdelusi, sehingga
aku membawa Obor ini untuk menerangi sejauh yang kubisa." Pada saat ini
Sang Buddha mengubah diri-Nya menjadi seorang Pria Terkemuka (Hakim), yang,
duduk di kursi kantor-Nya di pasar, dengan cepat memanggil sang Brahmachārin,
"Apa yang engkau lakukan di sana! Apa yang engkau lakukan (dengan Obor
itu)?" Kepada-Nya Brahmachārin itu menjawab, “Semua manusia begitu
terbungkus dalam ketidaktahuan dan kegelapan, sehingga aku membawa Obor ini
untuk menerangi mereka.” Kemudian Sang Hakim bertanya lagi kepadanya, “Dan
apakah engkau begitu terpelajar sehingga mengetahui empat risalah (Vidyā) yang
terdapat di tengah-tengah Kitab Suci, yaitu, risalah tentang Literatur
(Śabdavidyā); Risalah tentang “Tubuh Surgawi dan Jalannya; Risalah tentang
“Pemerintahan;” dan risalah tentang “Seni Militer”? Ketika sang Brahmachārin
dipaksa untuk mengakui bahwa ia tidak mengetahui hal-hal ini, ia membuang
Obornya, dan Sang Buddha muncul dalam Tubuh Agung-Nya, mengucapkan syair-syair
ini—
[3.2]
“Jika siapapun, apakah ia terpelajar ataupun tidak, menganggap dirinya begitu
hebat hingga merendahkan orang lain, ia bagaikan seorang buta yang memegang
sebatang lilin—Membutakan dirinya sendiri, ia menerangi yang lain.”
Mendengar
syair-syair ini, sang Brahmachārin ingin menjadi murid Sang Buddha, dan
diterima dengan baik.
[3] Dahulu kala
terdapat seorang bangsawan, bernama Su-ta (Sudatta?), yang berdiam di Śrāvastī,
yang telah menjadi seorang murid Sang Buddha dan memasuki Jalan Pertama. Ia
memiliki seorang sahabat bernama "Hau-shi" (Sudana?), yang bukanlah
seorang yang berkeyakinan. Ketika sahabatnya itu jatuh sakit, dan setelah
meminta petunjuk (ia) tidak menemukan pertolongan dari siapa pun, sahabatnya
Sudatta memutuskan untuk menghubungi Sang Buddha dan meminta-Nya untuk mengunjungi
sahabatnya. Sesuai dengan permohonan tersebut Sang Buddha datang, dan, dengan
tubuh-Nya yang agung bagaikan matahari, memasuki rumah Sudana, dan duduk.
[Beliau kemudian membabarkan khotbah tentang penyakit moral yang karenanya
orang-orang menderita, dan kemudian mengucapkan syair-syair ini]:
[3.3]
“Tugas Matahari adalah memberikan cahaya; Tugas seorang Ayah, adalah bersikap
baik, dan berbelas-kasihan; Tugas seorang Penguasa adalah untuk mengendalikan
dan memerintah; Tugas seorang yang Bijaksana (seseorang yang berkeyakinan)
adalah mendengarkan instruksi; Seorang tabib menyibukkan diri dengan
memperpanjang hidup orang-orang; Seorang prajurit menginginkan kemenangan; Dan
karena itulah Agama (Dharma) berada dalam kepemilikan kebijaksanaan. Perjalanan
mengarungi kehidupan yang bahagia adalah kegembiraan dunia; Seorang teman
adalah untuk berkonsultasi; Memilih seorang teman (pendamping) adalah untuk
kesempatan yang membutuhkannya; Untuk melihat kecantikan wanita adalah
kegembiraan kamar; Bukti kebijaksanaan adalah dalam berbicara; Untuk menjadi
Penguasa seseorang harus dapat membedakan dengan benar; Untuk menghilangkan
keragu-raguan dan kesalahan, seseorang harus mengerahkan cahaya kebijaksanaan
tertinggi (Bōdhi); Untuk mencari pondasi dari ketenangan dan keheningan,
seseorang harus dapat dengan penuh keyakinan memegang (mematuhi) Harta Karun
Dharma (Kitab Suci). Ia yang mendengarkan (Dharma) dapat memberikan manfaat
pada dunia saat ini, istrinya, anak-anaknya, dan teman-temannya, dan di alam
selanjutnya mencapai kebahagiaan yang terbaik. Dengan tetap mendengarkan
(Dharma), ia mencapai kesempurnaan pengetahuan mulia, dan mampu untuk
membedakan dan menjelaskan rahasia Kebenaran; Dan demikianlah ia mengendalikan
dirinya sendiri tanpa pelanggaran; Menerima Dharma, ia memuji apa yang benar,
dan dengan demikian memperoleh pembebasan dari semua penyakit (moral), ia
menghilangkan semua penyebab dukacita dan kesakitan, ia menyingkirkan semua
kemungkinan dari kemalangan atau malapetaka, ia selalu berhasil dalam menemukan
dasar untuk kedamaian dan kenyamanan: Demikianlah akibat yang mengikuti dalam
kehidupan ia yang banyak mendengar' (Sang Śrāvaka).”
Setelah
mendengarkan khotbah ini, orang sakit itu berkeyakinan pada Dharma dan menjadi
seorang murid.
[4] Dahulu kala,
di selatan Rājagriha terdapat sebuah gunung besar, berjarak sekitar 200 Li dari
kota. Sepanjang gunung ini terdapat sebuah jalan setapak yang dalam dan sepi,
yang menjadi jalan menuju India Selatan. Lima ratus pencuri telah menetap di
tempat kotor ini, yang biasanya terdapat pembunuhan dan perampokan semua pengembara
yang melalui jalan itu. Raja telah dengan sia-sia mengirim (pasukan) untuk
menangkap mereka, namun mereka selalu lolos. Sang Buddha, yang berdiam di
sekitar tempat itu, dan mempertimbangkan perkara orang-orang ini, bahwa mereka
tidak memahami sifat (konsekuensi) perilaku mereka, dan bahwa walaupun Beliau
datang ke dunia untuk mengajarkan manusia, namun mata mereka belum melihat-Nya,
atau telinga mereka belum mendengar kabar tentang Dharma-Nya, Beliau memutuskan
untuk pergi mengunjungi mereka. Karena itulah Beliau mengubah dirinya menjadi
seorang Pria yang terlihat kaya, di atas seekor kuda yang dihias dan dilengkapi
dengan baik, dengan pedang dan busur-Nya, dengan kantong-kantong perak dan emas
di pelana kuda-Nya, dan batu-batu berharga menghiasi keberanian kuda-Nya. Saat
memasuki tempat kotor itu (Beliau) membunyikan kudanya dengan keras. Mendengar
suara itu 500 pencuri itu bersiap dan mengintai Pengembara itu, dengan
berteriak, "Kita belum pernah mendapat rampasan seperti ini; bersiaplah, dan
tangkap Dia!" Maka mereka bersiap mengepung Pengembara itu, dengan maksud
untuk mencegah-Nya kabur; Namun Beliau, dengan satu tembakan busur-Nya,
berhasil menembus 500 orang itu, dan dengan satu tebasan pedang-Nya melukai
mereka.
Saat mereka
jatuh ke tanah, mereka berteriak, "Deva siapakah ini? Oh Ia yang menarik
anak panah ini? Dan meredakan kesakitan yang luar biasa dari luka-luka yang
kita alami!" Mendengar hal ini Pengembara itu mulai menjelaskan bahwa
kesakitan seperti itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesakitan yang
disebabkan oleh dukacita yang menguasai dunia, dan luka-luka dari mereka yang
tidak berkeyakinan dan (memiliki) keragu-raguan, dan bahwa tidak ada yang dapat
menyembuhkan luka-luka seperti itu kecuali kebijaksanaan yang diperoleh dari
perhatian (mendengarkan) dengan sungguh-sungguh terhadap Dharma; Dan kemudian
Beliau menyatakan syair-syair ini dan berkata:
[3.4]
“Tidak ada luka yang menyakitkan seburuk dukacita—Tidak ada anak panah yang
menembus tajam setajam kebodohan. Tidak ada yang dapat menyembuhkan hal-hal ini
kecuali perhatian yang sungguh-sungguh terhadap instruksi Dharma. Dari sinilah
orang buta memperoleh penglihatan, yang terdelusi menjadi tercerahkan.
Orang-orang dibimbing dan diarahkan dengan hal ini, seperti halnya mata yang
diberikan kepada mereka yang tanpa mata. Inilah, (yang) kemudian, mampu
menghilangkan ketidak-yakinan, menghilangkan dukacita, memberikan kegembiraan;
Kebijaksanaan tertinggi adalah milik mereka yang 'Mendengar'. Inilah gelar bagi
mereka yang telah memperoleh jasa kebajikan terbesar (yang utama untuk
dihormati).”
Mendengar hal
ini para pencuri menyesali kehidupan jahat mereka, dan anak-anak panah, dengan
sendirinya, meninggalkan tubuh mereka, dan luka-luka mereka pun sembuh. Mereka
kemudian menjadi murid, dan memperoleh ketenangan dan kedamaian.
###
法句譬喻經篤信品第四 [Fǎ jù pì yù jīng dǔ xìn pǐn dì sì] - 4. Hanya
Keyakinan.
[1] Dahulu kala, di tenggara Śrāvastī,
terdapat sebuah sungai besar, sangat lebar dan dalam, di tepiannya terdapat
sebuah desa, terdiri dari sekitar 500 rumah, para penduduknya belum mendengar
berita tentang Pembebasan, dan akibatnya tenggelam sepenuhnya dalam keduniawian
dan pemuasan diri.
Sang Bhagavant, Yang selalu memikirkan Pembebasan
manusia, memutuskan untuk pergi ke desa ini dan membabarkan (Dharma) kepada
orang-orang. Karena itulah, Beliau datang ke tepi sungai, dan duduk di bawah
sebatang pohon. Orang-orang desa, melihat Kemuliaan penampilan-Nya, mendekat
dengan hormat untuk memuja-Nya. Setelah mereka selesai melakukannya, Sang
Buddha mulai membabarkan (Dharma) kepada mereka, namun mereka tidak
mempercayai-Nya. Karena hal ini Sang Buddha memunculkan seorang pria yang
datang dari arah selatan sungai, di mana airnya sangat dalam dan arusnya kuat,
berjalan di permukaan sungai itu; Dan begitu tiba, ia mendekati Sang Buddha,
dan, menundukkan kepala, memuja-Nya. Semua orang, melihat peristiwa ini,
bertanya kepada orang itu dengan keheranan, dari mana ia datang, “Karena kami
tidak pernah sepanjang hidup kami melihat peristiwa seperti ini, seorang pria
berjalan di permukaan air. Kalau begitu, beritahu kami, dengan tipu daya
apa hal ini dilakukan, dan bagaimana
engkau tidak terhanyut oleh arus.” Orang itu menjawab: “Aku berdiam di tepi
selatan sungai, dan selalu hidup dalam ketidak-tahuan dan kebodohan sampai aku
mendengar bahwa Sang Buddha berada di sini mengajarkan Jalan Pembebasan, karena
itulah, (aku) datang ke tepi sungai, dan tidak punya waktu untuk menunggu
diseberangkan, aku bertanya kepada orang-orang apakah sungainya dalam, dan
apakah aku tidak dapat menyeberang tanpa sebuah perahu. Mereka berkata, 'Oh ya!
Engkau dapat menyeberang tanpa rasa takut.' Mendengar hal itu aku berjalan
menyeberang, karena aku percaya. Hanya ini dan tidak ada hal lain yang mungkin
aku lakukan.” Mendengar hal itu Sang Buddha berkata: “Hal itu diucapkan dengan
baik—diucapkan dengan baik. Keyakinan seperti milikmu sendiri dapat
menyelamatkan dunia dari jurang besar kelahiran dan kematian yang
terus-menerus; Hanya keyakinan demikian yang dapat memungkinkan mereka untuk
berjalan menyeberangi daratan yang kering (menuju pantai seberang),” dan
kemudian Beliau mengucapkan syair-syair ini:
[4.1] “Keyakinan dapat
menyeberangi banjir, bahkan seperti nakhoda kapal (mengemudikan perahunya
menyeberangi samudera); Teruslah maju dalam menaklukkan dukacita, kebijaksanaan
mendaratkan kita di pantai seberang. Orang bijaksana yang hidup dengan
keyakinan, dalam moralitas kehidupan sucinya, menikmati sukacita tanpa diri,
dan melepaskan semua belenggu. Keyakinan memegang Kebijaksanaan Sejati (atau
menemukan Sang Jalan); Dharma menuntun pada Pembebasan dari kematian; Dari
mendengar munculah pengetahuan, yang membawa Pencerahan; Keyakinan, ketaatan
yang luas (pada aturan moralitas), adalah Jalan Kebijaksanaan: Dengan teguh
bertahan dalam hal ini, seseorang menemukan jalan keluar dari kesakitan, dan
dengan demikian dapat menyeberang dan keluar dari jurang kehancuran.”
Mendengar syair-syair ini, para penduduk desa
dipenuhi dengan kegembiraan, dan dengan menerima lima peraturan, mereka mampu
untuk berkeyakinan kepada Sang Buddha.
[2] Ketika Sang
Buddha (masih) berada di dunia terdapat seorang bangsawan tertentu bernama Su-lo-to
(Śraddha?), yang sangat kaya, yang karena satu prinsip keyakinannya telah
memutuskan untuk menjamu Sang Buddha dan murid-murid-Nya pada hari kedelapan
setiap bulan di masa Varsa (yaitu, bulan-bulan musim hujan); Tetapi pada saat
itu tidak ada seorang pun putra atau cucunya yang muncul, karena sibuk dengan
urusan lain. Pada akhirnya bangsawan itu meninggal, dan karena tiada seorang
pun anak yang peduli untuk menjamu Sang Buddha, seorang anak pelayan bernama
Pi-lo-to (Vraddah?) memutuskan untuk melakukannya. Akibatnya, setelah meminjam
500 keping uang, ia mulai mengundang Sang Guru dan 1200 murid-Nya ke rumahnya.
Setelah menjamu dan para tamu pergi, ia pergi beristirahat; Lihatlah! Ketika terbangun
keesokan paginya, ia mendapati rumahnya penuh dengan perak dan emas dan semua
benda berharga.
Saat pergi
menemui Sang Buddha, Sang Guru menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari
keyakinannya, dan kemudian (Beliau) mengucapkan syair-syair berikut:
[4.2]
“Keyakinan adalah kekayaan! Ketaatan adalah kekayaan! Kesederhanaan juga adalah
kekayaan! Mendengarkan (Dharma) adalah kekayaan, dan begitu pula Kedermawanan!
Kebijaksanaan adalah kekayaan tujuh kali lipat. Berjalan dengan keyakinan, yang
selalu murni, seseorang memahami Kebenaran (Dharma). Kebijaksanaan seperti
halnya sendal pada kaki mereka yang berjalan. Menerima instruksi dengan hormat,
dan tidak melupakannya, hal ini, siapa pun ia, dan bagaimanapun (ia) terlahir,
adalah kekayaan: Tiada pertanyaan apakah ia laki-laki atau perempuan, hanya hal
ini yang akan mendatangkan perolehan pada akhirnya. Siapa pun yang bijaksana
akan memahami kebenaran ini.”
Setelah
mendengar syair-syair ini, Pi-lo-to menjadi mampu untuk berkeyakinan, dan
menjadi seorang murid; Begitu pula istrinya, dan anak-anaknya.
###
法句譬喻經戒慎品第五 [Fǎ jù pì yù jīng jiè shèn pǐn dì wǔ] - 5.
Berhati-hati Menaati Peraturan Moralitas.
[1] Sekitar
empat puluh atau lima puluh Li di sebelah selatan Benares dahulunya terdapat
sebuah gunung di mana lima orang Bhiksu berdiam, mempraktekkan aturan
pertapaan. Setiap pagi mereka biasa meninggalkan kediaman mereka dan
berpindapatta, lalu kembali ke gunung, tetapi, terkadang, mereka baru kembali
pada larut malam, setelah itu mereka mempraktekkan meditasi secara ketat. Dan
juga, walaupun tahun demi tahun telah berlalu, mereka belum juga mencapai
Tujuan (Bōdhi). Sang Buddha, yang merasa kasihan dengan kondisi mereka,
mengubah Dirinya menjadi Seorang Pertapa, dan pergi ke kediaman mereka,
menanyai mereka, dengan berkata. Apakah kalian telah mencapai tujuan dari
praktek pertapaan kalian atau belum? Dan kemudian para petapa itu menjelaskan
bahwa, walaupun mereka telah secara ketat mematuhi aturan pertapaan mereka, dan
setiap hari mempraktikkan pelepasan diri dan meditasi, namun mereka gagal
mencapai tujuan akhir, yaitu Kedamaian dan Ketenangan Sejati. Karena hal itu,
Orang Asing itu meminta mereka untuk tetap tinggal di kediaman mereka pada
keesokan harinya, dan biarlah Ia membawakan mereka makanan, dan dengan demikian
mereka dapat menenangkan diri mereka sejenak; Dan demikianlah selama beberapa
hari berturut-turut Ia mencukupi kebutuhan mereka, sementara mereka sendiri
merasa puas, dan mampu bangkit dari sekadar perhatian (terhadap tugas-tugas)
formalitas menjadi tugas (melatih pengembangan diri); Dan kemudian Orang Asing
itu mengucapkan syair-syair ini, dan berkata:
[5.1]
“Seorang Bhiksu, yang menaati aturan kehidupan suci dengan ketat, yang menjaga
dan mengendalikan semua inderanya, mengambil makanan secukupnya, tidur sesuai
kebutuhan, dengan aturan ini ia menundukkan pikirannya, menjaga pikirannya
dalam kendali yang ketat, tercerahkan secara internal melalui kebijaksanaan dan
meditasi, tidak pernah meninggalkan Jalan yang benar (Jalan Bōdhi): Demikianlah
batinnya tercerahkan, menjalankan aturan perilaku yang benar, puas dengan
karakteristik Kebijaksanaan Sejati, melangkah maju dalam Jalan tugas
sehari-hari, orang ini, yang tenang dalam dirinya sendiri, akan menghilangkan
semua dukacita.”
Setelah Orang
Asing itu berkata demikian, lihatlah! Tubuh Sang Buddha yang agung bersinar,
dan kelima orang itu berkeyakinan, dan memperoleh kondisi Rahat.
###
法句譬喻經惟念品第六 [Fǎ jù pì yù jīng wéi niàn pǐn dì liù] - 6.
Dalam Merefleksikan.
[1] Dahulu kala,
ketika Sang Buddha masih berada di dunia, seorang Raja tertentu bernama
Fo-kia-sha (Vaksha) adalah teman dari Raja Bimbisāra; Namun, pada awalnya, ia
tidak berkeyakinan terhadap Sang Buddha, seperti halnya Bimbisāra dulu. Pada
suatu kesempatan, Vaksha telah mengirimkan tujuh payung berharga (chatta) kepada sahabatnya Bimbisāra.
Setelah menerimanya, Bimbisāra mempersembahkannya kepada Sang Buddha, dan
berkata, “Sahabatku, Raja Vaksha, telah memberikanku payung-payung berharga
ini! Mohon izinkan aku mempersembahkannya kepada-Mu, dengan maksud agar
batinnya berkeyakinan dan matanya terbuka untuk melihat Sang Buddha, sehingga
ia dapat menerima Dharma-Mu dan menghormati Samgha sebagai hadiahnya.” Kemudian
Sang Buddha menjawab: “Rāja Bimbasāra,
tulislah Sūtra tentang dua belas Nidāna, dan berikan buku tersebut kepada raja
itu sebagai hadiah atas tujuh payung berharga; Dan batinnya akan tercerahkan
(atau, menerima pembebasan karena Keyakinan).” [Maka Bimbisāra pun
melakukannya, dan sahabatnya, pada akhirnya, memiliki keyakinan dan menjadi
seorang murid; Dan akhirnya menyerahkan kerajaan kepada putranya. Setelah gagal
mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Sang Buddha, meskipun ia sering
menemui-Nya saat berpindapatta di jalan-jalan Rājagriha, Sang Guru akhirnya
memanggil seorang Bhiksu untuk menemui raja, dan menjelaskan kepadanya bahwa
dengan merenungkan pada hasil kerjanya ia dapat benar-benar melihat Sang
Buddha; Dan karena itu Beliau mengucapkan syair-syair berikut]:—
[6.1]
“Seseorang yang berlindung kepada Sang Buddha, orang inilah yang memperoleh
keuntungan sejati. Karena itulah, siang dan malam, ia harus selalu merenungkan
Sang Buddha, Dharma, dan Samgha. Dengan benar-benar Tercerahkan demikian, orang
ini adalah murid Sang Buddha. Dengan demikian, ia terus merenungkan tiga Harta,
dan pada ketidak-kekalan, dan tubuhnya sendiri, merenungkan tentang moralitas,
tentang kedermawanan, tentang kekosongan atas segala hal di sekitarnya, dan
ketidak-nyataannya (tanpa tanda-tanda), inilah pokok-pokok yang perlu
dipertimbangkan.”
[Mendengar
syair-syair ini, Vaksha memasuki jalan ketiga (Anagamin), dan memperoleh
ketenangan.]
###
法句譬喻經慈仁品第七 [Fǎ jù pì yù jīng cí rén pǐn dì qī]- 7.
Tentang Cinta Kasih atau Belas Kasihan (Mettā).
[1] Dahulu kala, Sang Buddha berdiam di sebuah negeri yang berjarak
sekitar 500 Li dari Rājagriha, penuh dengan pegunungan. Di pegunungan ini
terdapat sebuah klan tertentu yang beranggotakan sekitar 122 orang, yang hidup
dengan berburu, dan memakan daging dari binatang yang mereka bunuh. [Sang
Buddha pergi ke tempat itu dan mengalihkan keyakinan para wanita, yang
ditinggalkan sendirian di siang hari, sementara suami mereka berburu, dan
kemudian mengucapkan syair-syair berikut]:
[7.1] “Ia yang berperi-kemanusiaan tidak membunuh
(atau, tidak membunuh adalah berperi-kemanusiaan); Ia selalu mampu
menyelamatkan hidupnya (sendiri?). Prinsip (chu)
ini tidak akan pernah hilang; Siapa pun yang mematuhinya, tidak akan ada
malapetaka yang menimpa orang itu. Kesopanan, pengabaian terhadap hal-hal
duniawi, tidak menyakiti siapa pun, tanpa tempat untuk gangguan—Inilah
karakteristik dari Surga Brahma (atau Deva Brahma). Selalu berbelas kasihan
terhadap yang lemah; Murni, sesuai dengan Ajaran Sang Buddha; Mengetahui kapan sudah
cukup; Mengetahui kapan harus berhenti,—Inilah cara untuk terhindar dari
(terulangnya) Kelahiran dan Kematian.”
[Para wanita, setelah mendengar syair-syair ini, menjadi berkeyakinan,
dan saat para pria kembali, walaupun pada awalnya mereka ingin membunuh Sang
Buddha, mereka ditahan oleh istri mereka; Dan, setelah mendengarkan kata-kata
cinta kasih-Nya, mereka juga menjadi berkeyakinan]. Dan kemudian Beliau
mengucapkan syair-syair ini:
[7.2] “Terdapat sebelas keuntungan yang menyertai ia
yang mempraktikkan belas kasih, dan bersikap lembut kepada semua makhluk hidup;
Tubuhnya selalu sehat (bahagia); Ia diberkati dengan tidur yang damai, dan ia
juga tenang ketika sedang belajar; Ia tidak memiliki mimpi buruk, ia dilindungi
oleh Surga (Para Deva), dan dicintai oleh manusia; Ia tidak diganggu oleh
hal-hal beracun, dan terhindar dari kejahatan perang; Ia tidak terluka oleh api
atau air; Ia sukses di mana pun ia tinggal, dan setelah meninggal ia pergi ke
surga Brahma. Inilah sebelas keuntungan itu.”
Setelah mengatakan syair-syair ini, baik para pria maupun wanita diterima
dalam kelompok murid-murid-Nya, dan memperoleh kedamaian.
[2] Dahulu kala, terdapat seorang raja tertentu yang sangat kuat, yang
disebut Ho-meh (kegelapan-cinta), yang memerintah di suatu distrik di mana
belum terdengar kabar tentang Sang Buddha atau Dharma-Nya yang penuh belas
kasih; Namun praktik keagamaan yang umum dilakukan orang-orang saat itu adalah
pengorbanan dan berdoa kepada para deva untuk perlindungan. Saat itu ibu suri
dari sang raja sedang sakit, para tabib dengan sia-sia telah mencoba
obat-obatan mereka, semua orang bijaksana dipanggil untuk mendiskusikan
mengenai cara terbaik untuk memulihkan kesehatannya. Setelah beberapa tahun, di
mana kesehatannya tidak membaik, ibu suri memanggil 200 Brahmana yang terkenal,
dan meminta mereka untuk menggunakan kemampuan batin mereka dalam menemukan
cara pemulihan dari matahari, bulan, dan bintang-bintang. Para Brahmana ini
menjawab: "Tidak ada gunanya melakukan itu, karena tanda-tanda surgawi
sedang bertentangan dan tidak menguntungkan." Ketika Raja bertanya kepada
mereka apa yang harus dilakukan, mereka menjawab, “Di luar kota haruslah
dipilih suatu tempat yang nyaman, datar dan rata, dan tanpa polusi, dan
korbankan seratus ekor binatang dari berbagai jenis yang dipersembahkan pada
empat bukit (atau pada empat penjuru), matahari, bulan, dan bintang-bintang,
dengan seorang anak kecil sebagai persembahan puncak pada Surga. Kemudian Raja
sendiri, bersama ibunya, pergi ke tempat itu untuk ikut dalam pengorbanan,
bintang-bintang dan benda-benda langit dapat ditenangkan. [Atas hal ini, Sang
Buddha, tergerak oleh belas kasihan, datang ke tempat itu, dan membabarkan sebuah
khotbah tentang “Cinta kasih kepada semua makhluk,” dan mengucapkan syair-syair
ini]:
[7.3] “Jika seseorang hidup selama seratus tahun, dan
mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya untuk persembahan kepada para deva,
mengorbankan gajah-gajah dan kuda-kuda, dan hal-hal lainnya, semua ini tidaklah
setara dengan satu tindakan cinta kasih yang murni dalam menyelamatkan
kehidupan.”
[Akibat dari khotbah ini dan pemandangan tubuh agung Sang Buddha, mereka
berkeyakinan, dan menjadi murid.]
###
法句譬喻經言語品第八 [Fǎ jù pì yù jīng yán yǔ pǐn dì bā] - 8. Tentang Ucapan (Percakapan).
[1] Dahulu kala, ketika rāja Fo-kia-sha (Vaksha?) memasuki kota
Rājagriha untuk meminta berpindapatta dari pintu ke pintu, di gerbang kota
terdapat seekor sapi, yang baru saja melahirkan anaknya, yang telah berbalik
dan menabrak pemiliknya hingga mati. Sapi itu telah dijual kepada seorang
pejalan kaki, ia mengikatkan tali di tanduknya, dan ingin menariknya maju;
Tetapi sapi itu, yang menyerang dari belakang, membunuh orang ini juga;
Kemudian putranya, dalam kemarahan, membunuh binatang itu, dan
memotong-motongnya, memamerkannya untuk dijual di pasar. Saat itu seseorang
yang lewat, membeli kepala binatang itu, dan membawanya pergi bersamanya,
ketika ia duduk untuk beristirahat, mengikat (kepala itu) di dahan pohon tepat
di atas tempat ia beristirahat; Tiba-tiba, talinya terputus, kepala itu jatuh,
dan tanduknya, menembus kepala orang yang berada di bawahnya, membunuhnya juga.
Rāja Bimbisāra, mendengar kejadian aneh ini, bagaimana seekor sapi itu membunuh
tiga orang dalam satu hari, datang kepada Sang Buddha untuk menanyakan
kepadanya tentang penyebab sebelumnya dari tragedi ini, kemudian Sang Buddha
menceritakan kisah berikut ini: "Dahulu kala terdapat tiga pedagang yang,
datang ke suatu kota tertentu untuk bertransaksi bisnis, menetap di rumah
seorang wanita tua yang tanpa teman, dan menginap di sana. Karena tidak puas
dengan tempat tinggal mereka, ketiga orang itu meninggalkan rumah itu tanpa
membayar, dan ketika wanita tua itu mencari mereka dan menemukan mereka, mereka
memaki-maki wanita itu dengan kejam, karena itulah wanita tersebut mengucapkan
sumpah ini: 'Semoga aku terlahir di tahun-tahun selanjutnya dalam kondisi yang
dapat membunuh kalian bertiga.' "Sekarang," Sang Buddha menambahkan,
"Ketiga orang yang dibunuh oleh sapi itu adalah ketiga pedagang ini, dan
sapi itu sendiri adalah wanita tua itu," dan kemudian Beliau mengucapkan
syair-syair ini:
[8.1] “Dari ucapan yang jahat dan kasar serta sikap
arogan, menghina dan merendahkan orang lain, kebencian dan dendam tumbuh dan
meningkat. Dengan menahan perkataan seseorang, dan bersikap sopan kepada
seseorang, dengan kesabaran dan kesopanan, akibat-akibat jahat ini akan hancur
dengan sendirinya. Kehidupan masa depan seseorang bergantung pada ucapannya,
dan karena itulah dari ucapan yang jahat munculah kehancuran diri sendiri.”
[Mendengar syair-syair ini, Bimbisāra dipenuhi dengan kegembiraan, dan
ia beserta para pengikutnya pun pergi.]
###
Buku Pertama Selesai.
###
Buku Kedua – Bab 9 – 19.
◎法句譬喻經雙要品第九 [Fǎ jù pì yù jīng shuāng yào pǐn dì jiǔ] - 9. Syair
Berpasangan.
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, raja
negeri tersebut, yang bernama Prasenajit, datang ke tempat di mana Sang Buddha
berdiam, dan turun dari keretanya, menghampiri Sang Guru dengan penghormatan
yang terdalam, dan mengundang Beliau pada keesokan harinya untuk memasuki kota
dan terlibat dalam acara ramah-tamahnya, dengan tujuan untuk menunjukkan kepada
orang-orang kualitas Dirinya dan Dharma-Nya, agar mereka dapat berkeyakinan
kepada-Nya.
Setelah Sang Buddha menyetujuinya, keesokan harinya Beliau memasuki kota
bersama seluruh murid-Nya, dan setelah melewati empat persimpangan jalan kota,
Beliau tiba di tempat yang telah ditentukan dan duduk. Setelah makan, Beliau
memulai, atas permintaan raja, untuk membabarkan Dharma di tengah-tengah
perempatan jalan besar, ketika itu para pendengar-Nya sangat banyak. Pada saat
itu terdapat dua orang pedagang yang mendengarkannya. Salah satu dari mereka
merefleksikan, “Betapa bijaksananya raja dengan memberitakan Dharma seperti ini
secara terbuka! Betapa luas penerapannya, betapa mendalamnya karakter mereka!”
Yang lain berpikir demikian, “Betapa bodohnya raja, membawa orang ini
kemari untuk membabarkan Dharma! Bagaikan anak sapi yang mengikuti sapi, kesana
dan kemari, terikat pada kendaraan yang ditariknya, meringkik ketika berjalan—Demikianlah
Sang Buddha ini mengikuti raja.” Kedua pedagang itu setelah pergi dari kota
sekitar tiga puluh Li, tiba di sebuah penginapan di mana mereka bermalam. Saat
minum anggur pedagang yang baik ditahan dan dilindungi oleh empat deva penjaga
yang mengawasi dunia. Sebaliknya, yang lain dihasut oleh hantu jahat untuk
terus minum, hingga ia terkalahkan oleh tidur, dan berbaring di jalan dekat
penginapan. Pagi-pagi sekali, kereta-kereta pedagang meninggalkan tempat itu,
sang kusir tidak menyadari pedagang itu tidur di jalan, pedagang itu terlindas
sampai mati oleh roda-roda kereta.
[Pedagang lainnya, setelah datang ke negeri yang jauh, dipilih dengan
seekor kuda suci yang bersujud kepadanya untuk menggantikan raja; Dan
berdasarkan itu ia naik takhta. Setelah itu, mengingat kejadian yang aneh telah
terjadi, ia kembali dan mengundang Sang Buddha untuk mengunjunginya, dan membabarkan
Dharma kepada rakyatnya—Pada kesempatan itu Sang Bhagavānt menyatakan alasan
kematian pedagang yang berpikiran jahat itu, dan kemakmuran bagi ia yang
berpikiran bijaksana, dan kemudian mengatakan syair-syair berikut]:
[9.1] “Pikiran adalah asal mula segala sesuatu;
Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah penyebab. Jika ketika berpikir terdapat
pikiran-pikiran buruk, maka ucapannya buruk, perbuatannya juga buruk, dan
dukacita akibat keburukan mengikuti orang tersebut, seperti halnya roda kereta
mengikutinya (atau ia) yang menariknya. Pikiran adalah asal mula segala
sesuatu; pikiranlah yang mengatur, pikiranlah yang merancang. Jika di dalam
pikiran terdapat pikiran-pikiran bajik, maka ucapannya bajik dan perbuatannya
juga bajik, dan kebahagiaan yang akibat dari perilaku demikian mengikuti orang
tersebut, seperti halnya bayangan yang menyertai tubuh.”
Mendengar syair-syair ini, raja dan para menterinya, dengan banyak orang
lainnya, menjadi berkeyakinan, dan menjadi murid.
[2] Dahulu kala, di belakang pegunungan Gridhrakūta, di dekat Rājagriha,
terdapat sebuah desa, dihuni oleh sekitar tujuh puluh keluarga, semuanya adalah
Brahmana. Sang Buddha berkeinginan untuk meyakinkan orang-orang ini, datang ke
tempat itu dan duduk di bawah sebatang pohon. Orang-orang yang melihat wibawa
dari kehadiran-Nya, dan penampilan tubuh-Nya yang agung, mengerumuni-Nya. Saat
itulah Beliau bertanya kepada para Brahmana berapa lama mereka tinggal di
gunung ini, dan apakah pekerjaan mereka. Mereka menjawab, "Kami telah tinggal
di sini selama tiga puluh generasi, dan pekerjaan kami adalah menggembalakan
ternak." Ketika ditanya lebih jauh tentang keyakinan mereka, mereka
berkata, "Kami memberikan penghormatan dan pengorbanan kepada matahari dan
rembulan, hujan (air), dan api, sesuai dengan musim-musim yang ada. Jika salah
satu dari kami meninggal, kami berkumpul dan berdoa agar ia dapat terlahir
kembali di alam Brahma dan terhindar dari transmigrasi lagi." Sang Buddha
menjawabnya—"Ini bukanlah jalan yang aman, dan dengan jalan ini kalian
tidak dapat terbebas dari tiga jalan jahat dalam kelahiran yang akan datang.
Jalan yang benar adalah mengikuti-Ku, menjadi petapa sejati, dan mempraktikkan
pengendalian diri sepenuhnya dengan tujuan untuk memperoleh Nirvāna;" dan
kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:
[9.2] “Mereka yang menganggap kebenaran sebagai hal
yang tidak benar, dan menganggap hal yang tidak benar sebagai kebenaran, hal
ini semata-mata adalah menganut pandangan sesat dan tidak akan pernah menuntun
pada keuntungan sejati. Namun dalam mengetahui apa yang benar sebagai
kebenaran, dan menganggap apa yang salah sebagai kesalahan, inilah kebenaran
yang sempurna, dan hal ini akan mendatangkan keuntungan sejati. Di seluruh
dunia ini terdapat kematian—Tidak ada kedamaian di tiga alam. Para Deva,
memang, menikmati masa sukacita; Namun kebahagiaan mereka juga harus berakhir,
dan mereka juga harus mati! Merenungkan hal ini sebagai kondisi dari semua
makhluk (dunia), bahwa tidak ada yang terlahir yang tidak mati, dan, oleh karena
itu, berkeinginan untuk terhindar dari kelahiran dan kematian, hal ini untuk
melatih diri sendiri dalam Kebenaran Dharma.”
Tujuh puluh Brahmana yang mendengar syair-syair ini, langsung
berkeinginan menjadi Bhiksu; Dan saat diterima oleh Sang Buddha, rambut mereka
rontok, dan mereka memperlihatkan penampilan murid sejati. Kemudian mereka
semua berangkat kembali ke Vihāra, dan ketika di jalan pikiran-pikiran tertentu
tentang istri dan keluarga mengganggu mereka, sementara pada saat yang sama
hujan lebat menghalangi perjalanan mereka. Kemudian Sang Buddha, mengetahui
pikiran mereka, membuat sekitar sepuluh rumah muncul di pinggir jalan, tempat
mereka ingin berteduh; Tetapi saat memasuki salah satu rumah segera terlihat
bahwa hujan masuk melalui atap, dan hanya terdapat sedikit perlindungan dari
basah, karena itulah Sang Buddha menyatakan syair-syair ini, dan berkata:
[9.3] “Seperti halnya suatu atap rumah yang tidak
terpasang dengan baik, maka air hujan akan menemukan arah masuk dan merembes ke
dalam, demikian pula ketika pikiran tidak dikendalikan dengan saksama, maka
keinginan (seksual) akan segera menggerogoti semua tekad bajik kita. Namun
seperti halnya atap yang tertutup rapat maka air tidak dapat merembes, demikian
pula dengan mengendalikan pikiran seseorang, dan bertindak dengan penuh
perenungan, keinginan seperti demikian tidak akan muncul atau mengganggu kita.”
Tujuh puluh Brahmana, setelah mendengarkan syair-syair ini, walaupun
teryakinkan bahwa keinginan mereka tercela, namun tidak sepenuhnya terbebas dari
keraguan, walaupun demikian mereka tetap melanjutkan perjalanan.
Saat mereka berjalan mereka melihat beberapa kertas harum di tanah, dan
Sang Buddha mengambil kesempatan untuk menarik perhatian mereka ke kertas itu;
Dan setelah ini, melihat beberapa isi perut ikan juga tergeletak di sekitarnya,
Beliau mengarahkan perhatian mereka ke bau busuknya, dan kemudian menyatakan
syair-syair ini, dan berkata:
[9.4] “Ia yang bergaul dengan yang rendah dan hina, ia
akan memiliki karakteristik yang sama seperti ia yang memegang suatu benda
busuk; Ia akan semakin buruk, dan tanpa alasan sama sekali, ia menyempurnakan
dirinya sendiri dalam kejahatan. Tetapi orang bijaksana (bergaul dengan yang
bijaksana) akan memiliki karakteristik yang sama, seperti bau harum yang
melekat pada ia yang memegangnya; Maju dalam kebijaksanaan, mempraktikkan
kebajikan, ia akan mencapai kesempurnaan, dan terpuaskan.”
Tujuh puluh Brahmana, setelah mendengar syair-syair ini, yakin bahwa
keinginan mereka untuk pulang dan menikmati kesenangan pribadi adalah noda
jahat yang melekat pada mereka, menyingkirkan pikiran-pikiran demikian, dan,
dengan melangkah maju, datang ke Vihāra, dan akhirnya memperoleh kondisi Rahat.
[3] Dahulu kala, ketika bangsawan Sudatta membeli dari pewaris tahta,
(pangeran) Jeta, tanah untuk sebuah Vihāra, di Śrāvastī, kemudian bangsawan
tersebut mengundang Sang Buddha dan para pengikutnya untuk terlibat dalam acara
ramah-tamahnya selama sebulan, dan khotbah-khotbah yang kemudian dibabarkan
oleh Sang Bhagavant, mengakibatkan, semua yang hadir memperoleh pencerahan, dan
Pangeran sendiri kembali dengan gembira ke Istana Timur.
Saat itu Virudhaka, saudara laki-laki pangeran, selalu berada di dekat
raja; Dan pada kesempatan ini Yang Mulia, beserta pengiringnya, dan para
perwira "istana setelahnya", mulai mengenakan jubah, dengan tujuan
untuk mengunjungi Sang Buddha. Setelah tiba ke tempat di mana Beliau berada,
mereka memberikan penghormatan kepada-Nya seperti biasa, dan dengan penuh
perhatian mendengarkan instruksi-Nya.
Sementara itu, Virudhaka, yang tetap tinggal, diundang oleh para pejabat
istana, karena ayahnya tidak ada, untuk menduduki takhtanya; Dan begitu duduk
di sana, ia tidak mau mengundurkan diri. [Akibatnya, ia mengirim (pasukan) dan
memerintahkan (agar) ayahnya, dan 500 pengikutnya, untuk dibunuh. Sang Buddha
pun menyatakan syair-syair berikut]:
[9.5] “Seseorang yang menyebabkan kegembiraan pada
saat ini, akan bergembira di kehidupan selanjutnya. Dengan hidup bermoral, ia
bergembira dua kali—Ia bergembira dan bangga; Melihat kebahagiaannya sendiri,
batinnya tenang. Ia bergembira sekarang, ia bergembira di kehidupan
selanjutnya; Melakukan apa yang benar, ia memiliki kegembiraan ganda; Ia
menikmati perlindungan devata (di sini), dan ia menerima hasilnya dan tenang
(di kehidupan selanjutnya).”
Kemudian Sang Buddha setelah meramalkan bahwa Virudhaka, setelah tujuh
hari, akan terjatuh ke neraka, menyatakan syair-syair ini:
[9.6] “Ia yang menyebabkan dukacita mengalami dukacita
di kehidupan selanjutnya. Berjalan dalam keburukan, ia menderita dua kali—Merenungkan
kejahatan yang telah dilakukannya, ia menderita; Melihat kesalahannya, ia lebih
menderita dalam prediksi di masa depan. Orang yang menyesal (bersedih)
sekarang, menyesal di masa depan. Karena perbuatan jahatnya ia berduka di kedua
dunia; Melihat perbuatan jahatnya sendiri bekerja, ia menanggung kesedihan
akibat kesalahan (di dunia ini), dan ia mewarisi kesedihan dari perbuatan
jahatnya (di alam nanti).”
Setelah Sang Buddha menjelaskan dengan panjang lebar kepada para hadirin
dan Pangeran Jeta, mengenai kebodohan dari ketamakan dan ambisi jahat, dan
Virudhaka setelahnya, sesuai dengan ramalan, jatuh ke dalam kondisi seseorang
yang tersesat, seluruh hadirin pun berkeyakinan, dan dibawa pada pengetahuan
kebenaran.
###
法句譬喻經放逸品第十 [Fǎ jù pì yù jīng fàng yì pǐn dì shí] - 10. Tentang Kecerobohan (Kesemberonoan).
[1] Dahulu kala, terdapat lima ratus pedagang, yang, setelah melakukan
perjalanan di pedalaman, kembali ke rumah mereka. Ketika melewati suatu
jalur tertentu yang dalam dan berbahaya
hantu-hantu jahat membuat mereka bingung sehingga, karena tidak dapat menemukan
jalan keluar, mereka pada akhirnya menjadi kelelahan karena kekurangan makanan
dan terbaring (lemas) dan meninggal, meninggalkan harta benda mereka berserakan
di pegunungan. Pada saat itu seorang Bhiksu tertentu, yang sedang mempraktekkan
pertapaan di daerah itu, melihat barang-barang berharga tergeletak di sana, berpikir
demikian dalam dirinya—"Aku telah berlatih dalam pelepasan keduniawian
selama tujuh tahun terakhir, dan gagal mencapai tujuanku. Aku akan membawa
barang-barang berharga ini dan kembali lagi ke rumah." Kemudian Sang
Buddha, yang menyadari kondisi Bhiksu ini, dan mengetahui bahwa ia akan
mencapai pembebasan, memunculkan seorang Bhiksunī, dengan memakai hiasan kepala
yang dihiasi permata. Ketika melihatnya, Bhiksu tersebut terkejut, dan berkata,
"Bagaimana mungkin engkau, seorang Bhiksunī, berhias seperti ini?" Ia
menjawab, “Tetapi bagaimana mungkin engkau, seorang Bhiksu, juga memiliki kekayaan
dan permata, yang mana hal tersebut terlarang bagi seseorang sepertimu?”—Dan
kemudian Bhiksunī itu menyatakan syair-syair berikut, dan berkata:
[10.1] “Seorang Bhiksu dengan tekun menaati
aturan-aturan (sesuai panggilannya). Seseorang yang ceroboh dan lalai dalam
hal-hal ini, mengumpulkan banyak dukacita. Ia yang dengan cermat memperhatikan
hal-hal kecil, akan mencapai hasil yang besar; Ia yang mengumpulkan perbuatan
jahat akan memasuki lubang api. Namun dengan menjaga Sila, maka kebahagiaannya
akan meningkat, dan kegembiraan akan mengikutinya, karena dengan lalai
menentangnya akan menyebabkan penyesalan dan kepahitan batin. Bhiksu yang mampu
menyingkirkan semua sisa-sisa kemelekatan duniawi (tiga dunia), orang tersebut
sungguh-sungguh dekat dengan Nirvāna.”
Kemudian Bhikshunī tersebut muncul kembali dalam wujud agung Sang
Buddha, Bhiksu tersebut, dipenuhi dengan rasa terkejut dan ketakutan, bersujud
di kaki-Nya, dan menyesali kecerobohan dan ketidak-tahuannya, bersumpah untuk
memperbaiki hidupnya dan menjalankan tugasnya dengan penuh kehati-hatian. Atas
hal ini, Sang Bhagavant segera melafalkan gāthā ini:
[10.2] “Walaupun seseorang mungkin sebelumnya ceroboh,
namun jika setelahnya ia dapat mengatur dan menahan dirinya, orang ini akan
menjadi penerang di (atau menerangi) dunia, dan semakin ia merenung semakin ia
akan bertekad (untuk berpengendalian diri). Seseorang mungkin telah melakukan
banyak kesalahan, namun jika ia memperbaiki dirinya dan menebus kejahatan
dengan melakukan kebajikan, orang ini akan menjadi penerang di dunia, dan
semakin ia merenung semakin bajiklah ia. Orang yang pada masa puncak hidupnya
meninggalkan rumahnya dan dengan sempurna mengajari dirinya sendiri dalam
Dharma Sang Buddha, orang ini bersinar di dunia seperti rembulan ketika ia
muncul dari awan. Orang yang di masa lalunya telah berbuat kejahatan, namun
setelahnya berhenti dalam pekerjaannya dan tidak melakukan kesalahan lagi—Orang
itu bersinar di dunia seperti rembulan ketika ia muncul dari awan.”
Mendengar kalimat ini, Bhiksu itu kembali bersujud di kaki Sang Buddha,
dan kembali ke tempat duduknya yang terasing di bawah sebatang pohon, berusaha
keras untuk mempraktikkan pengendalian diri dan perenungan, dan demikianlah ia
memulihkan landasan yang telah hilang, dan mencapai buah ke-Rahat-an.
###
法句譬喻經心意品第十一 [Fǎ jù pì yù jīng xīn yì pǐn dì shí yī] - 11.
Pikiran (Cittavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha (masih) berdiam di dunia, terdapat
seorang pertapa tertentu yang berdiam di bawah sebatang pohon di tepi suatu sungai.
Setelah berlatih sendiri dalam latihan pertapaan selama dua belas tahun, ia
masih belum dapat menyingkirkan pikiran-pikiran duniawi, atau untuk
menghilangkan ingatan akan kenikmatan-kenikmatan duniawi—Yaitu, yang dihasilkan
dari penglihatan, atau pendengaran, atau penciuman, atau pengecapan, atau
sentuhan, atau pikiran tentang sifat-sifat dari fenomena-fenomena di
sekelilingnya (dharma)—Dan
demikianlah setelah dua belas tahun ini ia masih belum berkeyakinan. Sang
Buddha, mengetahui kemampuan keyakinannya, mengubah Dirinya menjadi seorang
Bhiksu, dan datang ke pohon tempat ia duduk, dan menempati suatu tempat di
dekat (pohon) lainnya. Setelah beberapa saat, ketika bulan sedang bersinar,
lihatlah! Mereka melihat seekor kura-kura keluar dari sungai, dan datang ke
arah pohon; Pada saat yang sama seekor anjing sungai yang lapar datang dan
berusaha untuk menangkap kura-kura itu untuk memakannya. Namun sebelum ia
menerkam, kura-kura (itu) memasukkan kepala, ekor, dan kakinya ke dalam
cangkangnya, dalam keadaan aman, dan anjing itu tidak dapat menyakitinya. Namun
begitu anjing itu pergi, kura-kura itu keluar dari tempat persembunyiannya,
berjalan kembali seperti sebelumnya. Karena inilah pertapa itu memperhatikan ke
arah Bhiksu—"Kura-kura ini, karena ia memiliki perlindungan yang aman
(lit. 'sebuah tempurung keselamatan'), anjing itu menjadi kecewa dengan
makanannya." Dan Bhiksu itu menjawab—"Aku teringat dengan seorang
yang sangat berbeda dari hal ini. Orang ini, melupakan ketidak-kekalan dari
hal-hal yang bersifat duniawi, dan bersenang dalam enam utas kenikmatan indria,
dengan mudah menjadi korban Māra; Tubuhnya hancur, batinnya hilang, ia berputar
lagi melalui kelahiran berulang yang tanpa akhir, seorang korban dari dukacita
dan kesengsaraan yang disebabkan oleh pikirannya yang tidak terkendali; Dan
kemudian Beliau menyatakan gāthā berikut:
[11.1] "Tubuhmu ini akan segera kembali ke
tanah—Bentukmu hancur, batinmu pergi—Lalu mengapa, menginginkan tempat tinggal
demikian? Pikiranlah yang membuat tempat tinggalnya sendiri; Sejak awal,
pikiran yang memikirkan jalan kejahatan, pikiran sendiri yang menyebabkan
dukacitanya sendiri. Tidak lain adalah pikiran yang membuat (dukacitanya)
sendiri. Tidak seorang ayah atau ibu yang dapat berbuat begitu banyak; Jika
saja pikirannya diarahkan pada hal yang benar, maka kebahagiaan pasti akan
mengikutinya. Bersembunyi dari enam nafsu keinginan seperti kura-kura yang
menyembunyikan anggota tubuhnya, menjaga pikirannya seperti sebuah kota yang
dikelilingi oleh parit, maka orang bijaksana pasti akan menang dalam
perjuangannya melawan Māra, dan membebaskan dirinya sendiri dari segala
kesengsaraan di masa depan.”
Kemudian pertapa tersebut, setelah mendengar syair-syair ini,
menyingkirkan segala nafsu keinginan, mencapai ke-Rahat-an, dan mengenali Sang
Buddha dalam wujud seorang Bhiksu, ia bersujud di kaki Beliau; Dan semua Deva,
Naga, dan Hantu, yang mengelilingi tempat itu, dipenuhi dengan kegembiraan yang
tak terkatakan.
###
法句譬喻經華香品第十二 [Fǎ jù pì yù jīng huá xiāng pǐn dì shí èr]- 12.
Bunga (Pupphavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat
sebuah pulau kecil tertentu (gundukan, atau benteng, atau tempat pengamatan) di
tenggara negara itu, di tengah lautan, yang di puncaknya terdapat sebatang
pohon yang menghasilkan bunga-bunga harum yang indah.
Di tempat yang sama berdiam lima ratus wanita dari kasta Brahmana, yang
sepenuhnya mengabdikan diri pada tugas-tugas duniawi mereka, tidak mengetahui
bahwa terdapat seorang Buddha yang terlahir di dunia. Sekarang para wanita ini
terbiasa berbincang bersama tentang ketidak-bahagiaan kondisi duniawi mereka,
dan akibatnya mereka biasa pergi ke pohon yang berada di atas tempat tinggal
mereka, dan memetik bunga-bunga serta mempersembahkannya kepada deva Brahmā,
dengan harapan agar mereka dapat terhindar dari kekuatan Yama (raja kematian),
dan terlahir di surga (alam Brahma). Sekarang Sang Buddha, yang memahami
keadaan mereka, dan mengetahui bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
berkeyakinan, secara tiba-tiba pergi bersama para pengikut-Nya ke tempat
tinggal mereka, dan kemudian datang dan duduk di dekat mereka. Para wanita yang
melihat pemandangan yang menakjubkan itu, menjadi terpesona, dan berseru,
"Brahmā sendiri telah datang untuk mengabulkan harapan kita!" Namun
sesosok deva tertentu menjawab mereka, dan berkata, "Ini bukanlah Brahmā,
tetapi Sang Buddha, Sang Sugata, yang telah datang untuk menyelamatkan
dunia." Karena hal itu para wanita bersujud dengan hormat, dan menyapa
Sang Buddha dengan kata-kata ini—"Kami, memanglah, hanya seorang wanita,
sangat tercemar, namun kami sangat menginginkan, di atas segalanya, untuk lolos
dari kuasa deva Yama, dan untuk terlahir di surga tertinggi;" Kepada
mereka Sang Buddha pun menjawab, "Semoga kalian, benar-benar, memperoleh
keinginan kalian! Namun terdapat dua hal di dunia yang tidak dapat diubah—Bahwa
perbuatan bajik mendatangkan kebahagiaan, dan perbuatan buruk mengakibatkan
dukacita. Namun (tidak diketahui secara umum bahwa) kegembiraan surgawi seperti
halnya penderitaan duniawi, keduanya harus dihindari. Lalu, siapakah, yang
mampu memetik dan memiliki kegembiraan sejati dari pemadaman sempurna
(pemadaman tanpa perbuatan)? Kalian sungguh memiliki pemahaman, O para wanita!" Dan karena hal itu
Beliau melafalkan gātha ini:
[12.1] “Siapakah yang mampu untuk memilih
(menaklukkan?) bumi (yaitu, tempat kediamannya), untuk lolos dari Yama
(kematian), dan meraih surga? Siapakah (yang mampu) mengulang syair-syair
Dharma seperti seseorang yang memilih bunga-bunga pilihan (terbaik)? (Ia) Yang
Tercerahkan memilih bumi, menghindari Yama (kematian), merebut surga, mengulang
syair-syair Dharma dengan gemilang, mampu memetik bunga-bunga kebajikan.
Mengetahui bahwa dunia ini seperti sebuah gundukan pasir, bahwa dunia ini tidak
kekal seperti sebuah fatamorgana, ia memisahkan anak panah berbunga Māra, dan
lolos dari lingkaran kelahiran dan kematian. Mempersepsikan tubuh sebagai
sebuah gelembung, sebagai sebuah fatamorgana yang terbentuk sendiri, ia
memisahkan untaian bunga Māra, dan lolos dari kelahiran dan kematian.”
Dan demikianlah 500 wanita itu pun berkeyakinan, dan, sebagai jawaban
kepada Bhiksu Ānanda, Sang Buddha menjelaskan bagaimana wanita-wanita ini
sebelumnya hidup di zaman Buddha Kāśyapa, dan karena pengabdian mereka
kepada-Nya, kini mereka memiliki keberuntungan dalam kehidupan (mereka) di
zaman Buddha Śākya, dan berkeyakinan kepada-Nya. Dan demikianlah pada
kesempatan lainnya Sang Buddha melafalkan gātha-gātha ini:
[12.2] “Seperti halnya banyak jenis bunga yang
dilemparkan dan tersebar, aromanya tersebar jauh dan luas, begitu luas pula
reputasi dari jasa-jasa kebajikan yang terkumpul, ia yang begitu terlahir dan
hidup seperti keinginannya. Aroma bunga Vassikī tidak bergerak melawan arah
angin, namun (aroma) dari mereka yang hidup sesuai Dharma menyebar jauh dan
luas—Reputasi orang yang bajik menyebar ke semua tempat. Aroma kayu Cendana dan
Tagara, bunga Teratai dan Vassikī, walaupun nyata dan dapat dirasakan, tidaklah
seperti aroma dari (ia yang berjalan sesuai dengan) Sila. Begitu rendah dan
palsu dalam perbandingan, aroma bunga terlangka dengan reputasi orang yang
berpegang teguh pada moralitas, yang kesempurnaan perilakunya menjulang ke
surga. Ia yang hidup demikian dalam persetujuan yang sempurna dengan Sila, yang
berjalan dengan hati-hati, dan yang dengan pikiran mantap telah memperoleh
pembebasan, ia telah jauh melampaui jalan Māra.”
Dan pada kesempatan lain, ketika Sang Buddha berdiam di Gunung
Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, Beliau melafalkan gātha-gātha berikut:
[12.3] “Seperti halnya sebuah selokan di ladang, dekat
dengan jalan raya, akan menumbuhkan bunga Lili di tengahnya, dan menyebarkan
aromanya yang harum ke mana-mana, demikian pula di tengah kehidupan dan
kematian (yaitu, fenomena dunia), di samping jalan spekulasi palsu
(penyelidikan universal), orang bijaksana menyebarkan perasaan gembiranya dalam
menjadi murid Sang Buddha.”
###
法句譬喻經愚闇品第十三 [Fǎ jù pì yù jīng yú àn pǐn dì shí sān] - 13.
Orang Bodoh (Balavaggo).
[1] Pada suatu kesempatan tertentu, ketika Sang Buddha sedang berdiam di
Śrāvastī, terdapat seorang Brahmana kaya tertentu, berusia delapan puluh tahun,
yang telah membangun sebuah rumah besar untuk dirinya sendiri, karena
ketidak-tahuannya akan ketidak-kekalan benda-benda duniawi, dengan harapan akan
umur panjang. Sang Buddha mengirim Bhiksu Ānanda ke orang itu, dan mengetahui bahwa
kematiannya sudah dekat, Beliau bertanya mengapa ia membangun sebuah rumah
dengan begitu banyak kamar; Dan ketika orang tersebut memberikan alasannya, dan
menjelaskan beberapa tujuan dari beberapa kamar, maka Sang Bhagavant menyatakan
gāthā ini:
[13.1] “Aku mempunyai anak-anak dan kekayaan,
begitulah yang terus dipikirkan oleh orang bodoh. Ia bahkan bukan tuannya
sendiri (atau, [bagi] dirinya sendiri)—Lalu, apakah, artinya anak-anak dan
uangnya? Jika panas, maka akan demikian; Jika dingin, maka akan demikian.
Banyak kekhawatiran orang bodoh, namun ia tidak tahu apa-apa tentang perubahan
di masa depan. Orang bodoh yang tidak mengetahui betapa besar kebodohannya
namun mengaku berpengetahuan; Orang bodoh yang berkata ia bijaksana memanglah
orang bodoh.”
Ketika Brahmana tua itu kembali ke kediamannya, tiba-tiba ia terjatuh
dan mati karena benturan yang diterimanya saat ia berjalan, karena itulah Sang
Buddha pergi ke tempat itu, dan demi kepentingan para Brahmana lainnya Beliau
menyatakan syair berikut:
[13.2] “Orang bodoh, walaupun ia hidup bersama orang
bijaksana, tidak memahami apa pun tentang Dharma Sejati, seperti sebuah sendok
yang tidak merasakan rasa sup. Orang yang berakal, yang sering bergaul dengan
para bijaksana, dalam sekejap akan mengetahui rahasia Dharma Sejati, seperti
lidah yang merasakan rasa kaldu. Bahkan kedermawanan orang bodoh pun
menimbulkan dukacita baginya; Apalagi perbuatan jahatnya! Perbuatan buruk yang
dilakukannya menyebabkan penyesalan di alam nanti; Yang disertai dengan hasil
berupa linangan air mata dan wajah yang sedih.”
Mendengar syair-syair ini para Brahmachārin menjadi berkeyakinan, dan
menghormat kepada Sang Buddha, bangkit dan pergi.
Pada kesempatan lain, ketika seorang Pratyeka Buddha, bernama Kāla,
memasuki Nirvāna, setelah menahan hinaan dari wanita tertentu saat ia
berpindapatta, Sang Bhagavant mengucapkan syair berikut:
[13.3] "Orang bodoh dan pengikutnya yang melakukan
kejahatan tidak mampu menyelamatkan diri mereka sendiri. Kemalangan mengikuti
mereka dengan panas membara. Perbuatan jahat mereka harus berbuah, ketika telah
berbuah, mereka dalam kehancuran total. Orang bodoh, ketika masih di dalam
daging (lit. memiliki jasmani), tidak menyadari dukacita yang mengikutinya;
Namun ketika ia tenggelam ke dalam alam penghancuran, barulah ia mengetahui
kebodohannya sendiri.”
###
法句譬喻經明哲品第十四 [Fǎ jù pì yù jīng míng zhé pǐn dì shí sì] - 14.
Orang Bijaksana (Panditavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmachārin yang baru berusia dua
puluh tahun, yang, memiliki bakat cemerlang, dengan bodohnya berpikir bahwa ia
tidak dapat diajari dalam hal seni atau keterampilan apa pun pada umumnya di
dunia. Oleh karena itu, dalam perjalanannya, ia tiba di suatu negeri di mana ia
melihat seorang pembuat anak panah sedang membuat anak-anak panah dan membentuk
busurnya; Setelah melihatnya ia menjadi yakin akan ketidak-tahuannya dalam hal
ini; Dan begitu juga di negeri lainnya, (ketika) melihat seseorang membangun
sebuah kapal, ia pun menjadi yakin; Dan begitu pula ketika di tempat lain ia
melihat seseorang membangun sebuah istana kerajaan. Setelah mempelajari semua
seni ini, dan secara berturut-turut melewati enam belas negeri, ia kembali ke
tempatnya sendiri, dan dengan sombongnya bertanya, "Siapakah di dunia ini
yang lebih mengenal seni daripada diriku?" Sang Buddha menyadari
kapasitasnya untuk berkeyakinan, mengubah dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan
datang ke tempat di mana ia berdiam, dengan jubah-Nya yang tertata rapi, dan
mangkuk derma-Nya di tangan-Nya, berdiri di hadapannya. "Dan siapakah
Engkau?" Kata Brahmachārin. "Aku adalah Seseorang yang mampu
mengendalikan tubuh-Nya," Jawab Bhiksu itu. “Dan apakah itu?” Bertanya
kepada-Nya, dan Bhiksu itu pun menyatakan syair-syair berikut:
[14.1] “Pembuat panah mengukir dan mengatur tanduk
yang dengannya busurnya dibuat; Nahkoda mengendalikan kapalnya; Arsitek
memotong balok-baloknya; Orang bijaksana mengendalikan tubuhnya (dirinya
sendiri). Karena, dengan perumpamaan, batu karang yang kokoh tidak tergoyahkan
oleh angin, demikian pula orang bijaksana, yang pikirannya penuh perhatian,
tidak gentar walaupun dipuji atau dicela: Seperti halnya suatu danau yang dalam
(tidak mudah beriak namun tetap) tenang dan sunyi, demikian pula orang
bijaksana mendengarkan Dharma (Sang Jalan), batinnya hening dan tenang.”
Bhiksu tersebut setelah menyatakan syair-syair ini, dengan kekuatan
batin-Nya mengangkat diri-Nya sendiri ke udara, dan memperlihatkan tiga puluh
dua Tanda Agung dari seorang Buddha, yang membuat sang Brahmachārin
berkeyakinan, dan memperoleh buah ke-Rahat-an.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha berdiam di Śrāvastī, terdapat sebuah
desa sekitar 500 Li jauhnya, yang dihuni oleh sekitar lima puluh atau enam
puluh keluarga (Orang-orang pegunungan). Di antara mereka terdapat seorang pria
tertentu yang miskin dan istrinya, yang telah melahirkan dua putera (kembar),
sangat elok dipandang, dan dengan keanggunan yang tak tertandingi. Yang pertama
mereka sebut "Anggun" (Tih),
yang lainnya "Beruntung" (Fuh).
Pada suatu hari sang ayah pulang dari pekerjaannya, dan berbaring di tempat
tidurnya untuk beristirahat, sementara sang ibu masih berada di ladang. Kedua
anak ini, yang saat itu baru berusia tujuh atau delapan minggu, (karena) tidak
melihat ayah mereka, mulai saling mencela satu sama lain, karena mereka
dilahirkan dalam keadaan seperti itu, dan harus bernasib buruk seperti yang
mereka alami. Sang ayah, yang diliputi keheranan saat mendengar
putera-puteranya berkata demikian, dan mengira bahwa mereka adalah setan dalam
bentuk manusia, memutuskan untuk membunuh mereka dan membakar tubuh mereka.
Karena itulah, ia pergi ke ladang guna mengumpulkan kayu bakar untuk tujuan
tersebut, dan (setelah) bertemu dengan istrinya ia menceritakan segalanya
kepadanya. Karena hal ini sang ibu, tergerak oleh kasih sayang, dan takut dalam
mempercayai kebenaran hal tersebut, memohon penangguhan selama beberapa hari
demi para puteranya. Keesokan harinya ia sendiri pergi ke luar rumah dan
mendengarkan, Lihatlah! Ketika ia mendengarkan para puteranya saling mencela
seperti sebelumnya. Karena itulah, dengan yakin bahwa mereka adalah setan dalam
bentuk anak-anak, ia menyetujui tindakan yang biasa dilakukan dalam kasus
seperti ini, bahwa mereka harus dibakar (antara "dibakar
hidup-hidup," atau "dibunuh dan dibakar"). Pada saat itu Sang
Buddha, mengetahui keadaan dari kasus tersebut, mengarahkan diri-Nya ke desa
(tersebut), dan, dengan Agung dan Gemilang, menerangi tempat itu dan seluruh
negeri di sekitarnya dengan cahaya kehadiran-Nya. Karena hal ini para penduduk
desa, dan terutama kedua orang tua dari anak-anak itu, datang mendekat untuk
menghormati-Nya. Ketika melihat kedua orang tua, dan mendengar cerita mereka
tentang anak-anak tersebut, Sang Buddha tersenyum, dan dari mulutnya terpancar
lima warna sinar yang bersinar di surga dan bumi, dan kemudian Beliau
menceritakan masa lalu anak kembar itu, bagaimana mereka telah menjadi murid
dari Sang Buddha Kāśyapa, dan berada di suatu Jalan yang benar untuk mencapai
pembebasan sempurna, ketika mereka saling berdiskusi tentang doktrin-doktrin
sesat mereka telah menghalangi pembebasan mereka, dan terus dilahirkan, pada
suatu waktu dalam derajat yang tinggi, di waktu lainnya dalam kemiskinan, dan
akhirnya sebagai anak kembar dari orang-orang miskin dihadapan-Nya; Dan
kemudian Sang Bhagavant menyatakan gātha ini:
[14.2] “Seseorang yang Agung sepenuhnya terbebas dari
ketamakan—Ia berdiam di suatu tempat yang terang dengan dirinya sendiri tercerahkan.
Walaupun mungkin ia mengalami dukacita, ia bersukacita; Tanpa kesombongan, ia
menunjukkan kebijaksanaannya. Orang bijaksana (Bhadra) tidak mempedulikan urusan duniawi; Ia tidak menginginkan
kekayaan, anak, atau harta benda (tanah), selalu berhati-hati menjalankan Sila,
dan berjalan di Jalan kebijaksanaan tertinggi, ia tidak mendambakan doktrin
yang aneh (atau kekayaan atau kehormatan). Orang bijaksana, yang mengetahui
karakteristik ketidak-stabilan, seperti halnya sebatang pohon di tengah pasir
(menggunakan segala upaya) untuk mengubah temannya yang pikirannya tidak
mantap, dan membawanya kembali dari ketidak-murnian menuju kebajikan
(kemurnian).”
Ketika mendengarkan syair-syair ini, para putera mampu menjadi Śrāmaṇera
ke dalam Samgha, dan kedua orang tua serta para penduduk desa lainnya memasuki
Sang Jalan (Mencapai Srotāpanna).
###
法句譬喻經羅漢品第十五 [Fǎ jù pì yù jīng luó hàn pǐn dì shí wǔ] - 15.
Rahat (Arahantavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama Na-lai (Nara), dekat
dengan Laut Selatan, di mana penduduknya berpenghidupan dengan mencari mutiara
dan menjual kayu cendana. Saat itu terdapat dua kakak beradik di negeri ini,
yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia, mereka sepakat untuk berpisah
dan mencari peruntungan masing-masing. Salah satu dari mereka memiliki seorang
budak bernama Fun-na (Pūrna) yang sangat cerdas, yang melakukan perjalanan
mencari petualangan yang menguntungkan bagi tuannya. Setelah memperoleh
keuntungan besar dari penjualan kayu cendana berbentuk kepala lembu, ia datang
ke Śrāvastī, dan setelah bertemu dengan Sang Buddha, ia berkeyakinan dan
menjadi seorang Rahat. Kemudian ia kembali ke bangsanya sendiri, dan
memperlihatkan kepada mereka kemampuan batin yang dimilikinya—Yaitu, terbang ke
udara, dan menyebabkan air dan api keluar dari tubuhnya—Ia menuntun banyak dari
mereka untuk menjadi murid, dan pada akhirnya, atas permintaan mereka yang
mendesak, Sang Buddha sendiri datang untuk meyakinkan Raja, yang pada
kesempatan itu Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:
[15.1] “Pikirannya telah tenang, ucapan dan
perbuatannya juga tenang; Terbebaskan dengan kebenaran, dalam kedamaian
sempurna ia kembali ke (atau menemukan perlindungan di dalam) Nirvāna. Terbebas
dari nafsu keinginan, tanpa belenggu, terbebas dari rintangan dunia (tiga
dunia), semua pikiran penyenangan diri telah sirna, orang ini dengan benar
disebut (yang) Unggul. Baik di desa terpencil atau di hutan belantara, di tanah
datar atau tepian sungai yang tinggi, di mana pun orang-orang seperti itu
berdiam pasti terdapat kesenangan. Mereka telah menemukan kesenangan mereka di
hutan belantara, di mana orang-orang tidak menemukannya; Dengan tanpa nafsu
mereka bersukacita, tidak memiliki dasar yang tersisa untuk mencari kesenangan
inderawi.”
###
法句譬喻經述千品第十六 [Fǎ jù pì yù jīng shù qiān pǐn dì shí liù] - 16.
Ribuan (Sahassavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat
seorang Bhiksu tua bernama Pan-teh-san (Patisena?) yang karena sifatnya yang
pemarah dan lamban, tidak dapat menghafal satu Gāthā pun dengan pikirannya.
Karena itulah Sang Buddha memerintahkan 500 Rahat setiap hari untuk
menginstruksikannya, tetapi setelah tiga tahun ia masih tidak dapat mengingat
bahkan sebuah Gāthā. Kemudian semua orang di negeri itu (empat kelompok
masyarakat) mengetahui ketidak-tahuannya, mulai mengejeknya, karena hal ini
Sang Buddha, merasa kasihan padanya, memanggilnya ke sisi-Nya, dan dengan
lembut mengulangi syair berikut:
[16.1] "Ia yang menjaga mulutnya, dan menahan
pikirannya, ia yang tidak menyinggung dengan tubuhnya, orang yang bertindak
demikian akan memperoleh pembebasan."
Kemudian Patisena, yang tergerak oleh belas kasihan Sang Guru kepadanya,
merasakan pikirannya terbuka, dan dengan segera ia mengulangi syair tersebut.
Sang Buddha kemudian menasehatinya lebih lanjut—"Engkau sekarang, seorang
yang tua, hanya dapat mengulang satu syair saja, dan orang-orang mengetahui hal
ini, dan mereka akan tetap mengejekmu, oleh karena itu sekarang Aku akan
menjelaskan makna dari syair tersebut kepadamu, dan dengarkanlah dengan penuh
perhatian."
Kemudian Sang Buddha menyatakan tiga sebab sehubungan dengan tubuh,
empat sebab sehubungan dengan ucapan, dan tiga sebab yang sehubungan dengan
pikiran, yang dengan menghancurkannya seseorang dapat memperoleh pembebasan,
karena hal ini Bhiksu tersebut, yang sepenuhnya merealisasikan kebenaran yang
dijelaskan demikian, memperoleh kondisi seorang Rahat.
Sekarang, pada saat itu terdapat 500 Bhiksunī yang berdiam di Vihāra
mereka, yang mengirim seseorang dari mereka kepada Sang Buddha untuk meminta
Beliau mengirimkan seorang Bhiksu untuk menginstruksikan mereka tentang Dharma,
sehubungan dengan hal itu Sang Buddha menginginkan Bhiksu tua Patisena untuk
menemui mereka demi tujuan ini. Mendengar bahwa rencana ini telah dibuat, semua
Bhiksunī mulai tertawa bersama, dan sepakat pada hari esoknya, ketika ia
datang, untuk mengucapkan Gāthā secara salah (terbalik), dan dengan demikian
membingungkan Bhiksu tua itu dan membuatnya malu. Kemudian pada hari berikutnya
ketika ia datang, semua Bhiksunī, senior dan junior, keluar untuk memberi
hormat kepadanya, dan ketika mereka melakukannya, mereka saling memandang dan tersenyum.
Kemudian sambil duduk, mereka menawarkan makanan kepadanya. Setelah makan dan
mencuci tangannya, mereka kemudian memohon kepadanya untuk memulai khotbahnya.
Setelah itu Bhiksu tua itu naik ke tempat duduk yang tinggi, dan sambil duduk,
memulai khotbahnya: “Para Arya! Bakatku sangatlah kecil, pengetahuanku sangat
sedikit. Aku hanya tahu satu Gāthā, tetapi aku akan mengulanginya dan
menjelaskan artinya. Dengarkanlah dengan penuh perhatian dan pahamilah.”
Kemudian semua Bhiksunī muda mulai mencoba mengucapkan Gāthā tersebut secara
terbalik; Namun lihatlah! Mereka tidak dapat membuka mulut mereka; Dan dipenuhi
dengan rasa malu, mereka menundukkan kepala mereka dalam dukacita. Kemudian
Patisena setelah mengulangi Gāthā tersebut, mulai menjelaskannya, kata demi
kata, seperti yang telah diajarkan Sang Buddha kepadanya. Kemudian semua
Bhiksunī yang mendengar kata-katanya, dipenuhi dengan kekaguman, dan
bersukacita mendengar instruksi tersebut, dengan sepenuh hati mereka
menerimanya, dan mereka menjadi Rahat.
Keesokan harinya Raja Prasenajit mengundang Sang Buddha beserta seluruh
Bhiksu Samgha untuk berkumpul di istananya (dan menikmati jamuan makan). Karena
itulah Sang Buddha yang mengetahui keadaan Patisena yang agung dan layak
dihormati, berkeinginan agar ia membawa mangkuk derma-Nya dan mengikuti-Nya
saat Beliau pergi. Namun, ketika mereka tiba di gerbang istana, penjaga pintu,
yang mengetahui karakternya (di masa lalu), tidak mengizinkannya masuk ke aula
pertemuan; Karena "Kami tidak memiliki jamuan," katanya, "Bagi
seorang Bhiksu yang hanya mengetahui satu Gāthā; Tidak ada tempat bagi orang
biasa sepertimu—Berikanlah tempat untuk mereka yang lebih baik dan
pergilah." Patisena pun duduk di luar pintu.
Sang Buddha saat itu telah naik ke mimbar, setelah mencuci tangannya,
lihatlah! Lengan Patisena, dengan mangkuk derma di tangannya, memasuki ruangan.
Kemudian Raja, para menteri, dan seluruh kumpulan, melihat pemandangan ini,
dipenuhi dengan kekaguman, dan berkata—"Ah! Lengan siapakah ini?"
Sang Buddha menjawab, “Itu adalah tangan Patisena, Sang Bhiksu. Ia baru saja
memperoleh pencerahan, dan Aku ingin agar ia untuk membawakan mangkuk derma-Ku
di belakang-Ku; Tetapi penjaga pintu menolaknya, sehingga lengannya muncul
dengan mangkuk derma-Ku di tangannya.” Atas hal ini, ia diterima dan memasuki
perkumpulan. Kemudian Raja Prasenajit, menatap kearah Sang Buddha, dan
berkata—“Aku mendengar bahwa Patisena ini adalah orang yang tidak cakap, dan
hanya mengetahui satu Gāthā saja, lalu, bagaimana ia memperoleh kebijaksanaan
tertinggi?” Sang Buddha menjawab—“Mempelajari (Dharma) tidak perlu banyak,
perilaku adalah hal yang utama. Patisena ini telah menerima kebajikan rahasia
dari kata-kata satu Gāthā ini untuk memasuki batinnya; Tubuh, ucapan, dan
pikirannya telah memperoleh ketenangan yang sempurna; Karena walaupun seseorang
mengetahui begitu banyak, jika pengetahuannya tidak menjangkau kehidupannya,
untuk membebaskannya dari kekuatan yang mengarah pada kehancuran, apakah
manfaat semua pembelajarannya?” dan kemudian Sang Buddha menyatakan syair-syair
berikut:
[16.2] “Walaupun seseorang dapat mengulang seribu
(bagian) syair, namun tidak memahami makna dari syair yang diulanginya, hal ini
tidaklah sama dengan mengulang satu kalimat yang dipahami dengan baik, yang
mampu mengendalikan pikiran saat didengar. Dalam mengulang seribu kata tanpa
memahami, apakah keuntungan yang terdapat di sana? Namun dalam memahami satu
kebenaran, dan mendengarkannya demi bertindak sesuai (dengan kebenaran itu),
adalah untuk menemukan pembebasan. Seseorang mungkin dapat mengulang banyak
kitab, tetapi jika ia tidak dapat menjelaskannya, apakah keuntungnan yang
terdapat di sana? Namun dalam menjelaskan satu kalimat Dharma, dan berjalan
sesuai (dengan Dharma itu), inilah cara untuk menemukan kebijaksanaan tertinggi
(untuk menjadi seorang Rahat).”
Mendengar syair-syair ini, dua ratus Bhiksu memperoleh pembebasan, dan
Raja beserta para menterinya dipenuhi dengan kegembiraan.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana,
di kota Śrāvastī, untuk membabarkan Dharma-Nya, terdapat seorang Brahmana kaya tertentu
dari negeri itu yang bernama Yamata, yang biasa meminta semua Brahmana di
lingkungan itu, lebih dari 5.000 orang, untuk berbagi dalam jamuannya, dan
menerima hadiah berupa ternak, budak, pakaian, uang, dll., di pertengahan
setiap lima tahun. Pada kesempatan ini, setelah menerima hadiah-hadiah ini, dan
ikut serta dalam berbagai pengorbanan, mereka datang ke tempat di mana Sang
Buddha berada, dengan perasaan yang begitu gembira dan sangat bangga.
Sehubungan dengan hal ini, Sang Buddha, setelah menegur mereka atas kebodohan
mereka, menyatakan syair-syair berikut:—
[16.3] “Jika seseorang setiap bulannya mengulang
seribu pengorbanan, dan terus menerus ia membuat persembahan tubuh tanpa henti,
hal ini tidak setara dengan perilaku seseorang yang hanya sesaat, dengan
perhatian penuh (yih sin, ekachittam),
memusatkan pikirannya kepada Dharma. Kebahagiaan akibat dari satu momen
perenungan yang mendalam melebihi (kebahagiaan yang dihasilkan dari)
pengorbanan tubuh (dari korban yang tak terhitung banyaknya). Walaupun
seseorang selama seratus tahun memuja dan mempersembahkan korban kepada Deva
Api, hasilnya tidak setara dengan seseorang yang sesaat memberikan penghormatan
kepada Triratna; Kebahagiaan akibat dari suatu tindakan penghormatan demikian
melampaui yang dihasilkan dari seluruh hal (yang dilakukan selama) seratus
tahun tersebut.”
Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant lebih jauh menasehati Yamata
dengan khotbah berikut:—
“Terdapat empat macam persembahan pemberian. “Apakah empat itu? Pertama,
ketika pemberiannya besar, dan hasilnya kecil; Kedua, ketika pemberiannya
kecil, dan hasilnya besar; Ketiga, ketika pemberiannya besar, dan hasilnya
besar; Keempat, ketika pemberiannya kecil, dan hasilnya juga kecil. Dan
sekarang, sehubungan dengan jenis pertama, kapankah suatu pemberian besar, dan
hasilnya kecil? Dalam kasus orang bodoh dan terdelusi yang menghilangkan
kehidupan demi tujuan mempersembahkan korban kepada para deva, disertai dengan
meminum anggur, bernyanyi, menari, dan pemberian kekayaan. Di sini pemberiannya
adalah besar, tetapi hasilnya sungguh kecil. Sehubungan kasus ketika
pemberiannya kecil dan hasilnya kecil, hal ini terjadi ketika, karena ketamakan
dan pikiran yang jahat, persembahan yang diberikan kepada yang terpelajar (atau
orang suci) adalah kecil dan terbatas; Dalam kasus demikian hasilnya juga
terbatas. Dan kapankah persembahan, walaupun kecil, memberikan hasil yang
besar? Dalam kasus ketika, berdasarkan satu prinsip cinta kasih, seseorang
memberikan kepada seseorang yang bajik (atau orang suci) pemberian kecil yang
dimilikinya, dengan keinginan untuk belajar darinya prinsip-prinsip
kebijaksanaan sejati, orang ini menuai hasil yang besar. Dan terakhir, kasus
suatu pemberian besar yang menjamin hasil yang besar, seperti dalam kasus
seseorang yang, menyadari kesia-siaan segala hal duniawi, karena kebaikan hati
memberikan kekayaannya untuk mendirikan Vihara, atau untuk membeli tanah untuk
buah-buahan, yang dengannya ia dapat memberikan persembahan kepada Triratna,
atau yang memberikan jubah dan kebutuhan lainnya untuk tujuan yang sama ini,
jasa kebajikannya, seperti air dari lima sungai yang mengalir ke samudera,
tidak terukur, hasilnya kembali kepadanya sendiri berlipat ganda, seperti hasil
dari benih yang ditabur oleh petani di tanah yang telah dipersiapkan untuk
bertani.”
Yamata dan yang lainnya setelah mendengarkan khotbah ini, dipenuhi
dengan kegembiraan, sementara para Deva dan Yaksa dapat memasuki tingkat
kesucian pertama. Lima ribu Brahmachārin menjadi murid, sementara Yamata dan
para perumah tangga lainnya menerima lima sila, dan Raja, para menteri, dan
yang lainnya, berlindung dalam Trisarana, dan menjadi murid awam, dan
memperoleh mata Dharma (Srotapatti magga).
[3] Dahulu kala terdapat seorang tertentu yang tidak bermoral yang
berdiam di Rājagriha, yang tidak menghormati orang tuanya atau memberi hormat
kepada atasannya, namun selalu melakukan pengorbanan dan pemujaan kepada
matahari, bulan, dan api suci ketika ia berbuat salah, berharap dengan hal itu (ia)
memperoleh jasa kebajikan, dan merasa bahagia dalam dirinya; Tetapi meskipun
semua latihan jasmaninya, dalam pemujaan dan persembahan, ia tidak menemukan
kedamaian, bahkan setelah tiga tahun ketekunan yang tanpa henti. Pada akhirnya
ia memutuskan pergi ke Śrāvastī untuk bertanya kepada Sang Buddha. Sesampainya
di sana, dan melihat keagungan-Nya, ia bersujud di kaki-Nya, dan menanyakan
kabar-Nya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kebodohan atas pengorbanan hewan,
dan tanpa manfaat atas segala latihan seperti itu di mana batinnya tidak
tersentuh, dan tidak ada penghormatan kepada orang tua atau perilaku berbakti
kepada mereka yang pantas menerimanya; Dan sebagai penutup Beliau menyatakan
Gāthā ini:—
[16.4] “Dalam berkorban kepada Deva agar menemukan
kedamaian (kebajikan), atau, setelah kehidupan ini mengharapkan hasil
kebajikan, kebahagiaannya tidak setara dengan seperempat dari kebahagiaan
seseorang yang memberi penghormatan kepada orang baik. Ia yang selalu berniat
pada perilaku bajik dan menghormat kepada orang lain, yang selalu menghormati
usia tua, akibatnya empat kebahagiaan semakin menyertai orang itu—Paras bagus
dan kekuatan, serta usia panjang dan kedamaian.”
Mendengar syair-syair ini orang itu dipenuhi dengan kegembiraan, dan
meminta izin untuk menjadi seorang murid, dan setelah beberapa saat mencapai
kondisi seorang Rahat.
###
法句譬喻經惡行品第十七 [Fǎ jù pì yù jīng è xíng pǐn dì shí qī] - 17.
Perilaku Jahat (Pāpavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha berdiam di Rājagriha, Beliau
mengirim seorang Rahat bernama Sumanta (Su-man-teh) ke negeri Ki-pin (Cophen,
yaitu, Gandhāra) dengan beberapa relik pribadi-Nya (Rambut dan kuku) untuk sebuah
menara Cetya (yaitu, Cetya yang terdapat menara relik atau stupa) di Pegunungan
Selatan, di mana 500 Rahat terus-menerus berdiam (di sana), dan setiap pagi dan
sore membakar dupa dan melakukan pemujaan. Pada saat ini di pegunungan yang
sama terdapat 500 monyet, yang setelah melihat para Bhiksu ini melakukan puja,
segera terjadi kesepakatan di antara mereka sendiri untuk mendirikan sebuah
menara relik dari batu dan kayu di sisi sungai yang dalam di dekatnya untuk
menghormati Sang Buddha. Mereka melakukannya, dan di atasnya menempatkan tiang
penyangga (Tee) dengan umbul-umbul
dan bendera. Di sini mereka datang untuk melakukan Puja setiap pagi dan sore,
bahkan seperti yang dilakukan para Bhiksu dari Vihāra tetangga. Pada saat itu,
karena sungai yang tiba-tiba meluap, monyet-monyet itu terbawa oleh arus deras,
dan karena tidak dapat melarikan diri mereka pun tenggelam. Akan tetapi, karena
akibat dari perbuatan baik mereka, mereka terlahir sebagai para Deva di Surga
Trayastriñśas, di mana mereka memiliki istana, pakaian, dan makanan sesuai
dengan kehidupan baru mereka. Ketika merenungkan kehidupan mereka sebelumnya,
mereka melihat bahwa mereka adalah monyet-monyet yang tenggelam di lembah itu,
dan karena hal itu, mereka turun ke bumi, dan mengumpulkan kayu harum dan
keperluan lainnya, mereka membuat api pemakaman untuk mengkremasi 500 jenazah.
Setelah diperhatikan oleh beberapa Brahmana sesat yang menetap di lingkungan
itu, mempraktikkan pertapaan mereka, dan setelah ditanya oleh mereka tentang
alasan perilaku mereka, mereka menjelaskan seluruh kisahnya, akibatnya para
Brahmana itu terdorong untuk pergi menemui Sang Buddha guna mempelajari
Dharma-Nya—Bersama dengan para Deva. Sesampainya di sana, Sang Buddha
menjelaskan bahwa 500 monyet yang tenggelam dan terlahir kembali di Surga, pada
kelahiran sebelumnya adalah para Brahmana yang menganut ajaran sesat, yang
telah mengejek, dan menertawakan perilaku seorang Bhiksu, yang berdiam di
pegunungan yang sama, dan karena aktivitasnya dalam menaiki dan menuruni tebing
saat membangun sebuah menara suci, mereka mengejeknya "Kaki Monyet."
Karena itulah mereka telah terlahir sebagai 500 monyet; Namun karena perbuatan
baik mereka dalam mendirikan menara kecil di tepi sungai, mereka sekarang telah
terlahir sebagai Deva. Dan kemudian Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:
[17.1] “Menertawakan dan mengejek orang lain adalah
perilaku yang salah; Ia yang telah melakukan hal demikian pasti akan menerima
banyak air mata sebagai akibatnya, sesuai dengan kesalahan atau kejengkelan
(yang ditimbulkan) atas perilakunya.”
Karena hal ini 500 Deva bersujud dalam penghormatan, dan 500 Brahmana,
setelah berkeyakinan, menjadi para Rahat.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana di
kota Śrāvastī, membabarkan (Dharma) demi manfaat bagi para Deva dan manusia,
Pangeran Koli setelah memenjarakan ayahnya dan membunuh kakak laki-lakinya,
pewaris takhta, menyatakan dirinya sendiri sebagai Raja, dan meresmikan
pemerintahannya dengan membunuh ribuan orang Śākya. Pada saat itu, Sang Bhagavant,
berbicara kepada Mugalin, dengan berkata:
[17.2] “Tidak di celah alam surga, tidak di kedalaman
samudera, tidak dengan memasuki celah-celah pegunungan yang berbatu, tidak di
tempat-tempat ini seseorang dapat dengan cara apa pun lolos dari takdirnya,
akibat dari kejahatan yang telah dilakukannya. Semua orang dapat mengalami
dukacita dan kesakitan; Tidak ada yang dapat lolos dari usia tua dan kematian.
Hanya orang bermoral yang memiliki kebijaksanaan; Orang yang tidak menyerah
pada menyibukkan pikiran (tentang kehidupan), baginya tidak ada kejahatan.”
Sebagai akibat dari syair ini, banyak orang yang mendengarnya dapat
memasuki Sang Jalan.
###
法句譬喻經刀仗品第十八 [Fǎ jù pì yù jīng dāo zhàng pǐn dì shí bā] - 18.
Hukuman (Daṇḍavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama Kin-tai (Gandhāra?), di
mana tinggal seorang Bhiksu tua yang terjangkit penyakit yang sangat
menjijikkan, menyebabkannya mengotori setiap tempat yang ditempatinya. Karena
ia berada di sebuah Vihāra milik tempat itu, tidak ada seorang pun yang mau
mendekatinya atau menolongnya dalam kesusahannya. Atas hal itu Sang Buddha
datang bersama 500 pengikutnya, dan setelah memperoleh segala macam alat-alat
yang diperlukan serta air hangat, mereka bersama-sama mengunjungi tempat di
mana Bhiksu tua itu terbaring. Bau di tempat itu sangat tidak sedap sehingga
semua Bhiksu merasa jijik terhadap Bhiksu tua itu: Namun Sang Bhagavant
memerintahkan Deva Śakra untuk membawakan air hangat, kemudian dengan
tangan-Nya sendiri (tangan berlian) mulai memandikan tubuh Bhiksu itu dan
merawat penyakitnya. Kemudian bumi berguncang, dan seluruh tempat itu dipenuhi
dengan cahaya surgawi, sehingga Raja beserta para menterinya, dan seluruh
penghuni surga (Para Deva, Nāga, dsb.) berbondong-bondong ke tempat itu, dan
memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah melakukannya, mereka semua
menghadap Sang Buddha, dan bertanya bagaimana Seseorang Yang Begitu Agung dapat
merendahkan Dirinya pada pekerjaan-pekerjaan seperti ini, dan Sang Buddha
menjelaskan hal tersebut demikian:
“Tujuan Tathāgata datang ke dunia adalah untuk berteman dengan
orang-orang miskin, tak berdaya, dan tak terlindungi—Untuk merawat mereka yang
terjangkit penyakit fisik, apakah mereka Bhisku maupun mereka yang berasal dari
ajaran lain (Tao-sse)—Untuk membantu
orang miskin, yatim piatu, dan lansia—Dan dengan melakukan hal demikian, dan
membujuk orang lain untuk melakukannya, jasa kebajikan yang dihasilkan-Nya
begitu besar sehingga semua sumpah sebelum-Nya terpenuhi, dan Beliau mencapai
tujuan besar dari semua kehidupan, seperti halnya lima sungai ketika mereka
menghilang di samudera.”
Raja kemudian bertanya tentang kondisi sebelumnya dari Bhiksu tua ini,
dan mengapa ia dilahirkan dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Sang Buddha
menjawabnya:
“Dahulu kala terdapat seorang raja yang dijuluki 'Perilaku Buruk'
(Pāpakamma?), yang memerintah rakyatnya dengan tirani dan penindasan. Ia pernah
mengirim para perwiranya untuk menindas orang-orang, dan dengan cambukan yang
kejam untuk memeras mereka segalanya yang bisa mereka dapatkan. Terdapat
seorang Pria Terhormat tertentu yang akan dicambuk, ketika Ia memohon belas
kasihan karena Ia adalah seorang murid Sang Buddha. Atas permintaan itu,
petugas itu mencambuknya dengan ringan; Tetapi, walaupun demikian, karena
perbuatan jahatnya ia kemudian terlahir di neraka, dan berulang kali sebagai seekor
binatang, dan akhirnya sebagai seorang manusia, namun selalu sakit keras. Pada
saat itu sang Raja adalah Devadatta, sang algojo adalah Bhiksu yang sakit ini,
dan Pria Terhormat itu adalah Aku sendiri; Tetapi karena Aku adalah orang yang
memohon belas kasihan, tugas-Ku sekarang adalah membantu orang malang ini,
karena ia telah mengasihani-Ku.”
Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:—
[18.1] “Ia yang menimbulkan kesakitan pada yang lembut
dan baik, atau dengan kebohongan menuduh (ia) yang tidak bersalah, orang ini
akan mewarisi salah satu dari sepuluh malapetaka ini—Entah kunjungan langsung
dari Surga (Dengan api, angin, atau air); Atau, jika terlahir kembali, suatu
tubuh yang cacat dan sakit; Atau beberapa kebakaran yang spontan, atau
kehilangan akal sehat, atau beberapa tuduhan palsu, atau beberapa kesulitan
dari pemerintah, atau hilangnya harta kekayaan secara bertahap, atau
pengasingan dari kerabat, atau kerusakan harta (berupa tanaman atau
biji-bijian) oleh api atau petir; Dan ketika meninggal, terlahir di neraka.
Inilah sepuluh malapetaka itu.”
Bhiksu yang sakit itu mendengar syair-syair ini, menjadi yakin akan
keburukannya, berbalik kepada Sang Buddha dan memberi hormat kepada-Nya, yang
membuatnya mencapai kondisi seorang Rahat; Dan Raja juga bersama para
pengikutnya, dipenuhi dengan kegembiraan, mengambil lima Sila, dan memasuki
Sang Jalan.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di
Śrāvastī, dan membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para deva dan manusia,
di sebuah negeri di sebelah timur, yang disebut Uttaravati, terdapat sekelompok
500 Brahmana, yang telah sepakat untuk pergi bersama ke kediaman seorang petapa
Nirgrantha tertentu di tepi Sungai Gangga, yang, dengan mengotori dirinya
dengan tanah, dll., beraspirasi untuk mencapai kondisi seorang Rishi. Dalam
perjalanan mereka, mereka kehausan di padang pasir. Melihat sebatang pohon, dan
berharap menemukan peradaban manusia di dekatnya, mereka bergegas ke sana,
namun ketika tiba di sana mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan; Di
sana, mereka berteriak dalam ratapan. Tiba-tiba dari pohon itu mereka mendengar
suara Yaksa Penunggu (pohon), yang bertanya kepada mereka mengapa mereka
meratap seperti itu, dan setelah mendengar alasannya, (ia) memberi mereka
minuman dan daging sampai kenyang. Para Brahmana, yang siap untuk melanjutkan
perjalanan, bertanya kepada Yaksa tersebut tentang kehidupan lampaunya,
sehingga ia terlahir demikian; Dan Yaksa itu menjelaskan bahwa setelah pergi ke
Samgha Bhiksu di Śrāvastī ketika Sudatta mempersembahkan taman itu kepada Sang
Buddha, ia tetap di sana sepanjang malam mendengarkan Dharma, dan setelah
mengisi gelas minumnya dengan air selama perjalanan, ia memberikannya sebagai
derma di antara para Bhiksu. Ketika ia kembali keesokan paginya, istrinya
dengan marah bertanya kepadanya tentang gangguan apa yang telah ia terima
sehingga ia harus pergi sepanjang malam. Ia menjawab bahwa ia tidak terganggu,
tetapi ia telah mendengarkan khotbah Sang Buddha di Jetavana. Karena itulah
istrinya mulai memaki Sang Buddha, dan berkata, "Gotama ini hanyalah
seorang pembabar yang gila, yang menipu orang-orang," dan seterusnya.
Sehubungan dengan hal ini aku tidak membenci pernyataannya, tetapi malah
menurutinya, dan ketika aku meninggal dunia, aku terlahir sebagai sesosok
Yaksa, tetapi karena kepengecutanku, aku terkurung di pohon ini; Dan kemudian
ia menyatakan syair-syair berikut:—
[18.2] “Pengorbanan dan pelayanan demikian merupakan
sumber dukacita—Siang dan malam merupakan beban dan kecemasan yang
terus-menerus; Untuk terbebas dari dukacita, dan menghancurkan unsur-unsur
tubuh, seseorang harus memperhatikan Dharma (Sang Buddha), dan mencapai
pembebasan dari semua Aturan Ajaran duniawi (para Rishi dunia).”
Setelah mendengar kata-kata ini, para Brahmana memutuskan untuk pergi ke
Śrāvastī, ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan setelah menjelaskan tujuan
kunjungan mereka, Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut:—
[18.3] “Walaupun seseorang berjalan telanjang dengan
rambut kusut, atau walaupun ia mengenakan beberapa helai daun atau jubah kulit
pohon, walaupun ia menutupi dirinya dengan tanah dan tidur di atas batu, apalah
gunanya hal ini untuk menyingkirkan pikiran-pikiran yang tidak murni? Tetapi ia
yang tidak berkelahi atau membunuh, atau menghancurkan dengan api, yang tidak
mengharapkan kemenangan, yang tergerak oleh niat baik terhadap seluruh dunia. Tidak
ada dasar dalam kasus demikian untuk niat buruk atau kebencian.”
Mendengar kata-kata tersebut para Brahmana pun berkeyakinan dan menjadi
Bhiksu.
###
Buku Kedua Selesai.
###
Buku Ketiga – Bab 19 – 29.
◎喻老耄品第十九 [Yù lǎo mào pǐn dì shí jiǔ] - 19. Usia Tua (Jaravaggo).
[1] Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di Śrāvastī. Setelah makan,
ia mulai membabarkan Dharma tentang Nirvana demi manfaat bagi para Deva dan
manusia, di hadapan Raja dan para menterinya. Pada saat itu terdapat tujuh
orang, para Brahmana, yang datang dari jauh, dan setelah bersujud di kaki Sang Bhagavant,
memohon agar Beliau mengizinkan mereka berdiam di dekatnya, dan mendengarkan
instruksi-Nya. Setelah mendapatkan izin, mereka diberi kamar atas sebagai
tempat berdiam mereka. Setelah beristirahat di sana, mereka mulai berbicara
bersama dan tertawa keras. Mendengar ini, Sang Buddha mendatangi mereka, dan
mengatakan syair-syair ini:
[19.1] “Apalah (waktu untuk) bergembira, apalah (waktu
untuk) tertawa, mengingat (api) yang selalu terbakar. (Dunia) yang gelap dan
suram ini tentunya tidak cocok bagi seseorang untuk mencari keamanan dan
penenangan. Lihatlah tubuh ini dalam penampilannya; Apakah yang dapat
diandalkan sebagai tempat penenangan, yang dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang
amat sesak, yang rentan terhadap segala penyakit. Oh! Bagaimana mungkin
orang-orang tidak menyadari penampilan palsunya? Ketika tua, maka keindahannya
memudar; Dalam penyakit, betapa pucat dan kurusnya—Kulit menjadi keriput,
daging menjadi kering, kematian dan kehidupan keduanya menyatu. Dan ketika
tubuh (ini) mati, dan kesadaran memudar, seperti halnya ketika seorang
bangsawan menolak sebuah kereta perang (yang rusak), demikianlah daging dan
tulang pun berserakan dan tercerai-berai. Jadi, apakah yang dapat diandalkan
seseorang dari tubuh?”
Mendengar kata-kata ini, para Brahmana tersadar dan penuh perhatian, dan
akhirnya mencapai kondisi para Rahat.”
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di
Śrāvastī, membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva dan manusia, pada saat
itu terdapat sebuah desa Brahmana, terdiri dari sekitar lima ratus keluarga
atau lebih, yang juga memiliki lima ratus siswa Brahmana muda yang berlatih
dalam pengetahuan rahasia kasta mereka, dan penuh dengan penghinaan terhadap
seluruh orang lain, tanpa rasa hormat kepada usia tua ataupun kedudukan yang
lebih tinggi. Sekarang kelima ratus pemuda ini, yang membanggakan kemampuan
mereka dalam menyelidiki kebenaran, berkata demikian: “Adapun Bhiksu Gotama
ini, Ia hanya menyebut Dirinya sendiri sebagai Sang Buddha; Bakat-Nya tidak
seberapa dibandingkan dengan kita; Kita harus menantang-Nya untuk datang ke
sini dan berdebat dengan kita.” Sehubungan dengan hal itu, mereka mengirim
seseorang untuk menantang-Nya; Dan demikianlah Sang Buddha, bersama semua
siswa-Nya, datang ke tempat itu, dan setelah duduk di samping air yang
mengalir, mereka memakan makanan mereka dan mencuci tangan mereka. Pada saat
itu seorang Brahmana tua dan istrinya berjalan melewati desa, meminta makanan
mereka. Sang Buddha, mengetahui bahwa dulunya orang tua ini sangat kaya, dan
salah satu menteri utama kerajaan, ia segera menoleh ke para Brahmana muda, dan
bertanya kepada mereka apakah mereka tahu siapakah orang tua ini? Mereka semua
menjawab bersama-sama, "Kami tahu dengan pasti." Dan kemudian Sang
Buddha bertanya lagi, "Dan siapakah ia?" Mereka berkata, "Ia
dulunya seorang menteri besar, dan sangat kaya." "Lalu bagaimana
(Sang Buddha bertanya) ia sekarang mengemis untuk makanannya?" Kemudian
mereka jawab, "Karena ia tidak menjaga uangnya, dan dengan bodoh
menggunakannya, ia sekarang miskin." Kemudian Sang Buddha berkata,
"Para Brahmana! Terdapat empat hal di dunia yang sulit dilakukan; Mereka
yang dapat melakukannya pasti akan memperoleh banyak kebahagiaan (Jasa kebajikan),
dan terbebas dari kemiskinan. Dan apakah empat itu? Pertama, ketika di puncak
kemudaan janganlah meremehkan; Kedua, ketika bertambahnya usia tinggalkan
pikiran tentang kesenangan (kesenangan indria); Ketiga, ketika kaya, selalu
ingatlah dalam kedermawanan; Keempat, dengan penuh hormat berikanlah perhatian
terhadap kata-kata seorang guru yang bijaksana. Karena tidak melakukan keempat
aturan tersebut Brahmana tua (terhormat) ini menjadi seperti sekarang, dan
bagaikan seekor bangau tua yang duduk di tepi suatu kolam yang kering. Dan
kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut, dan berkata:—
[19.2] “(Siang dan malam) terus menerus meremehkan dan
sombong, ketika tua masih penuh nafsu, memiliki kekayaan menjadi kikir, menolak
sabda Sang Buddha—Keempat kecenderungan ini, betapa besarnya dukacita yang
mereka berikan; Dan, sial! Ketika usia tua datang, bentuk tubuh mengkerut dan
bentuk (tubuh) yang usang! Orang yang, ketika muda, menyenangkan dirinya
sendiri, ketika tua akan diinjak-injak. Tidak berjalan dengan madya (di usia
dewasa), kekayaan akan terlepas darinya (ketika tua)—Bahkan seperti halnya
bangau putih yang duduk sendirian di tepi kolam yang kering, demikian pula ia
yang mengabaikan Aturan Moralitas akan jatuh miskin. Tua dan lemah, dengan
kekuatan yang terkuras—Kebaikan apakah yang dapat mengikuti pikiran yang cemas.
Ketika tua, seperti daun musim gugur, membusuk dan tanpa penutup, kehidupan
telah surut dan kehancuran sudah dekat, maka penyesalan (hanya) menghasilkan
sedikit kebaikan!”
Dan kemudian Sang Buddha menambahkan—"Terdapat empat kesempatan
yang diberikan kepada setiap orang yang menjalani kehidupan suci, untuk
mencapai pembebasan dan menghindari dukacita; Dan apakah empat hal (itu)?
Pertama, ketika (masih) muda dan mampu memiliki tekad moral yang tinggi; Kedua,
ketika kaya dan memiliki sarana; Ketiga, ketika cukup bahagia untuk memperoleh
pengetahuan dari tiga orang terhormat, dan dengan demikian memiliki kesempatan
untuk memperluas kemampuan seseorang dalam hal jasa kebajikan; Keempat, ketika
melalui pengalaman seseorang telah mempelajari kesia-siaan dari hal-hal
duniawi, untuk bertindak sesuai dengannya. Mereka yang memanfaatkan
kesempatan-kesempatan ini pada akhirnya pasti akan memperoleh
kebijaksanaan;" Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair
berikut:—
[19.3] “Siang dan malam, berjuang untuk menyingkirkan
keinginan ragawi, dan pada kesempatan yang tepat mengerahkan upaya dengan
sungguh-sungguh; Menemukan kebenaran bahwa segala sesuatunya tidaklah
kekal—Orang demikian tidak akan pernah jatuh ke dalam jurang kehancuran.
Berusaha untuk belajar bagaimana menyalakan pelita perenungan, dan mencari
dalam cahaya pengalaman kebijaksanaan tertinggi (Prajñā), menyingkirkan segala
kekotoran, dan menghindari hal-hal yang mengotori, dengan cahaya ini seseorang
akan menemukan dasar untuk pembebasan (Bōdhi)."
Sang Bhagavant setelah menyatakan syair-syair ini, menyebabkan Kemuliaan
Dirinya terwujud, dan akibatnya para Brahmana muda menjadi berkeyakinan atas
Dirinya, dan memohon izin untuk memasuki Samgha, dan pada akhirnya tiba pada
pembebasan sempurna (kondisi para Rahat).
###
法句譬喻經愛身品第二十 [Fǎ jù pì yù jīng ài shēn pǐn dì èr shí] - 20.
Cinta akan Tubuh [Diri] (Attavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama To-mo-ho-lo (Damakara?),
dan sekitar tujuh Li dari (ibu) kota terdapat sebuah Vihāra, di mana 500 orang
Bhiksu berdiam. Di antara mereka terdapat seorang Bhiksu tua bernama Mo-ho-lu
(Makhara?), yang, karena pikirannya berat dan tumpul, tidak mampu mempelajari
bahkan satu Gāthā pun, walaupun telah diinstruksikan oleh 500 orang Bhiksu
selama bertahun-tahun. Atas hal ini ia diperlakukan dengan hina oleh yang
lainnya, dan tidak diizinkan untuk ikut bersama mereka, namun ditinggalkan
untuk menyapu Vihāra, dan menjaga kuti-kuti para Bhiksu. Pada suatu kesempatan,
Raja negeri itu meminta semua Bhiksu untuk berkumpul di istananya, dan menerima
jamuan makannya. Pada kesempatan ini, Makhara, setelah ditinggalkan seperti biasanya,
ia berpikir demikian dalam batinnya—"Aku telah terlahir tumpul dan bodoh,
dan bahkan tidak dapat mengingat satu syair pun dari kitab suci. Apalah gunanya
untuk hidup lebih lama lagi, diabaikan dan dihina oleh sesama rekanku?"
Atas hal ini ia mengambil seutas tali, dan pergi ke belakang taman, ia
menempatkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dengan maksud untuk
menggantung dirinya. Pada saat ini Sang Buddha, dengan kemampuan mata
batin-Nya, melihat kasus orang ini, seketika mengubah Dirinya menjadi sosok
Yaksa Penunggu Pohon, dan dengan setengah tubuh-Nya keluar dari pohon,
berbicara kepada Bhiksu tua itu dengan ucapan teguran berikut—"Psha! Psha!
Engkau Bhiksu (bodoh), apakah yang akan engkau lakukan?" Atas hal ini
Makhara menjelaskan penyebab kesedihannya; Yang kemudian Yaksa Penunggu Pohon
melanjutkan ucapan-Nya dan berkata—"Janganlah melakukan hal seperti ini,
tetapi dengarkan kata-kata-Ku: Pada masa Sang Buddha Kāsyapa, dahulu kala,
engkau adalah seorang Bhiksu yang sangat mengenal tiga buku (keranjang—yaitu,
Pitaka), dan di antara 500 Ayusmant engkau adalah yang terkemuka, akibatnya
engkau dipenuhi dengan kebanggaan dan rasa puas akan diri sendiri, dan
meremehkan seluruh Bhiksu lain karena ketidak-tahuan mereka; Dan karena engkau
meninggal saat itu tanpa penyesalan, maka sejak saat itu engkau terlahir bodoh
dan tumpul—Lalu, apalah gunanya menghancurkan dirimu sendiri?”
Dan kemudian Sang Buddha, muncul dalam segala kemuliaan-Nya, mengucapkan
syair-syair ini:—
[20.1] “Jika seseorang mencintai dirinya sendiri,
biarlah ia melindungi dengan saksama apa yang membuatnya begitu cemas (yakni,
dirinya sendiri). Jika ia berharap terbebas dari keinginan ragawi, biarlah ia
mempelajari Jalan yang benar tanpa kemalasan (tidur). Dirinya sendiri, inilah pertimbangan
pertama; Biarlah ia mengerahkan kekuatannya sendiri dan mencapai kebijaksanaan.
Menguntungkan (dirinya sendiri dengan cara ini), ia kemudian dapat
menginstruksikan orang lain. Tanpa lelah dalam usahanya, ia kemudian akan
memperoleh kebijaksanaan. Orang yang tercerahkan pertama-tama akan
mengendalikan dirinya sendiri, kemudian pada waktunya ia akan mampu mengatur
orang lain. Mengatur perilakunya sendiri, dan memasuki (wilayah) kebijaksanaan
sejati, ia harus naik ke tempat tertinggi (yakni, menjadi terkemuka). Tetapi
jika seseorang tidak dapat meningkatkan (keuntungan) dirinya sendiri, bagaimana
bisa orang demikian dapat memberi manfaat kepada orang lain; Dan, di sisi lain,
keinginan (sumpah) apakah yang tidak dapat dicapai ketika dirinya mampu
mengendalikan dengan benar atas dirinya sendiri? Apa yang sekarang kulakukan
dalam tubuhku, setelahnya akan kuterima sendiri; Jika aku berbuat jahat, aku
sendiri akan menyebabkan kejahatan yang lebih banyak lagi, seperti halnya bor
baja yang melubangi permata.”
Makhara, setelah mendengarkan syair-syair ini, dan melihat kemuliaan tubuh
Sang Buddha, segera bersujud di kaki-Nya untuk menghormat, dan mampu mencapai
kedamaian. Lebih jauh Sang Buddha memerintahkannya untuk pergi ke istana Raja;
Dan setelah berkhotbah di sana, ia menjadi seorang Rahat. [Dan Raja beserta
para menterinya, dll., memasuki Sang Jalan.]
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat
500 Brahmana yang terus-menerus berusaha untuk menghardik-Nya. Sang Buddha,
melalui mata dewa-Nya, menembus niat mereka, dan tergerak oleh belas kasihan
terhadap mereka, ingin membawa mereka kepada pengetahuan tentang kebenaran.
Mereka telah sepakat untuk membujuk seorang tukang daging agar meminta Sang
Buddha untuk menerima jamuan makannya, dan kemudian, ketika Beliau berada di
sana, mempertontonkan pembunuhan berbagai makhluk di sekitar-Nya, sehingga
dalam mengutuk pembunuhan, Belau harus mengutuk tuan rumahnya, atau, dalam
memuji tuan rumahnya, ia harus membenarkan pembunuhan tersebut. Kemudian Sang
Buddha, setelah menerima undangan tuan rumahnya, menyapanya
demikian—"Ketika buah sudah matang ia akan jatuh dengan sendirinya, jadi
ketika jasa kebajikan sudah matang, ia akan dengan sendirinya menunjukkan
dirinya (menghasilkan keselamatan)." Kemudian si tukang daging, kembali ke
rumahnya, membuat semua persiapan yang diperlukan untuk jamuan makan. Pada
waktu yang ditentukan Sang Buddha tiba, dan setelah naik ke singgasana
pembabaran, Beliau tergerak oleh keinginan yang kuat untuk membuat para Brahmana
dan mereka semua yang berkumpul di sana menjadi berkeyakinan; Dan dengan
benar-benar mengetahui isi pikiran mereka, Beliau mulai dengan menutupi
wajah-Nya dengan lidah-Nya, dan kemuliaan-Nya tampak di seluruh kota; Dan
kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:
[20.2] “Ajaran orang bijaksana adalah ini, bahwa
dengan kebijaksanaan kita menjaga diri kita sendiri. Orang bodoh
mengejeknya—Mereka melihat, dan tetap berbuat jahat; Dan dengan perbuatan jahat
mereka menuai kemalangan, seperti halnya ia yang menabur (bibit) tanaman yang
berbahaya (menuai hal yang sama). Orang jahat dalam dirinya sendiri
mengumpulkan (menerima buah dari) kesalahannya (sendiri); Orang baik menuai
buah (jasa kebajikan) yang baik dalam dirinya sendiri; Dan demikianlah setiap
orang menyiapkan panen untuk dirinya sendiri. Perhatian orang lain tidak
memengaruhi kasus seseorang—Berbuat baik, maka kita menuai kebaikan, seperti
orang yang menabur sesuatu yang manis (menikmati hal yang sama).”
Mendengar kata-kata ini, para Brahmana menjadi yakin akan kebodohan
mereka, dan menjadi murid. Tukang daging dan rekan-rekannya juga berkeyakinan,
dan kemudian Sang Buddha kembali ke Vihāra.
###
法句譬喻經世俗品第二十一 [Fǎ jù pì yù jīng shì sú pǐn dì èr shí yī] - 21.
Dunia (Lokavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat seorang Raja Brahmana tertentu bernama
To-mi-seay (Dhamasa?). Suatu hari terlintas dalam pikiran sang Raja untuk
membagikan, sesuai kebiasaan para Brahmana, batu-batu permata dalam jumlah tak
terbatas, dsb., kepada para pengikut kepercayaannya, dengan aturan bahwa setiap
Brahmachārin yang datang sebagai seorang penerima (pengemis) dapat mengambil
segenggam dari tumpukan itu dan pergi. Begitulah hal itu berlangsung selama
berhari-hari; Namun tumpukan kekayaan itu tidak tampak berkurang. Sehubungan
dengan hal itu, Sang Buddha, mengetahui kondisi Raja dan kemampuannya
(kapasitasnya) untuk berkeyakinan, mengubah Dirinya menjadi seorang
Brahmachārin, dan pergi ke tempat itu. Sang Raja keluar dari istananya, ketika ia
melihat-Nya mendekat, memberi hormat kepada-Nya, dan mengantar-Nya masuk,
menanyakan apa yang ingin Beliau terima, dan meminta-Nya untuk tidak ragu-ragu
dalam meminta. Mendengar hal itu, Sang Brahmachārin menjawab, “Aku datang dari
jauh dan ingin meminta beberapa permata, agar Aku dapat memiliki harta yang
cukup untuk membangun sebuah rumah.” Raja dengan segera menjawab, “Tuan yang
Mulia, Engkau boleh mengambil segenggam, dan marilah.” Mendengar hal itu,
Brahmachārin itu mengambil banyak permata dari tumpukan itu, lalu setelah
berjalan tujuh langkah, ia kembali dan menaruhnya kembali di tumpukan itu.
Karena hal itu Raja bertanya mengapa Beliau bertindak seperti demikian, tidak
mengambil permata-permata itu. Brahmachārin itu menjawab, “Segenggam ini memang
cukup untuk-Ku membangun sebuah rumah; Namun setelahnya Aku akan mempersunting
seorang istri, dan untuk tujuan itu segenggam ini tidaklah cukup.” Mendengar
hal itu, Raja meminta-Nya untuk mengambil tiga genggam, dan marilah. Setelah
melakukannya dan berjalan tujuh langkah, lagi-lagi Beliau kembali dan menaruh
permata-permata itu di tumpukan. Raja pun bertanya lagi tentang alasan-Nya
melakukan hal itu. Beliau pun menjawab, “Ini mungkin cukup untuk memberi-Ku
rumah dan istri, tetapi Aku harus membeli beberapa budak, lembu, dan kuda, dan
untuk tujuan ini tiga genggam tidak akan cukup.” Karena hal itu Raja pun berkata,
“Ambillah tujuh genggam, dan marilah.” Setelah Brahmachārin itu melakukannya,
dan berjalan tujuh langkah, Beliau kembali lagi dan melakukan hal yang sama
seperti sebelumnya. Beliau berkata bahwa tujuh genggam ini, walaupun cukup
untuk tujuan yang ditentukan, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan anak-anak-Nya. Raja pun memintanya untuk mengambil seluruh
tumpukan permata dan menggunakannya untuk tujuan yang disebutkan. Brahmachārin
itu pun melakukannya, dan pergi. Karena hal ini Sang Raja, tertegun, berteriak
kepada-Nya dalam suara yang keras apakah alasan-Nya Beliau melakukan hal itu?
Brahmachārin itu menjawab, bahwa mereka yang mengemis hanya mencari hal-hal
untuk kehidupan saat ini; Sementara mereka yang berpikir, menemukan
ketidak-stabilan dan ketidak-kekalan dari semua hal duniawi, dan kumpulan
dukacita dan kesakitan yang terus terkumpul merupakan hasil dari kehidupan duniawi.
Dan sehubungan dengan hal ini, setelah kembali ke tubuh-Nya yang Mulia sebagai
Sang Buddha, Beliau menyatakan syair-syair berikut:
[21.1] “Walaupun seseorang memiliki setumpuk permata
setinggi alam surga, yang cukup untuk memenuhi dunia, ia tidak sebahagia orang
yang memahami prinsip pertama dari kebenaran (mulia); Ia yang membuat keburukan
menyerupai kebajikan, dan cinta menyerupai kebencian (atau, mencampur-adukkan
satu dengan hal lain), ia yang mencampur-adukkan sumber kegembiraan sejati dengan
dukacita—Orang itu pasti, yang kehilangan akal sehat, menyebabkan kehancurannya
sendiri.”
Mendengar kata-kata ini, Sang Raja dipenuhi dengan kegembiraan, dan baik
Raja dan para menterinya menerima Sila, dan memasuki Sang Jalan.
###
法句譬喻經述佛品第二十二 [Fǎ jù pì yù jīng shù fú pǐn dì èr shí èr] - 22.
Sang Buddha (Buddhavaggo).
[1] Dahulu kala, Sang Buddha sedang berdiam di Magadha, di bawah pohon
yang menaungi Bodhimanda (tempat pencerahan). Setelah mengalahkan Māra dengan
kekuatan kehadiran-Nya (Parami), ia
merenungkan dalam batin-Nya bahwa lima orang yang sebelumnya dikirim oleh
ayah-Nya untuk menjaga-Nya dan memberi-Nya makanan yang cukup, berada dalam
kondisi yang dapat mendengar suara genderang Dharma tentang Nirvana; Dan
menyadari bahwa mereka berada di Benares, Beliau segera bangkit dari bawah
pohon, sementara alam surga dan manusia diterangi dengan cahaya surgawi, dan
tanah di bawahnya berguncang. Bergembira dengan tanda-tanda ini, Beliau
berjalan maju, dan di tengah jalan Beliau bertemu dengan seorang Brahmachārin
bernama Upaka (Yeon-fu), yang telah meninggalkan keluarga dan rumahnya untuk
mencari seorang guru yang dapat membimbingnya di jalan kebenaran. Melihat Sang Bhagavant,
betapa Agung penampilan-Nya dan betapa menyenangkan perilaku-Nya ketika Beliau
berjalan, ia berteriak kepada Beliau dengan suara yang keras, “O Tuan! (Engkau)
penuh dengan pengetahuan dan penyelidikan Dharma, apakah latar belakang-Mu, dan
siapakah yang menjadi guru-Mu, sehingga Engkau sampai pada kondisi seperti
ini?” Kepadanya Sang Buddha menjawab dalam syair-syair berikut:—
[22.1] “Dengan Diriku sendiri, dan oleh Diriku
sendiri, Aku telah mencapai pelenyapan, tidak ada yang mengotori. Semua cinta
akan hal-hal duniawi telah berakhir. Aku telah menghancurkan jaring nafsu.
Dengan Diriku sendiri, tanpa seorang guru pun, Aku telah mencapai posisi ini;
Dan Aku sekarang tidak membutuhkan pelindung atau pendukung. Aku berdiri
sendirian, tanpa seorang pun yang menjadi pembimbing dalam perilaku; Setelah
memiliki satu tujuan ini, Aku telah menjadi Sang Buddha (Tercerahkan), dan
dengan ini, telah mencapai Kesucian yang Sempurna.”
Upaka setelah mendengarkan syair-syair ini, tanpa pemahaman Dharma apa
pun, bertanya lebih lanjut, “Baiklah, Gotama, ke arah mana Engkau akan pergi?”
Sang Buddha menjawab, “Aku akan pergi ke Benares, untuk menabuh genderang
Dharma yang tak tertandingi, yang belum pernah terdengar, yang dengannya baik
Deva maupun manusia dapat mencapai Nirvāna, bahkan seperti yang telah Aku capai
sekarang.” Kemudian Upaka dengan gembira menjawab, “Benar sekali! Sādhu! Semoga
Engkau, seperti yang Engkau katakan, dapat menyatakan Dharma tentang Nirvāna!”
Dan setelah berkata demikian, Upaka berbalik ke jalan lain, dan kehilangan
kesempatan untuk menemukan seorang guru untuk membimbingnya ke Jalan yang
benar. Di tengah malam itu Upaka meninggal; pada saat itu Sang Buddha,
mengetahui fakta itu melalui mata dewa-Nya, berbicara sebagai berikut (dalam
prosa, setelah suatu sentimen serupa):—
[22.2] “Melihat kebenaran, murni dan tak tercampur,
terbebas dari lima jalan kehancuran (lima cara kelahiran), Sang Buddha telah
datang untuk mencerahkan dunia, untuk membuat Jalan keluar dari semua sumber
dukacita dan kesakitan. (Sungguh) sulit untuk terlahir sebagai manusia; Juga
(sungguh) sulit untuk mencapai usia (yaitu, umur panjang); (Sungguh) sulit
terlahir ketika kemunculan Sang Buddha; Dan juga (sungguh) sulit untuk
mendengarkan pembabaran Dharma Sang Buddha.”
Setelah mendengar kata-kata ini, lima ratus pengunjung surgawi dipenuhi
dengan kegembiraan, dan memasuki Sang Jalan.
[2] Dahulu
kala terdapat sebuah negeri sekitar 4.000 Li di selatan Rājagriha yang
sepenuhnya menganut ritual Brahmana, dengan sekitar seribu Brahmana (atau
beberapa ribu) sebagai penduduknya. Pada suatu masa terjadi kekeringan di
negeri itu, yang berlangsung selama tiga tahun lamanya. Dengan sia-sia
orang-orang membuat pengorbanan kepada semua Deva mereka—Tanpa ada hasil yang
baik. Pada akhirnya Raja bertanya kepada para Brahmachārin bagaimana hal ini
bisa terjadi; Dan mereka menjawab, “Kita harus menaati Dharma tertinggi, dan
menyingkirkan orang-orang tertentu untuk berkomunikasi dengan Deva Brahma, dan
meminta agar malapetaka ini diakhiri.” Sehubunngan dengan hal ini Raja
menanyakan niat mereka, dengan maksud untuk meneruskannya lebih jauh, dan mereka
menjawab, “Kita perlu memiliki dua puluh kereta perang, dengan kayu, dupa,
salep, bendera, dan uang, dan bejana korban.” Setelah Raja menyediakan semua
ini, mereka meninggalkan kota sekitar tujuh Li, dan di sana, di suatu tanah
yang datar, mereka mendirikan kayu mereka di tempat yang tinggi, dan kemudian
saling menasehati agar tidak peduli dengan kondisi tubuh mereka saat ini,
tetapi bercita-cita untuk dilahirkan di alam Brahma; Dan demikianlah pada
akhirnya tujuh orang dibujuk agar setuju naik ke api pengorbanan, dan dibakar
di atasnya. Kemudian, setelah pelafalan mantra dan ritual seperti biasanya,
mereka naik ke kayu bakar, dan menunggu akhirnya. Tetapi ketika api dinyalakan
ke bagian bawah, terdengar suara retakan, dan (mereka) menjadi takut dengan
kematian, mereka bangkit dan berlari ke sana-sini, dan memohon untuk
diselamatkan—Namun semuanya sia-sia; Dan kemudian, dalam kebingungan, mereka
berdoa demikian, “Oh, tidak adakah seorang pun di tiga alam yang mengasihani
kami! Oh, datanglah engkau dan selamatkanlah kami!” Mendengar kata-kata ini,
Sang Buddha muncul dari langit di atas mereka, dan ketika mereka dipenuhi
dengan kegembiraan, Beliau berkata:
[22.3] “Sesungguhnya (karena ketakutan) orang-orang
mencari banyak tempat berlindung; Mereka berlindung di pegunungan dan
lembah-lembah, dan (mencari) penunggu-penunggu yang tinggal di pepohonan; Mereka
mendirikan perwujudan para Deva, dan melakukan pemujaan kepada perwujudan
tersebut, mencari kebahagiaan (jasa kebajikan). Namun perlindungan demikian
bukanlah yang terbaik ataupun yang beruntung; Tidak satu pun dari perlindungan
ini yang mampu menyelamatkanmu dari
dukacita (atau kesakitan yang terkumpul). Tetapi ia yang berlindung pada Sang
Buddha, Dharma, dan Sangha, dan dengan pandangan terang menembus makna dari
Empat Kebenaran Mulia, ia tentu akan mencapai (melihat) kebijaksanaan
tertinggi. Ia yang mencari perlindungan pribadi dalam ketiga hal ini, menemukan
yang paling beruntung dan terbaik. Hanya pada ketiga hal ini, tanpa
perlindungan lain, seseorang dapat menemukan pembebasan dari semua dukacita.”
Mendengar syair-syair ini, suara api tidak lagi terdengar, dan para
Brahmana serta para pelayan mereka, saat mereka melihat Sang Buddha (yang
sekarang muncul) dalam kemuliaan-Nya, dipenuhi dengan kegembiraan, dan melihat
kemunculan-Nya yang ajaib, mereka berkeyakinan, dan, turun dari api
pengorbanan, mereka mengucapkan syair-syair ini:—
[22.4] “Oh, betapa bahagianya melihat Sang Muni! Oh,
betapa bahagianya dapat mengandalkan-Nya sebagai pembimbing! Oh, betapa
bahagianya orang yang dapat menghindari pergaulan dengan orang-orang bodoh,
serta bertindak baik dan bermoral dengan dirinya sendiri! Betapa bahagianya ia
yang dengan cermat menjaga Sang Jalan kebenaran (persepsi yang benar, atau
cara-cara yang benar); Betapa bahagianya ia yang dapat mengulang Dharma; Betapa
bahagianya ia yang menghindari diskusi (perselisihan) di dunia; Betapa
bahagianya ia yang selalu menjalankan Sila; Betapa bahagianya ia yang bergaul
dengan orang-orang baik, dan memperlakukan mereka sebagai saudaranya sendiri;
Ia yang sering bergaul dengan mereka yang bermoral adalah seorang bijaksana,
dan sangat termasyhur.”
Setelah mengucapkan syair-syair ini, ketujuh orang itu menjadi Rahat,
dan Raja beserta para menterinya, bersama para Deva yang tak terhitung
jumlahnya, setelah memasuki Sang Jalan, mendapat keistimewaan untuk melihat
banyak hujan yang turun di tanah itu.
###
法句譬喻經安寧品第二十三 [Fǎ jù pì yù jīng ān níng pǐn dì èr shí sān] - 23.
Tenang dan Tentram (Sukhavaggo).
[1] Dahulu kala sekitar 300 Li di selatan Rājagriha, terdapat sebuah
desa yang dihuni sekitar 500 petani gunung yang batinnya terasing dari Dharma,
dan tidak lagi dapat berkeyakinan dengan cara yang biasa, namun tidak acuh
terhadap harapan akan pembebasan akhir. Mendengar hal ini, Sang Bhagavant,
mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, pergi ke desa tersebut untuk meminta
derma makanan, dan setelah mengumpulkan cukup derma makanan, Beliau
meninggalkan desa tersebut dan duduk di bawah sebatang pohon di dekatnya.
Sambil duduk demikian, Beliau memasuki suatu kondisi Samādhi yang disebut
Nirvāna (Saṃjñāvedayita-nirodha), dan
demikianlah yang terjadi selama tujuh hari, tidak bergerak, dan (tampaknya)
tidak bernafas. Orang-orang desa yang melihatnya demikian, dan percaya bahwa
kehidupan telah lenyap, berkata di antara mereka sendiri, “Bhiksu ini jelas
telah meninggal; Kita akan mengumpulkan kayu untuk api kremasi, dan membakar
tubuh-Nya.” Setelah melakukannya, mereka membakar kayu tersebut. Setelah api
itu padam, Sang Buddha bangkit dari bara apinya, dan memperlihatkan tubuh-Nya
yang mulia dengan berbagai cara yang ajaib, Beliau kembali ke bawah naungan
pohon tempat Beliau berada sebelumnya, dan kembali duduk dengan tenang.
Penduduk desa, melihat kejadian yang menakjubkan ini, semuanya datang mendekat
dan memberi penghormatan kepada-Nya, dan berkata, “Kami memang orang-orang
pegunungan yang miskin, dan tidak tahu bahwa Engkau adalah seorang Deva, dan
karena itulah kami menyiapkan api kremasi untuk membakar tubuh-Mu. Kami
mengakui kesalahan kami, dan berharap pengampunan, dan memohon agar tidak ada
kemalangan yang menimpa kami sebagai akibatnya, apakah itu penyakit, atau
kelaparan, atau kekeringan.” Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant membuka
mulut-Nya, dan menyatakan syair-syair ini:
[23.1] “Hidup-Ku kini tenang, tanpa amarah di antara
mereka yang marah (atau mereka yang membenci). Orang-orang memanglah merasa
marah di segala penjuru, tetapi hidup-Ku (perilaku) terbebas dari amarah.
Hidup-Ku kini tenang, terbebas dari penyakit di antara mereka yang sakit; Semua
orang menderita penyakit, bagi-Ku tidak. Hidup-Ku kini tenang, tanpa dukacita
di tengah dukacita; Semua orang memiliki dukacita, tetapi Aku tidak
memilikinya. Hidup-Ku kini tenang, dalam kedamaian yang sempurna, tanpa tujuan
pribadi (wou wei), memakan sukacita
(adiduniawi) [piti-sukha], seperti
para deva bercahaya di atas sana (Brahma
Abhāsvara). Hidup-Ku kini tenang, tentram, tanpa kepedulian, tanpa
pemikiran tentang 'Apa yang harus Kulakukan.' Tumpuklah kayu bakar, dan biarkan
api mengelilingi-Ku; Namun bagaimana api itu dapat menyentuh orang seperti-Ku?”
Atas hal ini penduduk desa menjadi berkeyakinan dan menjadi para Rahat,
dan Sang Buddha beserta para pengikut-Nya kembali melalui langit ke hutan
bambu, pada saat itu Sang Bhagavant menjelaskan kepada Ananda bahwa di masa
lampau, ketika Beliau menjadi seorang Pratyeka Buddha, Beliau telah mencapai
Nirvāna di bawah pohon yang sama[*], dan karena penduduk desa telah
dengan penuh hormat membakar tubuh-Nya, dan mengumpulkan relik-Nya dan
menaruh-Nya dalam peti, dan memberikan penghormatan kepada relik tersebut,
mereka sekarang mendapat keistimewaan untuk mendengarkan khotbah-Nya, dan demikianlah
(mereka) memperoleh buah dari Sang Jalan. Setelah penjelasan ini, para Deva
yang tak terhitung jumlahnya memperoleh pengetahuan tentang Sang Jalan.
[*] Di bagian ini, nampaknya
telah ada pengaruh ide-ide Mahayana, di mana seorang Śrāvaka dan Pratekya
Buddha masih dapat terlahir kembali.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di
Śrāvastī, terdapat empat orang Bhiksu yang duduk di bawah sebatang pohon, sedang
berbincang-bincang demikian: “Menurutmu, apakah dukacita terbesar yang harus
ditanggung di seluruh dunia?” Yang pertama berkata dukacita terbesar di dunia
adalah nafsu; Yang kedua berkata dukacita terbesar adalah lapar dan haus; Yang
ketiga berkata itu adalah kemarahan; Yang keempat berkata itu adalah ketakutan.
Sementara mereka berdebat demikian, tanpa harapan untuk mencapai kesepakatan,
Sang Buddha, mengetahui kasus tersebut, mendatangi tempat itu, dan bertanya
tentang apakah perdebatan mereka. Karena hal ini para Bhiksu, setelah bangkit
dan memberi hormat kepada-Nya, menjelaskan bagaimana kasus tersebut terjadi.
Sehubungan dengan hal ini Sang Bhagavant menjelaskan bahwa mereka belum sampai
ke dasar masalah tersebut, tetapi bahwa tubuh itu sendiri adalah dukacita
terbesar, karena dari tubuh muncul dukacita lapar dan haus, dingin dan panas,
kemarahan, dan kesombongan, dan nafsu; Dan karena itulah tujuan kita seharusnya
adalah untuk menyingkirkan tubuh (kemenjadian di masa depan), dan dengan
demikian mencapai ketenangan sempurna dari Nirvāna. Dan kemudian Beliau
menyatakan syair-syair berikut:—
[23.2] “Tidak ada api yang lebih besar daripada nafsu;
Tidak ada penderitaan (racun) yang lebih buruk daripada kebencian; Tidak ada
dukacita yang lebih besar daripada tubuh ini; Tidak ada kegembiraan yang
seperti kehancuran(nya). Tanpa keselarasan hanya terdapat sedikit kegembiraan
yang dapat dicapai; Sedikit kemampuan dalam membedakan kebenaran dalam argumen
menghasilkan sedikit kebijaksanaan; Dengan memahami dan mencari apa yang
benar-benar terbaik, hanya dengan cara ini seseorang memperoleh ketenangan yang
sempurna. Sekarang, Aku, Sang Bhagavant, menjelaskan sepenuhnya karakter mereka
yang tidak berduka; Aku sepenuhnya (mampu) membebaskan tiga alam; Aku sendiri
(atau oleh Diriku sendiri) telah mengalahkan seluruh pasukan Māra (Yang
Jahat).”
Setelah menyatakan syair-syair ini, Sang Buddha menjelaskan bagaimana di
masa lampau terdapat seorang Bhiksu tertentu yang memiliki lima kemampuan batin
(iddhi), yang berdiam di pegunungan
di bawah sebatang pohon, mempraktikkan pertapaan dengan tujuan untuk pembebasan
akhir. Ketika berdiam demikian, empat binatang juga datang dan tinggal di
dekatnya, yaitu, seekor burung kecil (burung pipit?), seekor burung besar
(burung puyuh?), seekor ular berbisa, dan seekor rusa. Pada suatu kesempatan,
Bhiksu itu mendengar makhluk-makhluk ini juga berdebat di antara mereka sendiri
tentang apa yang merupakan dukacita terbesar di dunia, dan mereka juga, dari
berbagai watak mereka, menganggap penyebab penderitaan yang sama seperti kalian
punya, yaitu, nafsu, kelaparan, kemarahan, dan ketakutan. Kemudian Bhiksu itu
menjelaskan kepada mereka juga, seperti yang telah Kujelaskan kepada kalian,
bahwa tubuh, sumber dari semua dukacita, adalah dukacita terbesar, dan karena
itulah kebahagiaan terbesar adalah menyingkirkan tubuh dan memperoleh Nirvāna.
Dan karena hal ini mereka mampu memahami kebenaran. Sekarang pada waktu itu Aku
adalah Bhiksu itu, dan kalian adalah keempat makhluk itu. Mendengar hal ini,
para Bhiksu dipenuhi dengan keterdesakan (Samvega)
dan cinta akan diri sendiri, yang kemudian membuat mereka mampu mencapai
kondisi para Rahat.
###
法句譬喻經好喜品第二十四 [Fǎ jù pì yù jīng hǎo xǐ pǐn dì èr shí sì] - 24.
Dicintai (Piyavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana,
di kota Śrāvastī, terdapat empat orang Bhiksu yang baru saja ditahbiskan yang
pergi bersama dan duduk di bawah sebatang Pohon Plum, berniat untuk
mempraktekkan pemusatan pikiran (Dhyāna).
Pada saat itu pohon tersebut sedang mekar sempurna, dan (karena) terpesona oleh
warna-warna yang indah dan aroma harum bunga-bunga itu, percakapan para Bhiksu
itu berubah menjadi seperti ini—Yaitu, tentang hal apakah di seluruh dunia ini
yang paling layak untuk dicintai sebagai sumber kesenangan. Kemudian salah satu
dari mereka berkata, “Menurutku kebahagiaan terbesar di dunia adalah pada suatu
malam purnama di musim semi, ketika semua pohon sedang bermekaran, untuk terus
mengembara di negeri, dan bersenang-senang tanpa hambatan,” Yang lain berkata,
“Menurutku kesenangan tertinggi adalah kumpul-kumpul bersama keluarga, dan
menikmati pesta dan anggur, musik dan tarian.” Yang lain berkata, “Menurutku
kebahagiaan tertinggi adalah memiliki kekayaan yang memungkinkan seseorang
memperoleh apa pun yang diinginkan pikirannya, baik itu kereta perang atau
kuda, pakaian atau perhiasan, yang akan membuat seseorang, saat terlahir di
dunia, dikagumi dan dicemburui semua yang melihatnya.” Yang keempat berkata,
“Dan menurutku kebahagiaan tertinggi adalah memiliki istri secantik mungkin,
dan melihatnya mengenakan semua jubah terbaik, diurapi dengan minyak wangi yang
paling langka, dan selalu siap untuk memuaskan cinta.” Saat itu Sang Buddha,
mengetahui bahwa orang-orang ini mampu berkeyakinan, namun belum mencapai pada
pengetahuan tentang ketidak-kekalan dari enam objek keinginan, dengan segera,
sambil menghela nafas, berbicara kepada keempat orang itu, dan bertanya kepada
mereka, “Apakah topik pembicaraan kalian, saat kalian duduk bersama di sini di
bawah pohon ini?” Sehubungan dengan hal ini, mereka memberi tahu Beliau dengan
jujur apa gagasan masing-masing tentang kebahagiaan. Dan kemudian Sang Buddha
menimpali, “Akhirilah pembicaraan seperti itu, karena semua hal ini (yang kalian
inginkan) adalah penyebab (jalan dari) dukacita, kemalangan, ketakutan, dan
malapetaka. Hal ini bukanlah Jalan menuju kedamaian tanpa kondisi, kondisi
kebahagiaan tertinggi. Bunga-bunga musim semi akan layu di musim gugur, dan
gugur sepenuhnya sebelum musim dingin. Semua teman yang kalian andalkan untuk
kebahagiaan, akan segera tersebar dan berpisah jauh. Kekayaan yang kalian
hargai, dan kecantikan istri, dan kesenangan-kesenangan itu, sial! Adalah penyebab
dari setiap kemalangan—Kebencian dalam keluarga, kehancuran tubuh, dukacita di
masa depan! Karena itulah, para Bhiksu! Yakinlah bahwa kebahagiaan tertinggi
adalah meninggalkan dunia, mencari kebijaksanaan tertinggi, menginginkan satu kondisi
yang tanpa kepedulian sepenuhnya, tidak menginginkan apa pun untuk diri
sendiri, dan bertujuan pada Nirvāna.” Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan
syair-syair ini:
[24.1] “Dari cinta (atau nafsu) muncullah dukacita,
dari nafsu muncullah ketakutan; Ketika tidak ada nafsu (atau, tidak ada dasar
untuk nafsu), dukacita, ketakutan apakah yang dapat muncul? Dari kesenangan
muncullah dukacita, dari kesenangan muncullah ketakutan; Ketika tidak ada dasar
untuk kesenangan, dukacita atau ketakutan apakah yang dapat muncul? Dari
ketamakan (keserakahan) muncullah dukacita, dari ketamakan muncullah ketakutan;
Ketika seseorang terbebas dari ketamakan, tidak akan ada dukacita ataupun
ketakutan. Namun ketika menjadi serakah demi sepenuhnya memenuhi persyaratan
(aturan moral) dari Dharma—Untuk jujur dalam segala hal (atau, untuk
benar-benar jujur), untuk bersikap madya dalam segala hal, untuk menjalankan
urusannya sendiri (untuk mengendalikan dirinya sendiri) sesuai dengan apa yang
benar—Hal ini berarti meletakkan sebuah pondasi atas cinta dari segalanya.
Gagasan kesenangan belum dihasilkan, pikiran dan kata-katanya tenang,
pikirannya tidak terpengaruh oleh kebingungan cinta, ia memang akan naik ke
atas (atau memotong) Arus.”
[Setelah mengucapkan syair-syair ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa pada
zaman dahulu kala terdapat seorang Raja yang pernah menjamu empat Raja tetangga
dan memanjakan mereka dengan segala kesenangan. Pertanyaan-pertanyaan yang
serupa dengan pertanyaan di atas muncul di antara mereka. Akhirnya, Raja yang
menjadi tuan rumah menjelaskan masalahnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Sang Buddha. Pada saat itu, keempat Raja tersebut adalah empat Bhiksu itu, dan
Raja utamanya adalah Sang Buddha sendiri.]
###
法句譬喻經忿怒品第二十五 [Fǎ jù pì yù jīng fèn nù pǐn dì èr shí wǔ] - 25. Kemarahan (Kodhavaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung
Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, kemudian (saat itu) Devadatta, bersama dengan
Rāja Ajātaśatru, menyusun suatu rencana untuk menghancurkan Sang Guru dan para
pengikut-Nya. Rencananya adalah demikian:— Bahwa Raja melarang penduduk kota untuk memberikan
derma kepada Samgha, dan demikianlah, setelah mereka merasa upaya pindapatta
tidak berhasil, maka Raja mengundang mereka semua ke istana dalam suatu jamuan
makan. Sementara itu, Devadatta, setelah memabukkan 500 ekor gajah, berencana
akan melepaskannya kepada Sang Guru dan para pengikut-Nya, dan menghancurkan
mereka semua. Undangan itu pun diberikan dan diterima oleh Sang Buddha, dan
begitulah pada keesokan harinya mereka memasuki kota sesuai kesepakatan.
Setelahnya, gajah-gajah itu dilepaskan dengan belalai terangkat dan datang ke
Samgha sambil berteriak, sehingga 500 Rahat yang mengikuti Sang Buddha naik ke
udara (dan terbang menjauh), tetapi Sang Buddha, dengan Ānanda di sisi-Nya,
menahan amukan binatang buas itu, yang kemudian datang dan membungkuk, dan
pergi ke hadapan Sang Guru dengan sangat patuh. Setelah itu, Sang Buddha
mengangkat kelima jari tangan-Nya dan memunculkan lima singa, yang mengaum,
sementara bumi berguncang dan gajah-gajah itu berbaring ketakutan di tanah.
Setelahnya Sang Buddha dan para pengikut-Nya pergi ke istana Raja, dan setelah
mendengarkan pengakuan Raja, Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:—
[25.1] “Di antara orang-orang tidak ada seorang pun
yang tidak dicela, dari zaman dulu hingga sekarang. Sejak dulu mereka mencela
orang yang banyak bicara, mereka mencela orang yang sabar dan pendiam; Mereka
juga mencela orang yang mencari perilaku madya; Selalu ada celaan di dunia ini.
Mereka yang ingin mencari kesalahan orang baik (suci) tidak pernah mampu
membedakan dengan tidak memihak (mengambil jalan tengah); Mereka mencelanya
sepenuhnya atau mereka memujinya sepenuhnya, namun semua itu dilakukan atas
suatu gagasan palsu tentang keuntungan atau ketenaran. Tetapi orang yang dipuji
oleh Mereka Yang Tercerahkan dan Bijaksana, dan yang mereka anggap dan sebut
sebagai orang yang jujur dan baik, seseorang yang benar-benar bijaksana dan
hidup tanpa keburukan, tanpa dasar apapun untuk mencela dalam dirinya sendiri,
sebagai seorang Rahat untuk kemurnian, tidak ada celaan baginya—Orang demikian
harus dikagumi oleh para Deva sendiri, bahkan Brahma dan Śakra harus memuji
orang demikian.”
Setelah menyatakan syair-syair ini, Sang Bhagavant menuturkan kisah ini:—"Dahulu
kala terdapat seorang Raja tertentu, yang sangat mencintai daging angsa liar
diatas segalanya sebagai makanan sehari-harinya. Oleh karena itu ia biasa
mempekerjakan seorang pemburu (atau pemburu burung) dengan tujuan khusus untuk
menjebak burung-burung ini dan menyediakan daging untuk hidangan kerajaan.
Suatu hari pemburu burung itu pergi berburu, dan sekawanan angsa yang berjumlah
500 ekor datang dengan raja mereka sebagai pemimpin, dan hinggap untuk mencari
makan di tempat perangkap dipasang. Akibatnya, raja angsa itu terperangkap dan
tetap terjerat di dalam jerat. Kemudian, yang lainnya, karena ketakutan,
terbang berputar-putar di tempat itu, namun tidak mau meninggalkannya. Salah
satu angsa tertentu terus terbang dekat dengan jaring, dan, tidak gentar oleh
anak panah pemburu itu, terus mengeluarkan teriakan memilukan, sementara
tetesan darah (dari luka-lukanya) terus jatuh ke tanah, dan begitulah dari pagi
hingga malam ia terus melakukan hal tersebut. Kemudian pemburu itu, tergerak
oleh belas kasihan, membebaskan raja burung itu, dan dengan gembira ia terbang
untuk bergabung kembali dengan kawanannya. Ketika menceritakan hal ini kepada
Raja, Raja sangat menyetujui apa yang telah dilakukannya dalam membebaskan
burung itu. Pada saat itu, Sang Buddha berkata, Aku adalah raja angsa liar,
Ānanda adalah angsa setia yang tidak akan meninggalkan-Ku, engkau, O Raja!
adalah Raja negeri itu, dan pemburu itu adalah Devadatta, yang selalu berusaha
menyakiti-Ku (tetapi pada kesempatan ini Aku tidak menahan sedikit pun pujian
darinya atas perilaku bajiknya) [setidaknya demikianlah tampaknya makna dari
cerita itu].”
###
法句譬喻經塵垢品第二十六 [Fǎ jù pì yù jīng chén gòu pǐn dì èr shí liù] - 26.
Kekotoran (Malavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat seorang pemuda yang tidak memiliki saudara
laki-laki, namun hanya memiliki seorang putera kecil yang sangat dicintai oleh
kedua orang tuanya. Mereka memberikan pendidikan kepadanya, dan dengan penuh
harap ia akan menjadi kehormatan bagi keluarga mereka. Namun, sial! Ia ceroboh
dan lalai, dan tidak belajar apa pun. Akibatnya orang tuanya membawanya ke
rumah mereka, dan berharap ia akan berguna dalam mengelola rumah. Namun ia
malas dan kotor dalam perilakunya, dan segalanya menjadi dukacita bagi mereka.
Akibatnya ia diremehkan oleh semua tetangga, dan menjadi objek hinaan di antara
teman-temannya, dan hampir dibenci oleh orang tuanya. (Karena) sangat tersentuh
oleh hal ini, ia mencari penghiburan dalam pelatihan kehidupan suci, namun
tidak menemukan bantuan dalam semua penebusan kesalahan dan pujanya kepada para
Deva. Akhirnya, (setelah) mendengar bahwa Sang Buddha adalah Guru Yang Maha
Bijaksana yang dapat memenuhi kebutuhan dalam kasusnya, ia datang kepada-Nya
dan memohon bantuan-Nya. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "Jika engkau
ingin menemukan penghiburan dalam Samgha-Ku, hal pertama yang harus engkau
pelajari adalah kemurnian perilaku. Oleh karena itu, pulanglah, ke rumahmu, dan
belajarlah untuk mematuhi orang tuamu, lafalkanlah pujamu, tekunlah dalam
pekerjaanmu sehari-hari, jangan biarkan cinta akan kemudahan menggodamu untuk
mengabaikan kebersihan diri atau kesopanan dalam berpakaian; Dan kemudian,
setelah mempelajari hal ini, kembalilah kepada-Ku, dan mungkin engkau akan
diizinkan untuk masuk ke dalam Samgha-Ku.” Dan kemudian Sang Bhagavant
menyatakan syair-syair berikut:—
[26.1] “Tidak adanya puja (sehari-hari) adalah
penyakit dari percakapan (kata-kata) (sehari-hari). Kurangnya ketekunan adalah
penyakit dari seorang perumah tangga. Kurangnya kehormatan adalah penyakit dari
kesopanan (penampilan luar). Kecerobohan adalah penyakit dari bisnis. Kekikiran
adalah penyakit dari kedermawanan. Kejahatan adalah penyakit dari perilaku
sehari-hari. Baik sekarang ataupun di alam nanti, Aturan Kehidupan (Dharma)
yang jahat adalah selalu (menjadi) penyakit (noda). Namun penyakit dari segala
penyakit, yang tidak ada yang lebih buruk, adalah ketidak-tahuan. Ia yang
bijaksana (tercerahkan) harus membebaskan dirinya dari ini. Maka, O para
Bhiksu! Tidak ada penyakit.”
Orang itu setelah mendengar syair-syair ini, dan menyadari bahwa
ketidak-tahuan (dalam arti "kebodohan" atau "kegilaan")
adalah akar dari semua kemalangannya, kembali ke rumah ayahnya, dan mengabdikan
dirinya untuk patuh dan bekerja; Ia memberi hormat kepada gurunya, dan tekun
dalam melafalkan Dharma, dan dalam segala hal mengatur hidupnya dengan tekun
dan cermat, dan setelah tiga tahun (ia) kembali kepada Sang Buddha, dan setelah
memberi hormat kepada-Nya, menceritakan bagaimana ia telah mengubah hidupnya,
dan sekarang memohon izin masuk ke dalam Samgha-Nya. Mendengar hal ini Sang Bhagavant
berkata padanya dengan kata-kata ini, "Marilah, pemuda!" dan
seketika, rambutnya rontok, ia menjadi seorang Bhiksu, dan dengan usaha
batinnya mencapai pengetahuan tentang Empat Kebenaran, dan setelah berusaha
selama seharian (ia) menjadi seorang Rahat yang sempurna.
###
法句譬喻經奉持品第二十七 [Fǎ jù pì yù jīng fèng chí pǐn dì èr shí qī] - 27.
Dengan Teguh Berpegang pada Dharma (Dhammatthvaggo).
[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmana yang sangat tua, bernama
Sa-che (Sacha atau Satya) Nirgrantha, yang terkenal karena ketajamannya dalam
berdiskusi. Ia memiliki 500 murid, dan mereka semua sangat yakin dengan
pengetahuan mereka yang superior sehingga mereka biasa membungkus diri mereka
dengan lempengan besi, agar kebijaksanaan mereka tidak meluap dan terbuang
sia-sia (?). Ketika Sacha mendengar bahwa Sang Buddha telah datang ke dunia,
dan meyakinkan orang-orang dengan kebijaksanaan-Nya yang superior, ia dipenuhi
dengan kecemburuan, dan tidak dapat beristirahat di malam hari karena merasa
sangat iri, dan karena itu, ia berkata kepada murid-muridnya, “Aku mendengar
bahwa Pertapa Gotama mengaku sebagai seorang Buddha. Aku akan pergi dan
menanyakan beberapa pertanyaan kepada-Nya, dan membuat-Nya tersipu malu ketika
Ia tidak mampu menjawabnya.” Maka, ia bersama para pengikutnya pergi ke
(Vihāra) Jetavana, dan ketika mereka berdiri (karena) belum pernah melihat
kemuliaan sosok Sang Buddha, bagaikan matahari ketika Beliau pertama kali muncul
dengan kekuatan-Nya, mereka terpukau dan dibingungkan oleh perasaan mereka,
sehingga setelah melewati pintu mereka datang ke hadapan Sang Buddha, dan
memberi hormat kepada-Nya. Karena hal ini Sang Buddha meminta mereka untuk
duduk. Setelah duduk, Nirgrantha bertanya kepada Sang Buddha demikian:—
“Siapakah orang yang adil? Siapakah orang yang terpelajar? Siapakah orang yang
terhormat? Apakah kecantikan dan keanggunan sejati? Siapakah seorang Pertapa?
Siapakah seorang Bhiksu sejati? Dan siapakah yang benar-benar tercerahkan? Dan
siapakah orang yang taat (yang dengan hormat mematuhi aturan-aturan perilaku
moral)? Jika Engkau mampu, sudilah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini demi para
pengikutku.” Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant, yang memahami dengan
tepat bagaimana kasusnya, menjawab dalam syair-syair ini:—
[27.1] “Orang yang selalu memiliki kemauan dan
berkeinginan untuk belajar, yang berjalan dengan benar, yang merenungkan dan
mempertimbangkan karakteristik dari kebijaksanaan yang berharga, orang ini
disebut Adil (yaitu, Orang Benar; Orang yang telah mencapai Sang Jalan, atau
Bōdhi). Dan siapakah orang yang Terpelajar? Ia yang tidak bergantung pada perbedaan
kata-kata yang halus—Yang terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran, yang
berdiri dengan apa yang benar—Ia adalah orang yang Terpelajar. Dan siapakah
orang yang Terhormat (sesepuh)? Bukan ia yang telah mencapai usia tua (kepala
enam)—Tubuhnya bungkuk, rambutnya putih—Karena dengan semua itu ia mungkin hanyalah
seorang yang dungu. Tetapi ia yang merenungkan dan menyelidiki Dharma, yang
mengarahkan dan mengekang perilakunya, (penuh dengan) cinta kasih dan
kebajikan, yang mampu menembus makna-makna yang tersembunyi, dan murni—Orang
ini dengan benar disebut 'Terhormat.' Dan siapakah orang yang anggun dan
sempurna? Bukan ia yang memiliki kecantikan tubuh seperti bunga-bunga (yang
memikat kita); Bukan ia yang menginginkan dan merindukan kesombongan kosong
dari menghias diri; Bukan ia yang kata-kata dan perilakunya bertentangan satu
sama lain; Tetapi ia yang mampu meninggalkan setiap jalan yang jahat, yang
telah menyingkirkannya hingga akarnya, yang Tercerahkan tanpa sisa-sisa
kebencian—Orang ini benar-benar anggun dan lurus (atau terhormat, yaitu,
terpuji dalam perilaku). Dan siapakah Pertapa? Bukan ia yang terpaksa dicukur,
yang berbicara tidak benar, dan menginginkan kepemilikan, atau seorang budak
dari keinginan seperti orang pada umumnya; Tetapi ia yang mampu mengakhiri
(untuk menenangkan) setiap (keinginan) yang jahat, untuk memadamkan setiap
gagasan aku, untuk menenangkan pikirannya, dan mengakhiri pembentukkan
pemikiran—Orang ini disebut seorang Pertapa. Dan siapakah yang disebut seorang
Bhiksu? Bukan ia yang pada waktu-waktu tertentu mengemis makanannya; Bukan ia
yang berjalan dengan tidak benar (berpandangan salah), tetapi yang berharap
untuk dikenal sebagai seorang siswa (Śrāvaka),
ingin membangun satu karakter (sebagai orang yang sesuai Dharma), dan itu saja;
Tetapi ia yang melepaskan setiap sebab (karma)
dari kesalahan, dan yang hidup dengan kemawasan dan murni, yang dengan
kebijaksanaan mampu menghancurkan setiap (kecenderungan) jahat—Orang ini adalah
seorang Bhiksu Sejati. Dan siapakah yang benar-benar tercerahkan (atau orang
bijaksana)? Bukan ia yang hanya membisu, sementara kerja pikirannya yang sibuk
itu tidaklah murni—Hanya menyesuaikan diri dengan aturan luar dan hanya itu
saja; Tetapi ia yang batinnya tanpa keakuan (tanpa kecintaan), yang kerja
batinnya murni dan spiritual (kosong), sama sekali tidak tergerak dan mati
terhadap hal ini atau itu (diri atau milik diri)—Orang ini disebut orang yang
tercerahkan secara batin (Muni?) Dan siapakah seorang yang Bōdhi (seorang Ariya
atau 'berdarah murni')? Bukan ia yang menyelamatkan kehidupan semua makhluk, tetapi
ia yang dipenuhi dengan manfaat universal, yang tidak memiliki kebencian di
dalam batinnya—Ia adalah seorang Bōdhi. Dan orang yang taat pada Dharma
bukanlah orang yang banyak bicara, tetapi orang yang menjaga tubuhnya (dirinya)
agar tunduk pada Dharma (Ajaran), meskipun ia orang biasa, tidak terpelajar,
selalu menjaga Jalan (kebenaran) tanpa lupa—Orang ini adalah seorang yang taat
pada Dharma (yaitu, Dhammaṭṭho).”
Mendengar syair-syair ini, Sacha Nirgrantha dan 500 pengikutnya semuanya
dipenuhi dengan kegembiraan, dan menjadi pengikut Sang Buddha (Bhiksu).
Nirgrantha mencapai kondisi (batin) seorang Bōdhisatva, yang lainnya menjadi
Rahat.[*]
[*] Bagian ini nampaknya
terdapat sisipan gagasan ajaran Mahayana.
###
法句譬喻經道行品第二十八 [Fǎ jù pì yù jīng dào héng pǐn dì èr shí bā] - 28.
Sang Jalan (Maggavaggo).
[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmana, yang ketika muda telah
meninggalkan rumahnya untuk tujuan kehidupan suci, dan tetap menjadi seorang
murid yang mengasingkan diri hingga berusia enam puluh tahun, tetapi bahkan
setelah masa yang panjang ini ia tidak mampu mencapai kebijaksanaan tertinggi (Bōdhi). Sekarang, menurut Dharma para
Brahmana, jika seorang pada usia enam puluh tahun belum mencapai kebijaksanaan,
adalah tugasnya untuk kembali ke rumahnya dan menikahi seorang istri.
Berdasarkan hal itu, setelah Brahmana itu melakukannya demikian, lahirlah
seorang anak laki-laki yang sangat anggun, yang ketika berusia tujuh tahun,
sudah sangat mendalami buku-buku Dharma, dan memiliki keterampilan dialektika
yang luar biasa, tiba-tiba (anak itu) terserang penyakit fatal dan meninggal.
Sang ayah, yang diliputi dengan dukacita, menyerah pada kesedihan yang tak
tertahankan, dan sama sekali tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia melemparkan
dirinya ke tubuh anaknya, dan berbaring di sana seperti orang mati. Setelah
kembali tenang, tubuh anak itu dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti—Ayahnya
telah ditegur oleh kerabat dan rekan-rekannya dalam satu kasta—Dan pada
akhirnya (tubuh anak itu) dibawa ke luar kota untuk dimakamkan. Pada kesempatan
ini, Brahmana itu mulai merenung dalam batinnya—“Apalah gunanya menangis
seperti ini? Tidak ada gunanya; Tetapi aku akan segera pergi ke kediaman
Chen-lo-wang (Rāja Yama), dan memohon kepadanya dengan rendah hati agar
mengembalikan anakku dalam keadaan hidup.” Atas hal ini Brahmana itu, setelah
melakukan beberapa ritual keagamaan dan mempersembahkan bunga serta dupa, pergi
dari rumahnya, dan ke mana pun ia pergi, ia bertanya kepada semua orang yang
ditemuinya apakah mereka tahu di mana Rāja Yama mendirikan pengadilan dan
memerintah. Setelah berjalan terus sejauh beberapa ribu Li, ia tiba di sebuah
celah gunung yang dalam, di mana ia bertemu dengan sekelompok Brahmana yang
telah memperoleh kebijaksanaan tertinggi. Ia bertanya lagi kepada mereka apakah
mereka dapat memberi tahu di mana Rāja Yama memerintah dan mendirikan
pengadilannya. Atas pertanyaan ini mereka menjawab, “Dan mengapa engkau, tuan
yang terhormat, ingin mengetahui hal itu?” Atas pertanyaan ini, ia menceritakan
kesedihannya yang mendalam, dan menjelaskan niatnya untuk memohon kembali
anaknya dari Deva Yama. Kemudian semua Brahmana, yang merasa kasihan dengan
delusinya, menjawab—“Tidak ada manusia biasa yang dapat mencapai tempat Yama
memerintah; Tetapi sekitar 400 Li ke arah barat tempat ini terdapat sebuah
lembah besar, yang di tengahnya terdapat sebuah kota. Di kota ini para Deva dan
makhluk surgawi, yang terkadang tinggal di antara manusia, tinggal di sana, dan
Yama, pada hari kedelapan setiap bulannya, selalu mengunjungi tempat itu.
Dengan pergi ke sana, dan mempraktikkan kehidupan suci yang ketat, engkau
dapat, tuan yang terhormat, melihat Raja Yama.” Kemudian Brahmana itu, gembira
mendengar berita ini, berangkat, dan sesampainya di lembah ini, lihatlah! Di
tengah-tengahnya ia melihat sebuah kota yang indah dengan istana-istana,
menara-menara, dan tempat tinggal, seperti yang ada di Surga Trāyastriñshas.
Kemudian tiba di depan gerbang, ia mulai membakar dupa, dan membacakan
mantra-mantra suci, dengan maksud untuk dapat diterima dan melihat Rāja Yama.
Akhirnya ia diterima di hadapan Raja yang menakutkan, dan, ketika ditanya
keinginannya, ia menceritakan masalahnya seperti sebelumnya. Raja menjawab
demikian kepadanya—"Apa yang engkau minta, tuan yang terhormat, adalah
bajik dan baik darimu. Puteramu sekarang berada di Taman Timur untuk
bersenang-senang di sana; Bawa ia dan pergilah." Mendengar hal ini,
Brahmana itu segera bergegas ke tempat itu, dan di sana ia melihat anak
kesayangannya bermain dengan anak-anak lain. Ia segera berlari ke arahnya, dan
memeluknya, dengan air mata mengalir di pipinya, (dengan) berteriak—
"Bagaimana aku bisa melupakanmu, anakku, yang telah kujaga begitu lama dan
penuh kasih! Ingatkah engkau padaku, anakku, (aku) ayahmu? Tidakkah engkau
ingat kesedihan kita ketika kita merawatmu dalam penyakitmu, anakku?” Namun
anak laki-laki itu menolak pelukan Brahmana itu, dan menegurnya karena
menggunakan istilah-istilah bodoh seperti ayah dan anak, yang binasa seperti
rumput. “Dalam keadaanku saat ini,” tambahnya, “Aku tidak tahu kata-kata
seperti itu, dan aku terbebas dari pikiran-pikiran yang terdelusi seperti itu.”
Mendengar hal ini, Brahmana itu, dengan berlinang air mata, pergi; Dan ketika
ia pergi, ia memikirkan Pertapa Gōtama, dan ia memutuskan untuk pergi
kepada-Nya dan mengungkapkan kesedihannya, dan mencari penghiburan. Karena
itulah ia tiba di Jetavana, dan setelah memberi penghormatan seperti biasanya,
ia menjelaskan keadaannya, dan bagaimana anaknya menolak untuk kembali bersamanya.
Kepadanya Sang Bhagavant menjawab—"Sesungguhnya engkau terdelusi dan bodoh,
karena ketika kesadaran seseorang yang telah meninggal pergi, tidakkah engkau
mengetahui bahwa kesadaran itu segera mendapatkan tubuh jasmani yang lain, dan
kemudian semua hubungan ayah, anak, istri, ibu, semua itu berakhir, seperti
halnya seorang tamu yang meninggalkan tempat tinggalnya telah memperlakukannya
seolah-olah itu adalah sesuatu dari masa lalu? Sungguh menyedihkan keadaanmu,
dan sungguh kasihan, tidak mengetahui bahwa perubahan seperti itu akan terus
berlanjut sampai engkau mencapai kondisi kebijaksanaan sejati, dan melepaskan,
untuk selamanya, setiap pikiran tentang hal-hal duniawi seperti ini. Hanya
dengan cara ini engkau dapat mengakhiri kelahiran dan kematian di masa depan,
dan menjadi bebas selamanya.” Dan kemudian Beliau menambahkan syair-syair ini:—
[28.1] “Orang-orang menyibukkan diri dengan masalah
istri dan anak; Mereka tidak menyadari Dharma tentang penyakit (dan kematian)
yang tak terelakkan, dan akhir kehidupan yang datang dengan cepat, seperti
banjir yang meluap (menyapu semua yang ada di hadapannya) dalam sekejap mata.
Maka baik ayah maupun ibu tidak dapat menyelamatkan seseorang; Lalu, harapan
apakah, yang dapat diberikan kepada semua kerabat (keluarga besar) seseorang?
Di akhir kehidupan, orang tua dan kerabat bagaikan orang buta yang ditugaskan
untuk mengawasi (menjaga) pelita yang menyala. Seorang bijaksana yang memahami
hal ini harus dengan saksama mempraktikkan dengan dirinya sendiri dalam Aturan
Dharma (kehidupan bermoral); Ia harus berjalan dengan tekun untuk membantu (menyelamatkan)
dunia, dengan tujuan untuk menghancurkan sepenuhnya (sumber-sumber) dukacita,
untuk menjauh dari pusaran air yang mendidih (dari kehidupan dan kematian);
Seperti angin yang mengusir awan, demikian pula ia harus berusaha untuk
menghancurkan semua sisa-sisa pikiran (persepsi, 'samjña);' Inilah tugas
pengetahuan. Kebijaksanaan lebih unggul dari semua (hal) duniawi—Kebijaksanaan
membuat seseorang tidak peduli dengan kesenangannya, dan membuatnya tidak
peduli dengan urusan (duniawinya); Siapa pun yang menerima petunjuk sejati ini
akan terbebas selamanya dari lingkaran kelahiran dan kematian.”
Setelah mendengar syair-syair ini, Brahmana itu seketika memperoleh
pencerahan dan menyadari ketidak-kekalan hidup; Bahwa istri dan anak hanyalah
seperti tamu yang meninggalkan rumah; Dan setelah memberi hormat kepada Sang
Buddha, ia memohon izin untuk memasuki Samgha, dan Sang Buddha menyambutnya, ia
seketika menjadi seorang Bhiksu, dan akhirnya mencapai kondisi seorang Rahat.
###
法句譬喻經廣衍品第二十九 [Fǎ jù pì yù jīng guǎng yǎn pǐn dì èr shí jiǔ] - 29. (Kalimat) yang Panjang dan Lebar.
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Śrāvastī,
membabarkan Dharma-Nya demi meyakinkan berbagai jenis makhluk (Deva, Nāga,
Manusia, dll.), terjadilah bahwa Raja negeri itu, yang bernama Prasenajita,
telah pergi tiga kali bersama para menterinya untuk mendengarkan khotbah Sang
Buddha. Pada saat itu Raja telah memanjakan diri dengan gaya hidup mewah dan
pemuasan indera lainnya, akibatnya ia menjadi tembem dan gemuk, dan karena itulah,
ia menderita berbagai penyakit, seperti perut kembung dan rasa kantuk serta
berat badan yang berlebihan, sehingga ia hampir tidak dapat bangun tanpa
ketidak-nyamanan, dan selalu mengalami penderitaan entah lebih kuat atau lebih
lemah karena ketidak-nyamanan.
Dalam kondisi ini ia pernah datang ke tempat di mana Sang Buddha berada,
dan sambil bersandar pada lengan para pelayannya, ia duduk, dan dengan
merangkapkan tangan menyapa Sang Guru demikian:—"Bhagavant! Maafkan, aku
mohon, aku kurang hormat karena tidak memberi hormat kepada-Mu sebagaimana
mestinya, tetapi aku tidak tahu penyakit apa yang merasukiku sehingga aku
menjadi begitu gemuk! Dan inilah yang membuatku sakit sehingga aku tidak dapat
memberikan penghormatan yang semestinya kepada-Mu." Atas hal ini Sang
Bhagavant menjawab—"Mahārāja! Terdapat lima hal yang selalu menghasilkan
kondisi yang engkau keluhkan: Pertama, terus-menerus makan; Kedua, suka akan
tidur; Ketiga, suka akan kesenangan; Keempat, tidak berpikir; Kelima, kurang
beraktivitas. Inilah hal-hal yang menyebabkan kegemukan dan kebiasaan buruk;
Jika engkau ingin terbebas dari kondisi ini, maka engkau harus meninggalkan
kehidupan mewahmu, dan setelah itu engkau akan menjadi kurus lagi. Dan kemudian
Sang Bhagavant mengucapkan syair-syair ini:—
[29.1] “Seseorang seharusnya mengingat dan
mempertimbangkan setiap kali (hendak) makan untuk melatih pengendalian diri,
dan dengan demikian terhindar dari rasa sakit dan nyeri yang sering dialaminya;
Dengan menyediakan waktu ketika mengambil makanan, ia memperpanjang usianya.”
Mendengar syair-syair ini, Raja sangat senang sehingga ia memerintahkan
kepala juru masaknya untuk mengingatnya dan membacanya di hadapannya sebelum
dan sesudah makan. Dengan melakukan hal itu, Raja mampu menahan diri dan secara
perlahan memulihkan berat tubuh dan perilaku hewannya. Hal itu membuatnya
sangat gembira. Suatu ketika, ia pergi dengan berjalan kaki ke tempat di mana
Sang Buddha berada dan menghampiri-Nya untuk memberi penghormatan. Ketika Sang
Bhagavant memintanya untuk duduk, Beliau bertanya, “Di mana, Raja, kuda dan
kereta perangmu? Bagaimana mungkin engkau datang ke sini dengan berjalan kaki?”
Raja pun menjawab dengan gembira, “Dengan memperhatikan apa yang pernah
diajarkan oleh Sang Buddha kepadaku, tubuhku menjadi ringan kembali, sehingga
aku tidak menemui kesulitan apa pun ketika berjalan seperti yang kulakukan ke
tempat di mana kita bertemu sekarang.” Kemudian Sang Buddha menjawab Raja
demikian:—“Mahārāja! Karena manusia tidak mempertimbangkan
ketidak-kekalan atas hal-hal di duniawi bahwa segala sesuatu menjadi seperti
apa adanya. Mereka memberi makan dan menyenangkan tubuh dan selera makan
mereka, bahkan tidak mengingat kenyamanan (kebahagiaan) mereka sendiri dalam
melakukannya, dan demikianlah manusia itu mati dan kesadarannya pergi,
sementara tubuhnya membusuk di dalam kuburan. Orang bijaksana memberi makan
batinnya (kesadaran), orang dungu memberi makan tubuhnya. Jika engkau dapat
memahami hal ini, maka engkau dapat mempersiapkan dirimu untuk menerima Dharma
Suci (Ajaran-Ku), dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:—
[29.2] “Betapa tidak kekalnya manusia! Ia menua
seperti lembu yang dikurung, gemuk, berdaging, dan kuat, tetapi ia tidak
menyimpan kebijaksanaan; Tanpa memikirkan hidup dan mati, dan berbagai masalah
yang terus-menerus menyertainya, hanya memikirkan tubuh dan kebutuhannya, dan
demikianlah (ia) menambah dukacitanya tanpa harapan untuk keluar. Namun orang
bijaksana yang memahami (penyebab) dukacita, karena alasan ini membiarkan
tubuhnya pergi; Ia menghancurkan segala pemikiran (tentangnya), ia memotong
nafsu keinginan, dan dengan demikian mengakhiri semua nafsu kecapan, ia juga
mengakhiri kelahiran kembali.”
Raja yang mendengar syair-syair ini dan memahaminya, dengan segera
memperoleh pencerahan, dan orang lain yang mendengarnya dalam jumlah besar,
tiba di “Mata Dharma" (Penglihatan Dharma).
[2] Dahulu kala terdapat tujuh orang Bhiksu, yang bersama-sama pergi ke
belantara pegunungan dengan tujuan untuk memperoleh kebijaksanaan tertinggi.
Setelah dua belas tahun usaha yang sia-sia, mereka mulai mempertanyakan di
antara mereka sendiri dan berkata: “Untuk memperoleh kebijaksanaan tertinggi
sangatlah sulit; Menyiksa tubuh dan membuat tangan dan kaki menjadi kaku, dan
menahan dingin dan kesakitan tanpa henti, dan mengemis makanan dan menerima
persediaan yang sangat sedikit, semua ini sulit. Berupaya di jalan (atas tugas)
agar terhindar dari kesalahan (keburukan) adalah sulit. Lalu mengapa kita masih
menghabiskan hidup kita di belantara pegunungan? Tentunya jalan ini tidak
begitu menyenangkan seperti kembali ke rumah dan membangun keluarga kita, dan
menikahi istri dan memiliki anak, dan menikmati diri sendiri sampai akhir hayat
kita.” Atas hal ini ketujuh orang itu setuju untuk meninggalkan pegunungan, dan
melanjutkan perjalanan pulang mereka. Saat itu Sang Buddha, mengetahui keadaan
mereka, dan menyadari terdapat kemungkinan atas pembebasan mereka, karena
berbelas-kasihan kepada mereka, mengetahui bahwa ketidak-sabaran mereka dalam
kehidupan suci akan, jika dibiarkan berlanjut, berakhir dengan kehancuran
mereka, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan pergi ke tengah-tengah
jurang sempit, menemui mereka ketika mereka datang. Dan kemudian Beliau
bertanya kepada mereka, "Setelah begitu lama mencoba mencari kebijaksanaan
tertinggi, mengapa kalian meninggalkan (pegunungan, dan meninggalkan
tujuan)?" Yang mereka jawab, "Untuk mendapatkan kebijaksanaan (yaitu,
pencerahan sepenuhnya, atau Bōdhi)
itu sulit. Untuk berupaya dengan tekun (dalam membasmi) akar dukacita dan
keburukan itu sulit. Untuk pergi mengemis di kota, dan menerima sedikit derma,
itu sulit. Dan untuk tinggal di sini di pegunungan, tanpa seorang pun yang
memberi kita makan, dalam ketidak-nyamanan yang terus-menerus sampai akhir
hayat seseorang, hal ini tidak tertahankan; Dan karena itulah kita pulang untuk
menyibukkan diri dalam pekerjaan duniawi dan memperoleh kekayaan, dan kemudian
ketika kita tua kita akan mengabdikan diri kita untuk mencari kebijaksanaan
tertinggi.”
Sang Bhiksu menjawab, “Berdirilah diam sejenak, dan dengarkanlah Aku.
Kehidupan manusia tidaklah kekal; Suatu pagi dan suatu malam, dan kehidupan itu
bisa saja berlalu. Walaupun Jalan Dharma itu sulit, namun dukacitalah yang
pertama-tama muncul yang mengarah pada sukacita yang mengikutinya. Untuk hidup
di dunia juga sulit; Melalui perkembangan zaman yang tak berujung untuk
mengurus istri dan anak, tanpa jeda untuk beristirahat. Untuk hidup dalam Samgha,
dan mengambil sumpah kesetaraan dalam semua materi duniawi, (dalam) mencari dan
mengantisipasi kebahagiaan di masa depan tanpa jeda untuk dukacita, ini sulit.
Kehidupan sekarang hanyalah pemandangan perjuangan terus-menerus melawan
penyakit dan kesakitan; Di mana pun terdapat keberadaan jasmani, di situ
terdapat kesakitan dan dukacita. Hanya ia yang memiliki keyakinan, dan hidup
suci (menaati aturan moral), batinnya bertekad untuk memperoleh kebijaksanaan
tertinggi, tanpa jeda untuk kelalaian atau pengurangan tugas, baginya sendiri
terdapat akhir, akhir yang kekal, dari dukacita.” Mendengar hal itu, Sang
Bhiksu kembali ke wujud agung Sang Buddha dan menyatakan syair-syair berikut:
[29.3] “Untuk berupaya dalam mencapai kebijaksanaan
tertinggi dan meninggalkan keburukan itu sulit; Namun untuk hidup di dunia
sebagai seorang umat awam juga sulit. Untuk tinggal di dalam Samgha dengan
syarat-syarat kesetaraan yang sempurna dalam hal materi duniawi itu sulit;
Namun yang sulit di luar perbandingan adalah memiliki benda-benda duniawi
(atau, 'sulit untuk tidak melanggar dalam memiliki barang-barang tersebut').
Untuk mengemis makanan sebagai seorang Bhiksu itu sulit, namun apakah yang
dapat dilakukan seseorang yang tidak menahan dirinya sendiri? Dengan ketekunan
tugas itu menjadi kebiasaan, dan pada akhirnya tidak ada nafsu untuk memiliki
cara lain. Dengan memiliki keyakinan, maka tugas iru mudah untuk dilaksanakan;
Dari mengikuti Jalan dari Tugas (yaitu, tugas moral) seseorang sangat
memperkaya dirinya sendiri, dan dari sini, terlebih lagi, hal ini berakibat di
mana pun ia berada, oleh siapa pun yang terlihat, ia dihormati (disayangi).
Duduk sendirian, menempati satu tempat untuk tidur, tanpa lalai mengikuti satu
garis perilaku (berjalan, atau bertindak), dengan berkeinginan menjaga keadaan
pikiran sendiri yang lurus (atau benar), akan ada kegembiraan bagi orang
demikian (meskipun) tinggal di dalam hutan.”
Mendengar syair-syair tersebut, ketujuh orang Bhiksu itu menjadi malu
karena perilaku mereka, bersujud di kaki Sang Bhagavant, dan kembali ke
belantara pegunungan, sambil terus menjaga “Batin seorang yang sempurna,”
mereka mencapai kebijaksanaan tertinggi, dan menjadi para Rahat.
###
Buku Ketiga Selesai.
###
Buku Keempat – Bab 30 – 39.
###
◎法句譬喻經地獄品第三十 [Fǎ jù pì yù jīng dì yù pǐn dì sān shí] - 30.
Neraka (Nirayavaggo).
[1] Dahulu kala di negeri Śrāvastī terdapat seorang guru Brahmana
tertentu bernama Purāna Kāśyapa (Pou-lan-ka-ye), yang memiliki lima ratus
pengikut, yang mengembara di negeri bersama guru mereka, dan sangat dihormati
oleh Raja dan masyarakat. Saat itu, setelah Sang Buddha mencapai Kebijaksanaan
Tertinggi, dan ketika bersama para pengikut-Nya Beliau datang ke Śrāvastī,
bahwa, karena martabat Dirinya, dan karakteristik Dharma-Nya, Raja dan masyarakat
sangat menghormatinya. Sehubungan dengan hal ini Kāśyapa penuh dengan
kecemburuan, dan ia bertekad untuk menghancurkan (mengalahkan) Sang Bhagavant
dalam argumen, dan menyebabkan kematian-Nya. Karena hal itu ia pergi, bersama
dengan para pengikutnya, untuk menemui Raja, dan setelah menemukannya, ia
berkata demikian: “Pada masa lalu, Mahārāja, Engkau dan masyarakat biasa
melayaniku sebagai seorang guru, dan memenuhi kebutuhanku; Namun sejak Sramana
Gōtama telah tiba di sini, yang dengan salah mengatakan bahwa Beliau telah
menjadi tercerahkan (Buddha), Engkau telah meninggalkanku, untuk melayani-Nya.
Oleh karena itu, aku menginginkan agar engkau mengizinkan suatu perdebatan di
antara kita, dan siapa pun yang kalah dalam argumen biarlah ia dihukum mati.” Raja
merasa senang dengan usulan tersebut, menyampaikan hal itu kepada Sang Bhagavant,
yang setuju untuk bertemu dengan Kāśyapa, seperti yang diinginkannya, setelah
berakhirnya tujuh hari. Sehubungan dengan hal itu, Raja menyiapkan tempat
perdebatan di sebelah timur kota, datar dan lebar, di mana ia mendirikan dua
singgasana yang tinggi, dan menghiasinya dengan segala macam bendera dan
dekorasi. Di atas singgasana ini kedua pihak yang berdebat akan duduk, dengan
para pengikut mereka di bawah, dan Raja dan rakyatnya di antara keduanya.
Ketika harinya telah tiba, Kāśyapa dan para pengikutnya tiba terlebih dahulu,
dan setelah naik ke singgasananya, lihatlah! Sesosok hantu jahat, mengetahui
rasa iri yang membakar batin sang Brahmana, menyebabkan sebuah badai yang muncul
secara tiba-tiba, menyapu kursi yang ia duduki, dan memenuhi seluruh arena
dengan debu dan pasir terbang. Tetapi sekarang Sang Buddha tiba, dan setelah
duduk di tempat-Nya, Raja datang dan memohon kepada-Nya dengan kekuatan-Nya
untuk meyakinkan orang-orang kepada Dharma-Nya, dan membantah pandangan sesat
lawan-Nya. Pada saat ini Sang Bhagavant naik ke udara, dan menunjukkan
kemuliaan-Nya dengan menyebabkan api dan air keluar dari tubuh-Nya; Dan setelah
berbagai perubahan ajaib dalam penampilan-Nya, Beliau kembali lagi ke tempat
duduk-Nya. Kemudian para Nāga dan Deva angin menyebabkan bunga dan aroma yang
menyenangkan jatuh, sementara nyanyian merdu terdengar di langit, serta bumi
dan alam surga berguncang. Kemudian Purāna Kāśyapa, mengetahui bahwa ia tidak
memiliki fakta untuk mengklaim atas karakteristik seorang guru tertinggi,
menundukkan kepalanya karena malu, dan tidak berani mengangkat matanya. Atas
hal ini, seorang -berlian-Litchavi (pahlawan dari Vaiśālī) mengangkat
tongkatnya yang dari kepalanya keluar percikan api ke arah Kāśyapa dan bertanya
kepadanya mengapa ia tidak memperlihatkan perubahan-perubahan yang luar biasa
seperti yang baru saja ditampilkan? Kemudian Kāśyapa dan para pengikutnya
melarikan diri ke segala arah, dan Sang Buddha beserta murid-murid-Nya kembali
ke Vihāra Jetavana, di Śrāvastī. Setelah (kejadian) ini Kāśyapa, setelah
bertemu dengan seorang murid wanita tua, yang mengejeknya karena mencoba
berdebat dengan Sang Buddha, ia datang ke tepi sungai, dan memberi tahu
murid-muridnya bahwa ia sekarang akan naik ke alam Brahmā, dan jika setelah
menceburkan diri ke sungai ia tidak kembali, maka mereka mungkin mengetahui
bahwa ia telah naik ke alam itu. Sehubungan dengan hal itu ia menceburkan diri,
dan tidak kembali, murid-muridnya menyimpulkan bahwa ia telah pergi ke alam
Brahma; Dan mereka juga, yang ingin bergabung dengannya di sana, menceburkan
diri satu per satu ke sungai dan menjadi tersesat—Pergi ke neraka. Kemudian
Sang Buddha menjelaskan bahwa dua kejahatan besar Kāśyapa yang menyebabkan
kehancurannya adalah sebagai berikut—Pertama, berpura-pura telah mencapai
kebijaksanaan tertinggi; Kedua, telah dengan jahat memfitnah Sang Buddha. Dan
karena dua keburukan ini ia dan para pengikutnya telah menuju kehancuran; Dan
kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:—
[30.1] “Ia yang, dengan tuduhan palsu, mencari
keuntungan; Ia yang, setelah melakukan sesuatu, tidak bertindak dengan benar
ketika melakukannya; Ia yang dengan jahat memfitnah orang yang tidak bersalah,
dan ingin menguasai dunia dengan kepura-puraan palsu (demikian)—Orang itu, yang
terjerumus oleh kesalahannya, pasti jatuh ke neraka; Seperti seseorang yang
dikurung di suatu benteng di luar kota, dijaga dari dalam dan luar, tidak dapat
melarikan diri, begitulah nasibnya. Dengan penuh perhatian seseorang menjaga
batin(nya), tidak akan muncul pikiran yang tidak suci; Namun jika (ia) gagal
dalam hal ini, dukacita akan muncul, dan pada akhirnya orang itu akan binasa.”
Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha menceritakan sebuah kisah tentang
lima ratus monyet dengan raja mereka, yang bertengkar dengan raja lain dan para
pengikutnya, dan yang, karena tidak mampu mempertahankan konflik tersebut,
mengakhiri hidup mereka seperti yang telah dilakukan oleh Kāśyapa dan para
pengikutnya (yaitu, dengan melompat ke laut untuk mencari gunung yang indah,
yang penuh dengan buah-buahan lezat, dll., dan ketika raja tidak kembali, semua
pengikutnya mengikuti perilakunya, dan binasa). Sang Buddha menjelaskan bahwa
kelima ratus monyet ini adalah Kāśyapa dan para pengikutnya. Raja yang
mendengar kata-kata ini, dipenuhi dengan kegembiraan, dan (ia pun) pergi.
###
法句譬喻經象品第三十一 [Fǎ jù pì yù jīng xiàng pǐn dì sān shí yī] - 31.
Gajah (Nāgavaggo).
[1] Dahulu kala, sebelum Rahula mencapai kebijaksanaan tertinggi, watak
perilakunya agak rendah dan tidak patuh, kata-katanya tidak selalu bercirikan
dengan cinta akan kebenaran. Pada suatu kesempatan Sang Buddha memerintahkannya
untuk pergi ke Vihāra Kien-tai (Ghanda atau Ghanta?), dan tetap menjaga mulut
(lidah)nya, dan mengendalikan pikirannya, pada saat yang sama dengan tekun
mempelajari (atau menjalankan) aturan Pratimoksa Sutra, Rahula, setelah
mendengar perintah tersebut, memberikan penghormatan dan pergi. Selama sembilan
puluh hari ia merasa sangat malu dan menyesal. Pada akhirnya Sang Buddha
kembali ke tempat itu, dan menampakkan Dirinya; Saat melihat-Nya, Rahula
dipenuhi dengan kegembiraan, dan dengan penuh hormat membungkuk dan memuja-Nya.
Setelah itu, Sang Buddha menduduki tempat duduk yang disediakan untuk-Nya,
Beliau meminta Rahula mengisi seember baskom dengan air dan membawanya
kepada-Nya, lalu membasuh kaki-Nya. Setelah melakukannya, dan telah selesai
mencuci, Sang Buddha bertanya kepada Rahula apakah air yang digunakan sekarang
sudah layak untuk keperluan rumah tangga apa pun (minum, dll.); Dan atas hal
ini Rahula menjawab tidak, karena airnya terkotori oleh debu dan tanah, Sang
Buddha kemudian menambahkan: “Dan demikianlah kasusmu, meskipun engkau adalah
putera-Ku dan cucu dari Raja, meskipun engkau dengan sukarela telah
meninggalkan segalanya untuk menjadi seorang Bhiksu, namun engkau tidak mampu
menjaga lidahmu dari kebohongan dan kekotoran dari percakapan yang tidak jelas,
sehingga engkau bagaikan air yang kotor ini—Tidak berguna untuk tujuan
lainnya.” Dan sekali lagi Beliau bertanya kepadanya, setelah airnya dibuang,
apakah baskom itu sekarang layak untuk menampung air untuk diminum; Atas
pertanyaan itu Rahula menjawab, “Tidak,” karena baskom itu masih kotor, dan
dianggap tidak bersih, dan karena itulah tidak digunakan untuk tujuan apa pun
seperti yang dikatakan; Atas hal ini Sang Buddha kembali menjawab, “Dan
demikianlah kasusmu, dengan tidak menjaga lidahmu, dll., engkau dikenal dan
diketahui sebagai tidak layak untuk tujuan mulia apa pun, meskipun engkau
mengaku sebagai seorang Bhiksu." Dan kemudian sekali lagi (Beliau)
mengangkat baskom kosong itu ke atas kaki-Nya, dan berputar-putar mengaduknya,
Beliau bertanya kepada Rahula apakah ia tidak takut jika baskom itu jatuh dan
pecah; Dan Rahula menjawab bahwa ia tidak memiliki ketakutan seperti itu,
karena baskom itu hanyalah baskom yang murah dan biasa saja, dan karena itulah
kehilangannya hanya akan menjadi satu masalah dalam waktu yang singkat. “Dan
begitulah kasusmu,” kata Sang Buddha lagi, “Karena meskipun engkau adalah
seorang Bhiksu, namun engkau tidak mampu menjaga mulutmu atau lidahmu, engkau
ditakdirkan, sebagai makhluk yang kecil dan tidak berarti, untuk berputar-putar
dalam pusaran transmigrasi yang tanpa akhir—Sebuah objek yang menjijikan bagi
semua orang Bijaksana." (Saat itu) Rahula dipenuhi dengan rasa malu, Sang
Buddha berkata kepadanya sekali lagi: "Dengarkanlah, dan Aku akan
berbicara kepadamu dalam sebuah perumpamaan. Di masa lalu, terdapat seorang
raja dari suatu negeri yang memiliki seekor gajah yang besar dan sangat kuat,
yang mampu mengalahkan lima ratus gajah yang lebih kecil dengan kekuatannya
sendiri. Raja ini, ketika akan berperang dengan sekutu yang memberontak, mengeluarkan
baju besi milik gajah, dan memerintahkan pawang binatang itu untuk
memakaikannya, yaitu, dua pedang berujung tajam di gadingnya, dua arit besi
(sabit) di kupingnya, sebuah tombak bengkok di masing-masing kakinya, pemukul
(atau bola) besi yang dipasang di ekornya; Dan untuk menemaninya ditunjuk
sembilan prajurit sebagai pengawal. Kemudian pawang gajah itu bergembira ketika
melihat gajah itu didandani demikian, dan (mengutamakan untuk) melatihnya
diatas segalanya untuk menjaga agar belalainya tetap melingkar dengan baik,
mengetahui bahwa sebuah anak panah yang menusuk di tengah-tengah pertempuran
pasti berakibat fatal. Tetapi lihatlah! Di tengah-tengah pertempuran gajah itu,
sambil mengulurkan belalainya, berusaha untuk mengambil sebuah pedang dengan belalainya.
Atas hal tersebut pawang itu merasa ketakutan, dan, setelah berkonsultasi
dengan raja dan para menterinya, disepakati bahwa ia tidak boleh lagi dibawa ke
medan perang.” Selanjutnya, Sang Buddha berkata: “Rahula! Jika seseorang yang
melakukan sembilan kesalahan hanya menjaga lidah mereka seperti halnya gajah
ini yang dilatih untuk menjaga belalainya, maka semuanya akan baik-baik saja.
Biarlah mereka berjaga-jaga terhadap anak panah yang ditembakkan di tengah
(pertempuran)! Biarlah mereka menjaga mulutnya, agar mereka tidak mati, dan
jatuh ke dalam dukacita kelahiran kembali di masa depan dalam tiga jalan
jahat!" Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini :—
[31.1] “Aku bagaikan gajah petarung, yang tanpa
ketakutan apapun di tengah anak panah (anak panah yang melukai bagian tengah).
Dengan kejujuran dan kebenaran Aku keluar dari (keadaan) orang tak bermoral
(orang tanpa Dharma). Seperti halnya gajah, yang tenang dan dijinakkan dengan
baik, mengizinkan raja untuk menaiki belalainya (menawarkan belalainya kepada
raja untuk naik), demikianlah jinaknya Ia Yang Terhormat, ia juga menahankan
kejujuran dan berkeyakinan.”
Rahula, setelah mendengarkan syair-syair ini, dipenuhi dengan dukacita
karena kelalaiannya dalam mengabaikan ucapan-Nya dan mengabdikan dirinya untuk
kembali berusaha, dan demikianlah (ia) menjadi seorang Rahat.
[2] Dahulu kala, ketika Sang
Buddha sedang berdiam di (Vihara) Jetavana, di Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya
demi manfaat para Deva dan manusia, saat itu terdapat seorang bangsawan
tertentu, seorang perumah tangga (grihapati),
yang bernama Atidharma (ho-ti-wan), yang, setelah datang ke tempat di mana Sang
Buddha berada, setelah memberikan penghormatan, berdiri di satu sisi dan
berkata: “Sang Bhagavant! Setiap kali aku mempraktekkan Dharma Bhakti apa pun,
seperti memberikan persembahan atau pelayanan lainnya, aku merasa dilecehkan
dan ditekan oleh beberapa perasaan keakuan atau yang lainnya, yang
menghancurkan kedamaian pikiranku. Alangkah baiknya jika dengan cinta kasih-Mu
yang besar Engkau berkenan menjelaskan hal ini.” Kemudian Sang Bhagavant
menyuruhnya untuk duduk, dan segera menanyakan namanya, dan dari mana ia
datang. Mendengar hal itu, sambil bersujud lagi, ia menyebutkan namanya, dan
mengatakaan bahwa pada masa raja sebelumnya ia adalah seorang penjinak gajah.
Sang Buddha kemudian bertanya kepadanya apakah aturan untuk menjinakkan gajah,
dan apa saja alat yang digunakan? Sehubungan dengan hal itu ia menjawab, “Ada
tiga hal yang kami gunakan dalam pekerjaan ini—Pertama, kait besi, untuk
menahan mulut dan menundukkannya; Kedua, alat untuk merampas makanan makhluk
itu, dan menjaganya tetap sedikit; Ketiga, tongkat besar, untuk tujuan
memukulnya. Dengan cara ini kami menguasainya, dan menjinakkannya.” Sang Buddha
bertanya lagi, “Dan dari ketiga hal ini, manakah yang paling berguna (atau
penting)?” Atas hal ini ia menjawab, “Kait besi yang menahan mulut; Ini yang
paling efektif, karena dengan disiplin ini makhluk itu dijinakkan sehingga
memungkinkan Raja untuk menunggangi punggungnya, dan dibimbing dan diarahkan
tanpa kesulitan dalam pertempuran.” Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Apakah
ini adalah metode yang diterima secara umum untuk menjinakkan gajah, dan apakah
terdapat (metode) yang lain?” Dan kemudian penjinak gajah menjawab 'tidak',
Sang Buddha menambahkan, “Seperti halnya engkau menjinakkan gajah, maka engkau
dapat menjinakkan dirimu sendiri;” Dan ketika ia bertanya lebih jauh tentang
makna ini, Sang Buddha melanjutkan: “O penjinak gajah! Aku juga memiliki tiga
hal yang dengannya Aku menjinakkan semua orang, dan yang dengannya setiap orang
dapat menjinakkan dirinya sendiri, dan dengan demikian mencapai kondisi
tertinggi tanpa keakuan (wou-wei).
Dan apakah tiga hal ini? Pertama, dengan pengendalian diri atas lidah, yang
menuntun seseorang untuk selalu menaati kebenaran; Kedua, dengan cinta kasih,
untuk membujuk yang sulit diatur dan keras kepala; Ketiga, dengan
kebijaksanaan, untuk menghancurkan pengaruh ketidak-tahuan dan keragu-raguan.
Dengan ketiga hal ini Aku menjinakkan semua orang, dan memungkinkan mereka
untuk keluar dari jalan kehancuran, dan mencapai kondisi yang terbebas dari
dukacita dan segala belenggu lingkaran kelahiran dan kematian—Sepenuhnya tanpa
keakuan dan tanpa kemelekatan (wou-wei).”
Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:—
[31.2] “Bagaikan gajah yang disebut “U-ts'ai"
(Dhammapālaka?) yang sulit untuk dikendalikan dan dijinakkan, dan ketika
terikat tidak mau makan sedikitpun, dan hanya berkeinginan untuk bebas;
Demikianlah pikiranmu, dalam keadaan normalnya, pergi mengembara dengan bebas,
dan selalu mencari tempat bersandar, namun sekarang Aku telah menjinakkannya,
dan Aku telah mengendalikannya, seperti halnya pawang dengan kait mengendalikan
gajah. Bersenang dalam Pencerahan (Bōdhi), dan tidak membiarkannya kabur, agar
dapat setiap waktu menahan dan mengendalikan pikiran, hal itu untuk menjaga(nya)
dari penderitaan jasmani, seperti halnya gajah yang keluar dari dalam parit di
mana ia telah terjatuh.”
Sang Grihapati,
setelah mendengarkan syair-syair ini, mengarahkannya pada perenungan dengan
saksama, dan pada akhirnya mencapai suatu kondisi pencerahan, sementara
orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya menjadi berkeyakinan pada Dharma.
###
法句譬喻經愛欲品第三十二 [Fǎ jù pì yù jīng ài yù pǐn dì sān shí èr] - 32.
Nafsu (Tanhāvaggo).
[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, mengajarkan Dharma yang tak ternilai
demi manfaat bagi para Deva dan manusia, terdapat seorang pemuda tertentu yang,
setelah memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan menjadi seorang pertapa,
datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan meminta izin untuk memasuki
Samgha. Atas permintaannya itu, Sang Buddha memintanya (setelah mengizinkannya
menjadi seorang murid) untuk duduk di bawah sebatang pohon dalam keterasingan,
dan bermeditasi. Atas permintaan itu, Bhiksu itu pun pergi ke belantara
pegunungan, lebih dari seratus Li dari Vihāra, dan di sana ia menjalani
kehidupan yang terasing. Setelah tiga tahun mengasingkan diri, batinnya masih
belum tenang, ia berniat untuk meninggalkan pekerjaannya dan kembali lagi ke
rumahnya, sambil berkata demikian kepada dirinya sendiri, “Kehidupan pertapaan
ini menyusahkan dan menyakitkan, dan tidak sebanding dengan kebahagiaan yang
diperoleh dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, aku akan kembali
kepada istri dan keluargaku dan menikmati diriku sendiri.” Atas hal ini, ia
bersikap seolah-olah akan meninggalkan gunung dan pulang ke rumah. Kemudian
Sang Buddha, dengan mata dewa-Nya, melihat kondisi murid ini, dan mengetahui
bahwa ia memiliki kapasitas untuk pembebasan, mengubah Dirinya menjadi bentuk
seorang Bhiksu, dan pergi menemuinya di jalan. Ketika bertemu satu sama lain,
Bhiksu yang telah berubah itu menyapa yang lain dan bertanya dari mana ia
datang dan apakah ia akan pergi? Sehubungan dengan hal ini, mereka sepakat
untuk beristirahat sejenak dan duduk bersama di tempat yang nyaman (tanah yang
datar). Ketika duduk, Bhiksu yang kecewa itu menjelaskan kepada Yang Lain
kondisinya, dan mengakui bahwa ia akan pulang ke rumah karena merasa gagal
dalam kehidupan sucinya. Saat itu, terjadilah ketika ia sedang berbicara,
seekor monyet tua meninggalkan pohon tempat di mana ia tinggal, turun ke tempat
terbuka dan bersenang-senang; Kemudian Bhiksu yang berpura-pura itu bertanya
kepada yang lain, mengapa terjadi demikian? Kemudian ia menjawab: "Aku
sering mengamati monyet yang sama ini turun dan berperilaku seperti demikian,
dan alasan untuk melakukan hal tersebut ada dua,—Pertama, ia bergembira karena
terbebas dari kekhawatiran untuk menyediakan bagi istrinya dan kebutuhannya
sendiri; Dan kedua, ia lelah dan terluka karena terus-menerus memanjat pohon di
mana keluarganya tinggal, dan dengan senang hati kabur dari kerja kerasnya:
Karena dua alasan inilah ia meninggalkan pohon dan bersenang-senang di tanah
terbuka. Namun sementara itu, ketika keduanya sedang berbincang, monyet itu
mundur dari tempat terbuka, dan kembali memanjat pohon, sehubungan dengan hal
itu Bhiksu Asing itu memberitahu kepada yang lain, dan bertanya apakah ia
mengetahui hal ini, dan bagaimana ia menjelaskannya? Atas hal itu Bhiksu itu
berkata bahwa hal tersebut akibat ketakutan dan ketidak-pastian sehingga monyet
tersebut kembali ke rumahnya; Atas jawaban tersebut, Bhiksu yang Asing
menimpali: "Demikian pula halnya dengan dirimu sendiri; Hal tersebut
adalah kecemasan yang disebabkan oleh istri dan keluargamulah yang pertama kali
mendorongmu untuk menemukan kebebasan di belantara pegunungan ini, namun
sekarang karena keraguan dan ketidak-pastian, engkau akan kembali ke dunia, dan
dengan melakukan hal tersebut engkau membuka dirimu sendiri pada semua
konsekuensi buruk dari kelahiran kembali dan kematian berikutnya. Kemudian
Beliau menyatakan syair-syair ini:
[32.1] “Seperti halnya
sebatang pohon, selama akarnya kokoh dan terjaga, walaupun ditebang, masih
(dapat) bertahan dan menghasilkan buah; Demikianlah, kecuali sisa-sisa nafsu
dihancurkan dan dicabut, (seseorang) harus kembali lagi dan lagi untuk menerima
dukacita. Monyet itu, yang jauh dari pohon, pertama-tama menikmati kebebasan,
dan kemudian kembali lagi (ke ikatannya), seperti halnya manusia, mereka keluar
dari neraka dan kemudian kembali ke sana. Pikiran yang penuh kerinduan adalah
bagaikan air sungai yang terus mengalir; Memberi jalan bagi kenikmatan bebas
dari kemalasan dan kemewahan, pikiran seperti seekor anjing buas yang mencari
kesenangan terus-menerus, dan manusia itu sendiri menjadi terdelusi dan tidak
dapat melihat kebenaran. Setiap pikiran mengalir di saluran yang sama, maka
nafsu mengikat seseorang seperti dengan ikatan rotan yang kuat. Hanya orang
bijaksana yang mampu membedakan kebenaran dengan benar, ia mampu memotong akar
terdalam dan sumber dari (nafsu) pikirannya. Seorang yang menyenangkan dirinya
akan menjadi rapih dan berkilau, pikirannya akan berkembang seperti sulur yang
berkecambah, dan kedalaman dari nafsu(nya) tidak dapat diukur; Dari sini
munculah kelangsungan penuaan dan kematian yang terus-menerus.
Bhiksu itu melihat penampilan agung Sang Buddha,
dan mendengar syair-syair yang telah diserukan-Nya, bersujud di tanah dengan
penghormatan yang paling rendah hati di hadapan-Nya, dan menyesali
kemalasannya, ia tekun mempraktikkan aturan Samatha dan Vipassinā, sampai pada
kondisi seorang Rahat. Dan semua Deva yang telah mendengar syair-syair itu,
dengan pikiran gembira menaburkan bunga di hadapan sosok Sang Buddha, sebagai
persembahan Puja, dan pergi dengan "Sādhu" yang tak terhitung
jumlahnya.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Śrāvastī, dan di sana Beliau membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para
Deva dan manusia, di sana tinggallah seorang Brahmana kaya tertentu yang sangat
tamak dan kikir, yang, karena ingin menghemat derma, ia biasa memerintahkan
pembantunya untuk menutup pintu dan mengunci jendelanya setiap kali ia makan,
sehingga tidak ada pengemis yang mengganggunya dengan permintaannya. Dan karena
itulah tidak ada orang Brahmacarin (Bhiksu) yang dapat masuk, atau berdiri di
hadapan Brahmana ini. Suatu hari, setelah meminta istrinya untuk membunuh
seekor unggas dan membuat hidangan yang sangat lezat dari unggas itu, mereka
berdua duduk bersama untuk memakannya, pintu dan jendela telah ditutup terlebih
dahulu—Dan diantara mereka terdapat anak kecil mereka, yang padanya mereka
berdua dengan sesekali memasukan ke dalam mulutnya sisa-sisa hidangan lezat
itu. Sekarang Sang Buddha, mengetahui bahwa terdapat kapasitas untuk
berkeyakinan dalam kasus orang ini, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu,
dan menunggu hingga tuan rumah selesai makan, Beliau menempatkan Dirinya di
depan kursi-Nya, atau tempat duduk-Nya, dan melafalkan syair yang biasanya
(dilafalkan). "Ia yang memberi sedikit atau banyak (atau ia yang memberi
sedikit dari kelimpahannya) dalam bentuk derma, menyimpan untuk dirinya sendiri
sebuah hasil yang besar." Brahmana itu, mengangkat kepalanya dan melihat
Bhiksu itu (seperti yang terlihat), mulai memaki-makinya dan berkata,
"Engkau menyebut Dirimu seorang Bhiksu-Brahmacarin, ya kan? Namun tidak
memiliki sopan santun yang lebih baik dari ini, memaksakan Dirimu untuk hadir
di hadapanku saat aku makan bersama keluargaku?" Kepadanya Beliau
menjawab, "Adalah engkau, tuanku, yang seharusnya malu—Aku tidak perlu
merasa malu karena mengemis sebagai seorang Bhiksu." Brahmana itu kemudian
menjawab—"Dan apakah rasa malu yang harus aku rasakan karena makan seperti
ini bersama istriku dalam kenyamanan?" “Engkau, tuanku, yang telah
membunuh ayahmu, dan menikahi ibumu, dan dengan demikian melibatkan dirimu
dalam aib keluarga, dan tidak merasa malu, namun engkau mencela-Ku dan ingin
membuat-Ku malu karena mengemis sedikit makanan,” dan kemudian Beliau
membacakan syair-syair berikut:
[32.2] “Seperti tanaman
merambat yang berkecambah dan tidak terpotong (pada akarnya), demikianlah kasus
seseorang yang, dengan keinginan yang tamak, memakan makanan; Selalu memelihara
pikiran-pikiran jahat dan memperbanyak perselisihan keluarga (makam), demikianlah
pekerjaan yang terus-menerus dilakukan oleh orang yang bodoh. Neraka, tentu
saja, memiliki pengekang dan belenggu, tetapi orang bijaksana tidak menganggap
hal ini sebagai tawanan; Orang bodoh yang tenggelam dalam kekhawatiran tentang
istri dan anak serta merias diri mereka, ialah yang benar-benar tawanan. Orang
bijaksana menganggap nafsu sebagai penjara neraka, sebagai belenggu yang
mengikat keras yang sulit dilepaskan, dan karena itu ia ingin memisahkan ini
dan memotongnya selamanya, sehingga dengan terbebas dari kekhawatiran (atau
keinginan) demikian, ia dapat menemukan ketenangan dan kedamaian.”
Brahmana yang mendengar syair-syair itu bertanya
tentang maknanya, dan Sang Bhisku menjelaskan bahwa di masa lalu unggas (ayam
jantan) yang baru saja dimakannya adalah ayahnya, bahwa anak laki-laki kecilnya
sebelumnya adalah sesosok Raksha, dan telah memakan ayahnya, dan bahwa istrinya
di masa lalu adalah ibunya—Dan demikianlah ia terlibat dalam aib yang paling
besar. Mendengar kata-kata ini Brahmana itu, dipenuhi dengan ketakutan memohon
kepada Sang Buddha, yang sekarang telah menjelma menjadi wujud-Nya yang mulia,
untuk mengajarinya tentang Sila dalam Dharma-Nya, dan akhirnya memperoleh pembebasan
dan memasuki Jalan Pertama (Srotapanna).
[3] Dahulu kala, ketika Buddha sedang berdiam di
Vihāra Jetavana di dekat Śrāvastī, terdapat seorang Bhiksu muda, yang, berjalan
di jalan-jalan kota untuk berpindapatta, melihat seorang gadis yang sangat
cantik, dan (ia) sangat menyukainya. Karena tidak mampu menaklukkan keinginannya,
ia jatuh sakit, tidak dapat makan ataupun tidur, dan setiap harinya menjadi
merana. Atas hal itu seorang murid lainnya mendatanginya, dan bertanya
kepadanya bagaimana ia bisa menderita demikian, atas hal ini murid pertama pun
menceritakan segalanya kepada murid lainnya, dan pada akhirnya mereka berdua
pergi ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan menjelaskan kejadian itu
kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha berjanji untuk mencari obat
bagi penyakit Bhiksu tersebut, dan segera meminta agar ia menemani-Nya bersama
para pengikut-Nya ke kota. Ketika pergi ke rumah di mana gadis itu berdiam,
mereka menemukan bahwa gadis itu telah meninggal tiga hari yang lalu. Rumah itu
dipenuhi oleh mereka yang berduka, yang meratap dan menangis tanpa henti.
Kemudian sambil menunjuk mayat yang menjijikkan itu, Sang Buddha bertanya
kepada Bhiksu itu, apakah mayat itu yang telah membakar nafsunya? Dan kemudian
Beliau menjelaskan bagaimana segala hal yang muncul semuanya akan dapat hancur
dan tidak kekal, dan bahwa hanya melalui ketidak-tahuan akan hal ini
orang-orang menaruh cinta mereka pada hal-hal tersebut, dan kemudian Beliau
menyatakan syair-syair ini:—
[32.3] “Saat melihat
keindahan batin langsung terjerat, karena tidak mempertimbangkan ketidak-kekalan
semua penampilan tersebut. Orang bodoh yang menganggap bentuk luar sebagai satu
keunggulan, bagaimana ia dapat mengetahui kepalsuan atas hal tersebut, karena
bagaikan ulat sutra yang terbungkus jaringnya sendiri (kepompong), demikian
pula ia terjerat dalam kecintaannya sendiri terhadap nafsu inderawi. Namun
orang bijaksana, yang mampu memisahkan dirinya dan menyingkirkan semua ini,
tidak lagi terbelenggu, tetapi menyingkirkan segala dukacita. Orang yang
ceroboh dan malas menganggap bahwa pemanjaan indera seperti demikian tidak
bertentangan dengan kemurnian, dan demikianlah dengan terus menuruti
pikiran-pikiran seperti itu, ia terbelenggu sebagai seorang yang terperangkap
di neraka; Tetapi orang bijaksana, yang menghancurkan semua pikiran tentang
hal-hal tersebut, dan selalu mengingat ketidak-murnian dari pemanjaan tersebut,
dengan cara ini keluar dari perangkap, dan dengan demikian mampu keluar dari
kesedihan akibat usia tua dan kematian yang berulang.”
Bhiksu muda itu, melihat pemandangan yang
mengerikan di hadapannya, dan setelah mendengarkan syair yang baru saja
dibacakan, berbalik dengan penuh penyesalan dan bersujud di hadapan Sang
Buddha, setelah itu, dengan tekun dalam Jalan Pemurnian, ia segera menjadi
seorang Rahat.
[4] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi
para Deva dan manusia (Nāga dan Yaksa), saat itu terdapat seorang perumah
tangga kaya tertentu yang hanya memiliki seorang putera, seorang pemuda berusia
sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Ayah dan ibu anak laki-laki ini telah
meninggal, dan (karena) ia tidak mengetahui aturan-aturan untuk berhemat dalam
pengeluarannya, (ia) mulai menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri dan orang
lain, sehingga dalam waktu singkat ia menjadi pengemis dan hidup berkekurangan.
Saat itu ayah putera itu memiliki seorang kerabat yang juga sangat kaya; Suatu
hari kerabatnya tersebut melihat kondisi menyedihkan anak muda itu, ia merasa
kasihan padanya, dan membawanya ke rumahnya, dan akhirnya memberinya tempat
tinggal sendiri, dengan seorang istri, budak-budak, kuda-kuda, dan
kereta-kereta. Namun terlepas dari pengalaman sebelumnya, pemuda itu kembali
berfoya-foya, dan kembali lagi jatuh miskin, dan meskipun telah berulang kali
dibantu oleh kerabat dan penyokongnya, ia tetap seperti itu. Pada akhirnya,
kerabatnya yang lelah itu memanggil istri pemuda itu, dan mengatakan kepadanya
bahwa sebaiknya ia mencari rumah lain, dan menemukan seseorang yang dapat
melindungi dan memenuhi kebutuhannya dengan cara yang terhormat. Mendengar hal
ini, ia kembali kepada suaminya dan berkata, "Suamiku, engkau nampaknya
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
kami. Aku bertanya kepadamu, apa yang ingin engkau lakukan? Aku harus mencari
rumah lain, jika tidak ada nafkah di sini untukku." Mendengar hal ini,
pria itu merasa malu dan kecewa, dan ia berpikir di dalam batin—"Aku
benar-benar orang yang menyedihkan dan tidak bahagia. Aku tidak tahu bagaimana
mengelola urusanku; Dan sekarang aku akan kehilangan istriku, dan harus pergi
mengemis lagi." Berpikir demikian, dan tersulut oleh kenangan akan
kenikmatan dan nafsu di masa lampau, ia memutuskan dengan niat jahat untuk
mengakhiri hidup istrinya, dan setelah itu membunuh dirinya sendiri. Karena
itulah, ia membawa wanita itu ke kamar dalam kediamannya, ia segera mengatakan
niatnya untuk mati bersamanya di sana, lalu ia menikam istrinya, dan setelah
itu mengakhiri hidupnya. Para pelayan(nya), mengetahui bagaimana kejadiannya, dengan
bergegas pergi menemui kerabat kaya dari pria tersebut dan menceritakan semua
kejadiannya; Atas hal ini ia datang bersama semua orang di sekitarnya, dan
melihat pemandangan yang menyedihkan itu, ia dipenuhi dengan kesedihan, dan
pada akhirnya menguburkan mereka sesuai dengan aturan di negeri itu. Setelah
mendengar tentang Sang Buddha, dan kenyamanan yang dapat Beliau berikan melalui
khotbah Dharma-Nya, ia datang bersama semua pelayannya ke tempat di mana Sang
Guru berada, dan menceritakan kepada-Nya tentang semua hal yang telah
menimpanya. Atas hal ini Sang Buddha memulai diskusi berikut:—"Nafsu dan
keinginan (keinginan pada amarah) adalah dukacita yang selalu ada di dunia.
Inilah yang menyebabkan segala ketidak-bahagiaan yang menimpa orang bodoh.
Inilah jalan yang dengannya kelahiran kembali yang terus-menerus dalam
kemenjadian di berbagai kondisi yang berbeda (lima jalan) berlangsung di
seluruh tiga dunia. Jika penderitaan atas penuaan tidak dapat membawa manusia
pada penyesalan dan perbaikan, betapa lebih sedikit lagi yang dapat kita
harapkan sekarang dari orang bodoh untuk menjadi orang bijaksana, dan
menyingkirkan racun dari nafsu dan hasrat ketamakan, yang menghancurkan
tubuhnya dan menghancurkan keluarganya (klan), bahkan, yang menghancurkan dan memporak-porandakan
seluruh dunia—Dan jika memang demikian, bagaimana kita dapat bertanya-tanya
tentang apa yang telah menimpa pria ini dan istrinya. Kemudian Sang Guru
menyatakan syair-syair ini:
[32.4] “Orang bodoh
dengan sendirinya terikat oleh ketamakannya, tidak berusaha keluar ke pantai
itu. (Karena) tamak akan kekayaan dan pemanjaan nafsu, ia menghancurkan orang
lain dan ia menghancurkan dirinya sendiri. Pikiran yang penuh nafsu adalah
ladangnya, kecintaan berlebih, kemarahan, delusi, adalah buahnya. Oleh karena
itu ia yang memberikan pemberian kepada orang yang meninggalkan keduniawian,
memperoleh kebahagiaan (jasa) yang tak terbatas. Sedikit teman dan banyak
barang, pedagang (itu), (menjadi) penakut dan cemas, yang memiliki pikiran
tamak, perampok mengambil hidupnya (atau, 'Hal ini, seperti seorang perampok,
yang mengambil hidupnya'). Oleh karena itu, orang bijaksana, menyingkirkan
semua keinginan akan ketamakan.”
Perumah tangga yang mendengar kata-kata ini
dipenuhi dengan kegembiraan; Ia melupakan kesedihannya, dan bangkit dari tempat
duduknya, ia dan rekan-rekannya seluruhnya memperoleh buah dari Jalan Pertama (Srotapanna).
[5] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi
para Deva dan manusia, dsb., saat itu terdapat dua orang pengembara yang
merupakan sahabat sesumpah, dan seakan-akan sehati, (sehingga) yang berada di
lingkungan itu mengira mereka akan menjadi Bhiksu. Mereka pun datang ke tempat
di mana Sang Guru berada, dan setelah memberikan penghormatan, mereka
menjelaskan keinginan mereka. Setelah menerima mereka dalam Samgha-Nya, Beliau
mengirim mereka ke satu tempat untuk bermeditasi. Akan tetapi, terlepas dari
semua upaya mereka, mereka tidak dapat melupakan kesenangan dari kehidupan
mereka sebelumnya, dan diperbudak oleh keinginan untuk pemanjaan indera. Sang
Buddha dengan mata dewa-Nya memahami kondisi mereka, dan ingin menyelamatkan
mereka, memanggil seorang Bhiksu untuk pergi ke kediaman mereka, dan berkata
kepada mereka, "Bagaimana menurutmu jika kita bertiga pergi ke lokalisasi
pelacuran, dan tanpa basa-basi lagi, melihat tubuh salah satu wanita cantik
yang sangat engkau kagumi?" Maka mereka semua pergi ke lokalisasi
pelacuran itu, dan setelah bertemu dengan seorang Wanita (yang sebenarnya
hanyalah Sang Buddha sendiri yang telah berubah wujud), mereka meminta Wanita
itu untuk memperlihatkan pesona-Nya, tanpa benar-benar melakukan pelanggaran
yang nyata. Maka Wanita itu mulai melepaskan karangan bunga dan perhiasan-Nya,
dan perlahan-lahan melepaskan pakaian-Nya, lihatlah! Pemandangan yang
mengerikan dari perubahan tubuh itu memenuhi mata mereka, dan bau busuk itu
menyerang indera mereka, sehingga mereka tidak dapat mendekati tempat di mana
Wanita itu berada. Kemudian Bhiksu itu berbalik dan berbicara kepada keduanya:
“Apa yang di dunia disebut kecantikan hanyalah kombinasi dari bunga-bunga dan
hiasan-hiasan, salep dan pakaian; Dengan menyingkirkan semua itu, dan apalah
yang ada di sana selain ketidak-menarikan dan penampilan yang menjijikkan?
Apakah dengan tubuh seperti ini, kulit keriput seperti kulit bahan pakaian,
tubuh yang mengeluarkan bau busuk, yang membuatmu begitu tergila-gila, dan
kemudian ia menyatakan syair-syair ini:
[32.5] “O nafsu! Aku
telah menemukan sumber dan asalmu. Lahir dari penyibukan akan kenangan-kenangan
yang menghantui pikiran. Sekarang aku tidak akan lagi memikirkanmu atau hal-hal
ini; Maka kau tidak akan ada lagi bagiku. Hanya dari pikiranlah nafsu muncul;
Dari diri sendiri muncul lima keinginan indera. Maka, bergegaslah untuk
mengikat kelima keinginan ini, dan buktikan dirimu sebagai pahlawan sejati! Di
mana tidak ada nafsu, tidak ada ketakutan yang mencemaskan; Damai, dan tenang,
tidak ada lagi kekhawatiran yang mengerikan bagi orang seperti itu—Keinginan
telah diusir, belenggu-belenggunya telah disingkirkan selamanya. Hal ini memang
untuk menemukan pembebasan sejati (lit., "Untuk waktu yang lama keluar
dari jurang (dukacita))" [Mungkin sama dengan "Ogha-tinna," lihat M.M. 370].
Kemudian Sang Buddha, setelah menampakkan Dirinya
dalam wujud yang mulia, kedua Bhiksu itu dipenuhi dengan rasa malu, dan dengan
penyesalan yang mendalam, mereka bersujud di kaki Sang Buddha dan memberi
hormat. Dan setelah mendengarkan lebih lanjut instruksi-Nya mereka menjadi
Rahat. Sekarang ketika mereka kembali ke kediaman mereka, salah seorang Bhiksu
melihat wajah yang bahagia dan puas dari Bhiksu yang lain, bertanya kepada
temannya tentang alasannya, yang kemudian ia mengulang lagi dan lagi syair
berikut:—
[32.6] "Siang dan
malam aku telah diperbudak oleh nafsu ragawi, pikiranku terus-menerus
memikirkan hal-hal ini; Tetapi sekarang aku telah melihat wanita yang sangat
kurindukan itu dengan begitu banyak penyakit pada tubuhnya yang telanjang,
pemikiran-pemikiranku telah musnah, aku tidak lagi berduka."
Mendengar syair-syair ini, temannya mampu
melepaskan diri dari belenggu nafsu ragawi, dan segera menerima Mata Dewa [Mata
Dharma?].
###
法句譬喻經利養品第三十三 [Fǎ jù pì yù jīng lì yǎng
pǐn dì sān shí sān]
- 33. Pengabdian yang Menguntungkan.
[1] Dahulu kala Sang Buddha bersama dengan para
pengikut-Nya, setelah pergi ke kerajaan Kausāmbī (Ku-tan-mi), Beliau berdiam di
(suatu) Vihāra yang disebut Mi-yin (suara merdu), dan di sana (Beliau)
membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva dan manusia. Pada saat itu raja
negeri tersebut bernama Yau-tien (Udāyana), yang memiliki ratu dengan karakter
yang sangat murni. Setelah mendengar bahwa Sang Buddha telah datang ke
kerajaannya, Raja dan Ratu, bersama para pelayannya, pergi untuk mengunjungi-Nya,
dan setelah memberi penghormatan seperti biasanya, mereka duduk. Kemudian Sang
Buddha, demi kebaikan mereka, mulai membabarkan Dharma dan menunjukkan
ketidak-kekalan, dukacita, dan kesia-siaan atas hal-hal di sekitar kita, yang
menjadi sumber segala kesengsaraan kita berasal. Dan kemudian Beliau
membuktikan bahwa surga adalah buah dari kebajikan Dharma, dan neraka adalah
akibat dari keburukan (kejahatan). Sebagai akibat dari khotbah ini, baik Raja
maupun Ratu menerima lima aturan seorang Upasaka, dan kemudian (mereka) kembali
ke istana. Pada saat itu terdapat seorang Brahmana tertentu bernama Kih-sing
(bintang keberuntungan), yang memiliki seorang puteri yang kecantikannya tak
tertandingi, yang baru berusia enam belas tahun. Karenanya Brahmana itu, selama
sembilan puluh hari, mempertunjukkan setumpuk seribu emas masuran (butiran
beras?), dan menantang siapa pun untuk menemukan satu kecacatan pun pada diri
(puteri)nya, dan siapa pun yang dapat melakukannya dapat memiliki emas
tersebut. (Karena) tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya, dan karena
ingin menemukan seseorang yang cocok untuk dinikahi puterinya, ia kembali
menantang siapa pun untuk memberikan seorang pria yang setara dengan putrinya
dalam hal keanggunan, dan kepadanya ia akan memberikan puterinya sebagai
seorang istri. Saat itu, setelah mendengar bahwa keluarga Bhiksu Gōtama, yang
dikenal sebagai para Śākya, terkenal luar biasa karena keindahan mereka, dan
oleh karena Beliau [Sang Buddha] (dirasa) cocok untuk memiliki puterinya, ia
datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan membawa puterinya bersamanya,
setelah memberi penghormatan seperti biasanya, ia berkata demikian:—"Puteriku
sungguh cantik, dan tiada bandingnya dalam hal keanggunan feminimnya; Dan
Engkau juga, Gōtama, luar biasa karena keindahan-Mu. Oleh karena itu, Engkau
dapat memiliki puteriku, dan menjadikannya teman (istri)-Mu." Kepadanya
Sang Buddha menjawab, "Kecantikan puterimu, tuan, adalah menurut
penilaianmu sendiri; Keindahan-Ku adalah berdasarkan (penilaian) Para Buddha;
Keindahan-Ku dan kecantikan seorang wanita adalah berbeda sama sekali.
Kecantikkan puterimu, tuan, adalah seperti gambar di toples (atau bejana), yang
di tengahnya hanya terdapat kotoran dan tinja. Bagaimana bisa hal ini dianggap
sebagai keindahan yang sehubungan hanya pada mata, telinga, hidung, mulut,
tubuh? Inilah keindahan tubuh luar yang menyebabkan dukacita,
menjungkir-balikkan keluarga, menghancurkan kekerabatan, mengorbankan hubungan,
membunuh anak-anak; Semua ini datang dari (kecintaan pada) kecantikan wanita.
Tetapi Aku seorang Bhiksu—Aku berdiri sendiri—Dan lebih memilih menanggung
bencana apa pun daripada menuruti permintaanmu, tuan, engkau boleh pergi; Aku
menolak tawaranmu."
Mendengar hal ini Brahmana itu pergi dengan
perasaan sangat marah; Dan kemudian, ketika ia datang ke hadapan Raja, ia
memuji kecantikan puterinya, dan menawarkan puterinya kepadanya. Sang Raja,
yang sangat senang dengan penampilannya, menerima puterinya, dan mengangkatnya
menjadi ratu kedua. Setelah (Raja) memberikan ratu kedua itu hadiah dan
perhiasan, dengan segera ia (sang ratu kedua) mulai memenuhi pikirannya dengan
pikiran cemburu dan ketidak-sukaan terhadap Ratu pertama, dan pada akhirnya
membujuk Raja untuk mengirim Ratu pertama pada suatu kesempatan tertentu untuk
menuruti keinginannya (mengetahui bahwa Ratu pertama tidak akan datang).
Akibatnya Raja memanggil Ratu pertama, namun Ratu pertama menolak untuk hadir,
dengan alasan bahwa ia sedang melakukan beberapa ritual keagamaan (puasa), dan
demikianlah selama beberapa kesempatan. Sang Raja, yang marah saat itu,
mengirim seseorang dengan seikat tali untuk menyeret sang Ratu kehadapannya;
Dan ketika ia dibawa masuk, ia mengambil busurnya dan bermaksud untuk
memanahnya hingga menembus tubuhnya. Namun lihatlah! Anak panah yang ia
tembakkan kembali lagi kepada Raja, dan tidak melukai Ratu pertama; Dan
begitulah (hal ini terjadi) lagi dan lagi. Atas hal ini Sang Raja, yang
dipenuhi dengan keheranan (ketakutan), berkata kepadanya, “Dengan kekuatan gaib
apa engkau mampu mewujudkan hal ini?” Dan Ratu pertama menjawab, “Aku pergi
berlindung kepada tiga permata, dan sepanjang hari telah menjalankan pelatihan
keagamaan (puasa), dan karena hal ini Sang Bhagavant telah melindungiku."
Mendengar hal ini Sang Raja berseru, "Luar biasa!" dan, (setelahnya)
mengusir Ratu kedua, ia mengirim Ratu kedua kembali ke orang tuanya, dan
mengembalikan kekuasaan Ratu pertama yang tak terbantahkan. Kemudian, bersama
para pelayan Ratu, Raja pergi ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan setelah
memberi hormat, ia menjelaskan kepada-Nya apa yang telah terjadi, sehubungan
dengan hal ini Sang Buddha (setelah sebuah pembabaran Dharma singkat)
menyatakan syair-syair ini :—
[33.1] “Walaupun Surga
menurunkan tujuh materi berharga, namun orang yang tamak tidak akan puas;
Kenikmatannya hanya sedikit, dukacitanya banyak. Orang bijaksana, yang memiliki
moralitas, walaupun ia memiliki kenikmatan surgawi, akan dengan bijaksana
membiarkannya pergi, dan tidak menginginkannya. Ia yang menemukan
kebahagiaannya dalam melenyapkan pikiran-pikiran pemuasan nafsu, orang ini
adalah murid Sang Buddha.”
Kemudian Sang Buddha menjelaskan lebih jauh kepada
Raja akibat yang tak terelakkan dari kehidupan ia yang jahat, bahwa hal itu
akan berakibat sepuluh ribu kali lebih menyedihkan bagi orang yang bersalah,
sedangkan buah dari praktek Dharma dan meninggalkan keduniawian tentu saja
adalah kenikmatan surgawi. Setelah berkotbah demikian, Raja dan para pelayan
Ratu, serta yang lainnya, menerima pembebasan sempurna, dan memasuki Sang
Jalan.
###
法句譬喻經沙門品第三十四 [Fǎ jù pì yù jīng shā mén pǐn dì sān shí sì] - 34.
Bhiksu (Bhikkhuvaggo).
[1] Di masa lalu, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi
para Deva dan manusia, terdapat seorang Bhiksu tertentu, yang masih muda dalam
usia, yang setiap paginya selalu mengenakan jubahnya, dan mengambil tongkat
pertapa dan mangkuk derma, dan berjalan melalui jalan-jalan kota untuk
berpindapatta. Di tengah perjalanan terdapat sebuah taman milik seorang
bangsawan tertentu, di bagian luarnya ditanami tanaman talas tertentu, dan
tanahnya dijaga oleh sebuah alat untuk menembakkan anak panah pada binatang
apapun, ataupun pencuri, yang datang ke sana untuk masuk atau mencuri. Selain
itu, sebagai penjaga tanah, terdapat seorang gadis yang masih sangat muda, yang
pergi, biasanya memperingatkan para pengembara untuk menjauh dari tempat itu
jika mereka tersesat, atau kemungkinan besar akan memasuki taman itu tanpa
mengetahui bahayanya, paling tidak mereka harus ditembak.
Pada suatu ketika, Bhiksu itu dalam suatu
kesempatan, setelah berkeliling kota, hendak pulang ke rumah, ketika melewati
tempat itu, ia mendengar teriakan sedih dari gadis itu yang berteriak kepadanya
untuk berhati-hati; Dan nafsunya dibangkitkan oleh hal tersebut, ia berpikir
untuk pergi ke dalam dan berbincang dengannya, dan menghibur dirinya sendiri.
Ketika hendak melakukan hal ini, tiba-tiba ia diliputi oleh ketakutan, ia
membiarkan tongkatnya jatuh, dan jubahnya berantakan, dan mangkuk dermanya pun
berantakan; Ketika itu Sang Buddha, melalui mata dewa-Nya, melihat bagaimana
permasalahannya, dan bahwa dalam satu atau dua langkah Bhiksu itu akan tertusuk
anak panah, dan binasa dalam keburukannya, mengubah Dirinya menjadi seorang
Upasaka berjubah putih, dan berdiri di samping Bhiksu, menyatakan syair-syair
penolakan berikut:—
[34.1] "Bhiksu!
kemanakah engkau pergi? Tak terjaga dalam cara kerja pikiran. Langkah demi
langkah semakin tenggelam dalam lumpur, seiring engkau mengikuti tujuan
jahatmu. Jangan mempermalukan jubahmu dengan perbuatan jahat demikian yang
engkau inginkan! Kematian menatap wajahmu ketika engkau melangkah maju!
Bendunglah arus (kecenderungan), berhentilah sejenak dan renungkan, injaklah
nafsu inderawi. Seseorang yang tidak menghancurkan nafsu inderawi dipimpin oleh
satu pikiran saja (untuk melakukan hal ini dan itu, hingga ia menghancurkan dan
mengacaukan dirinya sendiri). Maka bangunlah, dan lakukan dengan tegas! Ikatlah
dirimu dengan erat. Orang yang telah meninggalkan rumah (untuk menjadi seorang
Bhiksu), namun tetap tumpul dan lamban—Yang pikirannya masih mendambakan pemanjaan
diri yang tidak murni—Adalah seperti pohon busuk yang dihempaskan oleh angin,
yang sulit menahan kekuatannya, dan segera terhempaskan."
Kemudian Sang Buddha, setelah kembali ke wujud-Nya
Yang Agung, Bhiksu itu, yang merasa malu karena kelemahannya, bersujud di kaki
Sang Guru, dan, dengan sangat menyesal, segera menjadi seorang Rahat; Dan tak
terhitung banyaknya orang lain yang mendengar kasus tersebut, yang tergabung
dalam Vihāra, menerima Mata Dharma.
###
法句譬喻經梵志品第三十五 [Fǎ jù pì yù jīng fàn zhì pǐn dì sān shí wǔ] - 35. Brahmachārin.
[1] Dahulu kala, di suatu gunung tertentu (yang
disebut Sse-yau-chu-to) di negeri Saketa (Sse-ho-teh), di sana terdapat sekitar
500 Brahmana yang berpura-pura telah mencapai pembebasan akhir (Nirvāna), dengan mempertimbangkan
kekuatan batin mereka (irrdhi). Pada
saat itu, Sang Buddha, yang baru saja mencapai pencerahan sempurna, dan mulai
membunyikan genderang Dharma, serta membuka pintu menuju tanpa kematian, karena
para Brahmachārin ini, merasa terdorong untuk datang ke lingkungan mereka, dan
duduk di bawah sebatang pohon, untuk memperlihatkan kemegahan Dirinya. Setelah
berbincang-bincang dengan mereka, Beliau menyatakan syair-syair ini:
[35.1] “Bendunglah arus
dan melewatinya, tanpa keinginan sebagai seorang Brahmana! Memahami akhir dari
segala yang terbentuk (atau, dari semua cara berperilaku), inilah yang
benar-benar disebut (kehidupan seorang) Brahmachārin. Dalam (atau, melalui) dua
Dharma kekosongan, murni dan tanpa noda menyeberangi jurang, membuang semua
ikatan keinginan, inilah (sesungguhnya) bagaimana menjadi seorang Brahmachārin.
Bukan karena klannya, atau rambutnya yang dikepang, orang itu disebut seorang
Brahmana, tetapi ia yang berjalan dengan kejujuran dan kebenaran, ia memang
pantas disebut seorang yang baik (Bhadra). Apalah gunanya rambut yang dikepang,
O orang dungu! Pakaian dari rumput, apalah gunanya? Di batinnya tidak terdapat
pelepasan keinginan, lalu apalah gunanya secara jasmani meninggalkan
keduniawian? Singkirkanlah nafsu, kebencian, delusi, kelambanan dan semua
akibat buruknya, seperti ular menanggalkan kulitnya, inilah sesungguhnya
bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Pisahkan dirimu dari segala pergaulan
duniawi—Janganlah membiarkan mulutmu mengucapkan kata-kata busuk—Selidikilah
Delapan Jalan (Ashtānga mārga) secara
menyeluruh, inilah sesungguhnya bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Telah
menyingkirkan segala pikiran tentang kecintaan terhadap keluarga, telah
melepaskan segala keinginan terhadap rumah, dan melepaskan segala ikatan akan
pilihan pribadi, inilah sesungguhnya bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Ia
yang telah melepaskan segala pikiran tentang dunia ini atau dunia selanjutnya,
dan tidak bergantung pada keduanya—Orang ini sesungguhnya adalah seorang Brahmachārin.
Ia yang memahami kehidupan lampaunya sendiri, dan telah mengakhiri segala
kemungkinan kelahiran atau kematian di masa depan, ia yang Kusebut seorang
Brahmachārin. Ia yang sempurna dalam pengetahuan, adalah seorang Brahmachārin.”
Setelah bersabda demikian, Sang Buddha menegur para
Brahmachārin dengan kata-kata ini:
[35.2] “Kalian yang
mengaku telah mencapai Nirvāna, hanyalah seperti ikan di kolam air yang
dangkal! Kenikmatan atau kepuasan apakah yang dapat kalian harapkan?”
Setelah mendengar kata-kata ini dan merenungkannya,
para Brahmachārin bersujud di hadapan Sang Buddha, dan setelah diterima ke
dalam Samgha, mereka segera menjadi para Rahat. Para pendengar lainnya, juga
dipenuhi dengan kegembiraan, mampu memasuki Sang Jalan.
###
法句譬喻經泥洹品第三十六 [Fǎ jù pì yù jīng ní huán pǐn dì sān shí liù] - 36. Nirvāna.
[1] Dahulu kala ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, bersama seluruh Samgha Bhiksu, yang
berjumlah 1250 orang, Raja Magadha, yang bernama Ajātaśatru, yang saat itu
menjadi penguasa 100 kerajaan, merasa bingung karena salah satu kerajaan
bernama Yuechi (Getae?), menolak membayar upeti kepadanya, meskipun negara itu
berkelimpahan harta, dan sangat makmur. Atas hal ini Raja mengirim perdana
menterinya yang bernama Yu-she, untuk bertanya kepada Sang Buddha tentang apa
yang harus dilakukannya, dan apakah ia akan berhasil menggunakan kekuatan
melawan kerajaan yang memberontak. Setelah datang ke hadapan Sang Buddha dan
mengajukan pertanyaan, Sang Bhagavant menjawab: "Selama Raja Yue-chi
mematuhi tujuh aturan, mereka tidak akan mudah dikalahkan." Atas hal ini
sang menteri menanyakan tentang karakteristik dari tujuh peraturan tersebut,
dan Sang Guru menjawab: (1.) “Selama rakyat Yue-chi menaati peraturan yang
benar dalam pemerintahan sendiri, di desa-desa dan komunitas mereka masing-masing,
selama itulah mereka akan mampu melindungi diri mereka sendiri. (2.) Selama
para menteri dan penguasa bersatu, dan sepakat, dan memerintah dengan adil,
selama itulah mereka akan mampu melindungi diri mereka sendiri, dst. (3.)
Selama mereka dalam satu prinsip nasional, menaati Dharma, dan tunduk pada
arahan mereka tanpa pandang bulu ataupun keberpihakan, selama itulah mereka
tidak akan terkalahkan. (4.) Selama (rakyat) Yue-chi menaati aturan kesopanan
antara pria dan wanita, dan tidak menyimpang dari aturan kepatutan ini, selama
itulah, dst. (5.) Selama (rakyat) Yue-chi menaati aturan penghormatan kepada
ayah dan ibu serta kerabat lainnya, dan dengan patuh memenuhi kebutuhan mereka,
selama itulah, dst. (6.) Selama (rakyat) Yue-chi berkeyakinan dengan taat
menjalankan upacara empat musim, dalam melakukan penghormatan kepada langit dan
bumi, selama itulah, dst. (7.) Selama (rakyat) Yue-chi menghormati semua guru
agama mereka (para Bhiksu), dan terutama orang-orang yang datang kepada mereka
dari jauh (pengembara atau tamu keagamaan), dan menyediakan mereka dengan
kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, tempat tidur, obat-obatan, dst., selama
itulah, dst.
Inilah ketujuh aturan itu, jika (rakyat) Yue-chi
hanya menaati satu di antaranya, akan sulit untuk mengalahkannya, apalagi jika
mereka menghormati ketujuh aturan tersebut, dan kemudian Sang Bhagavant
menyatakan syair-syair ini:—
[36.1] “Jangan terlalu
bergantung sepenuhnya pada keuntungan atas kemenangan (penaklukan), karena
meskipun engkau mungkin menang dalam pertempuran, namun masih terdapat dukacita
yang menanti; Sebaliknya seseorang mencari Sila penaklukan diri, setelah
menaklukkan dirinya sendiri, maka tidak akan ada lagi dasar untuk kelahiran
(atau, kehidupan yang berlanjut).”
Sang menteri yang mendengar syair-syair ini, dengan
segera berkeyakinan (memperoleh dasar-dasar kebenaran (kebijaksanaan atau Bōdhi)), dan mereka yang ada dalam
Samgha yang belum memasuki Sang Jalan, mampu melakukannya. Menteri itu kemudian
bangkit dari tempat duduknya, memohon izin untuk pergi, dan setelah diizinkan
oleh Sang Buddha, ia kembali kepada Raja dan memberi tahu apa yang dikatakan
oleh Sang Guru. Atas hal ini Raja melepaskan semua niatnya untuk berperang, dan
akibatnya Yue-chi kembali patuh dan tunduk kepada Raja.
###
法句譬喻經生死品第三十七 [Fǎ jù pì yù jīng shēng sǐ pǐn dì sān shí qī] - 37.
Kelahiran dan Kematian.
[1] Dahulu kala ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi
para Deva dan manusia, terdapat seorang perumah tangga kaya tertentu, seorang
Brahmana, yang memiliki seorang putera yang baru berusia dua puluh tahun, yang
baru saja menikahi seorang istri. Dan sekarang tujuh hari telah berlalu sejak
pernikahan, ketika pasangan muda itu sepakat untuk pergi bersama ke taman
pahlawan untuk melihat pepohonan dan bunga-bunga yang indah. Saat itu baru
bulan ketiga musim semi ketika mereka berangkat. Di antara pohon-pohon lain
terdapat sebatang pohon Plum indah yang sedang mekar, yang bunganya berada di
luar jangkauan mereka, namun pengantin wanita sangat ingin memilikinya. Oleh
karena itu pemuda tersebut memutuskan untuk memanjat pohon tersebut untuk
mendapatkan bunga yang dicintai istrinya. Setelah mencapai dahan yang paling
atas, lihatlah! Dahan itu tak mampu menahan beratnya, dan ia terjatuh ke tanah
dan meninggal dunia. Kemudian terdengarlah ratapan yang sangat keras di antara
anggota keluarganya. Ratapan dan tangisan dari teman-temannya terdengar di
segala sisi—Dan sekembalinya dari upacara pemakamannya–Yang dilakukan sesuai
dengan aturan agama–Rumah itu kembali dipenuhi dengan suara kesedihan dan
ratapan. Mendengar hal ini Sang Bhagavant, yang mengetahui keadaan atas kasus
tersebut, segera datang ke tempat tinggalnya. Saat melihat-Nya, ayah dan ibu
serta anggota keluarga yang lainnya berjalan dan memberikan penghormatan
kepada-Nya; Dan ketika menjelaskan penyebab kesedihan mereka, Sang Guru berkata
kepada perumah tangga, “Hentikanlah ratapan kalian, dan dengarkanlah Aku!
Segala sesuatu di sekitar kalian tidaklah kekal dan ditakdirkan untuk berubah!
Begitu terlahir, maka di sana terdapat kematian. Keburukan dan akibat-akibatnya
pasti terikat bersama. Dan siapakah pemuda ini, dan siapakah sanak saudaranya
yang padanya kalian tangisi dengan sangat menyedihkan dan tanpa henti?"
Dan kemudian Sang Guru menyatakan syair-syair ini :—
[37.1] “Apa yang disebut
kehidupan hanyalah (bagaikan) bunga atau buah yang gugur, ketika matang, namun
kemudian (apakah) mereka pernah merasakan ketakutan akan salju yang diluar musimnya?
Begitu dilahirkan yang ada tidak lain hanyalah dukacita; Karena siapakah yang
dapat melarikan diri dari kematian? Sejak saat pertama pembuahan di dalam
rahim, hasil dari keinginan dan cinta yang menggebu-gebu, tidak lain hanyalah
bentuk jasmani, yang fana seperti kilatan petir. Adalah sulit membendung aliran
air kehidupan sehari-hari. Tubuh ini hanyalah sesuatu yang ditakdirkan untuk
hancur. Tidak ada bentuk tertentu yang dimiliki oleh 'diri' yang tersembunyi
bersama tubuh. Setelah mati ia dilahirkan kembali—Hubungan antara keburukan dan
kebajikan tidak dapat dilampaui. Hal ini bukanlah masalah kehidupan seseorang,
ataupun kematian seseorang, tetapi dari tindakan pembuahan yang baru
menyebabkan segala konsekuensi dari perbuatan-perbuatan sebelumnya,
menghasilkan sukacita atau dukacita; Tubuhnya mati tetapi batin tidak
terkubur!”
Setelah syair-syair ini dinyatakan, Sang Buddha
menjelaskan bahwa penyebab kematian diluar waktunya dari pengantin lelaki muda
adalah, bahwa di masa lalu ia dengan kejam memanah seekor burung pipit muda
menggunakan tubuhnya, saat ia berjalan-jalan di taman rumahnya bersama tiga
temannya; Kemudian setelah menjelaskan konsekuensi yang berlangsung dalam
setiap kasusnya, Sang Bhagavant menambahkan syair-syair berikut:
[37.2] “Hanyalah pikiran
(diri) yang menentukan karakter (kehidupan di) tiga dunia. Seperti halnya
kehidupan yang bermoral atau sebaliknya, kehidupan selanjutnya dari suatu
individu. Hidup dalam kegelapan, kegelapan akan menyusul; Akibat dari kelahiran
adalah bagaikan gema dari gua yang besar, tenggelam dalam nafsu ragawi, tidak
ada yang lain selain hasrat ragawi; Segala sesuatu merupakan hasil dari
perbuatan sebelumnya, bagaikan jejak kaki yang mengikuti langkah gajah, atau
bayangan pada hakikatnya.”
Setelah mendengar syair-syair ini, perumah tangga
dan orang-orang yang mendampinginya dipenuhi dengan kegembiraan, dan menerima
Trisarana dan Pancasila, dan pada akhirnya memasuki Sang Jalan.
###
法句譬喻經道利品第三十八 [Fǎ jù pì yù jīng dào lì pǐn dì sān shí bā] - 38.
Manfaat Perilaku Suci.
[1] Dahulu kala terdapat seorang Raja tertentu yang
memerintah rakyatnya dengan adil, dan dengan sepenuh hati bersungguh-sungguh
demi kebaikan mereka; Namun ia tidak memiliki putera untuk menggantikannya.
Sang Buddha, telah datang ke kerajaannya. Raja pergi untuk mendengarkan
pembabaran Dharma-Nya, dan menjadi berkeyakinan pada Dharma, ia menjadi seorang
murid. Setelah itu, ia tidak lagi berdoa dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan seorang putera. Sekarang ia memiliki seorang anak pelayan kecil
(keih-shi?) berusia sekitar sebelas tahun, yang juga mengabdikan dirinya pada
tugas suci dan pelafalan Dharma. .Anak laki-laki ini telah meninggal, ia
terlahir kembali sebagai anak Raja, tuannya sendiri, dan ketika ia telah
mencapai usia lima belas tahun, ia secara terbuka diakui sebagai Pangeran
Kerajaan (Kumāra). Setelah suatu
waktu, Raja telah mangkat, Pangeran naik tahta, dan ia segera menyerah kepada
kebiasaan buruk berupa pemanjaan diri, dan rakyat serta kerajaan(nya) menderita
sebagai akibatnya. Atas hal ini, Sang Buddha, mengetahui semua keadaan dari
kasus tersebut, sekali lagi mengunjungi kerajaan (tersebut), dan Rāja setelah
pergi menemuinya, memberikan penghormatan seperti biasa. Sang Buddha kemudian
mulai menjelaskan kepada Raja bagaimana ia bisa sampai pada martabat
kerajaannya saat ini—Yaitu, melalui perhatiannya pada kelahiran-kelahiran
sebelumnya terhadap lima tugas suci seorang Bhiksu, yaitu:—Pertama,
kedermawanan; Kedua, mendirikan bangunan suci; Ketiga, penghormatan dalam
pemujaan; Keempat, kesabaran dan pengendalian diri; Kelima, tekun dalam mencari
kebenaran. Dengan melaksanakan hal-hal ini ia telah mencapai gelarnya saat ini;
Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini, dan berkata:—
[38.1] “Seseorang yang
tahu bagaimana menghormati kekuatan yang lebih tinggi, orang tuanya, dan guru
suci—Yang penuh dengan keyakinan, dan moralitas, dan kedermawanan, dan
kebijaksanaan—Pada akhirnya pasti akan mencapai kondisi kelahiran kembali yang
beruntung. Demikianlah takdirnya menjadi seorang yang sangat beruntung, jika
terlahir di dunia, ia akan menjadi penguasa manusia ("pangeran," atau
"yang terhormat," di antara manusia), dan dengan kebijaksanaannya
akan mampu mengendalikan kerajaan. Dengan menghormati Dharma, tidak mungkin ia
tidak akan menjadi penguasa manusia. Dan demikianlah ia akan terus berada di
jalan kebajikan, dan tidak akan pernah meninggalkannya, ia akan terus terlahir
demikian, dan tanpa henti menikmati kebahagiaan yang terus bertambah.”
Setelah Sang Buddha berkata demikian, (Beliau)
menjelaskan bagaimana Raja mencapai martabatnya saat ini, dan mendesaknya untuk
tidak meninggalkan (perilaku bajik)nya, sekarang ia telah mencapai suatu posisi
demikian, pada godaan indera, dan kemudian (Beliau) menambahkan syair-syair
berikut:—
[38.2] “Seseorang yang
memiliki otoritas di dunia, mempraktikkan bagi dirinya sendiri dalam perilaku
yang benar, dan tidak menggunakan kekerasan, mengatur pikirannya, dan mengatasi
segala keinginan jahat, demikianlah (ia) menjadi seorang Raja Dharma (atau Raja
yang baik). Melihat apa yang benar, ia mampu melakukan kebaikan; Mencintai
kebajikan, ia mampu memberi manfaat kepada manusia; Dan demikianlah, dengan
perilaku yang tidak memihak, ia memperlakukan semua orang dan menjadikan semua
orang, seolah-olah, setara dan menjadi rekannya.”
Sang Raja setelah mendengar syair-syair ini,
dipenuhi dengan penyesalan, dan bersujud di kaki Sang Buddha, ia menerima lima
aturan seorang Upasaka, dan memasuki Jalan Pertama.
[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam
di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi
para Deva dan manusia, pada saat itu di suatu negeri di sebelah selatan
terdapat seekor gajah yang sangat besar dengan tiga warna, putih, biru, dan
hitam, yang sangat ingin ditangkap dan dijinakkan oleh Raja, sehingga dapat
dijadikan salah satu gajah petarungnya. Karena itulah, setelah mengutus pemburu
utamanya untuk tujuan itu, ia menunggu dengan harapan perintahnya dipatuhi.
Saat itu, di pegunungan terdapat seekor gajah suci, tubuhnya seputih salju,
ekornya merah seperti merah delima, dan gadingnya kuning seperti emas. Setelah
melihat makhluk ini, pemburu itu kembali ke Raja, dan bertanya kepadanya apakah
gajah yang karenanya ia telah dikirim untuk menangkapnya adalah jenis ini. Sang
Raja dengan segera memerintahkan binatang itu untuk ditangkap dan dibawa
kepadanya. Mendengar hal tersebut pemburu itu, dengan tiga puluh orang, pergi
mengejarnya. Setelah sampai di tempat itu, dan mengepung tempat itu, gajah itu,
yang mengetahui tujuan mereka, membiarkan orang-orang itu mendekatinya, dan
kemudian, dengan penuh amarah, ia menyerbu mereka dan menginjak-injak pemburu
didekatnya hingga mati, dan membuat yang lainnya melarikan diri. Saat itu di
sisi gunung terdapat seorang petapa (yang masih) muda dan penuh nafsu, yang
telah lama mempraktikkan kehidupan sucinya tanpa mencapai tingkat kesucian apa
pun. Melihat dari kejauhan keadaan yang menyedihkan dari para pemburu ini, dan
merasa kasihan dengan kondisi mereka, mengandalkan kekuatannya, ia bergegas ke
tempat itu, berharap dapat menyelamatkan mereka. Sementara itu, Sang Buddha,
melihat bahaya atas Bhiksu ini, dan takut jika gajah suci itu akan membunuhnya,
dengan cepat memindahkan Dirinya ke tempat itu, dan berdiri di samping gajah
itu, menyebabkan keagungan Dirinya keluar dengan sendirinya. Gajah itu, melihat
kecemerlangan tubuh Sang Buddha, meredakan amarahnya, dan berhenti mengejar
orang-orang itu. Bhiksu itu juga melihat cahaya indah yang bersinar, menghormat
di kaki Sang Buddha, Beliau segera menyatakan syair-syair ini:—
[38.3] “Janganlah begitu
bodohnya marah dengan gajah suci seperti demikian sehingga harus melibatkan
dirimu dalam malapetaka yang pasti akan mengikuti tindakanmu; Pikiran jahat
menghasilkan penghancuran diri sendiri, dan pada akhirnya tidak menghasilkan
kebaikan.”
Bhiksu itu, setelah mendengar syair-syair ini,
menjadi yakin bahwa ia telah salah karena melonggarkan pikiran-pikirannya, dan
dalam penyesalan yang mendalam, bersujud di kaki Sang Buddha, memperoleh
kebijaksanaan.
[3] [Kisah berikutnya adalah tentang Sang Buddha,
dengan cara yang mirip dengan yang terakhir, menyakinkan seorang Raksha, yang
telah menyerang sebuah kota di selatan Rājagriha, dan melahap banyak
penduduknya; Pada kesempatan itu Sang Guru menyatakan syair-syair ini:—
[38.4] “Orang yang mampu
mengandalkan kekuatan penyelamatan dari kebajikan (perilaku berbudi luhur, atau
moralitas), satu takdir bahagia akan selalu mengikuti orang itu, dan melalui
persepsi kebenaran Dharma ia menjadi menonjol di antara manusia. Dan
demikianlah ia akhirnya keluar dari tiga cara kelahiran yang jahat;
Menyingkirkan kemarahan melalui pengendalian moral yang ketat, ia juga mengusir
dukacita dan ketakutan; Ia bangkit menjadi pemimpin tiga dunia (Buddha); Maka
baik para Nāga atau Yaksa, atau ular berbisa, yang berbahaya, tidak dapat
menyakitinya, orang yang tidak melanggar Dharma perilaku bajik."]
[4] [Kisah berikutnya menceritakan tentang Sang
Buddha ketika Beliau pada kehidupan lampau-Nya menjadi seorang Chakravarttin (Raja
dunia), dan membuat suatu aturan bahwa Beliau dan keturunan-Nya harus
meninggalkan kerajaan mereka dan menjadi Bhiksu saat rambut putih pertama
muncul di kepala mereka (suatu kisah serupa ditemukan dalam "kelahiran
lampau" Sang Buddha, dalam buku "Romantic
Legend of Sakya Buddha," hlm. 18, 19)].
###
法句譬喻經吉祥品第三十九 [Fǎ jù pì yù jīng jíxiáng pǐn dì sān shí jiǔ] - 39.
Nasib Baik (Mahāmangala).
[1] Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung
Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva
dan manusia, di tepi Sungai Gangga tinggalah seorang Brahmachārin tertentu,
yang termasuk dalam sekte Nirgrantha, yang sangat tua dan berkebijaksanaan
luas. Orang ini, bersama dengan 500 pengikutnya, mengabdikan dirinya untuk
mempelajari bintang-bintang dan benda-benda langit, dengan tujuan untuk
memprediksi kejadian-kejadian yang baik dan buruk. Pada suatu kesempatan, tepat
sebelum Sang Buddha memulai khotbah Dharma-Nya, orang ini, bersama dengan para
pengikutnya, sedang mendiskusikan pertanyaan tentang "nasib baik,"
saat mereka duduk di tepi sungai; Dan setelah menjelaskan apa saja yang
dimaksud dengan nasib baik, sejauh menyangkut kebahagiaan seorang pangeran di
kerajaan duniawinya, muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan
"nasib baik" jika dikaitkan dengan masa depan. Setelah berdiskusi
panjang lebar, mereka memutuskan untuk pergi ke Pohon Bōdhi, di mana Sang
Bhagavant baru saja menaklukkan Māra, dan mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya.
Apakah rahasia dari "nasib baik" yang sesungguhnya? Yang kemudian membuat
Sang Guru membuka mulut-Nya dan menyatakan syair-syair ini:
[39.1] “Sang Buddha, Bhagavant
di atas segala Deva, Tathāgata, Vidyācaraṇa, sedang ditanya oleh para
bijaksanawan terpelajar dari sekte Brahmachārin tentang apa yang dimaksud
dengan menikmati nasib baik. Atas hal ini Sang Buddha, Yang penuh kasih, demi
manfaat bagi mereka mengucapkan Kebijaksanaan Sejati. Ia yang memiliki
keyakinan, dan bersenang dalam Dharma Sejati (Saddharma), orang ini bernasib baik di atas segala yang lainnya. Ia
yang mencari nasib baik bukan dari para Deva atau pengorbanan-pengorbanan untuk
Yaksa (tetapi dari dirinya sendiri) adalah benar-benar bernasib baik. Seorang
teman yang berbudi luhur, dan bergaul dengan yang benar, selalu menjadikan
pertimbangan kebajikan sebagai tujuan utamanya, menjaga tubuhnya dalam
pelatihan ketat pada Sila kesopanan, orang ini sungguh bernasib baik!
Menghindari orang jahat dan mengikuti yang baik, meninggalkan anggur, dan
menggunakan sikap madya yang ketat dalam segala pemuasan pribadi, tidak
bernafsu pada kecantikan wanita, orang ini sungguh bernasib baik. Selalu ingin
mendengarkan Sila perilaku yang benar, tekun dalam mempelajari Dharma dan
Vinaya, menahan diri dan tanpa pelanggaran, orang ini bernasib baik di atas
segalanya. Jika seorang perumah tangga, maka peduli; Kepada ayah dan ibunya,
dan menjaga kesejahteraan rumahnya, dan merawat istri dan anaknya dengan benar,
tidak menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang sia-sia dan tidak berguna,
orang ini sungguh bernasib baik. Tidak menyerah pada kemalasan atau harga diri,
mengetahui karakteristik sifat madya (seperti kepada dirinya sendiri), dan
memikirkan teman-temannya, pada waktu yang tepat membaca Dharma dan mempraktekkannya,
orang ini benar-benar bernasib baik. Dengan sabar melanjutkan jalannya tugas
(dari apa yang ia dengar, yang harus ia lakukan), bersukacita melihat orang
yang suci (Bhiksu), dan selalu mengundang orang-orang demikian untuk
mengajarinya dalam Dharma, orang ini berbahagia. Dengan menjalankan musim-musim
suci (berpuasa), dan selama musim-musim tersebut menjalankan pantangan diri
dengan ketat, selalu ingin melihat orang yang bajik dan suci, menaruh
kepercayaannya pada instruksi Yang Tercerahkan, orang ini bernasib baik.
Setelah yakin akan kebahagiaan suci (Bōdhi),
kemudian dengan pikiran yang lurus tidak pernah menyimpang dari keyakinannya,
menginginkan di atas segalanya untuk terbebas dari tiga jalan (kelahiran yang)
jahat, orang ini benar-benar berbahagia. Dengan pikiran yang seimbang,
mengabdikan dirinya untuk kedermawanan, menghormati semua orang bijaksana, dan
memberikan penghormatan kepada para Makhluk Suci (Deva, leluhur, dsb), orang
ini sungguh berbahagia. Selalu ingin menyingkirkan nafsu indera dan ketamakan,
untuk terbebas dari pikiran yang terdelusi, ketidak-tahuan, dan kemarahan,
selalu terus menerus mengejar Kebijaksanaan Sejati, orang ini sungguh bernasib
baik. Bahkan dalam membuang kejahatan tanpa menggunakan upaya yang tampak luar
biasa, namun tekun dalam berusaha mempraktekkan apa yang benar, selalu bertindak
sebagaimana mestinya, orang ini sungguh bernasib baik. Penuh cinta kasih
terhadap semua hal (makhluk?) di dunia, mempraktekkan kebajikan demi memberi
manfaat kepada orang lain, hanya orang inilah yang berbahagia. Orang bijaksana
yang berdiam di dunia, yang terus menerus berupaya dalam jalan nasib baik ini,
terus berusaha untuk menyempurnakan pengetahuan yang telah diperolehnya,
sesungguhnya adalah orang yang berbahagia.”
Sang Brahmachārin, setelah mendengar instruksi Sang
Buddha, batinnya dipenuhi dengan kegembiraan; Ia segera bangkit dan memuja,
serta berlindung kepada Sang Buddha, Dharma, dan Samgha.
Sang Nirgrantha dan para pengikutnya, setelah
mendengar syair-syair ini, menjadi sangat gembira, dan setelah memuja dengan
semestinya, mereka memperoleh izin untuk menjadi Bhiksu, dan segera memperoleh
pencerahan batin (Mata Dharma).
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar