Senin, 15 Januari 2024

Tibetan Udānavarga

 Udānavarga ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet oleh Pandita dari India bernama Vidyaprabhakara dan Lotsāva Bande-rin-tchen-mtchog; direvisi dan diatur oleh editor, Lotsāva Bande-dpal-brtsegs. Versi terjemahan ini berasal dari terjemahan Inggris edisi Suttacentral yang telah diedit dan dimodernisasi oleh Yasoj dan Ayya Vimala. Teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Woodville Rockhill pada tahun 1883 yang dipublikasikan oleh Trübner & CO. Teks aslinya (berikut teks original berbahasa Tibetnya) dapat dilihat di sini dan di sini. Saya (Arya Karniawan) yang menerjemahkan Udānavarga ini. Udānavarga ini tidak pernah dipublikasikan kemanapun selain di sini. Jika terdapat kesalahan dalam terjemahan ini, jangan sungkan komen di kolom komentar. Copyright Udānavarga ini adalah:

Translated by Arya Karniawan, 2024.

Diterjemahkan dari teks milik Woodville Rockhill.

Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.

Prepared by Arya Karniawan.

 

 

Tibetan Udānavarga

ཆེད་དུ་བརྗོད་པའི་ཚོམས་

 

Buku Pertama

1. Anityavarga (Ketidak-kekalan)

 

Terpujilah Ia Yang Tahu Segalanya, Biarlah terdapat kebahagiaan!

 

Sang Pemenang mengucapkan syair-syair (udāna) ini; Dengarkanlah aku ketika aku memberi tahu mereka; apa yang kukatakan adalah untuk menghalau kemalasan dan kantuk, serta memberikan kegembiraan pada pikiran.

 

Yang Maha Bijaksana, Sang Pelindung, Yang Maha Agung, Yang Maha Berbelas-kasih, Ia yang telah mengakhiri kehidupan jasmani, Bhagavat, bersabda (atau telah bersabda) demikian:

 

Sial! ketidakkekalan dari segala sesuatu yang terkondisi (samkāra); apa yang terbentuk pasti akan mengalami kehancuran. Seperti halnya apa yang telah dilahirkan pasti akan mengalami kehancuran, berbahagialah mereka yang telah padam!

 

Bagi mereka yang sedang terbakar, sukacita apakah yang dapat diperoleh, hal apakah yang membahagiakan? O engkau yang berdiam di tengah-tengah kegelapan, mengapa engkau tidak mencari terang?

 

Tulang-tulang itu yang berwarna merpati, dibuang dan tersebar ke segala arah; kesenangan apakah yang ada saat melihatnya?

 

Ia yang sampai sekarang telah mengalami kesedihan kelahiran sejak dari rahim, dapat pergi ke tempat yang tertinggi dan tidak kembali lagi (ke dunia).

 

Ia melihat banyak orang di pagi hari, beberapa di antaranya tidak akan dilihatnya di siang hari; ia melihat banyak orang di siang hari, beberapa di antaranya tidak akan dilihatnya di pagi hari (selanjutnya).

 

Banyak pria dan wanita meninggal bahkan di masa puncaknya; meskipun kemudian seseorang disebut muda, kepercayaan apa yang dapat mereka taruh di dalam kehidupan?

 

Beberapa mati dalam kandungan, beberapa mati saat kelahiran, beberapa secara bertahap menua, beberapa meninggal dalam masa puncak mereka.

 

Beberapa tua, beberapa muda, beberapa sudah dewasa; lambat laun mereka semua (akan) menghilang, seperti buah matang yang (akan) jatuh.

 

Seperti halnya buah yang matang selalu diliputi oleh ketakutan akan jatuh, demikianlah ia yang terlahir diliputi rasa takut akan kematian.

 

Demikian pula dengan kehidupan manusia yang tidak kekal, seperti halnya pot-pot (bunga) berkilau yang dibuat dari tanah liat oleh pengrajin tembikar—semuanya (akan) berakhir dengan dihancurkan.

 

Demikian pula dengan kehidupan manusia yang tidak kekal, seperti halnya laba-laba, yang, merentangkan jaringnya ke sana kemari, terkurung di dalamnya.

 

Demikian pula kehidupan manusia yang tidak kekal, seperti halnya (laba-laba), yang, meskipun ia dapat melepaskan diri dari perangkapnya, menemukan, ke mana pun arah langkah yang ia ambil, kediaman kematian di hadapannya.

 

Seperti halnya sebuah sungai yang selalu mengalir deras dan tidak pernah kembali, demikianlah hari demi hari kehidupan manusia—mereka pergi dan tidak kembali lagi.

 

Kegembiraan dengan cepat berlalu dan bercampur dengan kesakitan; kegembiraan dengan cepat menghilang, seperti sosok yang terlihat di atas air dengan sebilah tongkat.

 

Seperti halnya seorang penggembala sapi dengan tongkatnya mengumpulkan ternaknya ke dalam kandang, demikian pula penyakit dan usia tua membawa umat manusia kepada penguasa kematian.

 

Seperti halnya air dari anak sungai, demikian pula kehidupan manusia yang mengalir siang dan malam, jam demi jam; kehidupan semakin dekat dan semakin dekat pada akhirnya.

 

Panjang adalah malam bagi ia yang terjaga, panjang adalah jarak bagi ia yang kelelahan, dan panjang adalah lingkaran kelahiran kembali bagi orang bodoh yang tidak mengetahui Dharma nan suci.

 

“Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku;” dengan (pikiran-pikiran) ini si dungu terganggu. Apakah artinya anak-anak dan kekayaan bagi ia yang tidak (memiliki) bahkan dirinya sendiri di dunia lain?

 

Sudah menjadi dharmitā bahwa, walaupun seseorang memperoleh ratusan dan ribuan benda-benda duniawi, ia (akan) tetap jatuh ke dalam kuasa penguasa kematian.

 

Akhir dari semua yang telah dikumpulkan adalah dihabiskan; akhir dari apa yang diunggulkan adalah dicampakkan; akhir dari pertemuan adalah perpisahan; akhir dari kehidupan adalah kematian.

 

Karena akhir kehidupan adalah kematian, dan semua makhluk (akan) mati, demikian pula kebajikan dan keburukan menghasilkan buah yang mengikuti setelah perbuatan.

 

Mereka yang melakukan keburukan pergi ke neraka; mereka yang bajik pergi menuju kebahagiaan; mereka yang menjalankan jalan yang benar dan tanpa cela memperoleh Nirvāṇa.

 

Para Buddha, para Pratyeka Buddha, dan para siswa dari para Buddha membuang tubuh ini; apalah gunanya berbicara tentang kumpulan orang bodoh?

 

Tiada tempat di mana tidak terdapat kesakitan akan kematian, baik di langit maupun di tengah laut, bahkan jika seseorang masuk ke jurang di pegunungan.

 

Semua yang pernah hidup dan yang akan hidup, meninggalkan tubuh ini dan pergi; orang bijaksana yang memahami bahwa (tubuh) ini adalah untuk ditakuti, menjalani kehidupan suci sesuai dengan Dharma.

 

Melihat usia tua, kesakitan penyakit, dan kematian orang yang lengah, ia yang tekun meninggalkan rumah yang seperti penjara; namun bagaimana manusia biasa dapat menyingkirkan nafsu keinginan?

 

Bahkan kereta raja yang berkilau pun hancur, tubuh pun juga mendekati usia tua; tetapi orang yang terbaik, yang mengajarkan Dharma terbaik kepada orang lain, tidak akan mengenal usia tua.

 

Engkau dungu dan tercela, dan tidak melakukan apa yang benar; karena tubuh (rūpa) yang engkau senangi akan menjadi penyebab kehancuranmu.

 

Seseorang dapat hidup seratus tahun, namun ia tunduk pada penguasa kematian; seseorang dapat mencapai usia tua, atau ia terjangkit penyakit.

 

Ia yang (selalu) berubah tanpa henti, membusuk siang dan malam, diliputi dengan penderitaan kelahiran dan kematian, seperti halnya ikan yang dilemparkan ke air panas.

 

Kehidupan ini berlalu dengan cepat siang dan malam; kehidupan tidak stabil seperti aliran sungai besar; ia yang pergi tidak akan kembali lagi.

 

Manusia itu seperti seekor ikan di kolam air yang dangkal; siang dan malam kehidupan ini berlalu; kegembiraan apakah yang terdapat di dalam sesuatu yang begitu singkat?

 

Akhir kehidupan adalah kematian; tubuh yang bungkuk karena usia tua, wadah penyakit ini, dengan cepat terbuang; kerusakan besar (tubuh) ini akan segera dihancurkan.

 

Sial! tubuh ini akan segera terbaring di tanah tanpa disadari, kosong, tanpa kesadaran, dibuang ke pemakaman seperti sepotong kayu.

 

Terus-menerus menderita penyakit, selalu mengeluarkan ketidakmurnian, tubuh ini, yang dirusak oleh usia tua dan kematian, apalah gunanya tubuh ini?

 

"(Kediaman) ini akan cukup untuk musim dingin dan (kediaman ini) untuk musim panas;" demikianlah pemikiran orang bodoh yang membusuk dengan cepat, yang belum melihat bahaya.

 

Engkau yang dikelilingi dengan anak-anak dan kumpulan, anak-anak bukanlah perlindungan, begitu pula ayah, ibu, dan kerabat; engkau adalah tanpa pelindung!

 

“Perbuatan ini dan itu adalah sumber kebahagiaan, yang akan aku peroleh setelah melakukannya.” Ia yang mempersiapkan dirinya dengan cara ini akan mengalahkan usia tua, penyakit, dan kematian.

 

Arahkanlah dirimu pada kegembiraan yang tiada henti pada meditasi (samādhi); lihatlah akhir kelahiran dan usia tua dalam kelahiran dengan ketekunan; kalahkan bala tentara Māra dan para Bhiksu akan melampaui kelahiran dan kematian.

 

Bab tentang Ketidak-kekalan, Yang Pertama.

 

2. Kāmavarga (Nafsu Indria)

 

Semua kebimbangan menghasilkan nafsu indria; kebimbangan disebut akar nafsu indria; tekanlah kebimbangan dan (nafsu indria), (mereka) tidak akan muncul lagi dalam dirimu.

 

Dari nafsu indria muncul kesedihan, dari nafsu indria muncul ketakutan; ia yang terbebas dari nafsu indria tidak mengenal kesedihan atau ketakutan.

 

Dari kenikmatan indria muncul kesedihan, dari kenikmatan indria muncul ketakutan; ia yang terbebas dari kenikmatan indria tidak mengetahui kesedihan atau ketakutan.

 

Buah dari nafsu indria dan kenikmatan indria matang menjadi dukacita; Buah yang awalnya menyenangkan kini terbakar, seperti obor yang tidak disingkirkan pada akhirnya akan membakar orang dungu.

 

Lihatlah mereka yang terikat dengan perhiasan, anting-anting, dan kepada anak-anaknya (hal-hal demikian adalah belenggu); namun besi, kayu, dan tali bukanlah belenggu yang kuat, sabda Sang Bhagavānt.

 

Sulit bagi ia yang terikat oleh belenggu nafsu indria untuk membebaskan dirinya dari belenggu tersebut, kata Sang Bhagavānt. Ia yang teguh, yang tidak mementingkan kebahagiaan nafsu indria, membuangnya, dan segera menuju (ke Nirvāna).

 

Tidak ada makhluk di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh nafsu indria karena kebimbangannya, namun mereka yang teguh berusaha untuk membebaskan dirinya dari nafsu indria, walaupun nafsu indria itu melingkupi dunia.

 

Manusia tidak memiliki nafsu indria yang kekal; nafsu indria bersifat tidak kekal pada diri mereka yang mengalaminya: bebaskanlah dirimu dari apa yang tidak kekal, dan janganlah berdiam di wilayah kematian.

 

Pikiran yang tanpa cela dan reflektif di mana (ketika) suatu nafsu indria muncul, tidak mengalami penderitaan karenanya; berbagai nafsu indria tidak mengganggunya: Ia yang (memiliki pikiran seperti itu) berada di luar kematian, Aku katakan.

 

Seperti halnya yang dilakukan pandai besi terhadap perak, demikian pula seseorang yang cerdas, secara bertahap dan sedikit demi sedikit, membersihkan dirinya dari segala ketidak-murnian.

 

Seperti halnya yang dilakukan pembuat sepatu, ketika ia telah mempersiapkan kulitnya dengan baik, (ia) dapat menggunakannya untuk membuat sepatu, demikian pula ketika seseorang telah membuang nafsu indria, ia mempunyai kebahagiaan tertinggi.

 

Jika seseorang mendambakan kebahagiaan, biarlah ia menyingkirkan segala nafsu indrianya; ia yang telah menyingkirkan segala nafsu keinginannya, (ia) akan menemukan kebahagiaan yang terbaik.

 

Selama seseorang mengikuti nafsu indria, ia tidak akan menemukan kepuasan; mereka yang dengan kebijaksanaan telah meninggalkannya, akan menemukan kepuasan.

 

Nafsu indria tidak akan pernah terpuaskan; kebijaksanaan memberikan kepuasan: ia yang memiliki kepuasan kebijaksanaan tidak akan jatuh ke dalam kuasa nafsu.

 

Mereka yang menggemari kenikmatan indria, dan hanya bersenang pada apa yang salah, tidak akan menyadari bahaya yang mereka hadapi, bahkan jika kehidupan mereka hampir berakhir.

 

Orang dengan pikiran jahat ditaklukkan oleh kekayaan dan tidak mencari dunia lain; pikirannya tunduk oleh kegemarannya terhadap nafsu indria; ia membawa kehancuran pada dirinya sendiri dan orang lain.

 

Bahkan hujan Karśapana tidak akan memuaskan orang yang serakah; orang bijaksana tahu betul bahwa nafsu indria hanya membawa sedikit kepuasan dan (banyak) penderitaan.

 

Bahkan dalam kenikmatan para dewa dan siswa Buddha yang sempurna tidak menemukan kenikmatan; mereka bergembira hanya dalam hancurnya nafsu indria.

 

Bahkan segunung harta seperti Himavat tidak akan cukup untuk kekayaan seseorang; ia yang memiliki pemahaman (ini) mengetahui hal ini seutuhnya.

 

Mereka yang mengetahui bahwa hal ini (yaitu nafsu indria) adalah asal mula dukacita, bagaimana mereka dapat bergembira dalam kenikmatan? Setelah mengetahui bahwa inilah penyebab penderitaan di dunia, mereka memperoleh keteguhan yang membantu dalam mengendalikan diri mereka sendiri.

 

Bab tentang Nafsu Indria, Yang Kedua.

 

3. Trichnāvarga (Nafsu Keinginan)

 

Orang-orang ditaklukkan oleh kebimbangannya; ia yang menganggap keinginan jahat sebagai murni, ia akan meningkatkan dan melipat-gandakan keinginannya serta memperkuat ikatannya.

 

Ia yang terus-menerus mengingat dalam pikirannya bahwa menenangkan kebimbangan adalah kedamaian, dan bahwa kebimbangan itu tidak menyenangkan, (ia) membebaskan dirinya dari segala nafsu keinginan dan menghancurkan ikatan-ikatannya.

 

Nafsu indria melingkupi seseorang seolah-olah berada dalam kegelapan; seseorang hancur berkeping-keping karena bersenang dalam nafsu keinginan; mereka yang lengah terikat kuat dengan ikatan mereka, seperti halnya ikan di rumah berair mereka.

 

Makhluk-makhluk yang menyerahkan diri pada kelengahan mereka, nafsu keinginan mereka meningkat seperti halnya tanaman menjalar; mereka mengejar usia tua dan kematian seperti halnya anak sapi yang mengejar induknya ketika menginginkan susu.

 

Ia yang pikirannya tidak murni, yang bernafsu, dan yang mencari kebahagiaan, berlari kesana kemari dalam lingkaran (kelahiran), bagaikan monyet di hutan yang mencari buah.

 

Terus menerus mendambakan kebahagiaan dan berjalan pada jalan kelahiran dan kematian, orang-orang dipimpin oleh nafsunya, dan berlarian seperti seekor kelinci di sebuah jaring.

 

Mereka yang terkurung di dalam nafsu, yang hanya peduli pada hal-hal sehubungan dengan kemenjadian (lit: menjadi dan bukan menjadi), orang-orang bodoh yang hanya bersenang dalam kenikmatan kemelekatan (yoga), akan mengalami penderitaan lagi dan lagi.

 

Makhluk yang tidak memiliki kebijaksanaan (pandangan agama yang benar) dan ketenangan pikiran, yang memiliki semua kemelekatan Māra (kemelekatan kekotoran batin), mengejar usia tua dan kematian seperti halnya anak sapi yang mengejar induknya ketika menginginkan susu.

 

Ia yang membuang nafsu keinginan dan sejenisnya, yang tidak memiliki kepedulian terhadap apa yang ada atau tidak ada, seorang Bhiksu, telah menaklukkan kemenjadian dan akan mencapai Nirvāṇa yang sempurna dan tak terkalahkan.

 

Ia yang telah meninggalkan keduniawian, yang sulit dilakukan, harus tidak memiliki kepedulian pada cinta terhadap wanita (atau cinta seorang wanita), karena hal itu meningkatkan dukacita seperti halnya menyirami rumput (Birana).

 

Ia yang telah meninggalkan keduniawian yang sulit dilakukan, dan tidak lagi peduli pada cinta terhadap wanita, maka dukacita akan terlepas darinya seperti halnya air yang jatuh dari bunga teratai.

 

(337, bagian pertama). Oleh karena itulah, (kepada) semua orang yang berkumpul di sini; kata-kata yang baik ini kuberitahukan kepada kalian: Cabutlah rumput nafsu keinginan hingga ke akar-akarnya seperti yang dilakukan seseorang kepada rumput (Birana) demi Uśira (akarnya).

 

(337, bagian ke-2). Mereka yang bersekutu dengan nafsu keinginan berkelana dalam waktu yang lama; karena itu cabutlah nafsu keinginan sampai ke akar-akarnya, dan dukacita dan ketakutan tidak ada lagi.

 

Lagi dan lagi mencari untuk (kemenjadian), mereka lagi dan lagi masuk ke dalam rahim; makhluk-makhluk datang dan pergi; pada satu keadaan yang menggantikan keadaan lainnya.

 

Sulit untuk menyingkirkan (kemenjadian) di dunia ini; ia yang telah menyingkirkan nafsu keinginan, yang telah mencabut benih (kemenjadian), tidak akan lagi mengalami transmigrasi, karena ia telah mengakhiri nafsu keinginan.

 

Janganlah memikirkan untuk berdiam dalam kondisi keduniawian, yang menjadikan seseorang tahanan di antara para dewa dan manusia, tetapi menyeberanglah dari wilayah nafsu keinginan. Jika seseorang terlahir di neraka, kondisi manusianya (dal-hbyor) telah berakhir, dan ia menyesali (kesalahannya).

 

Saluran nafsu keinginan itulah yang menjadi sumber (transmigrasi). Nafsu keinginan di dunia (ini) adalah akar rambat, yang menjalar dan melilit seseorang seperti jaring. Jika seseorang tidak menghancurkan penyiksa ini, ia akan terus menerus menderita, dan tidak akan pernah meninggalkan penderitaan itu sepenuhnya.

 

Selama sebatang pohon hidup belum tercabut sampai ke akar-akarnya, melainkan hanya ditebang, pohon itu akan tumbuh kembali; begitu juga jika bahkan setitik nafsu terkecil sekalipun belum dilenyapkan, seseorang tidak akan meninggalkan penderitaan yang terus menerus ini (yaitu, kemenjadian).

 

Seperti halnya seseorang yang membuat senjata akan terbunuh oleh (senjata)nya ketika berada di tangan perampok, demikian pula makhluk yang nafsu keinginan telah muncul di dalam batinnya akan terbunuh olehnya.

 

Mengetahui penderitaan yang datang dari nafsu keinginan dan hukumannya, setelah menyingkirkan nafsu keinginan, tanpa hasrat terhadap apapun, Bhiksu yang penuh perhatian telah sepenuhnya pergi (dari dunia ini).

 

Bab tentang Nafsu Keinginan, Yang Ketiga.

 

4. Apramādavarga (Kewaspadaan)

 

Orang yang waspada tidak mengenal kematian; ia yang lengah berdiam bersama kematian; ia yang waspada tidak akan mati; ia yang lengah akan mati berulang kali.

 

Orang bijaksana yang mengetahui perbedaan ini bersenang dalam kesederhanaan dan kewaspadaan; kesenangan mereka adalah kesenangan khusus.

 

Dengan (gagasan) yang tak henti-hentinya muncul di pikiran mereka, dan selalu teguh dalam tekad mereka untuk mendapatkan pantai seberang, mereka (akhirnya) menikmati Nirvāṇa, kebahagiaan yang tak tertandingi.

 

Ketika orang bijaksana dengan ketekunan telah mengatasi kelalaian, kemudian, dengan teguh melalui kebijaksanaan, mereka pergi ke tempat tinggal para dewa, dan, bebas dari dukacita dan kesakitan, mereka melihat ke bawah seperti dari puncak suatu gunung, menatap wajah orang-orang dungu di bumi.

 

Orang bijaksana melalui ketekunan, kebajikan, dan kewaspadaan menjadikan dirinya sebuah pulau yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir.

 

Inilah (mereka) yang tekun, yang menjadi terkenal karena ketekunan mereka, perhatian, kewaspadaan hidup mereka, penilaian mereka, pelaksanaan mereka yang sempurna (terhadap Sila), dengan seluruh hidup mereka yang sesuai dengan Dharma.

 

Seseorang harus mengerahkan dirinya untuk memperoleh pandangan terang yang adiduniawi dan landasan kondisi Muni. Ia yang terliputi dalam pikiran damainya yang tanpa gangguan, tidak akan merasakan dukacita (ṇibbuta).

 

Janganlah mengikuti ajaran-ajaran palsu, janganlah mengikuti orang-orang yang lengah; ia yang tidak bersenang dalam ajaran-ajaran palsu tidak akan terlahir (di) dunia.

 

Ia yang mempunyai gagasan yang benar tentang dunia akan memperoleh keagungan yang sedemikian rupa, sehingga meskipun ia mengalami seribu kelahiran kembali, ia tidak akan terjatuh ke jalan yang jahat.

 

(Pikiran orang) bodoh yang menyerah pada kelalaian adalah tersesat; orang bijaksana harus berhati-hati, seperti halnya kepala sebuah karavan yang mengawasi harta karunnya.

 

Ia yang tidak menyerah pada kelalaian, yang tidak bersenang dalam kenikmatan, yang pikirannya selalu penuh perhatian, akan mengakhiri dukacita.

 

Ia yang telah mengakhiri dukacita, dan tidak menyerah pada kelalaian di dunia ini, tidak dapat disakiti oleh orang lalai seperti halnya singa oleh kijang.

 

Laki-laki yang tidak tahu malu dan mengingini isteri tetangganya akan mengalami empat keadaan ini: Ia mendapat reputasi (buruk), gangguan tidur, yang ketiga dicemooh, dan yang keempat pergi ke neraka.

 

Ia yang, berperilaku secara tidak bermoral, berbuat jahat, memanjakan (dirinya) bahkan untuk satu momen, di tengah ketakutan dan kegentaran, nafsu indrianya yang berkobar-kobar, dan kemudian ia harus menanggung hukuman berat dari raja, dan ia terbakar di neraka.

 

Ia yang mencari kebahagiaan, biarlah ia bertindak dengan penuh semangat; mereka yang teguh tidak melakukan upaya yang bermalas-malasan seperti yang dilakukan oleh para kusir kereta yang bodoh.

 

Ketika orang bodoh dengan keretanya telah meninggalkan jalan besar dan memasuki suatu jalan yang buruk, mereka sangat berduka atas kesalahan mereka.

 

Demikian pula, orang bodoh yang meninggalkan Dharma dan mengikuti apa yang bukan Dharma akan jatuh ke dalam kuasa penguasa kematian; ia juga hancur karena kurangnya penglihatan.

 

Mereka yang tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan yang melakukan apa yang tidak boleh dilakukan, yang berjaya di atas kelalaian mereka, menambah jangkauan kesulitan mereka, dan ia yang menambah kotoran batinnya, maka penghentiannya masih jauh.

 

Ia yang memahami hakikat tubuh, yang penuh perhatian, dan yang upayanya tanpa henti, tidak melakukan apa yang tidak boleh dilakukan, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

 

Karena itulah, ia, dengan ingatan dan pemahamannya akan mengakhiri kekotoran batinnya, dan ketika ia telah mengakhiri kekotoran batinnya (asrava), ia akan menemukan keadaan tanpa gangguan.

 

Sebanyak apapun engkau menjadi, aku menyatakan kepadamu bahwa mereka yang, meskipun hanya sedikit mendengar tentang Dharma, namun mengikuti instruksinya, telah memahami Dharma; mereka yang mengikuti Dharma telah memahami Dharma.

 

Sekalipun seorang yang lalai dapat membaca sebagian besar (Dharma), ia tidak mengikutinya; ia seperti seorang penggembala sapi yang menghitung ternak orang lain; ia tidak mempunyai bagian dalam kehidupan suci.

 

Ia yang, walaupun hanya mampu melafalkan beberapa baris (Dharma), berjalan di Jalan Dharma, dan telah meninggalkan nafsu keinginan, kemarahan, dan ketidak-tahuan, maka ia mempunyai bagian dalam kehidupan suci.

 

Ia yang ucapannya mengagung-agungkan ketekunan dan selalu meremehkan kelalaian, maka ia lebih mulia di antara para dewa daripada ia yang melakukan seratus pengorbanan.

 

Orang bijaksana yang memuji ketekunan dalam ucapannya mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; orang bijaksana berpegang teguh pada ketekunan karena dua alasan: karena berkah yang dihasilkannya dalam kehidupan ini, dan juga karena masa depan; orang yang teguh, yang memahami hal demikian disebut para bijaksana.

 

Bhiksu yang menyenangi kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan menarik dirinya keluar dari jalan yang jahat seperti gajah menarik dirinya sendiri keluar dari lumpur.

 

Bhiksu yang bersenang dalam kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan, akan menghilangkan keburukan seperti halnya angin pada dedaunan pohon.

 

Bhiksu yang bersenang dalam kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan mengakhiri segala kemelekatan dan perlahan-lahan mencapai kebahagiaan.

 

Bhiksu yang bersenang dalam kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan mencapai pemahaman sempurna akan ketenangan dari sanskāra, kesempurnaan kedamaian.

 

Bhiksu yang bersenang dalam kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan sudah sangat dekat dengan Nirvāṇa sehingga ia tidak akan gagal (untuk mencapainya).

 

Ia yang tekun dan bermoral, yang hidup sesuai dengan Dharma, menemukan, dengan mengikuti Dharma, kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lain.

 

Engkau yang bersungguh-sungguh dalam pembelajaran demi penghentian (Nirvāṇa), berusaha keras dan penuh dengan praktek, mempertimbangkan dengan baik kehidupan mereka yang tidak penuh perhatian, lalai, ceroboh, tidak terkendali, dan orang malas yang berpaling dari pembelajaran, dan tidak menyimaknya demi tidak memperhatikan

 

Bhiksu yang benar-benar bermoral dan bersenang dalam ketekunan akan mengendalikan seluruh pikirannya dengan baik, dan pikirannya menjadi aman.

 

Bangkitlah, mulailah suatu hidup baru, beralihlah ke Ajaran Buddha; gilaslah bala tentara penguasa kematian seperti yang seekor gajah lakukan pada rumah dari lumpur.

 

Siapapun yang hidup sesuai dengan Dharma Vinaya ini, dalam kelembutan dan kewaspadaan, setelah menyingkirkan transmigrasi, akan mengakhiri dukacitanya.

 

Bab tentang Kewaspadaan, Yang Keempat.

 

5. Priyadavarga (Yang Dicintai)

 

Dari hal-hal yang dicintai munculah dukacita; dari hal-hal yang dicintai munculah ketakutan: jika seseorang meninggalkan hal-hal yang dicintai, ia tidak akan berduka, tanpa ketakutan.

 

Dari apa yang menyenangkan munculah ketakutan; dari apa yang dicintai datanglah kesengsaraan, dari yang dicintai, ketakutan: Jika apa yang indah berubah, yang dituai seseorang hanyalah keputusasaan.

 

Kesengsaraan dunia ini banyak sekali—dukacita, ratapan, tangisan, dan sebagainya; Semuanya muncul dari berpegang pada hal-hal yang dicintai: Jika seseorang meninggalkan apa yang dicintai, maka semua itu akan lenyap.

 

Mereka yang tidak memiliki apa pun yang dicintai di dunia ini, berbahagia dan tanpa dukacita; Oleh karena itulah, mereka tidak akan menderita, terbebas dari nafsu manusia, seharusnya tidak melakukan apa pun yang dicintai.

 

Tidak melihat apa yang dicintai sebagai menyakitkan, demikian pula penglihatan pada apa yang tidak dicintai; seseorang seharusnya tidak mencari apa yang dicintai; ia (juga) tidak boleh mencari apa yang tidak dicintai.

 

Dengan kehilangan apa yang dicintai dan menemukan apa yang tidak dicintai, seseorang menciptakan (bagi diri mereka sendiri) dukacita usia tua yang tak terelakkan.

 

Ketika sesuatu yang di mana seseorang bersenang meninggal, misalnya sanak saudara atau sahabat seseorang, hal ini membawa dukacita yang besar dan bertahan lama bagi seseorang, karena berpisah dari apa yang memberikan kesenangan adalah menyakitkan.

 

Ia yang mengetahui baik hal yang dicintai maupun yang tidak dicintai adalah tanpa ikatan; Oleh karena itu, ia, yang menganggap hal-hal yang dicintai sebagai keburukan akan meninggalkan apa yang dicintai.

 

Ia yang, setelah berhenti memikirkan pada apa yang dicintai, tidak lagi melekat pada kebahagiaan (duniawi), yang memiliki kemelekatan pada kebahagiaan yang bukan milik diri, mencari objek dari keinginan yang disukainya (Nirvāṇa).

 

Ia yang di antara para dewa dan manusia, yang menyukai apa yang menyenangkan di dalam jasmani (rūpa), melakukan keburukan dan menderita dukacita, ia jatuh ke dalam kuasa usia tua dan kematian.

 

Ia yang teguh baik siang dan malam, yang menyingkirkan apa yang menyenangkan di dalam jasmani (rūpa), yang sulit dilakukan, akan mencabut keburukan hingga ke akar-akarnya, yang adalah makanan Māra.

 

Orang bodoh yang menganggap apa yang tidak baik sebagai baik, yang tidak dicintai sebagai dicintai, dan dukacita sebagai kebahagiaan, tentu akan menuju kehancuran.

 

Ia yang melakukan kejahatan lalu ingin berbahagia karenanya, tidak menemukan kepuasan, biarlah ia tidak melakukan kejahatan.

 

Ia yang, melakukan apa yang bajik, akan berbahagia karenanya, menemukan kepuasan, biarlah ia tidak melakukan kejahatan.

 

Seperti halnya kota perbatasan dilindungi oleh pertahanan yang kuat, maka biarlah ia yang dengan bahagia melindungi dirinya sendiri dengan pertahanan yang kuat.

 

Orang bijaksana yang dengan senang hati penuh perhatian selama ketiga jaga malam tersebut; kewaspadaannya membuat ia aman.

 

Ketika kota perbatasan dijaga dengan baik di dalam maupun di luar, kedamaiannya tidak akan terganggu: Buatlah hal yang sama dan perhatikanlah dirimu sendiri; karena ketika seseorang dilahirkan di neraka, kedamaiannya hilang dan ia menyesalinya (atas apa yang belum dilakukannya).

 

Lihatlah ke mana pun engkau mau, tidak ada yang lebih dicintai seseorang selain dirinya sendiri; karena itulah, sebagaimana hal itu adalah sama seperti yang engkau dan orang lain cintai, janganlah menyakiti orang lain dengan apa yang menyakitkan bagi diri sendiri.

 

Bagi semua orang kehidupan ini dicintai; semua orang takut akan hukuman; engkau, yang seperti mereka, janganlah memukul, janganlah membunuh.

 

Ia yang telah menempuh perjalanan jauh dan yang kembali dari jauh tanpa mengalami kemalangan, sanak saudara dan teman-temannya yang berkumpul menerimanya dengan tangisan gembira “Alala!”

 

Demikian pula ia yang telah bermoral, ketika tiba dari dunia ini ke dunia lain, perbuatan baiknya akan menerimanya seperti sanak saudara dan menyambutnya.

 

Karena itulah, simpanlah perbuatan baik demi tujuan dunia lain; karena perbuatan baik itulah yang diterima makhluk-makhluk di dunia lain.

 

Ia yang selama hidupnya adalah seseorang yang bermoral dipuji oleh para dewa; ia yang padanya tidak terdapat hal tercela akan menemukan kebahagiaan terbaik di surga.

 

Ia yang melaksanakan Dharma, yang sungguh bermoral, sederhana, mengatakan kebenaran, melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, menyenangkan seluruh masyarakat.

 

Ia yang melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, dan yang memuji Dharma Sejati memberikan kebahagiaan pada orang lain, Ia akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.

 

Ucapannya membangun, dan ia telah meninggalkan semua perbuatan salah, dalam hal ini yang bajik bersenang, dan yang jahat tidak bersenang.

 

Karena itulah siapapun yang bajik dan yang jahat dipisahkan saat kematian; yang jahat pergi ke neraka, yang bajik pergi ke surga.

 

Bab tentang Yang Dicintai, Yang Kelima.

 

6. Śīlavarga (Moralitas)

 

Orang bijaksana, demi memperoleh tiga jenis kebahagiaan, layak dipuji, harta kekayaan, dan untuk pergi ke alam bahagia di dunia lain, memperhatikan dengan baik perilakunya.

 

Orang bijaksana, selain hal-hal tersebut, memperhatikan dengan baik perilakunya demi memperoleh kesucian, pandangan terang yang terbaik, dan kedamaian duniawi.

 

Moralitas membawa kebahagiaan; jasmani terbebas dari kesakitan; pada malam hari seseorang tidur dengan tenang, dan ketika terjaga ia tetap berbahagia.

 

Orang bijaksana, yang dermawan, dan yang mempraktekkan Śīla (yang lain), memperoleh kebahagiaan yang tanpa akhir atas jasa kebajikannya di dunia ini dan di dunia lain.

 

Adalah baik bagi ia yang mempraktekkan, bahkan hingga usia tua, moralitas dan kebajikan, dan ia yang berkeyakinan: Kebijaksanaan adalah harta terbesar seseorang; 'Sungguh sulit bagi seorang perampok untuk mencuri jasa kebajikan (dari perbuatan bajik seseorang).

 

Bhiksu yang mempraktekkan aturan moralitas, yang indera-inderanya terkendali, yang (bersikap) madya terhadap makanannya, yang tidak membiarkan dirinya tertidur; ia yang tekun demikian, yang tidak pernah malas siang dan malam, telah begitu dekat dengan Nirvāṇa sehingga ia tidak mungkin gagal (untuk mencapainya).

 

Mempraktekkan aturan moralitas, pikiran dan pandangannya tekun dalam meditasi, dengan kehidupan demikian, Bhiksu (itu) akan sampai pada hancurnya dukacita.

 

Ia yang berhati-hati dalam mempraktekkan aturan moralitas dan meditasi, sebagai konsekuensinya, akan memperoleh pandangan terang adiduniawi dan (dapat) membedakan berdasarkan pengetahuan.

 

Kemudian ia akan, setelah menghancurkan semua kemelekatannya, membebaskan pikirannya, terpisah dari segala sesuatu, dan, dengan memiliki pengetahuan, ia melampaui dukacita yang tak terhitung jumlahnya.

 

Ia yang mengabdikan dirinya pada tiga hal ini, moralitas, meditasi, dan pengetahuan, pada akhirnya akan mencapai kemurnian yang sempurna, dan mengakhiri kesakitan dan juga kemenjadian.

 

Ia yang terbebas dari belenggu nafsu keinginan, yang telah membuang jasmani dan yang memiliki kebijaksanaan, telah pergi melampaui kerajaan Māra, dan bersinar dalam keagungan seperti halnya matahari.

 

Seorang Bhiksu yang secara internal dan eksternal tidak murni dan arogan tidak akan mencapai kesempurnaan moralitas, meditasi, dan kebijaksanaan.

 

Hujan turun dari langit yang tertutup awan, bukan turun dari langit yang cerah; hilangkanlah apa yang menghalangi (pikiran) dan hujan tidak akan turun.

 

Ia yang selalu memperhatikan dan menjaga aturan moralitas seorang Bhiksu, akan dengan cepat tiba di jalan menuju Nirvāṇa dengan kemurnian yang sempurna.

 

Aroma bunga tidak menyebar melawan arah angin, begitu pula aroma kayu gaharu, dupa, atau tchandana. Aroma kesucian menyebar bahkan melawan arah angin; seluruh penjuru dipenuhi dengan harumnya manusia sempurna.

 

Dupa, tchandana, utpala, dan mallika, di antara wewangian harum ini, aroma harum moralitas (atau kebajikan) adalah tak tertandingi.

 

Betapa buruknya aroma harum yang berasal dari dupa (tagara) dan tchandana; aroma harum dari mereka yang memiliki moralitas menembus bahkan (ke alam) surga.

 

Karena itulah, mereka yang berdiam dalam perhatian, yang telah sempurna dimurnikan melalui perilaku moralnya, dan yang telah terbebas melalui kesempurnaan pengetahuannya, tidak akan menemui jalan Māra.

 

Inilah Sang Jalan menuju kebahagiaan; ia yang telah memasuki Jalan kesempurnaan pemurnian ini, dengan berpegang padanya, akan melepaskan belenggu Māra.

 

Bab tentang Moralitas, Yang Keenam.

 

7. Sucaritavarga (Perilaku Bajik)

 

Ia yang menyingkirkan kejahatan di dalam jasmaninya demi menjalani perilaku jasmani yang bajik, jasmaninya akan terlindungi jika ia menjaganya dari keburukan-keburukan besar dari jasmani.

 

Ia yang menyingkirkan kejahatan dalam ucapan demi ucapan bajik, ucapannya akan terlindungi jika ia menjaganya dari keburukan-keburukan besar dari ucapan.

 

Ia yang menyingkirkan kejahatan dalam pikiran demi pikiran bajik, pikirannya akan terlindungi jika ia menjaganya dari keburukan-keburukan besar dari pikiran.

 

Ia yang menyingkirkan kejahatan dalam jasmani, yang menyingkirkan kejahatan dalam ucapan, yang menyingkirkan kejahatan dalam pikiran (nya), (ia) telah menyingkirkannya seperti segala noda-noda lainnya.

 

Ia yang melakukan apa yang bajik dalam jasmani, ia yang bajik dalam ucapannya, ia yang bajik dalam pikirannya, ia akan memiliki empat hal yang tak terukur (Catvāro Brāhmavihārāḥ).

 

Ia yang bajik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, memperoleh kebahagiaan yang tanpa henti di sini dan di dunia lain.

 

Orang bijaksana yang jasamaninya terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.

 

Orang bijaksana yang ucapannya terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.

 

Orang bijaksana yang pikirannya terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.

 

Orang yang tekun mengendalikan jasmaninya, orang yang tekun mengendalikan ucapannya, orang yang tekun mengendalikan pikirannya; ketika orang yang tekun mengendalikan segalanya dengan baik, mereka pergi ke kediaman yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.

 

Adalah baik mengendalikan jasmani, adalah baik mengendalikan lidah (ucapan), adalah baik mengendalikan pikiran; mengendalikan segalanya adalah baik: Bhiksu yang sepenuhnya terkendali, terbebas dari segala dukacita.

 

Mengawasi ucapannya, pikirannya terkendali dengan baik, tidak melakukan apa yang jahat dengan jasmaninya, dengan mengamati tiga jalur perbuatan ini seseorang menemukan Jalan yang diucapkan oleh Sang Rischi.

 

Bab tentang Perilaku Bajik, Yang Ketujuh.

 

8. Vācavarga (Ucapan)

 

Ia yang mengatakan bahwa ia tidak melakukan apa yang telah ia lakukan, dan ia yang adalah seorang pendusta, akan pergi ke neraka; demikian kedua orang ini, setelah pergi ke dunia lain, akan berada dalam kondisi yang hina.

 

Setiap manusia yang terlahir, dan yang mengucapkan kata-kata jahat, akan memotong dirinya sendiri dengan kapak ucapan yang telah lahir (bersamanya).

 

Ia yang memuji seseorang yang patut dicela, dan ia yang mencela seseorang yang layak dipuji, (ia) mendatangkan keburukan (pada dirinya sendiri) dengan mulutnya; ia yang jahat tidak akan menemukan kebahagiaan.

 

Ia yang di dunia ini kehilangan kekayaannya dalam (permainan) dadu, adalah suatu keburukan kecil; Ia yang pikirannya cenderung jahat terhadap Sang Tathāgata adalah orang yang sangat (penuh dengan) keburukan..

 

Ia yang di dunia ini menggunakan ucapan dan pikirannya untuk mencaci-maki seorang Ārya akan pergi untuk sepuluh juta (usia kehidupan) ke neraka Nirabbuda, dan untuk seribu empat puluh satu ke Abbuda.

 

Ia yang dalam kejahatan (atas) pikirannya menuduh seseorang yang tidak melakukan kesalahan, menambah hukumannya sendiri di neraka. Ia yang mempunyai kekuatan (kebijaksanaan) tidak salah dalam menggunakan ucapannya; bahkan dalam pikirannya pun ia tidak membayangkan perselisihan.

 

Mereka yang pikirannya rusak oleh doktrin-doktrin palsu (pandangan salah), dan yang meninggalkan Ajaran dan jalan hidup kaum terpilih (Ārya) dan Arahat, akan hancur akibat perbuatan jahat mereka seperti halnya buluh (yang hancur) dengan benihnya.

 

Seseorang seharusnya hanya mengatakan apa yang benar, dan tidak seharusnya berbicara jahat; dari perkataan yang jahat timbullah kejahatan, karena itulah seseorang harus menggunakan bahasa yang sesuai.

 

Orang bodoh mengucapkan kejahatan, dan melalui ucapannya ia terbelenggu dalam ikatan; ketika seseorang menggunakan bahasa semacam ini dan menolak yang lain, ia tidak kusebut seorang bijaksana.

 

Para Bhiksu, yang menjaga ucapan mereka, yang berbicara dengan tenang dan tanpa kesombongan, yang memiliki Dharma, mengajarkan nilai-nilainya, ucapan mereka itu menyenangkan.

 

Bahasa yang diucapkan dengan baik adalah hal yang utama, sabda Sang Ārya; berbicara dengan baik dan tidak kasar adalah (yang terbaik) kedua; mengatakan kebenaran dan bukan kebohongan adalah yang ketiga; mengatakan apa yang benar dan bukan apa yang sia-sia adalah yang keempat.

 

Ia yang mengucapkan kata-kata yang tidak menimbulkan dukacita baginya dan tidak menyakiti orang sekitarnya, (maka ia) berbicara baik.

 

Biarlah seseorang mengucapkan kata-kata yang menyenangkan, yang, ketika ia mengucapkannya, membawa kegembiraan pada orang sekitarnya, dan, (ia) menerima (akibatnya) dengan bahagia, karena ia tidak melakukan kejahatan apapun.

 

Mengatakan kebenaran adalah (seperti) amrita; kebenaran tidak bisa dilampaui. Kebenaran adalah berpegang teguh pada apa yang baik dan pada apa yang benar, sabda para suciwan.

 

Kata-kata yang diucapkan Sang Buddha dan (mereka) yang melenyapkan segala dukacita adalah perkataan kebenaran; hal-hal itu yang mengarah pada Nirvāṇa yang tidak dapat dilampaui.

 

Bab tentang Ucapan, Yang Kedelapan.

 

9. Karmavarga (Perbuatan)

 

Seseorang yang meninggalkan suatu Dharma (yang besar, yakni kebenaran), demi memperoleh (kebahagiaan di) dunia lain, dan yang mengucapkan kebohongan, tidak ada kejahatan yang tidak akan dilakukannya.

 

Adalah lebih baik seseorang yang memakan sebongkah besi yang membara daripada seseorang yang tidak terkendali dan melanggar Śīla-nya, yang harus hidup dengan sumbangan (dari suatu) wilayah.

 

Jika engkau diliputi rasa takut akan penderitaan, jika tidak terdapat hal yang menyenangkan bagimu di dalam penderitaan, maka janganlah melakukan perbuatan jahat secara terang-terangan, atau bahkan secara sembunyi-sembunyi.

 

Jika engkau telah melakukan perbuatan jahat, atau jika engkau ingin melakukannya, engkau mungkin akan bangkit dan berlari ke mana pun engkau mau, tetapi engkau tidak dapat membebaskan dirimu sendiri dari penderitaanmu.

 

Tidak ada suatu tempat pun di bumi, atau di langit, atau di laut, tidak juga di celah-celah gunung, di mana suatu perbuatan (jahat) tidak membawa masalah (bagi pelakunya).

 

Ketika seseorang telah melihat orang lain disekitarnya dan melihat perbuatan jahat mereka, janganlah ia melakukan hal yang sama; janganlah berjalan di jalan keburukan.

 

Ia yang melakukan kejahatan, yang menggunakan ukuran palsu, yang menyakiti seseorang, atau yang melakukan perbuatan serupa lainnya, dengan menempuh jalan ini ia akan terjatuh ke dalam jurang yang dalam.

 

Apa pun yang telah dilakukan seseorang, baik perbuatan bajik maupun perbuatan jahat, tidak ada satupun yang berdampak kecil; semuanya menghasilkan beberapa jenis buah.

 

Selama orang-orang bersatu, selama itu pula mereka menjadi pemenang; namun jika mereka menang dengan cara lain, mereka akan mengetahui bahwa mereka akan ditaklukkan.

 

Orang bodoh yang tidak melihat hal ini, berjalan pada jalan kejahatannya, namun ia yang berbuat jahat akan mengetahui (kesalahannya) di dunia lain.

 

Orang bodoh tidak melihat bahwa perbuatan jahatnya, ketika sudah matang, akan tetap membakar. Setelahnya perbuatannya akan menyiksanya seperti terbakar oleh api.

 

Orang bodoh yang kurang pengetahuan memperlakukan dirinya sendiri seperti ia memperlakukan musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang membakar.

 

Perbuatan yang merugikan, dan yang akibatnya diterima dengan air mata dan wajah tertunduk, maka perbuatan itu tidak baik dilakukan.

 

Perbuatan yang tidak merugikan, dan yang akibatnya diterima dengan sukacita dan kebahagiaan, maka perbuatan itu baik dilakukan.

 

Ketika seseorang mengejar kesenangannya, melakukan perbuatan jahat, hal itu membuatnya tersenyum; namun ketika perbuatan jahatnya telah matang, hal itu membawa dukacita baginya.

 

Sesungguhnya perbuatan jahat tidak terjadi secara tiba-tiba seperti susu; perbuatan jahat seperti api yang muncul dari bara di dalam abu, yang membakar orang bodoh.

 

Suatu perbuatan jahat tidak membunuh seketika, seperti halnya sebilah pedang, namun ia mengikuti si pelaku kejahatan (bahkan) ke alam nanti.

 

Betapa membakarnya (perbuatan jahat) ketika telah sampai pada kematangan, pelaku kejahatan akan mengetahuinya di dunia lain.

 

Bagaikan besi, ketika karat meliputinya, termakan olehnya, demikian pula seorang yang lengah terbawa ke jalan kejahatan karena perbuatannya sendiri.

 

Bab tentang Perbuatan, Yang Kesembilan

 

10. Śraddhāvarga (Keyakinan)

.

Keyakinan, kesederhanaan, moralitas, kedermawanan, kebajikan-kebajikan ini dipuji oleh orang-orang suci; dengan hal-hal ini seseorang pergi ke alam para dewa; jalan ini, Aku katakan, mengarah ke tanah para dewa.

 

Orang pelit tidak pergi ke alam para dewa, karena orang bodoh tidak memuji kedermawanan: mereka yang teguh sangat bergembira dalam kedemawanan, mereka juga menikmati kebahagiaan di (dunia) lain.

 

Keyakinan adalah harta terbesar seseorang di (dunia) ini, bagi ia di (dunia) ini menjalankan Dharma ini, (ia akan) menemukan kebahagiaan: kebenaran adalah yang paling manis dari segala rasa, dan hidup berdasarkan pengetahuan, Aku katakan, adalah kehidupan yang terbaik. .

 

Jika orang bijaksana mempunyai keyakinan terhadap ajaran para Arhat yang menuntun pada Nirvāṇa, dan jika ia mendengarkannya dengan penuh hormat, ia akan memperoleh pengetahuan tersebut.

 

Dengan ketekunan seseorang selamat dari lautan, dan dengan keyakinan dari seberang sungai; dengan ketekunan penderitaan dihapuskan; dengan kebijaksanaan seseorang dimurnikan.

 

Bhiksu yang berteman dengan yang berkeyakinan dan yang penuh kebijaksanaan akan memotong semua belenggunya demi mencapai Nirvāṇa.

 

Orang bijaksana yang memiliki keyakinan sejati, moralitas, kebijaksanaan, dan yang selalu menjaganya di dalam pikirannya, menyingkirkan segala keburukan; ia, Aku katakan, dalam keadaan yang baik.

 

Ia yang memiliki keyakinan dan moralitas yang sempurna, yang menyingkirkan segala keserakahan, dan telah terbebas, kemanapun ia pergi, ia akan dihormati.

 

Orang bijaksana di dunia ini berpegang teguh pada keyakinan dan kebijaksanaan; hal-hal ini adalah harta terbesarnya; ia menyingkirkan semua kekayaan lainnya.

 

Ia yang senang melihat para suciwan, yang senang mendengarkan Dharma, yang telah menyingkirkan noda-noda kekikiran, ia harus disebut “berkeyakinan”.

 

Seseorang harus menyiapkan bekal keyakinan; karena tidaklah mungkin mengambil jasa kebajikan seseorang, dan seseorang tidak perlu takut dirampok oleh para pencuri. Berbahagialah para Śramana yang memperolehnya, dan berbahagialah orang bijaksana ketika bertemu dengan seorang Śramana (demikian).

 

Orang-orang memberi berdasarkan kecenderungannya atau berdasarkan keyakinannya. Ia yang pikirannya tidak bahagia dengan apa yang orang lain makan dan minum, tidak akan menemukan ketenangan baik siang maupun malam.

 

Ia yang telah mengakhiri (perasaan) ini, seperti ia memotong pucuk pohon Tala, (akan) menemukan ketenangan baik di siang dan di malam hari.

 

Janganlah seseorang bergaul dengan ia yang tanpa keyakinan, karena ia bagaikan suatu sumur yang kering, yang, jika digali, hanya akan menghasilkan air yang keruh dan kotor.

 

Biarlah orang bijaksana bergaul dengan orang yang berkeyakinan, yang bagaikan sungai yang besar dan jernih, bagaikan danau yang sejuk dan tenang.

 

Sang Muni terpengaruh dengan mereka yang memiliki perasaan baik, atau dengan mereka yang tidak memiliki perasaan baik; maka janganlah berbuat apapun dengan yang tanpa keyakinan, dan bergaulah dengan yang berkeyakinan.

 

Bab tentang Keyakinan, Yang Kesepuluh.

 

11. Śramanavarga (Pertapa)

 

Singkirkanlah nafsu, O Brāhmana, hentikanlah arus (kelahiran) dengan ketekunanmu; ia yang tidak dapat menyingkirkan segala nafsu, tidak dapat menemukan suatu (keadaan sempurna).

 

Parivrādjaka yang memiliki keraguan dan kelengahan hanya akan menimbun keburukan lagi dan lagi; ia yang rajin dan tekun mengetahui bagaimana caranya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

 

Suatu tindakan dengan keraguan, penebusan kesalahan yang dilakukan dengan buruk, suatu kehidupan yang tidak benar, tidak membawa manfaat yang besar.

 

Jika sebuah anak panah digenggam dengan buruk, anak panah itu akan memotong tangan; Śramana yang melakukan tugasnya dengan buruk, sedang menuju ke neraka.

 

Jika sebuah anak panah digenggam dengan benar, anak panah itu tidak akan memotong tangan; demikian pula, Śramana yang benar-benar melakukan tugasnya, sedang menuju ke Nirvāṇa.

 

Śramana yang bodoh, yang sulit menyeberangi (arus), yang sulit bersabar, yang diliputi dengan banyaknya dukacita yang timbul akibat batinnya yang lemah:

 

Śramana yang kehidupannya seperti demikian, akan terus menerus mengalami kesedihan, ia yang tidak dapat membebaskan dirinya sendiri, ia yang dipenuhi dengan keragu-raguan.

 

Ia yang adalah seorang Pravrāja yang buruk, yang bersenang dalam keburukan, dan yang, sebagai umat awam, melakukan perbuatan-perbuatan buruk, kecanduan terhadap segala sesuatu yang buruk, ia menyiapkan untuk dirinya sendiri kelahiran kembali yang buruk.

 

Banyak di antara mereka yang mengenakan jubah perca berwarna safron, yang tidak terkendali dan bersenang dalam kejahatan; orang-orang jahat ini menuju kemusnahan.

 

Ia yang, melanggar semua Śīla-nya, (yang diambil) seperti sebatang pohon Sāla dengan tanaman merambat, membawa dirinya sendiri kepada kondisi yang ingin dibawa oleh musuhnya.

 

Walaupun rambut seseorang menjadi putih, bukan karena alasan itu seseorang diterima di antara para sesepuh (Sthavira); ia telah berusia tua, namun ia disebut “Tua dengan sia-sia.”

 

Ia yang bermoral, yang telah menyingkirkan keburukan, yang adalah seorang Bramachārin, dan terbebas dari segala (kekotoran), ia disebut “seorang Sthavira.”

 

Ia yang berperilaku buruk dan mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana. Mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan dan nafsu, bagaimana mereka dapat menjadi Śramana?

 

a yang berperilaku buruk dan mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana; ia yang telah “menenangkan” keburukan, ia yang bijaksana mengetahui bagaimana menjadi seorang Śramana.

 

a yang berperilaku buruk dan mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana; namun ia yang, setelah membedakan segala keburukan, besar dan kecil, tetap menjauhinya dan melakukan "penenangan' keburukan, ia disebut “seorang Śramana.”

 

Ia yang telah “menyingkirkan keburukan” adalah seorang Brāhmana; ia yang melakukan "penenangan" keburukan adalah seorang Śramana; ia yang telah menyingkirkan segala keburukan, karena hal itulah disebut seorang Pravrāja.

 

Bab tentang Pertapa, Yang Kesebelas.

 

12. Mārgavarga (Sang Jalan)

 

Ketika kebijaksanaan seseorang telah membawanya untuk melihat Empat Kebenaran Mulia, pengetahuan tentang Sang Jalan ini akan menghancurkan semua cinta terhadap kemenjadian.

 

Bagaikan debu yang terhempas oleh angin dan hanyut oleh hujan, demikian pula ia yang memiliki mata kebijaksanaan, seluruh pikirannya menjadi tenang.

 

Pengetahuan itu yang memungkinkan seseorang untuk mengakhiri kelahiran dan kematian, dan yang dengannya seseorang terbebas dari dunia, hal itu adalah (jenis pengetahuan) yang terbaik.

 

Di antara kebenaran-kebenaran, Empat Kebenaran Mulia (adalah yang terbaik); Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah Jalan yang terbaik; Yang terbaik dari makhluk berkaki dua adalah ia yang melihat; Kebajikan (Dharma) yang terbesar, (adalah) tanpa nafsu.

 

“Segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang sempurna.

 

“Segala sesuatu yang terkondisi adalah penderitaan;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang sempurna.

 

“Segala sesuatu yang terkondisi adalah kosong (śunyata);” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang sempurna.

 

“Segala sesuatu yang terkondisi adalah maya;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang sempurna.

 

Aku telah mengajarkanmu bahwa Jalan ini menghilangkan penderitaan akibat kemenjadian. Sang Tathāgata adalah seorang Guru; kalian sendirilah yang harus berusaha mengejar (Nirvāṇa).

 

Aku telah mengajarkanmu bahwa Jalan ini menghilangkan penderitaan akibat nafsu. Sang Tathāgata adalah seorang Guru; kalian sendirilah yang harus berusaha mengejar (Nirvāṇa).

 

Tidak ada jalan lain selain Jalan ini yang menuju Pencerahan Sempurna; dengan memusatkan pikiranmu padanya, engkau akan melepaskan belenggu Māra.

 

Jalan ini lurus: Jalan ini membawa seseorang menuju dunia lain; Jalan ini adalah satu-satunya Jalan menuju lautan kemurnian, Śakyamuni, Yang Tenang dan Bijaksana, membabarkan Jalan ini lagi dan lagi kepada banyak orang.

 

Setelah menemukan akhir dari kelahiran dan kematian, melalui kebaikan dan belas kasihan Aku akan mengajarkan Sang Jalan, satu-satunya Jalan. Setelah melewati arus (kekotoran), Aku akan mengajari orang lain untuk menyeberang seperti yang telah Aku seberangi.

 

Sang Jalan untuk mencapai Penghentian penuh (dari kemenjadian), pengendalian, kemurnian; Sang Jalan untuk mengakhiri munculnya kelahiran dan kematian yang berulang; Jalan untuk membedakan semua dhātu: * dengan cara ini, itulah yang diajarkan oleh Ia yang memiliki mata (kebijaksanaan).

 

Seperti halnya air di Sungai Gangga mengalir deras dan bermuara di lautan, demikian pula ia yang berjalan di Jalan pengetahuan sempurna yang lurus, akan sampai pada penghentian kematian.

 

Ia yang, melalui belas kasihan terhadap semua makhluk, memutar roda Dharma, yang sampai saat ini belum pernah terdengar, Sang Pelindung, Guru para dewa dan manusia, Ia yang telah sampai pada akhir kemenjadian jasmani, pada-Nya (aku) melakukan penghormatan.

 

Dengan memperoleh persepsi tiga kebahagiaan, dan dengan melepaskan tiga hal yang tidak menyenangkan, seseorang akan melalui persepsi-persepsi ini, dan dengan memperhatikan ketiga kebahagiaan tersebut, sampai pada kedamaian: (seperti halnya) debu (rāga) yang hanyut oleh hujan, ketika pikiran dan perilaku menjadi damai, maka seseorang menikmati kebahagiaan Bodhi yang tak tertandingi.

 

Pikirannya melekat pada tiga jenis Samādhi, ia bermeditasi dalam keterasingan pada (Empat) hal yang tak terukur (Brahmavihara); demikianlah seseorang yang reflektif dan bijaksana melepaskan belenggu-belenggunya, dan melepaskan (dirinya sendiri) dari tiga wilayah (keinginan) melalui ketiga jenis Samādhi.

 

Ia yang mempunyai kebijaksanaan sebagai senjata, ketekunan sebagai kekuatannya, yang reflektif, tenang, dan yang bersenang dalam meditasi (Samādhi), setelah memahami asal mula dan kehancuran (kemenjadian) duniawi, akan memperoleh pembebasan sempurna: Ia yang telah memahami akhir dari (kemenjadian) duniawi, meletakkan (beban), Aku nyatakan, disebut “Ia yang telah mengakhiri (kemenjadian) duniawi dan telah tiba di (pantai) seberang.”

 

Ia yang pikirannya terkonsentrasi pada Jalan Suci Berunsur Delapan, Jalan yang lurus, telah menemukan yang tanpa kematian; dengan mengikutinya ia menemukan kebahagiaan yang sangat diidam-idamkan, dan dengan menemukan apa yang terpuji, ia meningkatkan reputasi (nya).

 

Bab tentang Sang Jalan, Yang Kedua Belas.

 

Buku Kedua

 

13. Satkāravarga (Kehormatan)

 

Seperti bagal betina yang mati karena keturunannya, seperti buluh dan pohon pisang yang membusuk ketika menghasilkan buah, demikian pula orang bodoh dihancurkan dengan kehormatan.

 

Tidak peduli berapa lama orang bodoh berkorban, ia tidak akan berhenti kegandrungan; kegemilangan orang bodoh terus meredup hingga membawa pada dukacita bahkan hingga ke mahkota di kepalanya.

 

Orang bodoh menginginkan kekayaan, agar para Bhiksu tunduk (pada perintahnya), demi kekuasaan di tempat tinggal (milik Sangha), dan memperoleh penghormatan dari orang lain.

 

“Biarlah baik para Pravrāja maupun perumah tangga, siapapun mereka, membayangkan bahwa Akulah (yang telah melakukannya); dalam hal apa pun yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, biarlah semuanya tunduk kepadaku;” demikianlah pikiran orang bodoh, dan nafsunya semakin meningkat.

 

Satu hal adalah jalan menuju kekayaan, hal yang lain adalah jalan menuju Nirvāṇa; jika seorang Bhiksu, siswa Sang Buddha, telah mempelajari hal ini, ia tidak akan menemukan kesenangan dalam kehormatan, namun mencari keterasingan sempurna (dari dunia).

 

Janganlah menyimpan kesukaan pada apa pun; janganlah menipu siapa pun; tinggalkanlah kedudukan apa pun; dalam (mengikuti) Dharma seseorang tidak boleh terlibat dalam perdagangan.

 

Jagalah apa yang bermanfaat bagi dirimu sendiri dan janganlah iri pada perolehan orang lain, karena Bhiksu yang iri pada orang lain tidak dapat menemukan ketenangan (Samādhi).

 

Jika seorang Śramana ingin menjalani kehidupan yang bahagia, biarlah ia mengenakan jubah (Sanghāti) kebhiksuan dan menerima derma makanan dan minuman.

 

Jika seorang Śramana ingin menjalani kehidupan yang bahagia, biarlah ia tetap tinggal di suatu kediaman (kebhiksuan), seperti halnya yang dilakukan reptil terhadap lubang tikus.

 

Jika seorang Śramana ingin menjalani kehidupan yang bahagia, biarlah ia merasa puas dengan hal-hal yang paling kejam, dan hanya memikirkan Dharma yang teragung.

 

Walaupun seseorang tidak mengetahui banyak hal, jika seseorang menjaga dengan baik peraturan moralitas, menjalani kehidupan sesuai dengan pengetahuannya, orang-orang akan memujinya (dengan pujian) “ia tidak lalai.”

 

Jika seseorang memiliki tiga pengetahuan yang sempurna yang mengalahkan penguasa kematian, orang bodoh mengira ia tidak tahu apa-apa, dan ia dapat menyalahkannya.

 

Ia yang berada di bawah kekuasaan dukacita dan keburukan, jika ia hanya mempunyai makanan, minuman, dan kekayaan, ia akan dipuji oleh orang bodoh.

 

Ia yang rambutnya dicukur, dan yang mengenakan jubah kuning, namun ia hanya mencari makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, adalah musuh terbesarnya.

 

Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui keburukan dan bahayanya dari kehormatan, dengan hanya sedikit keinginan, dan telah membuang segala kegelisahan dalam pikiran, seorang Bhiksu yang reflektif mengembara ke sana kemari.

 

Pikiran tidak bisa menjadi bosan hanya dengan sebongkah makanan, karena seseorang harus makan untuk mempertahankan kehidupan ini; Oleh karena itu, ia yang mengetahui bahwa tubuh ini hanya ada melalui makan, pergi mengumpulkan derma makanan.

 

Inilah yang dipuja dan dihormati oleh orang bijaksana: Penghapusan setiap titik kesedihan dan dukacita, yang merupakan tugas yang sulit, dan orang-orang menghormati ia yang sabar dan saksama; Oleh karena itu, pelajarilah cara mengenali rawa (dan menjauhinya).

 

Bab tentang Kehormatan, Yang Ketiga Belas.

 

14. Droharavarga (Kebencian)

 

Kebencian terhadap mereka yang tidak melakukan kejahatan dan tidak membenci, itulah tanda (terjemahan harfiah: pakaian) orang yang melakukan keburukan di dunia ini dan di dunia lain.

 

Setelah mendatangkan dukacita pada dirinya sendiri, setelahnya ia akan mendatangkan kesulitan pada orang lain, seperti elang pemburu, (?), yang, ketika dirinya menahan dirinya sendiri, melukai binatang lain.

 

Ia yang memukul akan dipukul; ia yang menunjukkan dendam akan mendapatkan dendam; demikian juga dari cercaan mendatangkan cercaan, dan ia yang marah mendatangkan kemarahan.

 

Para Śramana bodoh yang tidak mengetahui Dharma yang suci, walaupun hidup ini singkat, namun dalam kebodohan batin mereka, mereka menyerah pada pertengkaran.

 

“Inilah (orang) yang terbaik,” pikir mereka, karena berbeda dengan kesepakatan bersama demikian: “Mengapa para Bhiksu memilih orang ini? Ia itu tanpa kekuatan dan tanpa pikiran.”

 

Jika suatu tulang patah, (mereka menyarankan) membunuh, merampas kuda, sapi, dan kekayaan, menaklukkan kerajaan, dan setelahnya akan berteman lagi.

 

Namun orang bijaksana, yang mengetahui apa yang (benar), mengatakan: “Mengapa engkau tidak mempelajari Dharma ini, yang mengajarkan jalan hidup yang sebenarnya?” (terjemahan harfiah: bidang kegiatan). Engkau yang tidak memiliki perilaku para bijaksanawan, berhati-hatilah terhadap kata-kata dari mulutmu; jagalah tetanggamu yang tidak mengetahui (bahaya yang mungkin mereka hadapi); mereka yang mengetahui (Dharma ini), mengucapkan kata-kata yang lembut dan menyenangkan.”

 

“Ia menyakitiku, ia memakiku, ia memukulku, ia menaklukkanku;” ia yang terus mengingat hal ini, dan yang merasa kesal, tidak akan menemukan kedamaian.

 

“Ia menyakitiku, ia memakiku, ia memukulku, ia menaklukkanku;” ia yang tidak mengingat hal ini, dan tidak merasa kesal, akan menemukan kedamaian.

 

Ia yang menunjukkan kebencian kepada orang yang membenci tidak akan pernah menemukan kedamaian; ia yang bersabar terhadap orang yang membenci akan menemukan kedamaian; inilah hakikat kebenaran abadi.

 

Ia yang menggenggam kebencian terhadap mereka yang menggenggam kebencian, tidak akan pernah bisa menjadi murni; tetapi ia yang tidak merasakan kebencian, menenangkan mereka yang membenci: demikianlah kebencian mendatangkan kesengsaraan bagi orang-orang, orang bijaksana tidak mengenal kebencian.

 

Jika seseorang menemukan seorang teman yang bijaksana, yang teguh dan murni, biarlah ia, setelah mengatasi segala keburukan, bergaul dengannya, penuh perhatian dan gembira.

 

Jika seseorang tidak menemukan teman yang bijaksana, teguh dan murni, seperti halnya seorang raja yang meninggalkan kerajaannya yang luas, biarlah ia hidup sendiri dan tidak berbuat keburukan.

 

Jika seseorang tidak menemukan teman baik yang menjalani kehidupan seperti dirinya, biarlah ia dengan kebulatan tekad menjalani kehidupan yang terasing, dan tidak bergaul dengan orang bodoh.

 

Lebih baik hidup sendirian daripada berteman dengan orang bodoh; dengan melepaskan semua beban pikiran, seseorang hidup sendirian, bagaikan gajah di hutan Mātanga.

 

Bab tentang Kebencian, Yang Keempat Belas.

 

15. Smṛtivarga (Perhatian)

 

Inilah Ajaran Buddha, bahwa siapapun (yang memulai dengan) perhatian terhadap nafas bekerja, dan yang melanjutkan melalui berbagai tahapan (meditasi), pikirannya terkendali  dengan baik, akan mencapai kesempurnaan, seperti matahari dan rembulan, ketika bebas dari awan, menerangi seluruh dunia.

 

Ia yang, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, mengendalikan tubuh dan pikirannya, Bhiksu yang bijaksana dan terkendali dengan baik demikian akan mendapatkan berkah yang disebutkan di atas dan berkah-berkah lainnya; dan jika ia telah memperoleh berkah yang disebutkan di atas dan berkah-berkah lainnya, ia tidak akan pergi ke tempat di mana penguasa kematian berada.

 

Ia yang terus-menerus penuh perhatian sehubungan dengan jasmani, dan menguasai enam landasan indera (āyatana), dan selalu tenang dengan baik, mengetahui lenyapnya dukacita.

 

Ia yang terus-menerus penuh perhatian sehubungan dengan jasmani dalam segala bentuknya, pada keadaan tanpa diri, tanpa kemelekatan pada “milikku”, tidak akan memperdulikan 'diri'; ia tidak akan memiliki kemelekatan terhadap “milikku:” dengan cara ini Bhiksu itu akan dengan cepat menyeberang dari wilayah nafsu.

 

Ia yang penuh perhatian, bijaksana, tenang, bahagia, dan murni, serta selalu mempraktekkan Dharma, Aku nyatakan, akan menyebrangi kelahiran dan usia tua.

 

Dengan belajar demikian agar selalu waspada, Bhiksu yang bijaksana, penuh perhatian, dan rajin, setelah melepaskan semua ikatan, dengan cara ini menemukan hancurnya dukacita (Nirvāṇa).

 

Mereka yang terjaga dapat melihat lebih baik daripada mereka yang tertidur, Aku katakan kepadamu; adalah lebih baik terjaga dari pada tidur, karena ia yang terjaga tidak mempunyai rasa takut.

 

Ia yang waspada dan tekun akan terjaga siang dan malam, dan ia akan menemukan akhir dari kesakitan (kleśā) dalam lenyapnya kematian (nirvāṇa) yang didambakan.

 

Mereka yang siang dan malam penuh perhatian pada Sang Buddha, dan yang pergi berlindung kepada Sang Buddha, orang-orang ini mendapatkan keuntungan manusia.

 

Mereka yang siang dan malam penuh perhatian pada Dharma, dan yang pergi berlindung kepada Dharma, orang-orang ini mendapatkan keuntungan manusia.

 

Mereka yang siang dan malam penuh perhatian pada Sangha, dan yang pergi berlindung kepada Sangha, orang-orang ini mendapatkan keuntungan manusia.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada Sang Buddha.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada Dharma.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada Sangha.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada Dharma moralitas (Śīla).

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada pelepasan keduniawian.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian pada Sang Jalan.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam penuh perhatian sehubungan dengan jasmani.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam selalu memperhatikan empat jenis meditasi (samādhi).

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam penghentian kematian.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam kebaikan hati.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam meditasi.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam keadaan tanpa kondisi.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam keadaan tanpa ciri.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam keterasingan.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam apa yang membawa pada keselamatan.

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam tidak memiliki (keduniawian?).

 

Siswa Sang Gautama selalu terjaga, siang dan malam bersenang dalam Nirvāṇa.

 

Bab tentang Perhatian, Yang Kelima Belas.

 

16. Prakīrṇakavarga (Berbagai Hal)

 

Ketika engkau merasa ingin melakukan sesuatu, mulailah dengan merenungkannya: “Jika aku hanya melakukan hal tersebut pada awalnya, seseorang akan berharap ketika hal itu sudah terlambat.

 

“Aku akan melihat hakikat sebenarnya dari nafsu, dan (bagaimana nafsu) itu menjadi sebuah belenggu;” biarlah seseorang memperhatikan apa yang ia lakukan selama ia berusaha mencapai kesempurnaan.

 

Dengan praktek dan ketekunan seseorang akan menjadikan dirinya sendiri sebuah pulau. Buanglah kekotoranmu seperti yang dilakukan pandai besi pada perak: kekotoranmu telah dibersihkan dan terbebas dari keburukan, maka engkau tidak akan mengalami kelahiran dan usia tua lagi.

 

Ia yang malu terhadap apa yang tidak memalukan, dan tidak malu terhadap apa yang memalukan, yang takut terhadap apa yang tidak menakutkan, dan yang tidak takut terhadap apa yang menakutkan, orang itu memiliki pandangan salah dan akan tersesat.

 

Ia yang awalnya lalai dan kemudian ia menjadi penuh perhatian, bagaikan rembulan yang terbebas dari awan, ia menerangi seluruh dunia.

 

Ia yang awalnya lalai dan kemudian ia menjadi penuh perhatian akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan perhatian penuh.

 

Ia yang telah meninggalkan keduniawian ketika masih muda dan mengikuti Buddha Dharma, seperti rembulan yang terbebas dari awan, dia menerangi seluruh dunia.

 

Ia yang adalah seorang Bhiksu muda dan mengikuti Buddha Dharma akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan perhatian penuh.

 

Ia yang menutupi kejahatannya dengan perbuatan bajik menerangi seluruh dunia ini seperti rembulan yang terbebas dari awan.

 

Ia yang menutupi kejahatannya dengan perbuatan bajik akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan perhatian penuh.

 

Ia yang tidak bersenang dalam kehidupan, tidak akan menemukan dukacita dalam kematian; ia mengetahui manfaat dari ketekunan, dan tanpa kesakitan bahkan di tengah dukacita.

 

Ia yang tidak bersenang dalam kehidupan, tidak akan menemukan dukacita dalam kematian; ia mengetahui manfaat dari ketekunan, dan ia adalah sinar cahaya bagi kerabat-kerabatnya.

 

Bhiksu yang dengan merenungkan pada manfaat (pelepasan keduniawian) telah membuang keburukan, meninggalkan rumahnya untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, yang merupakan bidang aktivitas sebenarnya, dan kemudian, setelah mempelajari apa itu kebahagiaan sejati, ia membuang segala nafsu.

 

Ia yang batinnya selalu suci, suci dengan selalu mengakui keburukannya, dalam setiap perbuatannya manaati jalan kesucian, akan mencapai kesempurnaan.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, keserakahan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa keserakahan, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, kebencian inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa kebencian, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, kebodohan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa kebodohan, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, keakuan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa keakuan, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, nafsu indera inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa nafsu indera, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Rumput inilah yang merusak suatu ladang, nafsu (trīchnā) inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi kepada mereka yang tanpa nafsu, akan memperoleh hasil yang besar.

 

Enam (hal ini) adalah tuan dan penguasa. Jika seseorang terikat pada nafsu ragawi (rāga), ia memiliki (segala) nafsu; jika seseorang tidak memiliki nafsu ragawi (rāga), maka ia tidak memiliki (salah satu pun) nafsu. Ia yang bernafsu disebut orang bodoh.

 

Ketika suatu benteng terbuat dari tulang, diplester dengan daging dan darah, nafsu, kebencian, dan keakuan tinggal bersama di dalamnya.

 

Mereka yang tidak mempersepsikan darimana munculnya semua dukacita mereka, mereka terikat dalam belenggu; mereka yang telah menemukannya meninggalkan perairan (kekotoran batin) dan menyeberang ke (pantai) seberang, di mana mereka terbebas dari nafsu.

 

Bab tentang Berbagai Hal, Yang Keenam Belas.

 

17. Udakavarga (Air)

 

Mereka yang, dengan seluruh daya upayanya dicurahkan pada perhatian, tidak menemukan kesenangan didalam rumah, seperti seekor angsa yang meninggalkan suatu danau yang tercemar, mereka meninggalkan rumahnya dan menyeberangi arus.

 

Mereka yang tekun pergi meninggalkan dunia, setelah mengalahkan pasukan Māra; mereka seperti angsa di jalan matahari, terbang di udara melalui kekuatan batinnya (irddhi).

 

Mereka yang tidak hidup seperti Brahmatchāri, dan tidak memperoleh kekayaan di masa mudanya, (mereka) menjadi seperti bangau tua di tepi kolam yang tercemar dengan sedikit ikan.

 

Mereka yang tidak hidup seperti Brahmatchāri, dan yang tidak memperoleh kekayaan di masa mudanya, mengingat apa yang telah mereka lakukan sebelumnya, mereka berbaring, haus akan masa lalu.

 

Janganlah berpikir, “Kejahatan tidak begitu penting; kejahatan tidak akan mengikutiku;” karena seperti halnya sebuah bejana besar terisi penuh dengan tetes-tetes air yang jatuh, demikian pula orang bodoh akan menjadi penuh kejahatan, bahkan jika ia mengumpulkannya sedikit demi sedikit.

 

Janganlah berpikir, “Kebajikan tidak begitu penting; kebajikan tidak akan mengikutiku;” karena seperti halnya sebuah bejana besar terisi penuh dengan tetes-tetes air yang jatuh, demikian pula orang yang tekun akan menjadi penuh kebajikan, bahkan jika ia mengumpulkannya sedikit demi sedikit.

 

Karena berkeinginan untuk meninggalkan danau yang luas dan keruh, dan untuk menyeberangi lautan samudera, orang bijaksana pergi menyeberang dengan rakit yang telah disiapkannya.

 

Ketika ia telah menyeberang, ia akan mendiami "tanah perjanjian" Sang Buddha, Sang Bhagavā, Sang Brāhmana; oleh karena itu biarlah para Bhiksu, dan mereka yang mendengarkan (Dharma-Ku), membersihkan diri mereka sendiri (dari keburukan), menyiapkan sebuah rakit.

 

Orang bijaksana dan terunggul yang mendengarkan Dharma menjadi seperti sebuah danau yang dalam, jernih, dan murni.

 

Jika terdapat air di segala penjuru, siapakah yang akan berlarian mencari air suatu sumur? Apalah gunanya air suatu sumur? Maka hancurkanlah nafsu dari akar-akar terdalamnya.

 

Tukang cuci mencuci dengan air, pengrajin panah meluruskan (anak panahnya) dengan api, tukang kayu memotong kayu-kayunya, orang bijaksana membentuk dirinya sendiri.

 

Tanpa nafsu bagaikan cakrawala, teguh bagaikan ambang pintu, orang bijaksana tidak bersenang dalam transmigrasi, yang bagaikan sebuah danau yang bergejolak.

 

Bab tentang Air, Yang Ketujuh Belas.

 

18. Puṣpavarga (Bunga)

 

Siapakah yang dapat menaklukkan dunia para dewa, penguasa kematian (Yama) dan manusia, yang mengetahui bagaimana mengungkapkan Dharma yang paling menyenangkan, seperti seseorang terhadap bunga-bunga?

 

Adalah para murid (sekha) yang dapat menaklukkan dunia para dewa, penguasa kematian (Yama) dan manusia, yang mengetahui bagaimana mengungkapkan Dharma yang paling menyenangkan, seperti seseorang terhadap bunga-bunga.

 

Ketakutan lahir dari hutan (ketidaktahuan); karena itu tebanglah, bukan (hanya) pohon-pohon di hutan, namun semua yang berhubungan dengan hutan (yaitu, akar-akarnya), dan setelahnya Sang Śramana akan menemukan Nirvāṇa.

 

Jika seseorang tidak menghancurkan semua yang berhubungan dengan hutan sampai ke bagian terkecilnya, pikirannya akan terikat belenggu, seperti anak sapi yang menginginkan susu berada di sisi induknya.

 

Singkirkanlah cinta terhadap diri sendiri seperti yang engkau lakukan terhadap teratai musim gugur; pertahankanlah Jalan Kedamaian demi Nirvāṇa yang telah dijelaskan oleh Sang Pemenang.

 

Bagaikan sekuntum bunga yang cantik, warnanya menyenangkan namun tidak harum, demikianlah kata-kata yang menyenangkan namun tidak berdampak yang diucapkan oleh seseorang yang tidak bertindak (sesuai ucapannya).

 

Bagaikan seekor lebah yang tidak merusak baik warna maupun aroma suatu bunga, tetapi setelah menghisap (nektar)nya, ia terbang menjauh, maka biarlah Sang Muni berjalan melintasi suatu desa.

 

Dengan tidak memperhatikan keburukan-keburukan orang lain, serta apa yang telah ataupun yang belum mereka lakukan, seseorang harus memperhatikan apa yang dilakukannya sendiri benar atau salah.

 

Seperti halnya tumbuh di tumpukan kotoran dan air kotor, tidak terpengaruh dengan mereka, Padma, murni, berbau harum, dan indah.

 

Demikianlah para siswa Samyaksaṁbuddha bersinar karena kebijaksanaannya di antara manusia lain, yang buta dan (seperti) sebuah tumpukan kotoran.

 

Seperti halnya dari setumpuk bunga banyak karangan bunga terbuat, demikianlah ketika seseorang dilahirkan, ia dapat melakukan banyak perbuatan bajik.

 

Seperti halnya tanaman Vakula di musim panas merontokkan semua bunganya, maka biarlah seorang Bhiksu membuang nafsu, kebencian, dan ketidaktahuan.

 

Seseorang yang pikirannya kacau, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, penguasa kematian membawanya seperti banjir yang melanda suatu desa yang tertidur.

 

Orang yang pikirannya kacau, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, jatuh ke dalam pengaruh penguasa kematian tanpa memuaskan nafsunya.

 

Orang yang pikirannya kacau, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, ia jatuh ke dalam pengaruh penguasa kematian tanpa memperoleh harta (yang cukup untuk memuaskannya).

 

Orang yang pikirannya kacau, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, ia jatuh ke dalam pengaruh penguasa kematian tanpa sampai pada hal yang diperjuangkannya.

 

Ia yang menyadari bahwa tubuh ini (kosong) bagaikan sebuah vas, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu (dharma/ fenomena) hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.

 

Ia yang menyadari bahwa dunia ini bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.

 

Ia yang menyadari bahwa tubuh ini bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.

 

(Pengulangan syair 18.18) Ia yang menyadari bahwa dunia ini bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.

 

Seorang Bhiksu yang mengetahui bahwa kemenjadian adalah tanpa kenyataan, seperti sekuntum bunga Udumbāra, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian keserakahan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian kebencian, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian ketidak-tahuan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian ke-aku-an, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian kecintaan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Seorang Bhiksu yang memotong setiap bagian nafsu, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.

 

Bab tentang Bunga, Yang Kedelapan Belas.

 

19. Aśvavarga (Kuda)

 

Jika seekor kuda yang baik dipukul dengan cambuk, ia menjadi takut dan mengerahkan seluruh kekuatannya; demikian pula ketika seseorang penuh dengan keyakinan, moralitas, dan meditasi (samādhi), tidak pernah berbuat apapun terhadap fenomena dunia (dharma), dengan indera-inderanya yang ditenangkan dengan baik, sabar, dan gembira, dengan terdorong demikian ia sepenuhnya meninggalkan dunia. .

 

Jika seekor kuda yang baik dipukul dengan cambuk, ia menjadi takut dan mengerahkan seluruh kekuatannya; demikian pula ketika seseorang penuh dengan keyakinan, moralitas, dan meditasi, tidak pernah berbuat apapun terhadap fenomena dunia, memiliki pengetahuan dan (menaati) (peraturan-peraturan) yang mendasar, dengan terdorong demikian ia menyingkirkan setiap bagian dukacita.

 

Mereka yang dijinakkan dengan baik, bagaikan kuda-kuda yang dirusak (dijinakkan) dengan baik, yang indera-inderanya dikendalikan dengan baik untuk meredam amarah, sehingga mengakhiri dukacita, para Muni ini akan segera bersenang di antara para dewa.

 

Orang yang murni tidak berhubungan dengan orang yang lalai, orang yang waspada (tidak berhubungan) dengan orang yang malas, seperti halnya kuda baik yang bijaksana meninggalkan kuda liar dan mengembara (sendirian).

 

Ia yang memikirkan kesederhanaan dan pengetahuan seperti seekor kuda yang baik memikirkan cambuk, dan ia yang ditenangkan dengan baik oleh kebijaksanaan, membersihkan dirinya dari keburukan.

 

(Kuda) yang dijinakkan digiring pergi ke tempat berkumpul; Sang Raja mengendarai (kuda) yang jinak; Orang yang terbaik di antara orang-orang yang dijinakkan adalah ia yang dengan sabar menahankan ucapan kasar.

 

Lebih baik dari pada gajah yang terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang dirusak (dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.

 

Dengan dirinya sendiri yang telah dijinakkan dengan baik, seseorang dapat mencapai kedamaian, namun dengan pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan tersebut.

 

Lebih baik dari pada gajah yang terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang (dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.

 

Dengan dirinya sendiri yang telah dijinakkan dengan baik, seseorang dapat mencapai akhir penderitaan, namun dengan pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan tersebut.

 

Lebih baik dari pada gajah yang terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang (dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.

 

Dengan dirinya sendiri yang telah dijinakkan dengan baik seseorang dapat menyingkirkan kondisi manusia, namun dengan pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan tersebut.

 

Lebih baik dari pada gajah yang terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang (dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.

 

Dengan dirinya sendiri yang telah dijinakkan dengan baik seseorang akan pergi, setelah memotong belenggu-belenggu seseorang, namun dengan pendekatan-pendekatan yang lain tidak mungkin mencapai keadaan tersebut.

 

Ia yang ingin dijinakkan seperti seekor kuda yang baik seharusnya menjinakkan dirinya sendiri; dengan diri sendiri yang dijinakkan dengan baik, seseorang mencapai akhir penderitaan.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri: karena itulah hancurkan (jinakkan) diri sendiri seperti yang engkau lakukan pada seekor kuda yang baik.

 

Bab tentang Kuda, Yang Kesembilan Belas.

 

20. Krodhavarga (Kemarahan)

 

Ketika seseorang telah menyingkirkan kemarahan, membuang keegoisan, meninggalkan segala bentuk belenggu, tanpa kemelekatan pada batin dan jasmani, terbebas dari segala sesuatu, ia tidak dapat terjerumus ke dalam nafsu.

 

Menyingkirkan kemarahan yang muncul, menyingkirkan nafsu keinginan begitu ia muncul, orang yang tekun menyingkirkan segala ketidaktahuan, akan menemukan kebahagiaan dalam persepsi kebenaran.

 

Jika seseorang telah menyingkirkan kemarahannya, tidurnya menjadi tenang; jika seseorang telah menyingkirkan kemarahannya, ia tidak merasakan dukacita. Para Bhiksu, hancurkanlah kemarahan, yang adalah akar beracun; para Āryāḥ menyatakan bahwa mereka yang telah mengatasinya, tidak memiliki dukacita.

 

“Tidak ada yang lebih baik daripada mengendalikan kemarahan seseorang.” Ini adalah ucapan yang bagus, karena rasa sakit datang setelah kemarahan, seperti halnya ketika seseorang terbakar dengan api.

 

Ia yang tidak suci, tanpa kesopanan, yang mudah marah, yang tidak bisa menahan diri, ia yang ditundukkan oleh nafsu keinginan demikian, siapakah yang peduli kepadanya?

 

Ia yang hanya memiliki "kekuatan orang bodoh" memiliki suatu kekuatan (yang disebut) tidak ada kekuatan sama sekali. Tidaklah mungkin bahwa orang bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang Dharma dapat mencapai kesempurnaan.

 

Ia yang memiliki kekuatan, ia bersabar terhadap mereka yang lemah, maka Aku menyebutnya sebagai orang yang paling sabar, selalu tunduk pada pendapat orang yang lemah.

 

Ia yang, meskipun berkuasa atas orang lain, (namun) sabar terhadap orang yang lemah, Aku menyebutnya sebagai orang yang paling sabar, selalu tunduk pada pendapat orang yang lemah.

 

Ia yang, setelah dimarahi, tetap sabar walaupun ia kuat, Aku menyebutnya sebagai orang yang paling sabar, selalu tunduk pada pendapat orang yang lemah.

 

Ia yang, mengetahui bahwa musuhnya sedang marah, melindungi kedamaiannya sendiri, menjaga dirinya dan orang lain dari bahaya besar.

 

Ia yang, mengetahui bahwa musuhnya sedang marah, melindungi kedamaiannya sendiri, melakukan apa yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.

 

Ia yang berbuat demikian demi manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, mereka yang tidak mengetahui Dharma, akan menganggap enteng, “Ia adalah orang bodoh!”

 

Perkataan orang yang lebih tinggi adalah sabar karena takut akan (akibatnya); kesabaran yang menahankan makian dan provokasi, yang menahankan kata-kata yang menghina, adalah kesabaran yang terbaik, kata orang bijaksana.

 

Orang bodoh yang marah dan berpikir untuk menang dengan menggunakan bahasa kasar, selalu dikalahkan oleh orang yang sabar dalam perkataannya.

 

Mengucapkan kebenaran; janganlah menyerah pada kemarahan; berikanlah kepada orang yang meminta, meskipun hanya sedikit: dengan menjalankan ketiga (aturan perilaku) ini engkau akan pergi ke alam para dewa.

 

Ia yang dikuasai kemarahan tidak melihat apa yang baik bagi dirinya sendiri; jika engkau ingin membebaskan diri dari transmigrasi, janganlah mengucapkan kata-kata kemarahan.

 

Ia yang, setelah marah, lalu kembali marah lagi, adalah orang jahat; tetapi ia yang, setelah marah, tidak lagi kembali marah, telah memenangkan kemenangan besar.

 

Atasilah kemarahan dengan tidak marah; Atasilah kejahatan dengan kebaikan; Atasilah keserakahan dengan kedermawanan; Atasilah kebohongan dengan kebenaran.

 

Ia yang terkendali dan menjalani kehidupan yang benar, dengan apa ia dapat marah? Orang bijaksana, yang memiliki kebijaksanaan terbaik dan yang terbebaskan, tidak memiliki kemarahan.

 

Para Āryāḥ selalu bergaul dengan ia yang tanpa kemarahan, tanpa kejahatan; mereka yang jahat dan menyerah pada kemarahan (hidup sendirian), terbebani seperti halnya suatu gunung.

 

Ia yang menahan kemarahan yang muncul, seperti ia memandu suatu kereta di jalan, Aku menyebutnya sebagai kusir yang ulung; Orang-orang kasar hanya memegang kendali.

 

Bab tentang Kemarahan, Yang Kedua Puluh.

 

21. Tathāgatavarga (Tathāgata)

 

Di dunia ini Aku mengetahui segalanya, Aku telah menaklukkan segalanya, Aku terbebas dari segala kondisi (dharma), Aku telah melepaskan segalanya; setelah mengakhiri segala keinginan, terbebaskan sempurna, manifestasi kebijaksanaan, oleh siapakah Aku dapat diajarkan?

 

Akulah Sang Tathāgata, Guru Tertinggi; Akulah Yang Mahakuasa, Mahatahu, dan telah memperoleh kebijaksanaan sempurna (Bodhi), yang Aku realisasi sendiri; tiada bandingannya dan tiada tandingannya, oleh siapakah Aku dapat diajarkan?

 

Akulah Sang Arhat dunia; di dunia ini Aku tiada bandingannya; di antara para dewa dan manusia Aku (sendiri) telah menaklukkan pasukan Māra. Karena tidak ada seseorang seperti-Ku, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi guru-Ku; Di dunia ini dengan usaha sendiri Aku telah menemukan kebijaksanaan yang sempurna dan tak tertandingi (Samyaksambodhi).

 

Aku telah menemukan lenyapnya āsrava; seperti Aku, adalah (semua) Djina (penakluk), yang telah mengetahui hal ini. Aku telah mengatasi segala keadaan keburukan, oleh karena itu Aku adalah seorang Djina.

 

Karena Aku adalah Penakluk segala sesuatu yang seperti (keburukan), Akulah Yang Maha Bijaksana, Tercerahkan Sempurna, Yang telah Melampaui Wilayah Nafsu, Aku Yang telah Mencapai Nirvāṇa, maka Aku tidak dapat diajarkan oleh siapa pun di dunia.

 

Aku akan pergi ke Vāraṇasi untuk memukul Genderang Dharma bagi mereka yang sampai saat ini belum mengetahui apa pun tentangnya, untuk memutar Roda Dharma yang belum pernah diputar oleh siapa pun di dunia.

 

Para Tathāgata yang perkasa memberikan instruksi di sini melalui Dharma; mereka yang telah mempelajari Dharma, tidak ada seorang pun yang dapat memandang rendah mereka.

 

Baik para dewa maupun manusia bersenang terhadap orang yang tekun, yang giat bermeditasi, bersenang dalam kedamaian dari keamanan, yang telah mencapai akhir kehidupan jasmani, yang Tercerahkan Sempurna, mulia, dan yang dalam kenikmatan Kebijaksanaan (pradjnā).

 

Mereka yang adalah para Buddha di masa lampau, Buddha di masa depan, dan Sambuddha saat ini, benar-benar membebaskan (umat manusia) dari banyak dukacita. Untuk menghormati Dharma, bagi semua orang yang telah, sedang, dan akan terlahir, ini adalah Dharma Agung dari semua Sambuddha. Oleh karena itu, ia, yang di dunia ini peduli terhadap dirinya sendiri, dan yang ingin mencapai keagungan, biarlah ia mengingat perintah para Buddha dan menghormati Dharma.

 

Orang yang tidak memiliki keyakinan terhadap Ajaran Buddha adalah orang bodoh; pada akhirnya ia akan mengalami kesedihan, seperti halnya para pedagang dengan para Rākshasī (raksasa wanita).

 

Orang yang memiliki keyakinan terhadap Ajaran Buddha, dan yang bijaksana, akan mencapai kebahagiaan di alam lain, seperti para pedagang (yang dibawa) oleh “Kekuatan Awan”.

 

Melalui pemahaman sempurna akan kebahagiaan dan nilai keterasingan, dan dengan hidup sesuai dengan kedua hal ini, maka para Tathāgata Yang Tiada Taranya dan Tiada Bandingannya, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, menghalau kegelapan, menyeberang ke pantai lain, dan memperoleh kemuliaan (di antara para manusia).

 

Pikiran Mereka sepenuhnya kuat karena telah memperoleh apa yang harus diperoleh, terbebas sempurna, telah mengakhiri āsrava, sepenuhnya terbebaskan, penuh hasrat welas asih untuk menyelamatkan (umat manusia), tanpa kejahatan atau āsrava, Mereka menunjukkan kepada makhluk-makhluk di alam semesta apa yang bermanfaat bagi mereka.

 

Mereka yang berada di puncak sebuah gunung dapat melihat semua manusia; dengan cara yang sama mereka yang cerdas dan terbebas dari dukacita adalah mampu untuk melampaui surga para dewa; dan ketika mereka di sana telah melihat tunduknya manusia terhadap kelahiran dan kematian serta dukacita yang dengannya mereka menderita, mereka membuka pintu tanpa kematian. Biarlah mereka yang ingin mendengarkan membebaskan diri mereka sendiri dari segala ketidak-yakinan.

 

Bab tentang Tathāgata, Yang Kedua Puluh Satu.

 

22. Srutavarga (Pendengar)

 

Mendengarkan dengan penuh perhatian, hidup dengan benar, meninggalkan rumah demi kebahagiaan, bersedia meninggalkan segalanya, semua (kualitas) ini patut dipuji dalam seorang Śramana.

 

Orang bodoh, yang tidak mengetahui, bertindak seolah-olah ia abadi; orang bijaksana siang dan malam mempraktekkan Dharma suci.

 

Jika seseorang masuk ke dalam suatu rumah yang gelap gulita, walaupun ia mempunyai mata, ia tidak dapat melihat benda-benda yang ada (di dalamnya); demikian pula walaupun seseorang terlahir dengan baik dan mempunyai kecerdasan, jika ia tidak mendengarkan Dharma keburukan dan kebajikan, ia tidak dapat memiliki kebijaksanaan.

 

Bagaikan seseorang yang, mempunyai mata dan juga membawa sebuah pelita, dapat melihat segala benda, adalah ia yang telah mendengar Dharma keburukan dan kebajikan; ia akan mencapai kebijaksanaan terbaik.

 

Mereka yang mendengarkan memperoleh pengetahuan tentang Dharma; mereka yang mendengarkan berpaling dari keburukan; mereka yang mendengarkan meninggalkan semua pelaku kejahatan; mereka yang mendengarkan (akan) menemukan Nirvāṇa.

 

Jika seseorang telah banyak mendengar tetapi tidak menaati Dharma moralitas (Śīla), ia, karena meremehkan Dharma moralitas, bukanlah pendengar yang terbaik.

 

Jika seseorang hanya mendengar sedikit tetapi dengan berhati-hati menaati Dharma moralitas, ia, karena menjunjung Dharma moralitas, adalah pendengar yang terbaik.

 

Ia yang hanya mendengarkan sedikit dan ia yang tidak menaati Dharma moralitas, kedua hal ini, karena tidak menghormatinya, tidak mengarah pada kehidupan yang terbaik.

 

Ia yang telah mendengar dan ia yang dengan berhati-hati menaati Dharma moralitas, kedua hal ini, karena rasa hormatnya, mengarah pada kehidupan yang terbaik.

 

Mereka yang telah banyak mendengar dan memahami Dharma, yang bijaksana dan memiliki ketenangan, tidak seorang pun dapat menghina mereka, karena mereka bagaikan sebuah perhiasan emas Djambudvipa.

 

Ia yang menggambarkan-Ku dalam ucapannya, setelah menilai-Ku (hanya) dari penampilan luar (lit. jasmani), orang itu dikuasai oleh nafsu dan tidak mengetahui-Ku.

 

Jika seseorang memiliki suatu pengetahuan internal yang menyeluruh (kualitas-kualitas Sang Buddha), namun belum melihat (hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan pribadi-Ku), biarlah ia, setelah merealisasikan buah internal, berterus terang dalam bahasanya.

 

Jika seseorang telah melihat (hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan Sang Buddha), namun tidak memiliki suatu pengetahuan internal (kualitas-kualitas Ajaran-Ku), biarlah ia, setelah merealisasikan buah penampilan luar, berterus terang dalam bahasanya.

 

Jika seseorang tidak mempunyai pengetahuan tentang (kualitas-kualitas) internal, dan belum merealisasikan (hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan pribadi-Ku), seorang bodoh yang berada dalam kegelapan total, biarlah ia berterus terang dalam bahasanya.

 

Jika seseorang mempunyai pengetahuan internal (kualitas-kualitas) yang menyeluruh, dan telah melihat (hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan), seorang bijaksana yang mengetahui jalan menuju keamanan, biarlah ia berterus terang dalam bahasanya.

 

Walaupun telinga (telah) banyak mendengar dan mata (telah) melihat banyak hal, semua orang yang mendengar dan melihat Dharma, tidak memiliki keyakinan.

 

Walaupun seseorang telah mencerna kata-kata yang diucapkan dengan baik di dalam batin, dan telah memperoleh intisari dari meditasi, jika perilakunya rusak pendengarannya dan pemahamannya tidak akan berguna baginya.

 

Mereka yang bersenang dalam Dharma yang diajarkan oleh para Ārya, yang mengikutinya dalam jasmani dan ucapan, yang bersenang dalam pergaulan dengan mereka yang sabar, yang mengendalikan indera mereka, mereka akan memperoleh hasil pendengaran dan pemahaman.

 

Bab tentang Pendengar, Yang Kedua Puluh Dua.

 

23. Ātmavarga (Diri)

 

Pelajarilah apa yang telah dijelaskan dengan baik, bergaullah hanya dengan para Śramana, (hiduplah) dalam keterasingan dan hanya dengan satu tikar, dan pikiranmu akan tenang.

 

Ia yang hanya mempunyai satu tikar, satu tempat peristirahatan (bumi?), yang tanpa kemalasan, yang berdiam sendirian di dalam suatu hutan, ia akan belajar untuk mengendalikan dirinya sendiri.

 

Ia yang menaklukkan seribu kali pertempuran dengan seribu orang di dalam pertempuran, seorang penakluk yang lebih hebat darinya adalah ia yang menaklukkan dirinya sendiri.

 

Ia yang dengan mengendalikan secara terus-menerus telah menaklukkan dirinya sendiri, dengan satu penaklukan ini, ia memperoleh kemenangan yang begitu besar sehingga seluruh manusia tidak dapat menambah kemenangannya.

 

Bhiksu yang telah menaklukkan melalui pengetahuan, Māra dan Brahmā tidak dapat mengalahkannya, begitu pula suatu Deva atau suatu Gandharva.

 

Jika seseorang sebelumnya telah melakukan apa yang benar, setelahnya ia dapat mendisiplin orang lain untuk menjadi seperti dirinya; Jika seseorang sebelumnya telah melakukan apa yang benar, setelahnya orang bijaksana dan orang-orang yang didisiplinkannya akan terbebas dari penderitaan.

 

Jika seseorang menjadikan orang lain seperti ia menjadikan dirinya sendiri, kemudian, dengan ditundukkan dan tenang, ia dapat mendidik orang lain untuk berbahagia.

 

Jika seseorang menjadikan orang lain seperti ia menjadikan dirinya sendiri, ah! Biarlah dirimu ditundukkan dengan baik, karena adalah sulit untuk menundukkan diri sendiri.

 

Seseorang harus meninggalkan apa yang bermanfaat bagi orang banyak demi kebaikannya sendiri; ketika seseorang telah menemukan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri, biarlah ia menjadikan kesejahteraannya sendiri sebagai perhatian utamanya.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan keuntungan besar.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan Dharma.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan apa yang mulia.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan kebahagiaan.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan cara mencapai kebahagiaan tertinggi.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan kebahagiaan untuk waktu yang lama di (alam) surga.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah menguasai dirinya sendiri adalah mercusuar bagi kerabatnya.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai dirinya sendiri tidak akan menemukan kesakitan di tengah dukacita.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai dirinya sendiri memotong semua belenggu.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai dirinya sendiri membuang semua kelahiran jahat.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai dirinya sendiri menemukan seorang penyokong dalam dirinya.

 

Diri sendiri adalah penguasa dari diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai dirinya sendiri mendekati Nirvāṇa itu sendiri (atau pada kehancuran dukacita yang sesungguhnya).

 

Bab tentang Diri, Yang Kedua Puluh Tiga.

 

24. Peyālavarga (Perbandingan)

 

Adalah lebih baik mengucapkan satu kata yang bermakna, yang mendekatkan seseorang pada kedamaian, daripada melafalkan seratus gāthā yang tidak bermakna.

 

Adalah lebih baik mengucapkan satu kata yang adalah Dharma, yang mendekatkan seseorang pada kedamaian, daripada melafalkan seratus gāthā yang adalah bukan Dharma.

 

Ia yang hidup seratus tahun dengan melanggar semua Śīla-nya, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang menaati semua Śīla-nya.

 

Ia yang hidup seratus tahun dalam kemalasan dan kelambanan, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang berusaha dengan tekun untuk menerapkannya.

 

Ia yang hidup seratus tahun, pikirannya tanpa target atau tujuan, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang bijaksana dan sangat tenang.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan kelahiran dan kehancuran, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan kelahiran dan kehancuran.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan akhir dari perasaan (vedanā), kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan akhir dari perasaan.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan akhir dari kekotoran (āsrava), kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan akhir dari kekotoran.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan kondisi yang tidak berubah, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan kondisi yang tidak berubah (Nirvāṇa).

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa mengetahui pengetahuan ideal yang sulit (dicapai), kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang mengetahui pengetahuan ideal yang sulit (dicapai).

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan apa yang paling mulia, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan apa yang paling mulia.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan kesempurnaan (Dharma) yang suci, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan kesempurnaan (Dharma) yang suci, (yaitu Nirvāṇa).

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan penghentian kematian dengan sempurna, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan penghentian kematian dengan sempurna.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan amrita (tanpa kematian) yang paling sempurna, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan amrita (tanpa kematian) yang paling sempurna.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan tanpa keinginan yang sempurna, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan tanpa keinginan yang sempurna.

 

Ia yang hidup seratus tahun tanpa merealisasikan ketiadaan nafsu dengan sempurna, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan ketiadaan nafsu (raga) dengan sempurna.

 

Jika seseorang hidup selama seratus tahun di dalam suatu hutan, sepenuhnya bergantung pada api (Agni), dan jika ia hanya satu kali memberi penghormatan kepada seseorang yang bermeditasi pada diri sendiri, (maka) penghormatan ini lebih besar daripada pengorbanan selama seratus tahun.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Sang Buddha.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Dharma suci.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada monastik (Sangha).

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang hidup.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang memiliki kehidupan.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada para makhluk (bhuta).

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berusaha menunjukkan kebajikan.

 

Ia yang dari bulan ke bulan memakan makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang menjelaskan dengan baik Dharma suci.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Sang Buddha.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Dharma suci.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada monastik (Sangha).

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang hidup.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang memiliki kehidupan.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada para makhluk (bhuta).

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang berusaha menunjukkan kebajikan.

 

Ia yang selama seratus tahun membuat seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas bagian dari ia yang menjelaskan dengan baik Dharma suci.

 

Tidak peduli pengorbanan apa pun yang dapat seseorang lakukan di dunia ini untuk memperoleh jasa kebajikan, tidak sebanding dengan seperempat dari memberikan penghormatan kepada seseorang yang telah memiliki pikiran yang tenang dan lurus.

 

Bab tentang Perbandingan, Yang Kedua Puluh Empat.

                                              

Buku Ketiga

 

25. Mitravarga (Persahabatan)

 

Orang bijaksana sepatutnya tidak mengenal ia yang tidak berkeyakinan, yang tamak, yang membesarkan perselisihan, dan yang memfitnah; ia sepatutnya tidak bergaul dengan orang jahat.

 

Orang bijaksana sepatutnya berteman dengan orang-orang yang berkeyakinan, yang ucapan(nya) menyenangkan, yang memperhatikan, bermoral, dan bijaksana; ia sepatutnya bergaul dengan orang-orang terbaik.

 

Janganlah berteman dengan orang-orang yang buruk, janganlah tinggal bersama orang jahat; jagalah teman yang bermoral, tetaplah bersama teman-teman yang baik. Jika seseorang bergaul dengan orang-orang demikian, ia tidak menjadi buruk, tetapi (menjadi orang yang) baik.

 

Bergaullah dengan mereka yang telah banyak mendengar, banyak mengingat, yang merefleksikan, yang memiliki keyakinan dan kebijaksanaan; jika seseorang mendengarkan kata-kata yang menyenangkan (dari orang-orang ini), ia akan mencapai apa yang melampaui segalanya.

 

Ia yang bergaul dengan apa yang rendah, ia tercemar oleh keburukan (mereka); ia yang bergaul dengan apa yang sepenuhnya terjatuh akan tersungkur ke bumi; bergaul dengan apa yang terbaik akan membawa seseorang kepada kebaikan. Tetaplah pada mereka yang akan mengangkatmu menuju kesempurnaan.

 

Jika seseorang bergaul dengan mereka, orang-orang terbaik yang bermoral, tanpa keinginan, yang mempunyai pengetahuan terbaik, walaupun ia baik, ia akan mencapai keunggulan yang lebih besar lagi.

 

Ia yang bergaul dengan orang buruk adalah seperti halnya rumput kuśa manis yang dengannya seseorang membungkus ikan yang busuk; rumput kuśa juga menjadi busuk.

 

Ia yang bergaul dengan orang-orang yang bermoral seperti halnya daun palāśa yang dengannya seseorang membungkus dupa (tagara); daunnya juga menjadi harum.

 

Jika mereka yang tidak jahat bergaul dengan orang jahat, di sana timbullah kecenderungan untuk berbuat jahat, yang akan berkembang menjadi perbuatan jahat secara terbuka: dengan bergaul bersama mereka yang dengannya seseorang tidak boleh bergaul, seseorang menjadi buruk karena keburukannya.

 

Seperti halnya anak panah yang dicelupkan ke dalam racun, bahkan di mana racun tidak bersentuhan dengan panah tersebut, panah itu tetap beracun, demikian pula mereka yang terlingkupi oleh keburukan, yang adalah sumber teror: janganlah berteman dengan teman yang jahat.

 

Seperti halnya dengan pergaulan seseorang, seperti itulah apa yang dipegang erat oleh seseorang, demikianlah (kepribadian) seseorang akan terbentuk dalam waktu dekat: maka, periksalah dengan baik, dengan siapakah engkau bergaul, seperti halnya engkau memeriksa sekeranjang buah-buahan.

 

Tidak bergaul dengan yang tidak baik, orang bijaksana bergaul dengan orang yang baik; dengan mengikuti jalan ini, seorang Bhiksu akan menemukan akhir dari dukacita.

 

Jika orang bodoh seumur hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, ia tidak akan memahami Dharma seperti halnya sendok (merasakan) rasa sup.

 

Jika orang cerdas bergaul selama sesaat dengan orang bijaksana, ia akan memahami Dharma seperti halnya lidah merasakan rasa sup.

 

Jika orang bodoh seumur hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, karena ia tidak mempunyai mata (kebijaksanaan), ia tidak akan memahami Dharma.

 

Jika orang cerdas bergaul selama sesaat dengan orang bijaksana, ia, memiliki mata (kebijaksanaan), akan memahami Dharma.

 

Jika orang bodoh seumur hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, ia tidak akan memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha Yang Sempurna.

 

Jika orang cerdas bergaul selama sesaat dengan orang bijaksana, ia akan memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha Yang Sempurna.

 

Sebuah kata yang bermakna sudah cukup bagi ia yang bijaksana; seluruh ajaran Buddha tidak akan cukup bagi orang bodoh.

 

Ia yang cerdas, dengan satu kata ia akan mengetahui seratus; orang bodoh dengan seribu kata tidak akan tahu satu katapun.

 

Orang bijaksana tidak mempedulikan orang bodoh, ia tidak berteman dengan orang bodoh; karena ia yang senang terhadap kumpulan orang bodoh akan jatuh menuju ke neraka.

 

Jika orang bodoh berkata, “Aku orang bodoh,” ia bijaksana dalam pengetahuan itu; tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya orang bijaksana, ia disebut (memang) “orang bodoh”.

 

Ketika orang bodoh memuji dan ketika orang bijaksana mencela; celaan orang bijak adalah adil, tetapi pujian orang bodoh adalah tidak sesuai.

 

Ia yang bergaul dengan orang bodoh berada dalam dukacita, seolah-olah ia bersama seorang musuh; seseorang tidak seharusnya bergaul dengan orang bodoh, juga tidak seharusnya mendengarkan atau melihat mereka; bergaul dengan orang yang tekun adalah kebahagiaan, seperti bertemu kembali dengan sanak keluarga.

 

Karena itulah, seperti halnya bulan tetap berada di jalur rasi bintang, demikian pula tetaplah (hanya) bersama mereka yang tekun, terpelajar, yang mengetahui apa yang terbaik, bermoral, dengan perilaku para Ārya, unggul, baik, dan cerdas.

 

Bab tentang Persahabatan, Yang Kedua Puluh Lima.

 

26. Nirvāṇavarga (Nirvāṇa)

 

Bhiksu yang mengkonsentrasikan di dalam dirinya seluruh indriya pikirannya seperti kura-kura yang menarik tubuhnya ke dalam tempurungnya, tidak melekat pada apa pun, tidak melukai siapa pun, tidak melakukan apa pun untuk menghalangi (pencapaian) Nirvāṇa.

 

Kesabaran adalah pertapaan terbesar; kesabaran(?), sabda Sang Buddha, adalah Nirvāṇa yang terbesar: ia yang menjadi Śramana dan melukai orang lain, yang menyakiti orang lain, bukanlah seorang Śramana (lit. orang yang mempraktikkan kebajikan).

 

Janganlah memakai kata-kata kasar, seperti halnya seseorang diucapkan dengan demikian, ia juga akan menjawab demikian; kata-kata pertikaian menimbulkan dukacita, mereka menerima hukumannya.

 

Ia yang mengeluarkan (kata-kata yang terdengar jahat) seperti sebuah vas perunggu yang dipukul, akan menderita untuk waktu yang lama, mengembara dari kelahiran hingga usia tua.

 

Ia yang tidak mengeluarkan (kata-kata yang terdengar jahat) seperti sebuah vas perunggu yang tidak dipukul, tidak menimbulkan pertikaian, ia akan menemukan Nirvāṇa.

 

Tanpa penyakit adalah kepemilikan terbaik, berpuas hati adalah kekayaan terbaik, seorang sahabat sejati adalah sahabat terbaik, Nirvāṇa adalah kebahagiaan terbesar.

 

Segala sesuatu yang berkondisi (sanskāra) adalah kesakitan terbesar, kelaparan adalah penyakit yang terburuk; jika seseorang telah menemukan hal ini, ia telah menemukan Nirvāṇa yang tertinggi.

 

Biarlah seseorang mempertimbangkan jalan untuk mencapai kebahagiaan dan jalan menuju kematian, dan ketika ia telah membentuk gagasan tentang keburukan, tidak lama lagi ia akan mencapai Nirvāṇa.

 

Jalan untuk mencapai kebahagiaan berasal dari suatu sebab; jalan menuju kematian mempunyai penyebabnya; jalan menuju Nirvāṇa mempunyai penyebabnya; mereka semua punya suatu sebab.

 

Rusa kebanyakan pergi ke hutan, burung terbang ke udara; ia yang membaktikan dirinya pada Dharma akan menuju Nirvāṇa para Arhat.

 

Ia yang berjuang namun lemah, yang memiliki sedikit kecerdasan dan tanpa pembelajaran, tidak akan menemukan Nirvāṇa, yaitu hancurnya segala ikatan.

 

Nahkoda kapal ini membuat (kapal ini) ringan; sehingga jika engkau membuang kebencian dan nafsu, engkau akan mencapai Nirvāṇa.

 

Jika apa yang sebelumnya telah dilahirkan menjadi tidak dilahirkan, maka akan mengkondisikan (elemen) apa yang tidak dilahirkan; apa yang tidak dilahirkan (elemen) tidak mengkondisikan (sesuatu yang berkondisi), maka pengkondisian itu sendiri akan berakhir.

 

Ia yang melihat apa yang sulit dilihat (penderitaan), dan yang tidak memperhatikan kebahagiaan yang tidak menentu, yang memahami kebenaran dan mempunyai pengetahuan, yang melihat ketiadaan nafsu keinginan (trichnā) dan kebahagiaan (duniawi), maka ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.

 

Setelah membuang nafsu keinginan (trichnā), setelah membuang keserakahan, (aku) bagaikan suatu danau kering yang tidak mengalir lagi; ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.

 

Ia yang perasaannya (vedana) telah menjadi dingin, yang persepsinya (sandjā) ditekan, yang kondisinya (sanskāra) dipadamkan, yang kesadarannya (viññaṇa) telah lenyap; ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.

 

Ia yang telah merealisasikan apa yang seharusnya dilihat, yang telah mendengar apa yang seharusnya didengar, yang telah memahami apa yang seharusnya dipahami, yang mengetahui dengan sempurna apa yang seharusnya diketahui dengan sempurna; ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan: ia yang hanya merindukan hal yang seharusnya dirindukan (yaitu, pemadaman), ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.

 

Ia yang tidak bersenang dalam apa yang berwujud, yang damai, yang membuang segala nafsu; ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.

 

Dari sebabnya (ketidaktahuan) timbul perbuatan (keburukan); dari perbuatan itu timbul ikatan (pada akibat-akibatnya); dari ikatan timbullah apa yang tidak dihapuskan (transmigrasi); dari apa yang tidak dihapuskan muncullah datang dan pergi; dari datang dan pergi muncullah penderitaan dari kematian lagi; dari mengalami penderitaan akibat kematian lagi maka muncullah kelahiran lagi, dan usia tua, penyakit, kematian, kesedihan, dukacita, penderitaan, ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan terbentuk; dan dengan cara ini seseorang mendatangkan banyak penderitaan pada dirinya sendiri.

 

Karena tanpa sebabnya (ketidaktahuan) tidak timbul perbuatan (keburukan); tidak timbul ikatan (pada akibat-akibatnya); tidak ada ikatan; tidak ada ikatan, tidak timbul apa yang tidak dihapuskan; tidak timbul apa yang tidak dihapuskan, tidak ada datang dan pergi; tidak ada datang dan pergi, tidak ada penderitaan dari kematian lagi; tidak mengalami penderitaan akibat kematian lagi, tidak ada kelahiran lagi, dan usia tua, penyakit, kematian, kesedihan, dukacita, penderitaan, ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan terhenti; dan dengan cara ini seseorang mengakhiri banyak penderitaan.

 

Para Bhiksu, (apa) yang tidak terbentuk, yang tak terlihat, yang tak terwujud, elemen, yang tak berkondisi, adalah ada (seperti halnya) yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang dapat dibayangkan, yang tersusun, yang berkondisi; dan ada hubungan yang tidak terputus di antara keduanya.

 

Para Bhiksu, jika yang tidak terbentuk, yang tak terlihat, yang tak terwujud, elemen, yang tak berkondisi adalah tidak ada, maka Aku tidak mengatakan bahwa hasil dari hubungan dari sebab ke akibat dengan yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang tersusun, yang dapat dibayangkan, adalah kebebasan akhir.

 

Para Bhiksu, adalah karena adanya yang tidak terbentuk, yang tak terlihat, elemen, yang tak berkondisi maka Aku mengatakan bahwa hasil dari hubungan dari sebab ke akibat dengan yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang tersusun, yang dapat dibayangkan, adalah kebebasan akhir.

 

Ketidakkekalan dari apa yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang terkondisi, yang dapat dibayangkan, yang adalah siksaan berat karena tunduk pada usia tua, kematian, dan ketidaktahuan, yang timbul dari penyebab makanan; (semua ini) dihancurkan, dan tidak ada kesenangan di dalamnya; inilah ciri penting dari kebebasan akhir. Maka tidak akan ada keraguan dan gangguan; segala sumber penderitaan akan dihentikan, dan seseorang akan memperoleh kebahagiaan dari penenangan sanskāra (bentukan).

 

Para Bhiksu, hal itu (Nirvāṇa) bukanlah di tanah, atau di air, api, atau angin.

 

Hal itu (Nirvāṇa) bukanlah di dalam suatu keadaan spiritual (āyatana) dalam ruang tanpa batas, tidak juga dalam keadaan spiritual dengan kesadaran tanpa batas, tidak juga dalam keadaan spiritual di wilayah kekosongan, tidak juga dalam keadaan spiritual di wilayah bukan persepsi (dan) bukan tiada (persepsi); hal itu tidak ada di dunia ini atau di dunia lain; hal itu tidak ada di matahari atau bulan: (Gagasan-gagasan) ini, Aku nyatakan, bukanlah persepsi yang benar (tentangnya).

 

Para Bhiksu, seperti yang Aku nyatakan, hal itu tidak ada dengan datang dan pergi, hal itu bukanlah kemenjadian; karena Aku tidak mengatakan bahwa ia ada di mana terdapat kematian, hal itu tidak dilahirkan: maka inilah akhir dari penderitaan.

 

Hal itu (Nirvāṇa) tidak ada baik di tanah, air, api, atau angin; di dalamnya warna putih (dan warna-warna lainnya) tidak terlihat; bahkan tidak ada kegelapan di dalamnya; di dalamnya bulan tidak bersinar, dan juga matahari tidak memancarkan sinarnya.

 

Ia yang adalah seorang Muni dan seorang Brāhmana, dan yang adalah bijaksana, terbebas dari materi (rūpa) dan tanpa materi (arūpa), dan dari segala jenis penderitaan.

 

Ia yang telah mencapai akhir dan tanpa ketakutan, adalah tanpa kesombongan tanpa keburukan; setelah meninggalkan penderitaan dari kelahiran, ia memiliki suatu tubuh untuk yang terakhir kalinya.

 

Inilah puncak (kebahagiaan) dari ia yang telah mencapai akhir, kedamaian yang terbaik dan tak tertandingi (amatam padam), hancurnya segala karakteristik, kesempurnaan kesucian yang terbaik, kemusnahan kematian.

 

Sang Muni telah menyingkirkan sanskāra (hal-hal) pengkondisian (dan juga) yang disukai dan tidak disukai, dengan bersenang dalam ketenangan sempurna, ia telah memecahkan cangkang telur pengkondisian dan keluar (dari dunia).

 

Pemberian yang terbesar adalah pemberian Dharma; kesenangan terbesar adalah kesenangan pada Dharma; kekuatan terbesar adalah kekuatan kesabaran; kebahagiaan terbesar adalah hancurnya nafsu keinginan (trichnā).

 

Bab tentang Nirvāṇa, Yang Kedua Puluh Enam.

 

27. Paśyavarga (Penglihatan)

 

Adalah lebih mudah untuk melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri; kesalahan orang lain adalah mudah terlihat, karena kesalahan orang lain terayak seperti sekam, tetapi kesalahan diri sendiri sulit terlihat. Seperti halnya penipu yang memperlihatkan dadu (lawannya) dan menyembunyikan dadu miliknya, menarik perhatian pada kekurangan-kekurangan lawannya, dan terus-menerus berpikir untuk menuduhnya; ia jauh dari melihat apa yang benar (Dharma), dan semakin meningkatkan ketidak-bahagiaannya.

 

Hidup itu mudah bagi seseorang yang kurang ajar, pencuri, suka membual, dengan (naluri?) kotor seperti seekor gagak, yang menjalani kehidupan penuh keburukan dan tata krama.

 

Hidup itu sulit bagi seseorang yang selalu mencari apa yang murni, yang tidak mementingkan diri sendiri, tenang, suci, dan bermoral.

 

Dunia ini berada dalam kegelapan; hanya sedikit yang memiliki wawasan spiritual, dan yang, seperti burung yang lolos dari jaring, pergi menikmati surga.

 

Orang bodoh yang terikat dalam belenggu oleh tubuhnya terbungkus dalam kegelapan; mereka yang mendambakan benda-benda duniawi menganggap segala hal lain dengan cara (buruk) yang sama.

 

Beberapa berpendapat bahwa makhluk hidup adalah penciptanya sendiri, beberapa berpendapat bahwa makhluk lain (Isvara, dll.) yang menciptakan mereka; mereka yang menganggap apa yang bukan kebenaran sebagai kebenaran tidak dapat melihat apa pun; tidak melihat bahwa mereka bahkan tidak sepakat dalam hal itu, mereka tidak dapat merasakan dukacita.

 

Tidak terpikirkan oleh makhluk-makhluk yang mencari kesenangan indera bahwa dukacita yang mereka miliki sampai mereka melihat (mengalaminya sendiri) adalah akibat mereka sendiri; mereka tidak mengerti bahwa perbuatan serupa lainnya akan mendatangkan (dukacita yang juga menyertai perbuatan tersebut).

 

Makhluk-makhluk yang egois, gemar mementingkan diri sendiri, terikat dalam belenggu egoisme, yang menganut pendapat-pendapat kontroversial, tidak akan terlepas dari lingkaran transmigrasi.

 

Ketahuilah bahwa (kelahiran) yang pernah dialami seseorang, dan mereka yang akan mengalaminya, semua itu terbungkus dalam nafsu ragawi (rāga); mereka rentan terhadap pembusukan.

 

Terdapat mereka yang mempraktekkan moralitas, Śīla, perilaku baik, menjalani kehidupan suci (Brahmachariya), dan terdapat (mereka) yang ekstrim yaitu mengabdikan diri pada pertapaan.

 

Dan terdapat ekstrem lain yang mengatakan: “Nafsu keinginan itu adalah murni; walaupun seseorang memiliki nafsu keinginan, ia berrmoral; nafsu keinginan harus dituruti; nafsu keinginan tidak mengandung keburukan.” Orang-orang ini tertelan oleh nafsu keinginan mereka. (Pengikut) kedua (teori) ekstrim ini, yang sebagian besar mengunjungi tempat pemakaman, disebut “mereka yang sering mengunjungi tempat pemakaman” (sosāniko).

 

Tak satupun dari ekstrem ini yang melihat (penyebab penderitaan), sehingga sebagian dari mereka dipenuhi nafsu keinginan, dan sebagian lagi berlarian dengan liar; mereka yang dapat melihat, merasakan betapa diri mereka penuh dengan nafsu keinginan, dan bagaimana mereka berlarian.

 

Mereka yang dapat melihat, merasakan bahwa jika kedua ekstrem ini tidak dapat melihat, mereka akan melepaskan nafsu keinginan dan berhenti berlari (mengejarnya); maka mereka tidak mempunyai nafsu keinginan dan tidak berlari (mengejarnya). Karena mereka tidak melakukan demikian, karena mereka tidak berpikir demikian (yaitu, sebagai dua ekstrem), karena mereka tidak menganut cara ini, maka mereka telah menemukan akhir dari penderitaan.

 

Ia yang melihat dunia seperti sebuah gelembung, yang menganggapnya sebagai sebuah fatamorgana, raja kematian tidak akan melihatnya.

 

Ia yang melihat tubuh seperti sebuah gelembung, yang menganggapnya sebagai sebuah fatamorgana, raja kematian tidak akan melihatnya.

 

Lihatlah selalu tubuh ini seperti melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh bersenang didalamnya, orang bijaksana tidak menyukainya.

 

Lihatlah selalu tubuh ini seperti melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh tertipu olehnya, orang bijaksana tidak tertipu olehnya.

 

Lihatlah selalu tubuh ini seperti melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh direndahkan melaluinya, seperti seekor gajah tua yang tenggelam di dalam lumpur.

 

Lihatlah selalu tubuh ini sebagai sakit dan mudah membusuk, sebagai orang yang terluka, sebagai berubah dan tidak kekal.

 

Lihatlah tubuh ini, yang dihiasi dengan permata, gelang, dan anting-anting, sebagai sakit dan mudah membusuk, tergantung dan tidak kekal.

 

Orang bodoh dalam kebodohannya menghiasi rambut ikalnya, mewarnai matanya dengan pewarna mata, dan tidak mencari dunia lain.

 

Orang bodoh dalam kebodohannya mewarnai (tubuhnya) dengan berbagai warna, menutupi tubuh yang rusak ini dengan permata, dan tidak mencari dunia lain.

 

Orang bodoh dalam kebodohannya meminyaki tubuh ini dengan parfum, menggosok kakinya dengan Gerika, dan tidak mencari dunia lain.

 

Ia yang sepenuhnya mengabdi kepada nafsu keinginan, dan tidak melihat keburukan pada pengabdiannya, tidaklah mampu melalui pengabdiannya pada nafsu keinginan untuk menyeberangi arus yang luas dan abadi.

 

Ia yang memulai dengan membuang nafsu-nafsu keinginan utama, dan pada akhirnya seluruhnya, yang tidak melihat kepada 'aku' atau kepada 'milikku', menyeberangi arus yang sampai saat itu tidak dapat diseberangi, dan mengakhirinya melalui penjelmaan (terakhirnya?).

 

Ia yang telah membebaskan dirinya dari hutan, dengan berada di luar hutan, berlari (kembali) ke hutan, walaupun ia telah membebaskan dirinya dari hutan; lihatlah orang yang menyedihkan itu, yang meninggalkan kebebasannya demi belenggu!

 

Lihatlah makhluk tanpa keburukan itu, menyenangkan (untuk dilihat) setiap anggota tubuhnya, dengan kereta yang dibuat dengan baik (hingga) jerujinya, (lihatlah ia) mengenakan jubah putih, dan bebaskanlah dirimu dari arus belenggu.

 

Kebanyakan manusia, didorong oleh ketakutan, mencari perlindungan di gunung, hutan, hutan kecil, tempat pengorbanan, dan di pohon-pohon besar.

 

Ini semua bukanlah tempat perlindungan yang terbaik, ini semua bukanlah tempat perlindungan yang utama, karena seseorang yang pergi ke sana untuk pelepasan tidak akan terbebas dari segala penderitaan.

 

Ia yang berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, (ia yang melihat) penderitaan (dengan pandangan benar), munculnya penderitaan, hancurnya penderitaan:

 

Ia yang melihat dengan pandangan benar kebahagiaan, Sang Jalan menuju Nirvāṇa, Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Empat Kebenaran Mulia:

 

Inilah perlindungan yang utama, inilah perlindungan yang suci; ia yang pergi ke perlindungan ini, terbebas dari segala penderitaan.

 

Ia yang melihat (secara batin) apa yang ia lihat, juga dapat melihat apa yang tidak terlihat dengan penglihatannya; ia yang tidak melihat apa yang tidak terlihat, tidak melihat apa yang seharusnya ia lihat; penglihatan biasa dan pandangan terang spiritual (vipassanā) pada dasarnya berbeda seperti halnya siang dan malam, yang tidak pernah terjadi pada waktu yang sama.

 

Dengan penglihatan biasa seseorang tidak dapat melihat (penderitaan, dan sebagainya); jika seseorang melihat, ia kehilangan penglihatan terhadap bentuk (rūpa); dengan penglihatan ini (yaitu, vipassanā) seseorang tidak melihat bentuk; dengan penglihatan biasa seseorang tidak melihat apa pun.

 

Ia yang tidak melihat apa pun, (hanya) melihat bentuk; ia yang melihat tidak melihat bentuk; demikianlah mereka yang tidak melihat bentuk telah membebaskan diri mereka sendiri dari penglihatan biasa (yaitu, telah memperoleh vipassanā).

 

Ketika seseorang tidak melihat penderitaan, maka ia hanya mempertimbangkan 'diri' (yaitu, ia memiliki penglihatan biasa); namun ketika seseorang membedakan penderitaan, maka ia tidak melihat bentuk.

 

Ia yang berada di tengah-tengah kegelapan tumimbal lahir yang berulang tidak melihat penderitaan sanskāra (bentukan), akibatnya ia hanya memiliki penglihatan biasa, dan tidak melihat cara mengakhiri bentuk.

 

Bab tentang Penglihatan, Yang Kedua Puluh Tujuh.

 

28. Pāpavarga (Keburukan)

 

Menghindari pelaksanaan segala perbuatan jahat, mempraktekkan kebajikan yang terbaik, sepenuhnya menjinakkan pikiranmu; inilah Ajaran Sang Buddha.

 

Dengan kedermawanan jasa kebajikan seseorang meningkat, dengan terkendali baik seseorang tidak mempunyai musuh: orang yang bermoral, setelah membuang keburukan, mengakhiri kekotoran (kleśa) dan memperoleh Nirvāṇa.

 

Jika orang bijaksana bercampur dengan orang bodoh dan hidup di tengah-tengah mereka, ia tetap terpisah; Seperti halnya seseorang secara alami meminum susu dibandingkan (meminum) air, demikian pula orang bijaksana menyingkirkan para pelaku kejahatan.

 

Melihat segala kejahatan di dunia, setelah melihat cara untuk mengakhirinya, seorang Ārya tidak bersenang dalam keburukan; orang jahat tidak dapat menyenangkan orang bermoral.

 

Ia (seorang Ārya) mengetahui manisnya kedamaian yang sempurna, manisnya keterasingan; bebas dari penyakit, tanpa keburukan, ia meminum manisnya bersenang dalam Dharma.

 

Pikirannya telah melenyapkan kekotoran (āsrava), dan tidak terbelenggu oleh belenggu, telah menyingkirkan kebajikan dan keburukan, maka ia (seorang Ārya) tidak takut akan jalan yang jahat.

 

Setelah meninggalkan rumah, berucap baik, mengajarkan apa yang buruk, orang bijaksana menceritakan apa yang mengakhiri (kehidupan); dengan orang sepertinya orang-orang seharusnya bergaul. Jika seseorang bergaul dengan orang sepertinya, ia tidak menjadi jahat namun bermoral.

 

Ia yang tenang dan tanpa nafsu, berucap dengan kesopanan dan tidak sombong, ia merobek segala kejahatan seperti halnya angin pada dedaunan suatu pohon.

 

Orang bodoh yang marah terhadap seseorang yang suci dan tidak jahat, yang tidak memiliki kebencian, maka kejahatannya akan kembali kepadanya seperti debu yang dilemparkan melawan arah angin.

 

Melalui perbuatan bajik seseorang menjadi bermoral, melalui perbuatan jahat seseorang menjadi jahat; seseorang akan melihat (dengan) dirinya sendiri (akibat) dari perbuatan yang berulang kali dilakukannya.

 

Jika kejahatan telah dilakukan oleh diri sendiri, maka dirinyalah yang menanggung seluruh penderitaan: jika kejahatan telah ditinggalkan oleh dirinya sendiri, maka dirinya menjadi murni: seseorang tidak dapat membersihkan orang lain; kemurnian dan kekotoran adalah (akibat) perbuatannya sendiri.

 

Keburukan-keburukan yang dilakukan seseorang akan terkumpul hingga keburukan itu menghancurkan orang bodoh, seperti suatu berlian yang menembus suatu batu permata.

 

Seperti halnya pengembara yang dapat melihat (menghindari) mara bahaya, demikian pula orang bijaksana menghindari keburukan-keburukan dari kehidupan di dunia.

 

 

Seperti halnya pedagang yang mempunyai banyak harta dan sedikit teman menghindari jalan-jalan yang berbahaya, seperti halnya ia yang mencintai kehidupan menghindari racun, maka biarlah orang bijaksana menghindari keburukan.

 

Ia yang tidak memiliki luka di tangannya dapat mengambil racun di tangannya, karena racun tidak akan berdampak pada ia yang tidak memiliki luka; demikian pula tidak ada keburukan bagi ia yang tidak berbuat keburukan.

 

Perbuatan yang merugikan diri sendiri dan perbuatan yang salah adalah mudah untuk dilakukan; perbuatan yang bermanfaat dan membawa kebahagiaan, perbuatan itu sulit untuk dilakukan.

 

Adalah mudah bagi orang bajik untuk berbuat bajik, adalah sulit bagi orang bajik untuk berbuat jahat; adalah mudah bagi orang jahat untuk berbuat jahat, adalah sulit bagi seorang Ārya untuk berbuat jahat.

 

Selama suatu perbuatan jahat belum matang, orang bodoh berpikir bahwa perbuatan jahat itu manis; ketika suatu perbuatan jahat telah matang, maka ia melihat bahwa perbuatan jahat itu membara.

 

Selama suatu perbuatan jahat belum matang, seseorang berpikir bahwa perbuatan itu benar; ketika suatu perbuatan jahat telah matang, maka seseorang melihat bahwa perbuatan itu jahat.

 

Selama suatu perbuatan bajik belum matang, kebaikan tampak seperti kejahatan; ketika suatu perbuatan bajik telah matang, maka seseorang melihat bahwa perbuatan itu bajik.

 

Ia yang telah mengumpulkan bagi dirinya sendiri dukacita dari keburukan tidak akan memperoleh kebahagiaan; Bahkan jika seseorang telah berbuat jahat ratusan kali, biarlah ia tidak mengulanginya lagi.

 

Dia yang telah mengumpulkan bagi dirinya sendiri kebahagiaan dari kebajikan akan menemukan kebahagiaan; jika seseorang telah melakukan apa yang bajik, biarlah ia melakukannya lagi.

 

Pikiran (orang itu) bersenang dalam kejahatan yang melakukan apa yang benar dengan malas; menjaga pikirannya dari kejahatan, ia harus bergegas terhadap apa yang bajik.

 

Ia yang melakukan bahkan suatu kejahatan kecil sekalipun mengalami kehancuran besar dan penderitaan yang besar di dunia ini dan dunia lain; seperti halnya racun yang masuk ke organ internal.

 

Ia yang melakukan bahkan suatu kebajikan kecil sekalipun mendapatkan kebahagiaan dan keuntungan besar di dunia ini dan dunia lain; seperti halnya suatu benih yang telah berakar dengan baik.

 

Ia yang menyakiti ia yang tanpa keburukan, yang marah kepada ia yang tanpa kemarahan, akan dengan cepat sampai pada salah satu dari sepuluh keadaan ini.

 

Ia akan merasakan kesakitan (vedana) yang tiada habisnya, atau lengan-lengannya akan terpotong, atau ia akan merasakan kesakitan yang hebat, atau pikirannya akan menjadi gila:

 

Atau ia akan berpisah dari kerabatnya, atau ia akan kehilangan kekayaannya, atau ia akan mendapatkan masalah dengan raja, atau hal-hal tidak menyenangkan yang tiada habisnya:

 

Atau belum lagi, rumahnya akan hancur oleh suatu api besar; dan ketika orang tak berakal itu telah selesai dengan tubuh ini, ia akan pergi ke neraka.

 

Ia yang telah melakukan apa yang jahat tidak dapat membebaskan dirinya dari kejahatan itu; ia mungkin telah melakukannya sejak lama atau jauh sebelumnya, ia mungkin melakukannya dalam kesendirian, tetapi ia tidak dapat menyingkirkannya, dan ketika kejahatannya sudah matang ia tidak dapat menyingkirkannya.

 

Ia yang telah melakukan apa yang benar terbebas dari ketakutan; ia mungkin telah melakukannya sejak lama atau jauh sebelumnya, ia mungkin melakukannya dalam kesendirian; ia tanpa ketakutan, dan ketika kebajikannya telah matang ia tanpa ketakutan.

 

Ia yang telah melakukan apa yang jahat membawa kesedihan (bagi dirinya sendiri); walaupun ia telah melakukannya sejak lama atau jauh sebelumnya, perbuatan itu membawa dukacita, ia mungkin melakukannya dalam kesendirian, perbuatan itu membawa dukacita, dan ketika perbuatannya sudah matang perbuatan itu mendatangkan dukacita baginya.

 

Ketika seseorang telah melihat perbuatan buruknya sendiri, ia berduka di sini dan ia akan berduka di dunia lain; pelaku keburukan mempunyai dukacita di kedua tempat; ia bersedih dan akan sangat berduka.

 

Ia yang telah melakukan apa yang benar akan berbahagia; (walaupun) ia telah melakukannya sejak lama dan jauh sebelumnya, ia berbahagia; ia mungkin melakukannya dalam kesendirian, (tetapi) ia berbahagia; dan ketika perbuatannya sudah matang perbuatan itu membawa kebahagiaan bagainya.

 

Ketika seseorang telah melihat perbuatan bajiknya sendiri, ia bergembira di sini dan juga akan bergembira di dunia lain; ia yang telah melakukan apa yang benar bergembira di kedua tempat; ia bergembira, ia akan sangat bersukacita.

 

Ia yang telah melakukan apa yang jahat akan menderita; walaupun ia telah melakukannya sejak lama, walaupun ia telah melakukannya jauh sebelumnya, ia menderita; walaupun ia melakukannya dalam kesendirian, ia menderita; dan ketika perbuatannya sudah matang perbuatan itu membawa penderitaan baginya.

 

Ketika seseorang telah melihat perbuatan buruknya sendiri, ia berduka di (dunia) ini; ia akan berduka di (dunia) lain; pelaku keburukan menderita di keduanya; ia menderita dan akan sangat menderita.

 

Ia yang telah melakukan apa yang benar akan berbahagia; (walaupun) ia telah melakukannya sejak lama, (walaupun) ia telah melakukannya jauh sebelumnya, ia berbahagia; walaupun ia mungkin melakukannya dalam kesendirian ia berbahagia; dan ketika perbuatannya sudah matang ia berbahagia.

 

Ketika seseorang telah melihat perbuatan benarnya sendiri ia bergembira di sini dan akan bergembira di dunia lain; ia yang telah melakukan apa yang benar bergembira di kedua tempat; ia bergembira, ia akan sangat bersukacita.

 

Ia yang telah berbuat jahat dan tidak berbuat apa yang benar, ia yang menyimpang dari Dharma, yang adalah seorang tanpa keyakinan, orang jahat dalam ketakutan akan kematian, seperti seseorang yang berada di suatu sungai yang besar dengan perahu yang bocor (lit. buruk).

 

Ia yang telah bermoral dan telah melakukan apa yang benar, yang mengikuti Dharma orang-orang suci terdahulu, ia tidak memiliki ketakutan apapun akan kematian, seperti seseorang yang berada dalam suatu perahu kuat yang dapat mencapai pantai seberang.

 

Bab tentang Keburukan, Yang Kedua Puluh Delapan.

 

29. Yugavarga (Siang dan Malam)

 

Selama; matahari belum terbit, cacing neon bercahaya; ketika matahari telah terbit ia menjadi tidak bercahaya, dan menjadi seperti sebelumnya.

 

Selama Sang Tathāgata belum muncul, kaum tārkita (filsuf) tetap bersinar; ketika Sambuddha muncul di dunia, para guru dan murid-muridnya tidak lagi bersinar.

 

Ia yang menganggap bahwa apa yang tidak berharga sebagai berharga, dan yang berpikir bahwa apa yang berharga sebagai tidak berharga, seluruh pandangannya telah dibalikkan sepenuhnya, ia tidak akan menemukan apa yang berharga.

 

Ia yang memahami bahwa apa yang tidak berharga adalah tidak berharga, dan bahwa apa yang berharga adalah berharga, seluruh pandangannya tersusun dengan baik, ia akan menemukan apa yang berharga.

 

Mereka yang terus-menerus menambah belenggu mereka karena kemelekatan mereka terhadap (teori-teori) ini, dan mendengarkannya, melayang-layang di lingkaran transmigrasi, mereka bagaikan ngengat yang jatuh ke dalam api.

 

Ketika seseorang di dunia ini mempunyai keraguan apapun tentang kenikmatan di sini (akibat matangnya perbuatannya) atau kenikmatan di alam nanti, jika ia menjalani kehidupan suci (Brahmacariya), ketika ia memikirkannya, (keraguannya) akan terhapus seluruhnya.

 

Ia yang (pikirannya) bagaikan air yang keruh, dan ia yang memakai jubah berwarna saffron, karena tidak terkendali, ia tidak layak memakai jubah berwarna saffron.

 

Ia yang telah menyingkirkan segala kekotoran, yang pikirannya penuh perhatian pada aturan-aturan moral, dengan terkendali demikian, ia layak memakai jubah berwarna saffron.

 

Orang yang licik, penuh tipu daya, dan tamak, tidak peduli warna (jubahnya), penampilannya, dan apa pun yang ia katakan, ia belum menjadi manusia terbaik.

 

Ia yang telah menebang ketiga sifat ini (karakteristik orang jahat) seperti yang dilakukannya pada pucuk pohon tāla, cerdas dan bersih dari keburukan, maka ia disebut manusia terbaik.

 

Ia yang di dunia ini, karena tidak terkendali dengan baik, penuh tipu daya, karena suatu motif tertentu, menghasilkan gagasan salah bahwa ia terkendali dengan baik dengan penampilan umum dari pakaiannya (lit. warna dan orang), tidak ada keyakinan yang harus ditetapkan kepadanya.

 

Menipu seperti warna kuningan, seperti besi yang dilapisi emas adalah ia yang di dalamnya beracun, dan yang penampilan luarnya seperti para Ārya, dan yang hidup di dunia ini bersama suatu Sangha yang besar.

 

Ia yang gemar memakan makanan, tidur, berkelana siang dan malam mencari tempat untuk berbaring, seperti seekor babi besar (berkubang) di lumpur, orang ini akan terlahir kembali lagi dan lagi.

 

Orang yang selalu berkesadaran, yang tahu bagaimana untuk makan secukupnya, ia hanya mengalami sedikit penderitaan, dan pencernaannya yang lambat memperpanjang umurnya.

 

Ia yang indera-indera(nya) tidak terkendali, yang tidak tahu bagaimana untuk makan secukupnya, yang tidak berkesadaran dan malas, yang hidup mencari apa yang menyenangkan (untuk mata), akan dirobohkan oleh nafsu keinginannya seperti halnya sebatang pohon lemah dengan angin.

 

Ia yang indera-inderanya terkendali dengan baik, yang tahu bagaimana caranya untuk makan secukupnya, yang mengingat segalanya dan rajin, yang tidak mencari apa yang menyenangkan (untuk mata), tidak terganggu oleh nafsu keinginan, bagaikan sebuah gunung yang tak tergoyahkan dengan angin.

 

Hutan itu menyenangkan, di mana orang-orang tidak menemukan kesenangan; di sana mereka yang tanpa nafsu menemukan kesenangan, karena ia tidak mencari kesenangan.

 

Di hutan atau di desa, di puncak gunung atau di lembah, di bagian bumi mana pun seorang Ariya berdiam, (tempat) itu menyenangkan.

 

Yang suci bersinar dari jauh, bagaikan pegunungan bersalju; yang jahat tidak bersinar, walaupun dekat, seperti anak panah yang ditembakkan dalam kegelapan nan pekat.

 

Jika seseorang bergaul dengan orang bijaksana, dengan orang suci yang pikirannya berfokus pada moralitas, ia mendapatkan keuntungan besar, dan memperoleh kebijaksanaan yang mendalam.

 

Seperti halnya gajah dalam pertempuran (bersabar walaupun) tertusuk dengan anak panah yang ditembakkan dari busurnya, demikian pula bersabarlah dalam kata-kata jahat dari orang banyak.

 

Ia yang menjadikan suatu gua sebagai tempat tinggalnya, yang tidak berhubungan dengan ketidak-benaran, yang menekan segala masa depan, dan yang hidup pada pelepasan (?), maka orang itu adalah suci.

 

Setelah membunuh ayah dan ibu serta dua raja suci, setelah menaklukkan kerajaan mereka beserta penduduknya, seseorang akan menjadi suci.

 

Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk dilihat, seperti burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk dilihat seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, and selalu bermeditasi (dhyāna), jalannya sulit untuk dilihat seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, and selalu bermeditasi (dhyāna), jejaknya sulit untuk dilihat seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

(Pengulangan syair 29.24) Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk dilihat, seperti burung-burung di angkasa.

 

(Pengulangan syair 29.25) Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk dilihat seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jalannya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jejaknya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

(Pengulangan syair 29.32) Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jalannya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

(Pengulangan syair 29.33) Ia yang tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jejaknya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.

 

Orang-orang awam berlarian di pantai ini; hanya sedikit di antara orang-orang yang pergi ke pantai seberang.

 

Makhluk-makhluk itu yang berjalan di jalan Dharma yang telah diajarkan dengan baik, mencapai pantai seberang dari lautan besar kelahiran dan kematian, yang sulit untuk diseberangi.

 

Ia yang membebaskan dirinya melalui kewaspadaan, yang meninggalkan semua dukacita di masa lalu, ia yang melepaskan dirinya dari semua belenggu, tidak akan mengalami penderitaan apa pun.

 

Ketika seseorang melampaui jalan teror dan apa yang menyertainya, dan keluar dari jurang terjal (yaitu terjatuh ke jalan kejahatan), terbebas dari segala belenggu dan ikatan, di sana (?) telah dihancurkan racun dari keinginan.

 

Tidak ada rawa yang seperti nafsu keinginan (trichnā); tidak ada yang lebih berbahaya seperti kebencian; tidak ada jaring seperti ketidaktahuan; tidak ada arus yang kuat seperti ketamakan.

 

Śramana yang telah mencapai pantai seberang seperti cakrawala yang tanpa jejak; orang bodoh bersenang dalam pekerjaannya, dan Tathāgata bukanlah pekerjaannya. Orang bodoh dituntun melalui (kemelekatan); orang bijaksana menghancurkan segala kemelekatan.

 

Orang bijaksana menghancurkan segala kemelekatan para dewa dan manusia, dan dengan terbebas dari segala kemelekatan ia menjadi terbebas dari segala penderitaan.

 

Dari kemelekatan timbullah kemenjadian; tanpa kemelekatan tidak ada kemenjadian: untuk memperoleh pengetahuan tentang dua jalan kemenjadian dan bukan kemenjadian dan jalan untuk secara sempurna melepaskan kemelekatan, biarlah orang bijaksana mengerahkan dirinya.

 

Ia yang melakukan apa yang salah, menderita karenanya, dan ketika setelahnya ia akan berada di jalan kejahatan, ia akan menderita; ia yang melakukan apa yang benar, ia berbahagia, dan ketika setelahnya ia akan berada di jalan bahagia, ia akan bahagia.

 

Lebih baik di keduanya (dunia ini dan dunia lain) jika seseorang tidak berbuat kejahatan, karena ia yang melakukannya akan menderita; Adalah baik bagi seseorang untuk melakukan apa yang benar, karena ia tidak akan mendapat penderitaan.

 

Orang bijaksana dan orang bodoh ketika berbaur bersama, tidaklah mungkin membedakan mereka jika mereka tidak berbicara; tetapi biarlah salah satu dari mereka memberikan (jalan) menuju kesempurnaan kedamaian (Nirvāṇa), maka kebohongan diketahui dari ucapannya (dalam menjadi orang bijaksana).

 

Pembabaran (Dharma) adalah standar para Rischi (yaitu Bhagavat); Dharma menjadi standar para Rischi, dan Dharma dengan penjelasannya dibuat cemerlang, biarlah Sang Rischi menaikkan dengan tinggi standarnya.

 

Jika seseorang tidak berbicara ia dicela; jika seseorang banyak bicara ia dicela; ia yang berbicara dengan lambat dicela: tidak ada satupun di dunia ini yang tidak dicela.

 

Seseorang yang hanya patut dicela, atau seseorang yang hanya patut dipuji, tidak ada yang seperti demikian; tidak pernah ada, tidak akan pernah ada.

 

Mereka yang tidak mengkhawatirkan eksistensinya sendiri, yang telah mengakhiri semua penderitaan yang kembali karena kemelekatan, dan terbebas dari kemenjadian, para dewa dan manusia tidak dapat memahami tujuan mereka.

 

(229, 230). Ia yang dipuji oleh mereka yang mempunyai pengetahuan tentang pembedaan, sebagai orang yang berkeyakinan, bermoral, dan berkebijaksanaan besar, tidak ada seorang pun yang dapat mencelanya; ia bagaikan sebuah permata emas Djambudvipa.

 

Seperti halnya gunung dan batu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula orang bijaksana tidak tergoyahkan oleh pujian atau celaan.

 

Orang yang tekun tanpa akar apapun di dunia, tanpa sehelai daun (dari keburukan) di dahan apa pun, terlepas dari belenggu, tidak ada seorang pun yang dapat mencelanya.

 

Ia yang tidak menderita karena penaklukan, yang mana dunia tidak dapat menaklukkannya sedikit pun, Sang Buddha, yang berdiam dalam tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.

 

Yang tidak menderita karena penaklukan, yang mana dunia tidak dapat menaklukkannya sedikit pun, Sang Buddha, yang kekuatan-Nya tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.

 

Ia yang tidak bersenang dalam daya pikat nafsu dan wilayah nafsu, Sang Buddha, yang berdiam dalam tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.

 

Ia yang tidak bersenang dalam daya pikat nafsu dan wilayah nafsu, Sang Buddha, yang kekuatan-Nya tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.

 

Ia yang diterangi oleh pemahaman terbaik, yang telah memahami segala sesuatu berdiam dalam kekosongan, yang terbebas dari segala kemelekatan, dari bentuk, dan kesadaran (sandjā), yang telah menyingkirkan empat yoga, ia telah mengakhiri kelahiran.

 

Setelah menyingkirkan apa yang lampau, setelah menyingkirkan apa yang ditinggalkan, setelah menyingkirkan apa yang ada di tengah, seseorang pergi ke pantai seberang dari kemenjadian; ketika pikiran terbebas dari segalanya, seseorang tidak akan mengalami kelahiran dan kematian.

 

Bab tentang Siang dan Malam, Yang Kedua Puluh Sembilan.

 

30. Sukhavarga (Kebahagiaan)

 

Dari kemenangan muncullah kebencian; musuh yang kalah berdukacita: Jika seseorang menyingkirkan kemenangan dan kekalahan ia akan menemukan kebahagiaan dari kedamaian.

 

Ia yang menyebabkan dukacita pada orang lain dalam mencari kesejahteraannya sendiri, ia membawa kesedihan kepada teman dan musuh tanpa perbedaan.

 

Ia yang mencari kebahagiaan (dengan) menganiaya dan menghukum makhluk lain yang juga mencari kebahagiaan, tidak akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.

 

Ia yang mencari kebahagiaan dengan tidak menganiaya dan menghukum makhluk-makhluk yang mencari kebahagiaan, akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.

 

Laksanakanlah dengan kehati-hatian Dharma Śīla; menghindari segala perbuatan jahat : ia yang menaati Dharma akan menemukan kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lain.

 

Pelaksanaan Dharma mendatangkan kebahagiaan; ia yang melaksanakan Dharma terjaga oleh Dharma; ia yang melaksanakan Dharma tidak berada di jalan kejahatan; karena itulah pelaksanaan Dharma adalah bermanfaat.

 

Ia yang melaksanakan Dharma terlindungi oleh Dharma, seperti halnya seseorang di musim panas dengan sebuah payung besar; ia yang melaksanakan Dharma tidak berada di jalan kejahatan; karena itulah pelaksanaan Dharma adalah bermanfaat.

 

Orang yang lalai dan tidak melaksanakan Dharma, tidak peduli siapapun ia, akan diadili; ia yang tidak melaksanakan Dharma pasti (akan) hancur seperti halnya ular hitam yang ditangkap seseorang di tengahnya.

 

Hasil dari orang baik dan orang jahat tidaklah sama; orang jahat pergi ke neraka, orang baik menemukan jalan menuju kebahagiaan.

 

Ketika seseorang berdana dan ketika seseorang berperang, jika (operasi) ini dipahami dengan baik, pada dasarnya adalah sama; seperti yang Aku katakan (atau telah dikatakan) bahwa ketika berdana dan berperang adalah sama, berhati-hatilah dalam kedua kasus tersebut dan jangan bergantung pada apa yang buruk. Seseorang yang memiliki perlengkapan lengkap dapat menaklukkan (suatu pasukan) rakyat jelata yang perlengkapannya buruk (?), demikian pula jika seseorang memberi dengan keyakinan, walaupun sedikit, ia akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.

 

Ia yang telah menang dalam seratus pertempuran, dan yang telah menaklukkan semua musuhnya, bukanlah seorang penakluk yang besar, Aku katakan, seperti ia yang memberi dengan hati yang murni.

 

Hasil dari kebajikan adalah kebahagiaan; ia yang menjadikan hal ini sebagai tujuannya akan segera menemukan pemadaman sempurna dan Nirvāṇa.

 

Tidak ada satupun orang yang dapat mencelakakan mereka yang bajik; mereka dari alam para dewa dan Māra tidak dapat menyakiti mereka.

 

Ia yang, untuk mengakhiri dukacita, mengerahkan dirinya dengan tekun untuk perolehan kebenaran dan pengetahuan, akan menikmatinya melalui pandangan terang (vipaśyana).

 

Ia yang bersenang dalam Dharma dengan pikiran yang benar-benar berkeyakinan, menemukan kebahagiaan; orang bijaksana selalu bersenang dalam Dharma yang telah diajarkan oleh Para Āryāḥ.

 

Mereka yang pikirannya bersenang dalam meditasi (dhyana), yang bersenang dalam tidak menciptakan apapun, yang bersenang pada empat perhatian, dalam tujuh faktor Bodhi, dalam empat landasan kemampuan batin, dalam delapan jalan mulia, mereka memakai jubah Dharma dan berbahagia dalam hidup dari derma makanan.

 

Mereka berjalan dengan damai di pegunungan dan di hutan; mereka berbahagia dalam menemukan kebahagiaan, dan meninggalkan dukacita dalam persepsi Dharma (nirvāṇa). Ia telah meninggalkan kebencian dan ketakutan, dan telah meninggalkan kehidupan duniawi.

 

Untuk mendengarkan Dharma, untuk memahami Dharma, dan untuk bergembira dalam keterasingan, adalah kebahagiaan; bagi semua makhluk di dunia untuk memahami lenyapnya kematian sepenuhnya adalah kebahagiaan.

 

Untuk meninggalkan nafsu, terbebas dari keinginan dunia, adalah kebahagiaan; untuk menundukkan pikiran egois tentang “aku” adalah kebahagiaan terbesar.

 

Untuk bermoral hingga usia tua adalah kebahagiaan; untuk hidup dengan keyakinan yang sempurna adalah kebahagiaan; untuk bersenang dalam kata-kata yang logis adalah kebahagiaan; untuk tidak melakukan kejahatan adalah kebahagiaan.

 

Berbahagialah di dunia ini ia yang menghormati ayahnya, demikian pula ia yang menghormati ibunya akan berbahagia; Berbahagialah di dunia ini ia yang menghormati para Śramana, demikian pula ia yang menghormati Brāhmana akan berbahagia.

 

Kemunculan seorang Buddha adalah kebahagiaan, pembabaran Dharma adalah kebahagiaan, kerukunan Saṃgha adalah kebahagiaan, pertapaan (tapas) mereka yang bersatu adalah kebahagiaan.

 

Adalah kebahagiaan melihat seorang yang bermoral; untuk melihat ia yang telah banyak mendengar adalah kebahagiaan; untuk melihat para Arhat yang terbebas dari kemenjadian adalah kebahagiaan.

 

Adalah kebahagiaan untuk mencapai tepi sungai kebahagiaan; berbahagialah makhluk yang memiliki kemenangan Dharma (yaitu, yang telah mencapai kesucian); untuk memperoleh kebijaksanaan adalah kebahagiaan; untuk mengakhiri keegoisan adalah kebahagiaan.

 

Untuk melihat para Āryāḥ adalah kebahagiaan; untuk bergaul dengan orang baik adalah kebahagiaan; tidak melihat orang bodoh selalu merupakan kebahagiaan.

 

Penderitaan bersama orang bodoh yang sama sama seperti penderitaan bersama musuh; ia yang bergaul dengan orang bodoh akan menyesalinya untuk waktu yang lama.

 

Orang yang mengetahui segalanya sulit ditemukan; ia tidak muncul di mana saja: adalah kebahagiaan bergaul dengan mereka yang tekun, seperti halnya bertemu dengan sanak saudara; dimanapun orang yang tekun itu dilahirkan, disitulah orang-orang menemukan kebahagiaan.

 

Para Brahmana yang telah meninggalkan dukacita, menemukan kebahagiaan yang terbaik; ia yang telah melepaskan dirinya dari nafsu keinginan, yang tidak memiliki āsrava, adalah sepenuhnya terbebas.

 

Mereka yang telah menghancurkan segala nafsu keinginan, yang telah membersihkan batin mereka dari segala kekotoran, pikirannya membawa kedamaian, dan dalam kedamaian terdapat kebahagiaan.

 

Jika orang yang tekun mencari kebahagiaan besar, dan akan melepaskan kebahagiaan kecil, biarlah ia melepaskan kebahagiaan kecil itu dan berfokus pada kebahagiaan besar.

 

“Kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan di alam para dewa tidaklah sebanding dengan seperenam-belas bagian kebahagiaan (akibat) dari hancurnya nafsu keinginan.

 

Jika seseorang telah menderita karena beban yang ditanggungnya, adalah kebahagiaan untuk meletakkannya; jika ia telah melepaskan bebannya yang berat, di masa depan ia tidak akan memikul beban yang lain.

 

Ia yang telah mengakhiri semua kemelekatan, yang telah melepaskan semua kasih sayang, yang dengan sempurna memahami semua skandha, tidak akan mengalami kemenjadian setelahnya.

 

Untuk bergaul dengan mereka yang mendatangkan keuntungan besar adalah kebahagiaan; untuk menjadi bermoral dalam berbagai kesempatan dalam hidup adalah kebahagiaan; untuk merasa puas, tidak peduli betapa sedikitnya (yang dimiliki) adalah kebahagiaan; untuk mengakhiri segala penderitaan adalah kebahagiaan.

 

Dengan memukul menggunakan palu, besi yang telah dibakar dengan api itu akhirnya hancur; dengan cara yang sama orang bodoh disingkirkan.

 

Ia yang, setelah mengarungi arus berlumpur nafsu keinginan, telah menemukan tempat yang tidak berubah (amatam padam, Nirvāṇa), tidak ada apa pun yang dapat menghalangi makhluk itu yang telah (menemukan) pembebasan sempurna.

 

Ia yang tanpa kegelisahan, yang telah meninggalkan keadaan dan bukan keadaan, terbebas dari teror, bahagia dan tanpa dukacita, bahkan para dewa yang melihat (kebahagiaannya) tidak dapat memahami (batasannya).

 

Di dunia ini mendengar banyak Dharma dan memahaminya, tidak ada kebahagiaan yang begitu besar! Manusia dipenuhi dengan cinta terhadap tubuhnya, dan lihatlah betapa sedikit yang diperlukan untuk menghancurkannya!

 

Ia yang memahami bahwa tidak ada satupun yang layak dipuji dalam kondisi manusia, akan memiliki kebahagiaan karena tidak (akan) pernah mengalami kelahiran; Manusia dipenuhi dengan cinta terhadap tubuhnya, dan lihatlah betapa sedikit yang diperlukan untuk menghancurkannya!

 

Walaupun tunduk pada orang lain adalah suatu dukacita, menjadi tuan bagi dirinya sendiri adalah kebahagiaan yang luar biasa; Adalah sulit untuk melepaskan kemelekatan, dan mengakhiri asal mula segala masalah.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah, tanpa keserakahan di tengah-tengah mereka yang serakah.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang menderita penyakit, tanpa penyakit di tengah-tengah penyakit.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, hidup tanpa permusuhan di antara orang-orang yang bermusuhan, tanpa permusuhan di tengah-tengah mereka yang bermusuhan.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, hidup tanpa kekejaman di antara orang-orang yang berpikiran kejam, tanpa kekejaman di tengah-tengah mereka yang kejam.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, hidup tanpa kebencian di antara orang-orang yang membenci, tanpa kebencian di tengah-tengah mereka yang membenci.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia; walaupun Mithilā terbakar, tidak ada milikku yang terbakar, karena aku tidak memiliki apapun.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia; walaupun tidak ada yang disebut milik kita, kita akan memakan kebahagiaan seperti para dewa bercahaya.

 

Ah! Biarlah kita hidup sangat berbahagia, tidak bergantung pada segala yang tidak kekal; dan walaupun tidak ada yang disebut milik kita, kita akan makan kebahagiaan.

 

Ketika seseorang menghadapi akibat dari kemelekatan (upadana), ia harus menderita; ketika tidak ada kemelekatan, tidak ada hal yang perlu dihadapi yang dapat menyebabkan penderitaan; ia yang telah selesai dengan kedua hal tersebut (kemelekatan dan akibatnya) dan ia berbahagia, tidak akan harus menanggung penderitaan baik di hutan maupun di desa.

 

Di dunia ini seorang suciwan tidak merasa sangat senang atau depresi oleh sukacita atau dukacita; mereka yang tekun tidak (akan) menjadi gagal karena obyek-obyek nafsu keinginan; seorang suciwan meninggalkan segalanya.

 

Bab tentang Kebahagiaan, Yang Ketiga Puluh.

 

Buku Keempat

 

31. Cittavarga (Pikiran)

 

Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, yang mana sulit untuk dipertahankan, tidak stabil, dan mengembara kemanapun yang ia suka: dengan pikiran yang terkendali, seseorang memperoleh kebahagiaan.

 

Untuk terlepas dari kediaman Mara, seseorang dipenuhi dengan rasa gemetar, bagaikan seekor ikan yang diambil dari kediamannya yang berair dan dilemparkan ke tanah kering.

 

Bagaikan seseorang kehilangan cahaya matahari, pikirannya mengembara kemana-mana; mereka yang benar-benar bijaksana menahannya, seperti yang dilakukan seseorang terhadap seekor gajah dengan suatu kait besi.

 

Hal ini bukanlah “melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi diri sendiri, yang tidak ada gunanya dipikirkan, yang tidak ada gunanya; tetapi untuk mengendalikan pikiranmu secara terus menerus”—itulah yang Aku katakan.

 

Sebelumnya pikiran (milikku) ini mengembara sesuai keinginannya, sesuai kemauannya; sekarang pikiranku telah terkendali, dan aku menahannya seperti halnya seseorang yang memegang kail, (menundukkan) seekor gajah gila.

 

Pembuat rumah, sampai sekarang aku telah berusaha untuk menemukanmu, melalui kelahiran kembali yang tak terhitung jumlahnya, dan tunduk pada penderitaan karena kelahiran yang berulang.

 

Pembuat rumah, setelah menemukanmu, dan balok-balok besar rumah (kleśa) telah dihancurkan, dan semua kasau (trichnā) telah dirobohkan, setelahnya engkau tidak dapat membuatkan sebuah rumah (untukku).

 

Ketika seseorang, setelah membebaskan pikiran dari sanskāra, ingin mengakhiri (kelahiran)nya, pikiran(nya) diliputi keragu-raguan, berubah-ubah, berterbangan, dan sulit dikendalikan, ia harus meluruskannya dengan usaha seperti pembuat panah meluruskan (panahnya) dengan api.

 

Ia yang, tidak memikirkan tubuh, tinggal di dalam gua, dan mengembara sendirian, dapat menaklukkan pikiran yang tidak menentu ini, dan terbebas dari teror yang terbesar.

 

Ia yang pikirannya condong ke arah kejahatan akan mendatangkan penderitaan pada dirinya sendiri, lebih besar dari seorang pembenci dengan yang dibenci, lebih besar dari musuh terhadap lawannya.

 

Ia yang pikirannya condong ke arah kebajikan akan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat didatangkan oleh ayah, ibu, dan kerabat lainnya.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh hasrat.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh nafsu.

 

Seperti halnya air hujan tidak merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang bermeditasi menghalau munculnya nafsu.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh ketidak-tahuan (tamas).

 

Seperti halnya air hujan tidak merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang bermeditasi menghalau munculnya ketidak-tahuan.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh keegoisan.

 

Seperti halnya air hujan tidak merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang bermeditasi menghalau munculnya keegoisan.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh rasa sayang.

 

Seperti halnya air hujan tidak merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang bermeditasi menghalau munculnya rasa sayang.

 

Seperti halnya air hujan merembes ke dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi diliputi oleh keinginan.

 

Seperti halnya air hujan tidak merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang bermeditasi menghalau munculnya keinginan.

 

Pikiran adalah pemimpin dari indriyanya (dharma); pikiran itu cepat; pikiran adalah penguasa: jika seseorang berbicara atau bertindak dengan kehendak jahat, ia akan mengalami penderitaan, seperti ia yang kepalanya dipenggal oleh roda.

 

Pikiran adalah pemimpin dari indriyanya; pikiran itu cepat; pikiran adalah penguasa: jika seseorang berbicara atau bertindak dengan kehendak murni, ia akan mengalami kebahagiaan (yang pasti) seperti bayangan seseorang mengikuti jejaknya.

 

Ia yang mudah menyerah pada pertengkaran, yang pikirannya jahat, walaupun ia mencari cara untuk melakukannya, tidak dapat memahami dengan baik apa yang dijelaskan dengan baik.

 

Mereka yang sedang marah atau suka bertengkar, atau yang pikirannya tanpa keyakinan, tidak dapat memahami Dharma Bhagvan yang diajarkan oleh Sambuddha.

 

Mereka yang, pikirannya tanpa kekotoran dan dengan kemarahan yang ditundukkan secara sempurna, telah menyingkirkan segala pikiran jahat, dengan cara ini mereka dapat memahami apa yang dijelaskan dengan baik.

 

Ia yang pikirannya tidak tekun tidak dapat memahami Dharma suci; ia yang keyakinannya berubah-ubah tidak dapat memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.

 

Ia yang, menyerah pada menuruti kesenangan (indera), terjebak dalam arus tiga puluh enam gagasan jahat, akan hanyut oleh banjir nafsunya.

 

Pikiran-pikiran yang menyenangkan dan tunduk pada indera-indera mengejar pikiran, menghancurkan nasib baik orang yang lemah, seperti burung-burung lakukan terhadap buah-buahan di pohon.

 

Jangan menyenangkan pikiranmu dalam mencari apa yang mempesona; jagalah pikiranmu dengan tekun dan murni, sehingga engkau tidak mungkin (melakukan) perbuatan jahatmu, terlahir di neraka, menangis (karena) harus menelan bola besi.

 

Ia yang tetap duduk ketika tiba waktunya untuk berdiri, yang, walaupun kuat dan muda, duduk dengan malas di rumah, yang selalu lalai dalam pikirannya, tidak akan menemukan jalan menuju kebijaksanaan.

 

Mereka yang, walaupun memahami apa yang remeh (yaitu nafsu keinginan), dan memahami (pentingnya) tanpa nafsu, (namun) pikiran terdalamnya masih terganggu, belum memiliki pemahaman yang menyeluruh; pikiran mereka tertipu, dan mereka mengembara (di alam transmigrasi) lagi dan lagi.

 

Mereka yang ingatannya terkembang sempurna, yang rajin, yang dapat membedakan, yang bijaksana, mereka mempunyai pemahaman, dan melalui kecerdasan mereka membuang semua kesalahan di dalam batin.

 

Ia yang telah menyelidiki bahwa tubuh ini seperti sebuah vas, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa rumah.

 

Ia yang telah menyelidiki bahwa dunia ini seperti sebuah vas (yaitu kosong), setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa rumah.

 

Ia yang telah menyelidiki bahwa tubuh ini seperti buih, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa rumah.

 

Ia yang telah menyelidiki bahwa dunia ini seperti buih, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa rumah.

 

Ia yang pikirannya dicurahkan untuk bermeditasi pada tujuh faktor pencerahan, yang terbebas dari segala kemelekatan (upadana), yang telah menyingkirkan kemelekatan, terbersihkan dari noda kesedihan, dan melampaui dukacita (parinibbuta) di dunia ini.

 

Ia yang menjaga pikirannya seperti seekor yak dengan ujung ekornya, (ia) adalah penyayang terhadap semua makhluk, dan kebahagiaannya tidak akan berkurang (di dunia).

 

Ia yang pikirannya tenang (tidak menyerah pada kemarahan), bersenang dalam hidup sendiri (seperti) gajah terbesar, gajah dengan gading yang bagus.

 

Ia yang pikirannya tidak menyakiti, yang baik terhadap semua makhluk (bhuta), yang penyayang terhadap makhluk-makhluk, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.

 

Ia yang tidak mengenal pikiran jahat, yang baik terhadap semua makhluk, yang penyayang terhadap semua makhluk hidup, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.

 

Ia yang tidak mengenal pikiran jahat, yang baik terhadap makhluk-makhluk, yang menunjukkan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.

 

(Pengulangan syair 31.44) Ia yang tidak mengenal pikiran jahat, yang baik terhadap makhluk-makhluk, yang menunjukkan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.

 

Ia yang baik kepada semua kenalannya, kepada semua temannya, dan kepada semua makhluk, dan yang mempunyai semangat belas kasihan, kebahagiaannya akan sangat meningkat.

 

Jika seseorang hanya mempunyai pikiran yang tanpa kekejaman terhadap makhluk hidup, dan menunjukkan belas kasihan, maka ia bajik berdasarkan fakta ini; jika seseorang menunjukkan batin yang berbelas kasihan kepada semua makhluk, ia akan memperoleh jasa seperti yang diperoleh oleh para Ārya.

 

Seseorang yang dengan pikiran gembira, tanpa kegentaran, mempraktekkan Dharma kebajikan, akan mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.

 

Terbebas melalui pengetahuan sempurna, ia aman dan tenteram; pikirannya tenang, tindakan tubuhnya dan ucapannya tenang.

 

Demikianlah, dengan memusatkan pikiran pada satu titik, seseorang memperoleh pemahaman sempurna terhadap Dharma, namun bukan dengan memiliki simbal pada kelima anggota badan seseorang akan menemukan kebahagiaan.

 

Mereka yang pikirannya bersenang dalam meditasi tidak menemukan kesenangan di dalam nafsu keinginan; ia yang terlindung dari penderitaan terkecil pun akan menikmati tidur yang menyenangkan.

 

Mereka yang pikirannya bersenang dalam meditasi tidak menemukan kesenangan di dalam nafsu keinginan; ia yang tidak dirundung penderitaan apa pun akan menemukan kebahagiaan yang besar.

 

Ia yang pikirannya, seperti batu karang, tetap diam tanpa bergerak, ia yang di tengah-tengah nafsu (adalah) tanpa nafsu, di tengah-tengah kemarahan (adalah) tanpa kemarahan, dengan pikiran seperti demikian tidaklah mungkin mengalami penderitaan.

 

Janganlah mengucapkan kata-kata yang kasar, janganlah menyakiti, teguhlah dalam menjalankan Pratimoksha, ketahuilah bagaimana bersikap madya dalam makananmu, tinggallah di hutan terpencil, dan engkau akan menemukan kedamaian pikiran dalam pandangan terang (vipaśyana); ini adalah Ajaran Sang Buddha.

 

Ia yang mempunyai penilaian pikiran yang benar, yang menghargai cita rasa dari keterasingan yang sempurna, dilindungi oleh kesungguhan pikiran meditatifnya, ia menikmati kenikmatan tanpa memiliki apa pun (yang menyebabkan penderitaan).

 

Ia yang pikirannya penuh perhatian bersenang dalam kebenaran dan berpegang teguh pada (empat) kebenaran, yang selalu berjalan di Sang Jalan dengan tubuhnya, ia terjaga dalam ucapan dan pikirannya, dan, menyingkirkan dukacita, ia tidak akan mengalami penderitaan lagi.

 

Ia yang pikirannya tidak terjaga, yang berada di bawah pengaruh teori-teori palsu, yang ditundukkan oleh tidur dan kemalasan, ia akan jatuh ke dalam kekuasaan Māra.

 

Oleh karena itu pikirannya terjaga, dipimpin oleh pendapat-pendapat ortodoks (pandangan benar), dengan pemahaman sempurna dalam cara berperilaku, memahami dengan baik kelahiran dan pembusukan, Bhiksu itu, menundukkan tidur dan kemalasan, telah menemukan cara untuk mengakhiri penderitaan.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan pergi ke neraka.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan terlahir (di alam nanti) diantara binatang buas.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan terlahir (di alam nanti) diantara binatang preta.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan kebahagiaan di antara manusia.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan kebahagiaan di surga.

 

Ia yang murni adalah dalam perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan Nirvāṇa.

 

Bab tentang Pikiran, Yang Ketiga Puluh Satu.

 

32. Bhiksuvarga (Bhiksu)

 

Seorang Bhiksu yang puas dengan derma makanan yang diberikan kepadanya, dan yang tidak resah dengan apa yang diberikan kepada orang lain, yang terlindungi oleh tanpa nafsu dan refleksi terus-menerus, padanya para dewa bersenang.

 

Seorang Bhiksu yang puas dengan derma makanan yang diberikan kepadanya, dan yang tidak resah dengan apa yang diberikan kepada orang lain, yang terlindungi (oleh tanpa nafsu dan refleksi), dan yang padanya para dewa bersenang, pada orang seperti demikian tidak ada keinginan untuk mendapat kehormatan, kekayaan, dan reputasi.

 

Seorang Bhiksu yang telah menyingkirkan segala keinginan, terbebas dari nafsu, walaupun di hadapannya terdapat (obyek-obyek keinginan); ia yang tekun, yang tanpa ego dan terkendali, seharusnya tidak menjalin hubungan dengan orang lain.

 

Tersakiti oleh kata-kata orang yang tidak terkendali, dan mendengarkan kata-kata orang yang bersifat jahat, Bhiksu itu tanpa kemarahan sebelum hal itu terjadi, bagaikan gajah yang tertusuk anak panah di medan perang.

 

Tersakiti oleh kata-kata orang yang tidak terkendali, dan mendengarkan kata-kata orang yang bersifat jahat, Bhiksu itu tenang seimbang sebelum hal itu terjadi, bagaikan gajah yang tertusuk anak panah di medan perang.

 

Tidak mengerjakan kerajinan apa pun untuk kepuasan diri sendiri, indria-indrianya terkendali, terbebaskan secara sempurna, tanpa kesukaan terhadap rumah, tanpa ego, telah menyingkirkan keinginan dan hidup sendirian, maka orang itu adalah seorang Bhiksu.

 

Bergaul hanya dengan orang-orang yang hidup murni dan yang tanpa kemalasan, melaksanakan instruksi yang berbeda, seseorang akan belajar tentang aturan-aturan yang perlu diikuti dalam hidup (untuk mencapai Nirvāṇa).

 

Ia yang mengendalikan tangannya, yang mengendalikan kakinya, yang mengendalikan ucapannya, yang mengendalikan indera-inderanya, yang menemukan semua kesenangannya dalam keterasingan, yang berpuas diri, ia Kusebut seorang Bhiksu.

 

Bhiksu yang menemukan kebahagiaan terbaik dalam Dharma, yang bersenang dalam Dharma, yang bermeditasi pada Dharma, yang mengingat Dharma, tidak akan pernah berpaling dari Dharma.

 

Bhiku yang telah memasuki suatu kediaman kosong dan melihat yang internal (bagian dari Dharma), akan merasakan kegembiraan adiduniawi dalam memahami Dharma dengan benar.

 

Segera setelah ia memahami dengan benar pembentukkan dan penghancuran skandha-skandha, ia akan menemukan kegembiraan dan sukacita; Bhiksu yang dipenuhi dengan kegembiraan akan menemukan Sang Jalan untuk mengakhiri penderitaan.

 

Seperti halnya gunung berbatu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri keinginan tidak tergoyahkan.

 

Seperti halnya gunung berbatu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri ketidak-tahuan tidak tergoyahkan.

 

Seperti halnya gunung berbatu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri egoisme tidak tergoyahkan.

 

Seperti halnya gunung berbatu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri nafsu indera tidak tergoyahkan.

 

Seperti halnya gunung berbatu yang tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri kecintaan tidak tergoyahkan.

 

Ia yang tanpa harta duniawi, yang tidak peduli terhadap diri sendiri, baginya tidak ada penderitaan dalam apapun, ia disebut seorang Bhiksu.

 

Mereka yang hanya mengemis kepada orang lain tidak boleh dianggap sebagai Bhiksu; mereka yang melekat pada jalan duniawi tidak boleh dianggap sebagai Bhiksu.

 

Ia yang telah menyingkirkan kebajikan dan keburukan, yang menjalani kehidupan suci, yang tinggal jauh dari masyarakat sosial, ia disebut seorang Bhiksu.

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menemukan kesempurnaan kedamaian (amatam padam), yang tidak akan pernah membuat seseorang jemu.

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menemukan kesempurnaan kedamaian, kedamaian dari sanskāra (tubuh).

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, secara bertahap akan mencapai penghancuran seluruh kemelekatan.

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menarik dirinya keluar dari jalan yang jahat, seperti halnya seekor gajah keluar dari lumpur.

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menyingkirkan segala kejahatan, seperti halnya angin yang menerpa dedaunan suatu pohon.

 

Seorang Bhiksu yang baik, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, telah sangat dekat dengan Nirvāṇa sehingga ia tidak mungkin terjatuh darinya.

 

Seorang Bhiksu yang telah menaklukkan apa yang memikat batin, apa yang menyenangkan pikiran, apa yang menyenangkan dan apa yang tidak menyenangkan (yaitu nafsu), penuh dengan kesenangan, dan akan menemukan akhir dari penderitaan.

 

Tubuhnya tenang dan tanpa nafsu, pikirannya tenang sempurna, setelah menyingkirkan segala urusan duniawi, Bhiksu itu (kemudian) dalam kedamaian, Aku nyatakan.

 

Tanpa meditasi (samādhi) tidak ada pengetahuan; tanpa pengetahuan tidak ada meditasi: ia yang memiliki pengetahuan dan meditasi, ia harus disebut seorang Bhiksu.

 

Mereka yang bijaksana mendedikasikan dirinya pada meditasi dan pengetahuan; Oleh karena itu hal pertama bagi seorang Bhiksu yang terpelajar adalah memperoleh hal-hal ini.

 

Pelajarilah kepuasan dan kendalikanlah indera-indera; mempertimbangkan dengan baik apa yang diperlukan untuk keselamatan, belajarlah untuk bersikap madya dalam makananmu, tinggallah di tempat terasing, dan carilah ketenangan pikiran dalam pandangan terang (vipaśyana); ini adalah Ajaran Buddha.

 

Ia yang tidak melakukan keburukan baik melalui jasmani, ucapan, ataupun pikiran, perilakunya bajik, pikirannya suci, ia adalah seorang Bhiksu.

 

Ia yang bermeditasi pada tujuh faktor pencerahan, mempunyai kebajikan terbesar, kesabaran sempurna, ia adalah seorang Bhiksu.

 

Ia yang di dunia ini telah belajar bagaimana mengakhiri penderitaannya, yang murni dan bijaksana serta tanpa kotoran (āsrava), ia disebut seorang Bhiksu.

 

Ia yang, melalui kebajikan, atau seorang petapa, atau ia yang telah banyak mendengar, belum mampu mengakhiri keburukan meskipun ia hidup dalam keterasingan, jika ia bosan dalam upaya memperoleh samadhi, dan meninggalkannya karena kurangnya keyakinan diri, ia bukanlah seorang Bhiksu.

 

Gugus-gugus kehidupan (skandha), itulah yang disebut diri, adalah penderitaan di dunia ini; penerangan sempurna (samyak sambodhi) adalah kebahagiaan; untuk itu para Ārya harus mendedikasikan dirinya sendiri.

 

Berdasarkan cara berpikir seseorang, maka ia akan menjadi seperti itu di (kehidupan) lain; mereka akan kembali lagi ke dunia ini, mereka yang mencintai kemenjadian, yang bersenang dalam kemenjadian, yang mendambakan benda-benda duniawi, yang hanya menganggap kemenjadian (dalam teori mereka), yang bersenang dalam kemenjadian itu sendiri.

 

Kegembiraan mereka tidak lain hanyalah penderitaan, kebahagiaan mereka tidak lain hanyalah gemetar dengan ketakutan; mereka yang ingin membebaskan dirinya dari kemenjadian, mendedikasikan dirinya pada kehidupan yang murni (brahmacharya).

 

Śramana dan Brahmana semuanya mengajarkan bahwa kemenjadian adalah pembebasan dari kemenjadian; tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui pembebasan dari kemenjadian, Aku nyatakan.

 

Śramana dan Brahmana semuanya mengajarkan bahwa kemenjadian adalah pembebasan dari kemenjadian; tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui kemerdekaan sebenarnya dari kemenjadian, Aku nyatakan.

 

Penderitaan adalah hasil dari kemelekatan terhadap kemenjadian (upādāna), dan dari penderitaan muncullah kemelekatan: jika semua kemelekatan dihancurkan maka penderitaan tidak akan muncul lagi.

 

“Pada apapun bentuk kemenjadian yang dilekati seseorang, hal itu tidaklah kekal, menyedihkan, dan tunduk pada perubahan;” ia yang dengan pengetahuan sempurna memandang semuanya dalam (pandangan) terang ini, akan menyingkirkan semua kesukaan terhadap kemenjadian, dan akan menemukan kesenangan dalam kehancuran kemenjadian.

 

Kemudian seorang Bhiksu yang telah meninggalkan dukacita (nibbuta) telah aman, (karena) tanpa kemelekatan pada (kemenjadian) yang lain, ia akan mengakhiri kemenjadian; menaklukkan Māra, memenangkan pertempuran, ia kemudian akan terbebas dari segala kemenjadian: inilah akhir dari penderitaan.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian (bhava), yang tanpa nafsu, yang pikirannya damai, tidak akan mengalami kemenjadian lagi, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian, yang tanpa nafsu, yang pikirannya damai, terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian, yang pikirannya telah menjadi tanpa kekotoran (āsrava), tidak akan mengalami kemenjadian lagi, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian, yang pikirannya telah menjadi tanpa kekotoran, terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian, yang telah menghancurkan kecintaan terhadap kemenjadian, tidak akan mengalami kemenjadian lagi, dan telah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Seorang Bhiksu yang telah memutus dirinya sendiri dari kemenjadian, yang telah menghancurkan kecintaan terhadap kemenjadian, terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.

 

Ia yang, setelah melintasi rawa (keinginan), dan (tidak lagi) tertusuk duri-duri keduniawian, telah menemukan cara untuk mengakhiri nafsu, ia (sesungguhnya) disebut seorang Bhiksu.

 

Ia yang, setelah melintasi rawa, dan (tidak lagi) tertusuk duri-duri keduniawian, telah menemukan cara untuk mengakhiri kebencian, ia (sesungguhnya) disebut seorang Bhiksu.

 

Ia yang telah mengakhiri* caci-maki, membunuh, menyakiti, dan duri-duri keduniawian, yang tak tergoyahkan seperti sebuah gunung, yang tak terganggu oleh kesenangan, ia adalah seorang Bhiksu.

 

Seorang Bhiksu yang tidak mencaci-maki atau melebih-lebihkan, yang melihat dunia ini seperti fatamorgana, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Bagaikan tabib menyembuhkan racun ular, demikian pula seorang Bhiksu yang menaklukkan nafsu keinginan yang meningkat, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang melenyapkan setiap nafsu yang terkecil seperti halnya sungai besar (memecahkan) tanggul yang lemah, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang menyingkirkan segala kualitas nafsu, yang membebaskan dirinya dari segala belenggu yang mengikat pada nafsu, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang, setelah menyingkirkan segala belenggu batin, tanpa keburukan, yang pikirannya terputus dari kesedihan karena dukacita, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang penilaiannya jelas, yang melihat dengan jelas segala sesuatu, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang telah melenyapkan seluruh hutan keburukan, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang telah melenyapkan segala penyakit, dll. dari keburukan, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang telah melenyapkan segala kecenderungan yang buruk, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.

 

Seorang Bhiksu yang mempraktekkan Dharma, yang tercerap dalam perenungan (dhyana) pada kekosongan (seluruh substansi), yang mempunyai ketenangan pikiran yang terus-menerus, yang telah meninggalkan dukacita (nibbuta), (ia) berbahagia.

 

Seorang Bhiksu yang, tidak berbicara baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, tinggal di tempat terpencil, hidup dalam kemurnian, sepenuhnya menyingkirkan cinta atas kemenjadian dan kecenderungan (yang buruk).

 

Bab tentang Bhiksu, Yang Ketiga Puluh Dua.

 

33. Brāhmaṇavarga (Brāhmaṇa)

 

Ia yang, walaupun mempunyai jubah berornamen, adalah orang bermoral, terkendali, tenang, terkekang, menjalani kehidupan suci (brahmacharya), yang tidak menyakiti atau membunuh makhluk hidup apa pun, ia adalah seorang Brāhmana, seorang Śramana, ia adalah seorang Bhiksu.

 

Bukan dengan telanjang, dengan rambut panjang, dengan kotoran, dengan berpuasa, atau dengan tidur di tanah kosong, bukan dengan debu dan tanah, atau dengan mendedikasikan diri untuk duduk tanpa bergerak, orang iru menjadi murni dan meninggalkan keragu-raguannya.

 

Śramana dan Brāhmana apapun yang mempunyai nafsu, mereka tidak akan mengakhiri kekotoran (āsrava), dan akan mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan (transmigrasi).

 

Śramana dan Brāhmana apapun yang mempunyai nafsu, mereka tidak akan mengakhiri perasaan (vedanā), dan akan mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.

 

Śramana dan Brāhmana apapun yang mempunyai nafsu, dan yang hanya memperhatikan objek yang bodoh, mereka akan mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.

 

Śramana dan Brāhmana apapun yang mempunyai nafsu, orang bodoh, dan dungu itu akan mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.

 

Śramana dan Brāhmana apapun yang mempunyai nafsu, mereka tidak akan menemukan berkah ideal (Nirvāṇa), dan akan mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.

 

O orang bodoh! apa gunanya rambut panjangmu? apa gunanya jubah kulitmu? Di dalam dirimu bersemayam kegelapan; bagian luarnya engkau buat bersih.

 

Seseorang tidak menjadi Brāhmana karena keluarganya, karena rambutnya yang panjang, karena silsilah keluarganya; ia yang memiliki Dharma kebenaran dan yang murni, ia adalah seorang Brāhmana.

 

Seseorang tidak menjadi Brāhmana karena keluarganya, karena rambutnya yang panjang, karena silsilah keluarganya; ia yang menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia telah menyingkirkan keburukan, Aku menyebutnya seorang Brāhmana.

 

Seseorang bukanlah Śramana karena kepalanya dicukur, seseorang bukanlah Brāhmana karena ia mengucapkan “Om!” Ia yang mengetahui apa yang bajik, dan ia yang murni, ia adalah seorang Brāhmana.

 

Seseorang bukanlah Śramana karena kepalanya dicukur, seseorang bukanlah Brāhmana karena ia mengucapkan “Om!” Ia yang menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia telah menyingkirkan keburukan, adalah seorang Śramana, seorang Brāhmana.

 

Seseorang tidak menjadi murni dengan mencuci, seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya di dunia ini; Ia yang menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia telah menyingkirkan keburukan, adalah seorang Śramana, seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah menyingkirkan segala keburukan, yang mendedikasikan dirinya pada refleksi secara terus-menerus, yang memperoleh pencerahan sempurna dari hancurnya segala kemelekatan, ia di (tiga) alam adalah seorang Brāhmana.

 

Seorang Brāhmana yang telah menyingkirkan segala keburukan, yang tidak munafik, dan yang menjalani kehidupan suci, telah mencapai kesempurnaan (yang tertuang dalam) Veda; hidupnya adalah kehidupan suci (brahmacharya), dan ketika ia berbicara, ucapannya suci.

 

Ia yang tidak menyerah pada tindakan menipu, yang tanpa ego, yang tanpa nafsu, tanpa pengharapan, yang telah menaklukkan kebencian, yang sedang dalam Jalan menuju Nirvāṇa (padamnya dukacita), ia adalah seorang Brāhmana, seorang Śramana, ia adalah seorang Bhiksu.

 

Ia yang terlahir dari seorang wanita, jika ia mempunyai banyak harta, ia dapat disebut “Bhovadi,” namun Aku tidak menyebutnya seorang Brāhmana; ia yang tidak memiliki apapun, yang tidak menerima apapun, ia Kusebut seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak melakukan keburukan apapun dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, yang terkendali dengan baik di tiga bagian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak mengucapkan kata-kata kasar, yang mengatakan apa yang benar (jujur) dan menyenangkan, yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang dengan sabar menahankan sayatan, ikatan, dan kekejaman, yang sikapnya sabar, yang memberikan kekuatan kepada banyak orang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tanpa kemarahan, yang menjalankan Śīla, berperilaku baik, tanpa nafsu, yang saat ini memiliki tubuh untuk terakhir kalinya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak lagi berdiam di antara para pertapa atau umat awam, yang mempunyai sedikit keinginan, yang tidak sering mengunjungi rumah-rumah, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang baginya tidak terdapat kesenangan di masa depan, yang tidak merasakan kesakitan akibat mereka yang ditinggalkannya, yang telah melepaskan belenggu nafsu ragawi, yang telah menang dalam pertarungan (melawan Māra), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

a yang baginya tidak terdapat kesenangan di masa depan, yang tidak merasakan kesakitan akibat mereka yang ditinggalkannya, yang tanpa noda, tanpa nafsu, tanpa dukacita, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak memupuk nafsu keinginan sekecil apapun, yang dijinakkan, yang berdedikasi untuk (memperoleh) hal yang utama (Nirvāṇa), yang telah menghancurkan kekotoran (āsrava), yang dibersihkan dari noda-noda, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang baginya tidak berada di sisi ini maupun sisi itu, yang telah mencapai akhir segala kondisi, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang baginya tidak berada di sisi ini atau sisi itu, yang tanpa kecintaan terhadap tiga objek, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak mengambil apapun di dunia ini, baik pendek maupun panjang, tipis atau tebal, baik atau buruk, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Maka ia yang, dengan memiliki kebijaksanaan, mengakhiri penderitaannya, menjadi tanpa nafsu, terbebas dari segalanya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah menyingkirkan baik kebajikan dan keburukan, yang telah melepaskan segalanya, yang tanpa nafsu (rāga), damai, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah meninggalkan segala kecintaan terhadap kebajikan dan keburukan, yang telah meninggalkan kecintaan, yang terbebaskan dengan sempurna, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang baginya tidak ada di belakang, di depan, dan di antaranya, yang tanpa nafsu (rāga), terbebas dari belenggu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, seperti air di daun teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, tidak melekat pada keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, seperti air di daun teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, tidak melekat pada kenikmatan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, seperti air di daun teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, telah melepaskan kesenangan dalam kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, seperti rembulan, suci, murni, tanpa noda, jernih sempurna, yang telah menghilangkan keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, seperti rembulan, suci, murni, tanpa noda, jernih sempurna, yang telah menyingkirkan segala kesenangan dalam kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang terbebas dari keburukan, seperti halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan (yang terbebas dari) debu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang terbebas dari nafsu, seperti halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan (yang terbebas dari) debu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang melepaskan segala kesenangan dalam kemenjadian, seperti halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan (yang terbebas dari) debu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang berdiam (dalam keterasingan), terbebas dari nafsu ragawi (rāga), bermeditasi, tanpa kekotoran (āsrava), telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, jinak, memiliki tubuh terakhirnya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang pengetahuannya mendalam, yang pikirannya terarah dengan baik, yang mengetahui jalan yang benar dan yang salah, yang telah menemukan berkah terbesar (Sang Jalan menuju Nirvāṇa), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Orang-orang, siapapun mereka, yang hidup hanya pada derma makan, yang tidak memiliki apapun, yang tidak melakukan kejahatan, yang tekun, yang menjalani kehidupan suci (brahmatcharya), yang, (diri mereka sendiri) menjadi sangat bijaksana, mengajar Dharma (nidāna-nidāna), mereka, Aku nyatakan, adalah para Brāhmana.

 

Ia yang menyingkirkan nafsu keinginan, yang meninggalkan rumah saat memasuki kebhiksuan, yang mengakhiri keburukan nafsu keinginan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia tidak menyakiti makhluk hidup apapun, yang tidak membunuh atau ikut serta dalam pembunuhan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang toleran terhadap mereka yang intoleran, yang sabar menahankan hukuman, yang berbelas kasihan terhadap semua makhluk, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Bagaikan biji moster (yang terjatuh) dari ujung suatu buluh, demikian pula ia yang menjaga nafsu, kebencian, dan ego dalam kendali, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang melampaui benteng rasa cinta dan sungai transmigrasi ini, yang telah menyeberang (yaitu, setelah menemukan Sang Jalan menuju Nirvāṇa), tidak memiliki baik pikiran dan objek-objek pikiran yang memikirkan tentang pergi ke pantai seberang, yang telah meninggalkan kemelekatan (upādāna), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak mempunyai keinginan pada dunia ini atau pada dunia lain, yang telah mengakhiri segala kecintaan untuk kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tanpa cinta pada dunia ini atau pada dunia lain, yang tidak memiliki cinta, yang telah melepaskannya sama sekali, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, setelah melepaskan apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, menjadi sejuk (yaitu, telah menemukan kepuasan), yang tanpa keburukan, yang telah mengatasi seluruh dunia, yang tekun, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, setelah melepaskan kemelekatan manusia, telah meninggalkan kemelekatan para dewa, ia yang terbebas dari segala kemelekatan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang jalannya tidak dipahami oleh para Deva, Gandharva, dan manusia, ia yang kepasifannya tidak dipahami oleh orang-orang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang baginya tidak ada Dharma yang tidak diketahui dan dipahami, ia yang melihat hingga ke bagian pengetahuan yang terjauh, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, mengetahui kediaman (kemenjadian) sebelumnya, melihat surga (svarga) dan neraka, Sang Muni yang telah menemukan cara untuk mengakhiri kelahiran, yang sempurna dalam pengetahuan, yang mengetahui lenyapnya penderitaan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang pikirannya terbebaskan secara sempurna, yang bijaksana, yang terbebas dari segala nafsu, yang memiliki tiga pengetahuan (trividyā), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang memahami kematian, perubahan, dan kelahiran semua makhluk hidup, yang memiliki mata yang menembus segalanya (sammanta chakkhu), yang telah mencapai pencerahan sempurna (Buddha), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah meninggalkan segala kemelekatan, yang tanpa penderitaan, tanpa kegembiraan, yang merefleksikan, dan yang mengajarkan (orang lain), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang adalah seorang Muni, seorang penakluk (djina), Rischi terbesar, pemimpin di antara para pemimpin, lembu jantan (usabham) terbesar, yang tidak mencari apa pun, yang telah dibersihkan, yang telah mencapai pencerahan sempurna (Buddha), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah meninggalkan kemenjadian, yang telah menaklukkan segalanya, yang telah menyeberangi arus, yang menjauh (dari dunia), yang telah melepaskan segalanya, dan telah mencapai pantai seberang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak memikirkan apa yang buruk, yang tidak berbicara sembarangan, yang hidup, pikirannya terbebas dari nafsu ragawi, (rāga), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang jubahnya berasal dari tumpukan sampah, yang belajar untuk berkecukupan, yang tanpa nafsu keinginan, yang tinggal di dekat sebatang pohon, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang, setelah menyingkirkan segala penderitaan, menjadi tenang, dan mendedikasikan dirinya untuk bermeditasi pada Jalan Mulia Berunsur Delapan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah meninggalkan segalanya (keduniawian), yang tercerahkan, tanpa keraguan dan dukacita, yang melihat keadaan sempurna yang bebas dari kematian (akkhara?—yakni, Nirvāṇa), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang tidak memiliki tubuh, yang tinggal di dalam gua, yang mengembara sendirian, yang mengendalikan lompatan pikiran yang sulit dikendalikan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang memahami yang tidak berwujud (arūpa) yang tidak dapat dilihat, yang tanpa terbatas (ananta) yang tidak mungkin dapat dilihat, yang halus, yang mendasar, yang selalu merefleksikan, yang telah mengakhiri segala kemelekatan (yoga), yang sempurna tercerahkan (Buddha), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah menghancurkan pengikat (?) dan senar-senarnya, yang dengan memotong senar-senar dan tali-tali tersebut telah membuang segala penderitaan serta tercerahkan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah menghancurkan nafsu keinginan terhadap harta benda (duniawi), keburukan, belenggu mata daging, yang telah mencabut nafsu keinginan sampai ke akar-akarnya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang dengan ketekunan telah memotong arus, yang telah mengatasi segala nafsu keinginan, yang mengetahui akhir dari sanskāra, yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah membunuh ayah dan ibu serta dua orang raja murni (śuxi), dan yang telah menaklukkan kerajaan-kerajaan mereka beserta penduduknya, yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang telah membunuh ayah dan ibu serta dua orang raja murni (śuxi), dan yang telah membunuh seekor macan yang tak tertahankan (veyyaggha, yakni, kekejaman), yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.

 

Ia yang dengan bodohnya mengusir seorang Brahmana yang bermoral, adalah orang jahat; seseorang tidak seharusnya menyerang para Brāhmana; seseorang tidak seharusnya mengusir para Brāhmana.

 

Ia yang memahami Dharma dengan sempurna seharusnya dihormati dan disegani baik oleh yang muda maupun yang tua, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci (aggihuttam).

 

Ia yang memahami Dharma dengan sempurna seharusnya dihormati dan didekati dengan hormat baik oleh yang muda maupun yang tua, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.

 

Ia yang  memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha Yang

Sempurna, seharusnya dihormati dan disegani, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.

 

Ia yang  memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha Yang

Sempurna, seharusnya dihormati dan didekati dengan hormat, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.

 

Ketika seorang Brāhmana telah mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia berdiri sendiri, meninggalkan jauh di belakang (semua ketakutan) terhadap para Piśātcha (dan para Rākcha seperti) Vakula.

 

Ketika seorang Brāhmana telah mencapai pantai seberang kemenjadian (lit. Dharma), maka ia melihat, dan semua perasaan (vedanā) lenyap dari pandangannya.

 

Ketika seorang Brāhmana telah mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia melihat, dan segala sebab (hetu) lenyap.

 

Ketika seorang Brāhmana telah mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia melihat, dan segala kemelekatan (yoga) lenyap.

 

Ketika seorang Brāhmana telah mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia meninggalkan kelahiran, usia tua, dan kematiannya.

 

(33.82, bagian ke-1). Matahari bersinar di siang hari, rembulan bersinar di malam hari, baju zirah sang raja bersinar, seorang Brāhmana bersinar dalam meditasinya.

 

(33.83, bagian ke-2). Matahari bersinar di siang hari, rembulan bersinar di malam hari, secara terus menerus, siang dan malam, cahaya (yang berasal dari Sang) Buddha bersinar.

 

Sebagaimana para Brāhmana dan sejenisnya telah meninggalkan segala yang tidak menyenangkan, sebagaimana pikiranku telah meninggalkan (segala nafsu), Aku telah benar-benar telah mengakhiri segala hal yang remeh.

 

Ketika seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif telah memahami dengan sempurna kondisi-kondisi (dharma) (yang berbeda) dan penyebab-penyebabnya (dua belas nidāna), dan ketika gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.

 

Ketika seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif telah memahami dengan sempurna penderitaan dan penyebabnya, dan ketika gagasan (dharma) ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.

 

Ketika seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif telah menemukan hancurnya perasaan (vedanā), dan ketika gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.

 

Ketika seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif telah menemukan lenyapnya segala penyebab (hetu), dan (ketika) gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.

 

Ketika seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif telah menemukan lenyapnya kekotoran (āsrava), dan ketika gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.

 

Ketika bagi seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif, semua gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas, ia berdiri menerangi segala dunia (atau segenap dunia) seperti matahari yang menyinari langit.

 

Ketika bagi seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif, yang melalui pengetahuan telah terbebas dari segala kemelekatan (yoga), semua gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas, ia berdiri, setelah mengusir kumpulan Māra (seperti matahari yang menerangi langit?).

 

Bab tentang Brāhmaṇa, Yang Ketiga Puluh Tiga.

 

UDĀNAVARGA YANG DIKOMPILASIKAN OLEH DHARMATRĀTA TELAH SELESAI.

 

Tibetan Udānavarga

  Udānavarga ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet oleh Pandita dari India bernama Vidyaprabhakara dan Lo...