Senin, 07 Februari 2022

Nāgasena Bhikṣu Sūtra

Sūtra ini berasal dari terjemahan Inggris milik Ven. A (nama disamarkan, karena saya belum meminta izin untuk menerjemahkannya). Saya (Arya Karniawan) yang menerjemahkan Sūtra ini. Sūtra ini tidak pernah dipublikasikan kemanapun selain di sini. Jika terdapat kesalahan dalam terjemahan ini, jangan sungkan komen di kolom komentar. Copyright Sūtra ini adalah:

Translated by Arya Karniawan2022.
Diterjemahkan dari teks milik Ven. A.
Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Prepared by Arya Karniawan.

Nāgasena Bhikṣu Sūtra 

{Taishō Tripiṭaka 1670B}


[Narasi Pengantar: Peristiwa pada masa Buddha Gotama]


Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu komunitas para Bhikṣu, Bhikṣuṇī, Upāsakā, dan Upāsikā, para Dewa, Raja, Menteri Agung, perumah tangga [terkenal], orang-orang [biasa], dan mereka yang menekuni sembilan puluh enam jenis jalan, lebih dari sepuluh ribu orang, datang setiap hari untuk mendengarkan Dharma di depan Sang Buddha.


Sang Buddha berpikir dalam batin-Nya bahwa dengan meningkatnya jumlah orang-orang yang berkumpul setiap harinya [menjadikan-Nya] tidak memperoleh kenyamanan fisik. Sang Buddha memiliki keinginan dalam batin-Nya untuk meninggalkan kumpulan orang-orang dan pergi menuju suatu tempat terasing untuk duduk dengan penuh perhatian merenungkan Sang Jalan. Meninggalkan kumpulan orang-orang dan pergi, Sang Buddha memasuki sebuah gunung dan tiba di sebuah hutan Sāla. Sang Buddha duduk dengan penuh perhatian merenungkan Jalan Pemurnian di bawah sebuah pohon [yang dihuni oleh] para makhluk halus.


Tidak jauh dari hutan terdapat sebuah kawanan gajah yang berjumlah lebih dari lima ratus ekor. Raja gajah di antara mereka adalah bermoral dan terampil; mirip seperti manusia, ia mengerti hal-hal yang bajik dan yang buruk. Di antara kumpulan banyak gajah yang mengelilingi raja gajah ada para pejantan dan betina, mereka yang bergigi panjang, bergigi sedang, dan bergigi kecil.


Ketika raja gajah sedang haus dan ingin pergi meminum air, semua gajah kecil akan berlari di depannya dan masuk ke air untuk minum. Setelah minum, mereka akan berlarian dan bermain di air, mengaduk-aduk dan mengeruk air, sehingga air menjadi berlumpur dan menjijikkan. Raja gajah tidak dapat memperoleh air bersih untuk diminum.


[Ketika] raja gajah sedang lapar dan ingin pergi memakan rumput, lagi-lagi semua gajah kecil akan berlari di depannya dan memakan rumput yang lezat. Mereka akan berlarian dan bermain, menginjak-injak rumput itu. Raja gajah tidak dapat memperoleh rumput yang bersih untuk dimakan.


Raja gajah berpikir dalam batinnya, “Aku sangat terganggu dengan banyaknya kawananku. Semua gajah dan gajah kecil mengaduk air, mereka membuatnya berlumpur, dan mereka membuat rumput menjadi kotor. Pada akhirnya aku selalu meminum air berlumpur dan memakan rumput yang telah terinjak-injak.”


Raja gajah berpikir dalam batinnya, “Aku ingin meninggalkan semua gajah ini. Bukankah akan menyenangkan untuk pergi ke suatu tempat yang tersembunyi?” Kemudian raja gajah meninggalkan kawanannya dan pergi. Ia pergi memasuki sebuah gunung dan pada akhirnya tiba di hutan Sāla.


Melihat Sang Buddha, Sang Buddha sedang duduk di bawah suatu pohon, pikiran raja gajah menjadi sangat gembira. Ia pergi ke hadapan Sang Buddha, berlutut untuk bersujud dan memberi hormat kepada Sang Buddha, dan mundur untuk berdiri di satu sisi.


Sang Buddha berpikir dalam batin-Nya, “Aku telah meninggalkan kerumunan orang-orang untuk datang ke sini dan raja gajah juga telah meninggalkan kerumunan gajah dan telah datang ke hutan ini. Tujuan kita adalah sama.”


Sang Buddha mengajarkan gajah sesuai Dharma, dengan mengatakan, "Seorang Buddha adalah yang paling dihormati di antara manusia dan seekor raja gajah juga dihormati di antara semua gajah."


Sang Buddha berkata, “Kondisi batin-Ku dan kondisi batin raja gajah berhubungan satu sama lain. Raja gajah dan Aku benar-benar bersenang dalam berada di hutan ini.”


Mendengar Dharma [yang Sang Buddha ajarkan kepadanya],  indriya batin raja gajah terbuka dan ia memahami maksud Sang Buddha. Kemudian ia menjaga tempat di mana Sang Buddha berlatih meditasi jalan. Dengan belalainya ia mengambil air untuk menyiram tanah. Mengambil rumput dengan belalainya, ia menyapu tanah. Dengan kakinya ia menginjak-injak tanah untuk meratakannya dengan baik. Raja gajah melakukan pelayanan demikian setiap hari di pagi dan sore hari.


Kemudian, setelah waktu yang lama, Sang Buddha pada akhirnya pergi, mengambil jalan yang tak berkondisi, Nirvāṇa. Raja gajah tidak tahu di mana Buddha berada. Ia berkeliling mencari Sang Buddha tetapi tidak berhasil. Menangis dan dalam kesedihan, ia tidak bahagia dan tidak berani untuk makan dan minum.


Pada saat itu di wilayah tersebut terdapat sebuah Ārāma Buddha di atas sebuah gunung yang disebut Kālavana. Lima ratus petapa bersama-sama berdiam di dalamnya, semuanya telah mencapai pencerahan para Arhat. Pada puasa enam hari dalam sebulan mereka secara teratur mengulang Dharma sepanjang malam. Raja gajah juga tinggal di dekat Ārāma di atas gunung. Raja gajah mengetahui bahwa ada pembacaan Dharma pada puasa enam hari. Pada hari-hari seperti itu Raja gajah secara teratur datang ke Ārāma dan mendengarkan Dharma.


Para petapa tahu bahwa Raja gajah bersenang dalam mendengarkan Dharma. Ketika mereka ingin membacakan Dharma, mereka akan menunggu raja gajah untuk datang dan kemudian membacakan Dharma. Raja gajah mendengarkan Dharma sampai pagi tanpa tidur, tanpa berbaring, dan tanpa bergerak, tetap berdiri diam.


[Narasi Pengantar: Kehidupan Selanjutnya]


Karena raja gajah telah sering mendengarkan Dharma dan melakukan pelayanan untuk Sang Buddha, ketika setelah waktu yang lama ia juga telah mati dan meninggal pada akhirnya, raja gajah memperoleh [kelahiran] menjadi manusia. Ia terlahir kembali sebagai seorang anak di sebuah keluarga Brāhmaṇa, di mana ia tidak lagi mendengar Buddha Dharma dan juga tidak melihat para pertapa. Pada akhirnya ia meninggalkan keduniawian dan memasuki suatu gunung terasing untuk berlatih di atas gunung didalam jalan para Brāhmaṇa. Di dekatnya terdapat Brāhmaṇa lain yang mempraktikkan jalan. Dengan bersama di puncak gunung, mereka saling berkunjung dan menjadi kenal satu sama lain.


Salah satu dari mereka berpikir untuk dirinya sendiri:


Aku lelah dengan otoritas pemerintahan di dunia. Terdapat kesedihan dan rasa sakit karena usia tua, penyakit, dan kematian, yang setelahnya seseorang akan masuk neraka atau terlahir kembali sebagai sesosok hantu kelaparan, seekor binatang, atau di antara orang-orang miskin. Karena alasan inilah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah pertapa, dan menjadi seorang pertapa untuk mencari jalan melampaui dunia menuju yang tak berkondisi.


Yang lainnya berpikir dalam batinnya:


Aku bercita-cita dan berusaha untuk menjadi raja suatu negara tanpa hambatan; biarlah semua orang-orang di dunia bersama-sama tunduk padaku dan mengikuti perintahku.


Aspirasi keduanya seperti ini.


[Narasi Pengantar: Kehidupan Nāgasena Saat Ini]


Setelah sekian lama keduanya meninggal dunia dan kembali memperoleh [kelahiran] menjadi manusia di dunia ini. Ia yang di kehidupan sebelumnya ingin menjadi raja di negara itu terlahir kembali sebagai putra mahkota di sebuah negara di tepi laut. Pada akhirnya orang tuanya memberi nama anak itu Milinda.


Ia yang di kehidupan sebelumnya berharap untuk [mencari] jalan melampaui dunia menuju yang tak berkondisi, Nirvāṇa, terlahir kembali di India di negara Kashmir. Ketika terlahir kembali, ia terlahir dengan mengenakan sebuah jubah pertapa, sehingga orang tuanya kemudian memberinya [nama panggilan] Tuolie. Aspirasinya di kehidupan sebelumnya adalah alasan mengapa ia terlahir kembali dengan sebuah jubah pertapa. Pada hari yang sama seekor raja gajah terlahir di keluarga itu. Di India gajah-gajah disebut Nāga. Bergantung pada kata ini untuk seekor gajah, pada akhirnya orang tuanya memberi nama anak mereka [yang sesuai] Nāgasena.


Nāgasena telah tumbuh dan [berusia] sekitar lima belas dan enam belas tahun. Ia memiliki paman dari pihak ibu bernama Rohaṇa. Rohaṇa, yang telah menjadi seorang pertapa, memiliki kemampuan batin yang tinggi dan tak tertandingi di dunia. Dengan matanya ia dapat melihat dengan tajam, dengan telinganya ia dapat mendengar dengan tajam, dan ia mengetahui dari mana ia sendiri terlahir kembali. Berjalan, ia dapat terbang; ia dapat keluar [dari tempat] di mana tidak ada celah; ia dapat masuk ke tempat yang tidak berlubang. Ia dapat mengubah dirinya sesuai keinginannya; tidak ada yang tidak dapat ia lakukan. Rohaṇa juga memiliki pengetahuan masa lampau tentang semua pikiran di batin orang-orang baik di surga dan di dunia, bahkan spesies makhluk terbang dan mereka yang merayap [di tanah].


Nāgasena dengan kemauannya sendiri pergi menemui paman dari ibunya dan pada akhirnya menceritakan tentang rencananya sendiri, “Tekadku telah menetap pada Jalan Sang Buddha. Aku ingin mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah pertapa, dan menjadi seorang pertapa. Sekarang aku [malah] harus menjadi seorang siswa dari paman ibuku. Apakah engkau akan menyetujui dan mendukungku untuk menjadi pertapa dengan diriku sendiri?”


Rohaṇa, yang mengetahui bahwa Nāgasena di kehidupan sebelumnya telah melakukan apa yang bajik dan bahwa ia bijaksana, sangat bersimpati dan karena itulah mengizinkannya menjadi seorang petapa. Dimulai dengan menjadi seorang Śrāmaṇera kecil, Nāgasena mengambil sepuluh Śīla. Setiap hari ia membacakan Dharma, terlatih dalam pembelajaran, dan merenungkan Śīla  [yang terdapat] di dalam kanon. Ia mencapai empat Dhyāna dan sepenuhnya mengetahui Dharma. Ia hanya belum menerima Śīla seorang pertapa agung [Prātimokṣa Śīla].


Pada saat itu, di sebuah gunung di wilayah tersebut terdapat sebuah Ārāma Buddha bernama "Meditasi Lentur". Di Ārāma "Meditasi Lentur" terdapat lima ratus pertapa yang semuanya telah mencapai pencerahan para Arhat. Arhat terkemuka di antara mereka disebut Anpoyue. Ia dapat mengetahui tentang hal-hal di masa lampau, saat ini, dan masa depan di alam surgawi dan di dunia.


Karena Nāgasena telah berusia dua puluh tahun, ia menerima Śīla seorang petapa agung dan menjadi seorang petapa agung. Pada akhirnya ia pergi ke Ārāma "Meditasi Lentur" dan mendekati Anpoyue di dalam. Tepat pada saat itu adalah hari kelima belas [penanggalan lunar] dan lima ratus Arhat duduk di aula atas untuk melafalkan Śīla [yang terdapat] di dalam kanon untuk para petapa agung [Prātimokṣa Śīla]. Semua petapa agung masuk dan Nāgasena juga ada di antara mereka. Semua pertapa di komunitas itu duduk.


Anpoyue mengamati pikiran semua pertapa yang duduk di dalam. Semuanya adalah Arhat, hanya Nāgasena yang belum mencapai pencerahan seorang Arhat. Anpoyue pada akhirnya mengajarkan sebuah perumpamaan dari Dharma:


Seperti halnya menerima beras yang rusak, dan di antara beras yang benar-benar murni di sana terdapat sebuah [bulir] beras hitam: Ia membuang yang buruk. Sekarang semua di antara kita yang duduk di sini adalah murni, hanya Nāgasena yang 'hitam' karena belum mencapai pencerahan seorang Arhat.


Mendengar Anpoyue mengajarkan dari Dharma dengan cara ini, Nāgasena menjadi sangat khawatir. Ia pada akhirnya bangkit dan, setelah memberi hormat kepada lima ratus Arhat, pergi ke luar. Nāgasena berpikir dalam batinnya:


Tidaklah cocok bagiku untuk duduk dalam pertemuan ini. Aku memang belum mencapai pembebasan; semua petapa lainnya telah terbebas. Seperti seekor serigala yang berada di antara kumpulan para singa. Sekarang aku persis seperti itu. Mulai sekarang, karena belum mencapai pencerahan, aku tidak akan masuk untuk duduk di antara komunitas lagi.


Anpoyue mengetahui apa yang dipikirkan Nāgasena. Ia kemudian memanggil Nāgasena untuk maju dan dengan tangannya membelai kepala Nāgasena, [dengan berkata], “Sebentar lagi engkau akan menjadi Arhat, jangan khawatir!” Anpoyue pada akhirnya ingin Nāgasena duduk dan tetap di sana [untuk pembacaan Śīla yang terdapat di dalam kanon] [Prātimokṣa Śīla].


Nāgasena juga memiliki guru lain yang berusia lebih dari delapan puluh tahun dan bernama Jiaweiyue. Di wilayah itu terdapat seorang perumah tangga dengan moralitas dan kebajikan yang besar, yang setiap hari menyediakan makanan untuk Jiaweiyue dan para siswanya. Saat ini adalah giliran Nāgasena untuk mengambil peralatan yang sesuai dan pergi mengambil bekal makanan atas nama gurunya. Sang guru menyuruh Nāgasena menyimpan air di mulutnya saat pergi ke rumah perumah tangga untuk mengambil bekal makanan.


Perumah tangga itu melihat bahwa Nāgasena masih muda dan tampan, dan sikapnya tidak biasa di antara orang-orang. Untuk waktu yang lama setelah mengetahui bahwa Nāgasena memiliki kebijaksanaan, dan setelah sebelumnya mendengar aspirasinya yang cerah dan reputasinya karena dapat mengajarkan Dharma tentang Sang Jalan, saat melihatnya memasuki rumah, perumah tangga bangkit dan pada akhirnya melangkah maju untuk memberi hormat. Dengan merangkapkan tangan ia berkata:


Sudah lama aku memberi makan para petapa dan mereka yang datang [tidak pernah] mengajariku sesuai Dharma. Sekarang aku meminta Nāgasena, demi belas kasihan atas harapanku, untuk mengajariku sesuai Dharma dan bebaskanlah aku dari ketidaktahuanku.


Nāgasena berpikir dalam batinnya, “Aku telah menerima instruksi guruku bahwa aku harus menyimpan air di mulutku, tidak diizinkan untuk berbicara. Jika aku menyemburkan air sekarang, aku akan melanggar perintah guruku. Saat seperti ini, apa yang harus aku lakukan? ”


Nāgasena berpikir, “Perumah tangga memiliki kemampuan yang hebat dan ia juga memiliki aspirasi. Dengan diajarkan sesuai Dharma olehku, aku pikir ia akan mencapai Sang Jalan.”


Nāgasena pada akhirnya menyemburkan air itu dan duduk untuk mengajar sesuai Dharma:


Seseorang yang memberikan persembahan, melakukan apa yang bajik, dan menjalankan Śīla [yang terdapat] di dalam kanon hidup dengan nyaman di kehidupan sekarang dan di kehidupan selanjutnya pada akhirnya akan terlahir kembali di alam surga. Dengan terlahir kembali di antara manusia [lagi], ia akan menjadi cerdas dan kaya; ia tidak akan lagi memasuki neraka atau terlahir kembali di antara para hantu kelaparan atau para binatang. Seseorang yang tidak menjalankan Śīla [yang terdapat] di dalam kanon hidup dengan menderita di kehidupan sekarang dan di kehidupan selanjutnya terjatuh lagi ke dalam tiga takdir yang buruk, dengan berkurangnya kesempatan untuk keluar.


Mendengar Dharma itu, pikiran perumah tangga itu menjadi senang. Mengetahui bahwa pikiran perumah tangga itu menjadi senang, Nāgasena pada akhirnya mengajarinya lagi dan dari Dharma mendalam, dengan mengatakan:


Segala sesuatu di dunia, semuanya akan berlalu; tidak satu pun dari mereka bertahan selamanya. Segalanya berlalu; mereka semua tidak memuaskan. Orang-orang di dunia semuanya juga seperti demikian. Orang-orang di dunia semuanya berkata, “Tubuh milikku ini akan berlalu; Aku menerimanya." [Namun] mereka semua belum memperoleh pembebasan dengan pencerahan pada Nirvāṇa. [Hanya] dengan kebahagiaan tertinggi Nirvāṇa seseorang tidak terlahir kembali, tidak menua, tidak sakit, tidak mati, tidak khawatir, dan tidak berduka. Keburukan dan kesulitan semuanya dilenyapkan sepenuhnya.


Nāgasena setelah mengajarinya sesuai Dharma, perumah tangga itu mencapai pemasuk-arus, [tingkat] pencerahan pertama. Nāgasena sendiri juga mencapai pemasuk-arus, [tingkat pertama dari] pencerahan.


Perumah tangga itu sangat senang dan pada akhirnya mempersembahkan makanan yang terbaik kepada Nāgasena. Nāgasena memberitahu perumah tangga itu untuk menaruh bekal [makanan] terlebih dahulu ke dalam mangkuk gurunya. Setelah selesai makan dan mencuci mulutnya, Nāgasena mengambil bekal makanan dan kembali untuk memberikannya kepada gurunya.


Sang guru melihat bekal makanan dan berkata, “Hari ini engkau datang membawa bekal makanan, bagus sekali. [Namun], setelah melanggar kesepakatan komunitas, engkau harus dikeluarkan.” Nāgasena menjadi khawatir dan tidak senang.


Sang guru mengadakan pertemuan kumpulan para Bhikṣu dari komunitas tersebut. Para Bhikṣu dari komunitas tersebut semuanya telah duduk untuk pertemuan tersebut, sang guru berkata, “Nāgasena telah melakukan suatu pelanggaran terhadap kesepakatan komunitas kita. Kita harus bersama-sama mengusirnya; ia seharusnya tidak diizinkan untuk tinggal di komunitas kita.”


Anpoyue mengajarkan sebuah perumpamaan, dengan mengatakan:


Ia seperti seseorang yang menembak dua sasaran dengan satu anak panah. Orang seperti ini tidak boleh diusir. Dengan mengajar, Nāgasena mencapai Sang Jalan dengan dirinya sendiri dan juga menyebabkan perumah tangga mencapai Sang Jalan. Ia tidak seharusnya diusir.


Guru Nāgasena, Jiaeweiyue berkata:


Bahkan jika ia telah menembak seratus target dengan satu anak panah, kita telah bertemu tentang kesepakatan komunitas. Ia seharusnya tidak diizinkan untuk menetap. Orang lain tidak semuanya mampu mencapai Sang Jalan seperti Nāgasena. Hal ini jangan sampai terulang lagi. Jika Nāgasena tidak diusir, orang lain akan mengikutinya dan tidak ada cara untuk menghentikannya nanti.


Semua yang duduk di komunitas itu tetap berdiam diri.


Mengikuti perintah sang guru, Nāgasena terusir. Nāgasena pada akhirnya memberi hormat dengan kepalanya di kaki sang guru, bangkit dan memberi hormat, mengelilingi komunitas para Bhikṣu. Setelah memberi hormat, pada akhirnya ia pergi, memasuki suatu gunung terpencil, dan duduk di bawah suatu pohon di tengah-tengah [gunung]. Siang dan malam mengerahkan dirinya dengan penuh perhatian dalam Sang Jalan tanpa kelalaian, ia sendiri pada akhirnya mencapai pencerahan seorang Arhat. Ia juga dapat terbang dan dengan matanya ia juga melihat dengan tajam, dengan telinganya ia mendengar dengan tajam. Ia juga dapat mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Ia mengetahui kehidupan lampaunya sendiri dan di mana ia akan terlahir kembali.


Setelah menjadi seorang Arhat, pada akhirnya ia kembali untuk masuk ke dalam Ārāma "Meditasi Lentur". Ia bersujud di tengah komunitas para Bhikṣu dan mengakui pelanggarannya, mengharapkan pengampunan dari komunitas para Bhikṣu di "Meditasi Lentur". Para Bhikṣu di komunitas itu menerimanya. Setelah selesai memberikan penghormatan, Nāgasena pada akhirnya keluar dan pergi.


Nāgasena melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, memasuki jalan-jalan di berbagai provinsi dan wilayah dan jalan-jalan pedesaan yang berkelok. Ia mengajarkan orang-orang Dharma dan Śīla dan menginstruksikan orang-orang dalam apa yang bajik. Beberapa di antara mereka mengambil lima Śīla, beberapa mencapai pencerahan seorang pemasuk-arus, beberapa mencapai pencerahan seorang yang-sekali-kembali, beberapa mencapai pencerahan seorang yang-tidak-kembali, dan beberapa menjadi petapa dan mencapai pencerahan seorang Arhat.


Empat Raja Surgawi dari [alam surgawi] pertama, Sakka dari [alam surgawi] kedua Tusita, dan raja surgawi Brahmā dari [alam surgawi] ketujuh semuanya datang ke hadapan Nāgasena, memberi hormat dengan kepala mereka di kakinya dan duduk kembali, [ketika] Nāgasena sedang mengajar sesuai Dharma kepada semua orang. Reputasinya terdengar di empat [penjuru] surga. Ke mana pun Nāgasena pergi, para deva, manusia, yakṣa, dan nāga semuanya tanpa kecuali senang melihat Nāgasena dan mereka semua memperoleh jasa kebajikan.


Nāgasena pada akhirnya tiba dalam perjalanannya di negara Shejie (Sāgala) di India, di mana ia tinggal di Ārāma Xiedijia.


[Narasi Pengantar: Kehidupan Milinda Saat Ini]


Orang yang pernah menjadi rekannya di kehidupan sebelumnya telah menjadi putra mahkota di sebuah negara di tepi laut; ia bernama Milinda. Di masa mudanya, Milinda sangat gemar membaca dharma dari praktisi heterodoks dan ia mengetahui seluruh praktik heterodoks. Memperdebatkan dharma dan vinaya mereka, tidak ada praktisi heterodoks yang bisa mengalahkannya. [Ketika] ayah Milinda, sang raja, telah meninggal dunia, Milinda dinobatkan sebagai raja negara.


Sebagai raja, ia bertanya kepada para menterinya, yang mengelilinginya di sisi kiri dan kanannya, “Siapakah di antara para praktisi agama dan orang-orang di negeri ini yang mampu berdebat denganku tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan?”


Para menteri di sekelilingnya berkata kepada raja:


Terdapat seorang praktisi di jalan Sang Buddha; orang-orang memanggilnya seorang "petapa". Orang itu bijaksana dan terpelajar; ia mampu berdebat bersama dengan raja besar tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan. 


Saat itu [Milinda telah berdiam] di sebuah istana para raja-raja kuno yang berada di negara bernama Shejie (Sāgala), di sebelah utara kekaisaran besar Qin (kolonial Yunani). Negara itu damai di dalam dan di luarnya, dan semua orang-orangnya terampil. Kota itu dikelilingi oleh jalan di keempat sisinya dan semua gerbang kota dihiasi dengan pahatan dan ukiran tulisan. Setiap wanita di istana memiliki kamarnya sendiri. Jalan, pasar, dan permukiman disejajarkan secara berbaris.


Jalan-jalan utama, yang memiliki toko-toko dijajarkan secara berbaris, berukuran besar, dipenuhi gajah-gajah, kuda-kuda, kereta-kereta, dan para pejalan kaki, pria dan wanita. Di kolam-kolam yang ada bantarannya, para praktisi agama, para kerabat, pengrajin, rakyat jelata dan mereka yang dari negara kecil [lainnya] berkumpul. Mereka semua sangat bijaksana. Pakaian orang-orang itu sangat cerah dengan lima warna. Wanita berpakaian putih dan semuanya dihiasi dengan perhiasan.


Wilayah negara itu tinggi dan kering, dengan banyak harta. Para pedagang dari empat arah datang untuk berdagang; mereka semua menggunakan koin emas. Lima biji-bijian berlimpah dan keluarga-keluarga memiliki [kelebihan] perbekalan dan hewan-hewan ternak. Di sekitar pasar dijual sup manis dengan nasi untuk yang lapar sehingga mendapat makanan, dan terdapat anggur dari campuran buah anggur untuk yang haus sehingga dapat minum. Hal-hal itu sangat menyenangkan sehingga sulit untuk diungkapkan.


Raja bernama Milinda berada di negara itu dan ia memerintah negara ini dengan mengandalkan hukum yang sesuai. Milinda dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya yang sangat baik berpengalaman dalam Dharma dan metode duniawi, mampu berdebat tentang masalah masa lampau, saat ini, dan masa depan. Ia memiliki pemahaman tentang urusan publik dan keterampilan perang; tidak ada yang tidak ditembus oleh kecerdasannya.


Saat itu raja sedang pergi ke luar kota untuk jalan-jalan santai, dikelilingi oleh sekerumunan pasukan. Raja itu bangga pada dirinya sendiri, [dengan berpikir] dalam pikirannya, “Aku adalah raja dan aku dapat menjawab kepada para pengikut dari sembilan puluh enam jenis dharma pada sang jalan. [Bahkan] saat diinterogasi oleh banyak orang, aku pada akhirnya telah mengetahui sebelumnya apa yang akan mereka katakan, segera setelah orang-orang akan memikirkannya.”


Raja berkata kepada para menteri pengawal:


Masih terlalu awal untuk memasuki kota; juga tidak ada yang bisa dilakukan di sana. Mungkinkah di sekitar sini terdapat seorang praktisi agama atau petapa yang berpengalaman dalam Dharma dan mampu berdebat bersama denganku sehubungan dengan Dharma yang menyatakan tentang Sang Jalan?


Para menteri pengawal raja bernama Zhanmili dan Wangqun. Zhanmili dan Wangqun berkata kepada raja:


Tentu saja, terdapat seorang petapa bernama Yeheluo yang memiliki pemahaman yang baik sehubungan dengan Dharma pada Sang Jalan. Ia akan dapat berdebat bersama dengan raja sehubungan dengan Dharma yang mengajarkan tentang Sang Jalan.


Raja kemudian memerintahkan Zhanmili dan Wangqun untuk mendekatinya dan mengundangnya untuk datang. Zhanmili dan Wangqun pergi untuk mengundang Yeheluo, dengan mengatakan, "Raja agung berkeinginan untuk melihat guru agung."



Yeheluo berkata, “Sangatlah baik bahwa raja berkeinginan untuk menemuiku. Ia seharusnya hanya perlu datang sendiri; Aku tidak akan datang.”


Zhanmili kembali untuk memberitahu raja bahwa seperti demikian. Mengemudikan sebuah kereta kuda, raja mendekati Ārāma dengan ditemani lima ratus penunggang kuda dan [mereka] masuk ke dalam. Ketika bertemu, raja dan Yeheluo pertama-tama bertegur sapa dan kemudian duduk; lima ratus penunggang kuda semuanya mengikutinya dengan ikut duduk juga.


Raja bertanya kepada Yeheluo:


Yang mulia, untuk alasan apa engkau meninggalkan kehidupan rumah tangga, meninggalkan istri dan anak-anak, mencukur rambut dan janggut, dan mengenakan jubah petapa untuk menjadi seorang petapa? Yang mulia, dalam pencarian jalan apakah engkau?


Yeheluo menjawab kepada raja:


Kami berlatih di jalan Sang Buddha dengan praktek yang benar, untuk memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan saat ini dan juga memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan selanjutnya. Untuk alasan inilah aku telah mencukur rambut dan janggut dan menjadi petapa yang mengenakan jubah petapa.


Raja bertanya kepada Yeheluo:


Apakah terdapat perumah tangga yang memiliki istri dan anak-anak dan [mereka] yang, berada di rumah bersama dengan istri dan anak-anak mereka, dengan praktek yang benar memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan saat ini dan juga memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan selanjutnya?


Yeheluo berkata, “Terdapat perumah tangga yang, berada di rumah bersama dengan istri dan anak-anak mereka, dengan praktek yang benar memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan saat ini dan juga memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan selanjutnya.”


Raja berkata:


Yang mulia, [sebagai] perumah tangga, yang berada di rumah bersama dengan istri dan anak-anak mereka, dengan praktik benar yang sama-sama memperoleh jasa kebajikan dalam kehidupan saat ini dan dalam kehidupan selanjutnya, adalah sia-sia bahwa engkau telah meninggalkan istri dan anak-anak, mencukur rambut dan janggutmu, dan menjadi seorang pertapa yang mengenakan jubah petapa.


Yeheluo pada akhirnya terdiam, tidak dapat menjawab raja. Para menteri pengawal berkata, “Petapa ini memiliki pemahaman yang besar dan memiliki kebijaksanaan. [Namun], saat ditekan, ia tidak mengatakan apa-apa.”


Para pelayan raja mengangkat tangan mereka, dengan berkata, "Raja telah memperoleh kemenangan, raja telah memperoleh kemenangan!"


Yeheluo pada akhirnya terdiam, menerima kekalahannya.


Melihat para perumah tangga di kiri dan kanan, raja melihat bahwa wajah para perumah tangga tidak merasa malu [oleh kekalahan Yeheluo]. Raja berpikir, “Wajah para perumah tangga ini memang tidak menunjukkan rasa malu. Tentu saja terdapat pertapa lain yang kuat dalam berpengalaman tentang Dharma yang mampu berdebat denganku.” Raja berkata kepada Zhanmili, “Apakah mungkin terdapat petapa bijaksana lain yang mampu berdebat bersama denganku tentang Dharma yang mengajarkan tentang Sang Jalan?”


Segera [Zhanmili memikirkan] Nāgasena, yang adalah guru dari semua petapa [Buddhis] dan yang selalu bepergian bersama dengan para petapa, dengan semua petapa membuatnya membabarkan Dharma secara terperinci. Pada saat itu Nāgasena sepenuhnya mengetahui bagaimana memperdebatkan intisari Dharma. Ia mampu mengajarkan dua belas bagian Dharma. Ketika mengajar sesuai Dharma, ia menganalisis setiap hal, setelah memisahkan kalimat-kalimatnya yang berbeda dan secara jelas menjelaskan frasa-frasanya.


Ia mengetahui jalan menuju Nirvāṇa. Tidak ada yang bisa membantahnya dan tidak ada yang bisa memperoleh kemenangan terhadapnya. Ia dapat menjelaskan semua keraguan dan dapat memberikan alasan dengan jelas; apa yang ia katakan dengan kebijaksanaan bagaikan sebuah sungai [yang mengalir ke] lautan. Ia dapat melampaui [pengikut] dari sembilan puluh enam jenis jalan dan dihormati oleh empat kelompok pengikut Buddha, dihormati oleh semua yang berpengetahuan karena menginstruksikan orang-orang berdasarkan Dharma tentang Sang Jalan setiap harinya. Nāgasena telah sampai di negara Shejie (Sāgala) dengan sekumpulan siswanya yang juga semuanya bijaksana. Nāgasena seperti seekor singa yang garang.


Zhanmili berkata kepada raja:


Terdapat petapa lain, namanya adalah Nāgasena, yang bijaksana dan memiliki pemahaman yang mendalam dan baik tentang inti dari Dharma. Ia dapat menjelaskan semua keraguan dan tidak ada yang tidak ia tembus. Ia mampu berdebat dengan raja tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan.


Raja bertanya kepada Zhanmili, "Apakah ia benar-benar dapat berdebat denganku tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan?"


Zhanmili menjawab:


Ia tentu akan dapat berdebat dengan raja tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan. Bagaimanapun juga, ia dapat berdebat tentang Dharma sehubungan dengan Sang Jalan bersama dengan Brahmā dari [alam surgawi] ketujuh, apalagi dengan para manusia.


[Perdebatan]


Raja memerintahkan Zhanmili untuk pergi dan pada akhirnya mengundang Nāgasena untuk datang. Zhanmili pergi ke Nāgasena dan berkata, “Raja agung berkeinginan untuk bertemu denganmu.” Diikuti oleh murid-muridnya, Nāgasena mendatangi raja.


Walaupun raja belum pernah bertemu Nāgasena, di tengah-tengah kerumunan, cara Nāgasena mengenakan jubah dan cara berjalannya terlihat unik dan tidak seperti yang lainnya. Ketika melihatnya dari jauh, raja menduga bahwa ini adalah Nāgasena. Raja berkata pada dirinya sendiri, “Aku telah melihat satu demi satu dari berbagai kumpulan besar orang-orang dan berkali-kali memasuki pertemuan besar, [namun] aku tidak pernah merasakan ketakutan dalam diriku [hingga] sekarang aku melihat Nāgasena. Hari ini Nāgasena pasti akan memperoleh kemenangan atasku; Aku tentu tidak akan sanggup [melawannya]. Batinku sangat gelisah dan tidak tenang.”


Zhanmili berkata kepada raja, “Nāgasena telah datang dan berada di luar; Nāgasena telah tiba.”


Raja bertanya kepada Zhanmili yang mana Nāgasena. Zhanmili menunjukkannya ke raja dengan sebuah jari. Raja sangat senang, [dengan berpikir], “Tentu saja yang kuduga pada akhirnya adalah Nāgasena.” Raja melihat Nāgasena mengenakan jubah dan cara berjalannya, yang unik dan tidak seperti orang lain di kerumunan. Nāgasena maju ke depan untuk bertegur sapa dan berbicara dengan raja, yang pada akhirnya menjadi sangat senang. Mereka melanjutkan [pembicaraan] bersama dan duduk saling berhadapan.


Nāgasena berkata kepada raja:


Dalam Dharma Sang Buddha mengatakan bahwa keuntungan terbesar bagi seseorang adalah kedamaian, mengetahui kepuasan adalah kekayaan terbesar seseorang, keyakinan adalah anugerah terbesar seseorang, dan pencerahan Nirvāṇa adalah kebahagiaan terbesar.


[Tentang “Diri”]


Pada akhirnya raja bertanya pada Nāgasena, “Yang mulia, siapakah namamu?”


Nāgasena berkata:


Orang tuaku memberiku nama Nāgasena dan pada akhirnya memanggilku Nāgasena. Terkadang orang tuaku memanggilku Weixian, terkadang orang tuaku memanggilku Shouluoxian, dan terkadang orang tuaku memanggilku Weijiaxian. Dengan alasan penggunaan demikian, semua orang mengenaliku. Semua orang di dunia hanya mempunyai nama-nama seperti itu.


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Siapakah Nāgasena itu?”


Raja bertanya lagi, “Apakah kepala adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Kepala bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah mata, telinga, hidung, atau mulut adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Mata, telinga, hidung atau mulut bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah leher, bahu, lengan, kaki, atau tangan? adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Mereka bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah paha atau kaki bagian bawah adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Mereka bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah wajah adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah [pengalaman akan] kesakitan dan kesenangan adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah [perilaku apa yang] bajik dan buruk adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah tubuh adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah hati, paru-paru, jantung, limpa, pembuluh darah, usus, atau perut adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Mereka bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, "Wajah, [pengalaman akan] kesakitan dan kesenangan, [perilaku apa yang] baik dan buruk, tubuh, dan pikiran—apakah penggabungan kelima hal ini dapat disebut sebagai Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Mereka bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi:


Jika tidak ada wajah, [pengalaman akan] kesakitan dan kesenangan, [perilaku apa yang] bajik dan buruk, tubuh, dan pikiran—apakah tanpa adanya kelima hal ini dapat disebut sebagai Nāgasena?


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah suara nafas adalah Nāgasena?”


Nāgasena berkata, “Itu bukanlah Nāgasena.”


Raja bertanya lagi, “Apakah Nāgasena itu?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “[Engkau datang dengan] apa yang disebut ‘kereta.’ Apakah kereta itu? Apakah poros adalah kereta?”


Raja berkata, “Poros bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah roda adalah kereta?”


Raja berkata, “Roda bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah jari-jari roda adalah kereta?”


Raja berkata, "Jari-jari roda bukanlah kereta."


Nāgasena berkata, “Apakah pusat jari-jari adalah kereta?”


Raja berkata, “Pusat jari-jari bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah batang penarik adalah kereta?”


Raja berkata, “Batang penarik bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah kuk adalah kereta?”


Raja berkata, “Kuk bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah kerangka kereta adalah kereta?”


Raja berkata, "Kerangka kereta bukanlah kereta."


Nāgasena berkata, “Apakah tiang [kanopi] adalah kereta?”


Raja berkata, “Tiang [kanopi] bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah kanopi adalah kereta?”


Raja berkata, "Kanopi bukanlah kereta."


Nāgasena berkata, “Apakah kombinasi kumpulan dari semua bagian kayu ini, ditempatkan di satu sisi, dapatkah disebut kereta?”


Raja berkata, “Kombinasi kumpulan dari semua bagian kayu ini, ditempatkan di satu sisi, itu bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Jika tidak ada kombinasi kumpulan dari semua bagian kayu ini, dapatkah disebut kereta?”


Raja berkata, “Tanpa adanya kombinasi kumpulan dari semua bagian kayu ini, itu bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah suara [mengemudi] adalah kereta?”


Raja berkata, “Suara [mengemudi] bukanlah kereta.”


Nāgasena berkata, “Apakah kereta itu?”


Raja pada akhirnya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa.


Nāgasena berkata:

Hal ini diajarkan dalam Buddha Dharma: “Seperti halnya kombinasi kumpulan semua bagian kayu seseorang membentuk kereta dan dengan demikian memperoleh sebuah kereta, demikian pula itu dengan 'diri'.” ‘Diri’ adalah kombinasi kumpulan kepala, muka, telinga, hidung, mulut, leher, bahu, lengan, tulang, daging, tangan, kaki, hati, paru-paru, jantung, limpa, ginjal, usus, perut, wajah, suara nafas, [pengalaman akan] kesakitan dan kesenangan, [perilaku apa yang] bajik dan buruk; Kombinasi kumpulan seperti itulah yang disebut 'diri'.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


[Jenis Diskusi]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah engkau dapat berdebat bersama denganku pada khotbah tentang Sang Jalan?”


Nāgasena berkata:

Asalkan raja berpegang pada kebijaksanaan dalam tanya jawab denganku, kita dapat berdebat bersama. [Namun jika] raja berpegang teguh pada pendapatnya karena kebanggaan pangkatnya, kita tidak dapat berdebat bersama.


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Jenis percakapan apa yang dilakukan oleh orang bijaksana?”


Nāgasena berkata:

Orang bijaksana sepenuhnya berdiskusi bersama, mempertanyakan pernyataan masing-masing, memahami pernyataan masing-masing. Mereka mengenali dengan diri mereka sendiri yang faktual atau tidak faktual, dari setiap masing-masing pernyataan yang lebih unggul dan pernyataan yang lebih rendah, [pernyataan] mana yang menang atau [pernyataan] mana yang dikalahkan, pernyataan mana yang benar dan pernyataan mana yang salah, dan siapakah yang paling bijaksana. Orang bijaksana tidak perlu menjadi marah. Seperti inilah orang bijaksana.


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Jenis percakapan apa yang dilakukan oleh para raja?”


Nāgasena berkata:

Raja berbicara dengan sewenang-wenang dan dengan anggapan. Jika terdapat oposisi dan ketidak-setujuan dengan apa yang raja katakan, raja akan menghukum mereka dengan keras atau mengeksekusi mereka. Raja berbicara seperti ini.


Raja berkata:

Aku ingin percakapan seperti orang bijaksana, bukan percakapan seperti seorang raja. Tidak perlu bersikap seperti menghadapi raja saat berdiskusi denganku. Berdiskusilah denganku seolah-olah engkau sedang berdiskusi dengan seorang petapa, seperti halnya jika engkau sedang berdiskusi dengan seorang murid, seperti halnya jika engkau sedang berdiskusi dengan seorang umat awam, seperti halnya jika engkau sedang berdiskusi dengan seorang pelayan dari komunitas para pertapa. Janganlah memendam rasa takut. Dengan sikap mental yang benar-benar lurus, kita harus berdiskusi secara terbuka satu sama lain.


Nāgasena berkata, “Baiklah.”


Raja berkata, “Aku ingin bertanya satu hal.”


Nāgasena berkata kepada raja, “Tanyakanlah pada waktunya.”


Raja berkata, "Aku telah menanyakannya."


Nāgasena berkata, “Aku telah menjawabnya.”


Raja berkata, “Apa jawabanmu kepadaku?”


Nāgasena juga berkata kepada raja, “Apa yang engkau tanyakan kepadaku?”


Raja berkata, "Aku tidak bertanya apapun."


Nāgasena berkata, “Aku tidak menjawab.”


[Undangan untuk Keesokannya]


Raja berpikir dalam batinnya, “Pertapa ini sangat cerdas dan bijaksana. Kita baru saja mulai dan aku mempunyai banyak pertanyaan.” Raja berpikir dalam batinnya, “Matahari akan terbenam dan hari mulai gelap. Haruskah aku mengundang Nāgasena untuk besok? Setelah kembali ke istana, kita dapat berdebat dengan baik satu sama lain.”


Raja memberitahu Zhanmili untuk memberitahu Nāgasena bahwa hari ini matahari [hampir terbenam] dan semakin gelap dan untuk mengundangnya besok ketika, setelah kembali ke istana, mereka dapat berdebat dengan baik satu sama lain dan saling bertanya.


Zhanmili dan Wangqun memberi tahu Nāgasena, “Matahari akan terbenam dan sekarang semakin gelap; raja harus kembali ke istana. Raja berkeinginan untuk mengundang Nāgasena untuk besok.”


Nāgasena berkata, “Baiklah.”


Dengan menunggang kudanya, raja kembali ke istana. Ketika berada di atas kudanya, raja terus memikirkan Nāgasena dan, ketika memikirkan nama [itu] di dalam pikirannya, ia ingin mengucapkannya, “Nāgasena, Nāgasena,” [terus] memikirkannya sampai keesokan harinya.


Keesokan harinya Zhanmili, Wangqun, dan para menteri pelayan berkata kepada raja, “Haruskah kita mengundang Nāgasena?”


Raja berkata, “Kalian harus mengundangnya.”


Zhanmili dan Wangqun berkata, “Ketika mengundangnya, dengan berapa banyak petapa yang turut kita undang?”


Raja berkata, “Biarkan Nāgasena datang bersama dengan para pertapa sebanyak yang ia suka.”


Raja memiliki seorang bendahara bernama 'Pelit'. 'Pelit' berkata kepada raja, “Biarlah Nāgasena datang bersama dengan sepuluh petapa; itu akan cukup.”


[Raja] berkata lagi, “Aku mengizinkan Nāgasena untuk datang bersama dengan para pertapa sebanyak yang ia suka.”


'Pelit' berkata lagi kepada raja, “Biarlah Nāgasena datang bersama dengan sepuluh petapa; itu akan cukup.”


Raja berkata lagi, “Aku mengizinkan Nāgasena untuk datang dengan keinginannya sendiri bersama dengan para pertapa sebanyak yang ia suka.”


'Pelit' berkata lagi kepada raja, “Biarlah Nāgasena datang bersama dengan sepuluh petapa; itu akan sangat cukup.”


Raja, ketika mendengar 'Pelit' mengatakan hal ini berkali-kali kepada rajanya, pada akhirnya menjadi marah dengan 'Pelit', [dengan berkata]:


Engkau benar-benar pelit tiada tara. Namamu adalah 'Pelit' dan engkau tidak dapat diharapkan. Engkau sangat pelit dengan kekayaan raja; bagaimana dengan kekayaanmu sendiri? Engkau tidak sadar bahwa bertentangan dengan kehendakku, engkau dapat dihukum atau dieksekusi karena bersalah.


Raja berkata, “Namun, biarlah. Aku memaafkan kesalahanmu karena belas kasihan. Sekarang, sebagai raja, apakah aku tidak mampu memberi makan para pertapa?” 'Pelit' merasa malu dan pada akhirnya tidak berani untuk berbicara lagi.


Zhanmili dan Wangqun mendekati Nāgasena, melangkah maju untuk memberi hormat kepadanya secara bergantian dan berkata, “Raja Agung mengundang Nāgasena.”


Nāgasena berkata, “Dengan berapa banyak pertapa yang raja inginkan untuk datang bersamaku?"


Zhanmili dan Wangqun berkata, “Biarlah Nāgasena dengan keinginannya sendiri datang bersama dengan para pertapa sebanyak yang ia suka.” Nāgasena pada akhirnya datang bersama dengan delapan puluh petapa, Yeheluo dan yang lainnya.


Zhanmili dan Wangqun pergi bersama mereka ketika fajar. Ketika di jalan dan hendak memasuki kota, Zhanmili dan Wangqun bersama-sama bertanya kepada Nāgasena, “Kemarin engkau mengatakan dalam jawabanmu kepada raja apa yang bukan [Nāgasena], karena itulah dengan cara apakah ada Nāgasena?”


Nāgasena bertanya kepada Zhanmili dan Wangqun, “Yang dihormati, bagaimana menurut kalian Nāgasena itu?”


Zhanmili dan Wangqun berkata, “Kami menganggap bahwa napas masuk dan keluar, sebagai kekuatan hidup, adalah Nāgasena.”


Nāgasena bertanya kepada Zhanmili dan Wangqun, “[Jika] nafas seseorang, begitu telah keluar, tidak kembali untuk memasukinya, apakah orang itu akan terus hidup?”


Zhanmili dan Wangqun berkata, “[Jika] nafas keluar dan tidak kembali, mereka pasti akan mati.”


Nāgasena berkata:

Misalkan seseorang meniup sebuah kulit kerang; begitu nafas telah keluar, nafas itu tidak kembali memasuki mereka. Misalkan seseorang meniup api, memegang peniup pandai emas; begitu nafas telah keluar pada saat itu, apakah nafas itu dapat kembali dan memasuki mereka lagi?


Zhanmili dan Wangqun berkata, "Nafas itu tidak akan kembali dan memasuki mereka lagi."


[Nāgasena berkata], “Misalkan seseorang meniup dunia dengan sebuah terompet; setelah nafasnya keluar, apakah nafas itu akan kembali dan memasukinya lagi?”


Zhanmili dan Wangqun berkata, "Nafas itu tidak akan kembali dan memasuki mereka lagi."


Nāgasena berkata, “Nafas yang sama keluar dan tidak kembali memasukinya lagi. Mengapa orang itu tidak mati hanya karena ini?”


Zhanmili dan Wangqun berkata, “Kami tidak dapat mengerti apa yang engkau tanyakan tentang nafas; mohon jelaskan kepada kami.”


Nāgasena berkata:

Bernafas dan nafas semuanya adalah bentukan di dalam tubuh. Jika seseorang memiliki pemikiran di dalam pikiran dan mengucapkan kata-kata dengan lidah, ini adalah bentukan lidah. [Jika] mereka merenungkan dan memiliki pikiran keraguan dalam pikiran mereka, ini adalah bentukan pikiran. Masing-masing memiliki wilayahnya sendiri. Memeriksa mereka secara analitis, semuanya kosong. Tidak ada Nāgasena [seperti demikian].


Pikiran Zhanmili dan Wangqun terbuka untuk mengerti. Mereka pada akhirnya mengambil lima Śīla dan menjadi Upāsakā.


Nāgasena pada akhirnya melangkah dan memasuki istana untuk menemui raja, yang berada di aula atas. Raja memberikan hormat kepada Nāgasena dan berjalan mundur. Nāgasena duduk bersama dengan delapan puluh petapa. Raja telah menyiapkan makanan dan minuman yang terbaik. Dengan tangannya sendiri raja menyajikan Nāgasena terlebih dahulu dengan makanan dan kemudian komunitas para petapa dengan makanan. Sesi makan telah selesai dan tangan telah dicuci, raja memberikan masing-masing petapa sebuah jubah ganda (Saṅghati?) dan masing-masing sepasang sandal kulit. Ia memberikan kepada Nāgasena dan Yeheluo masing-masing [satu set] tiga jubah dan masing-masing sepasang sandal kulit.


Raja berkata kepada Nāgasena dan Yeheluo, “Biarlah sepuluh petapa tinggal bersama dengan kalian dan kembalikanlah petapa lainnya, instruksikan mereka untuk pergi.” Nāgasena mengembalikan petapa yang lainnya dan menginstruksikan mereka untuk pergi, tetap di sana bersama dengan sepuluh orang.


Raja memberi perintah:

Para wanita dari pelataran dalam dan wanita dari harem semuanya harus datang ke aula atas dan dari balik sebuah tirai dengarkan aku berdebat bersama dengan Nāgasena sehubungan dengan Dharma tentang Sang Jalan.


Kemudian para wanita dari pelataran dalam dan para wanita dari harem semuanya keluar dan pergi ke bagian atas istana di balik sebuah tirai untuk mendengar Nāgasena berbicara tentang Dharma.


[Tujuan Kehidupan Suci]


Kemudian raja mengambil tempat duduk dan duduk di depan Nāgasena. Raja berkata, “Apakah yang sebaiknya kita diskusikan?”


Nāgasena berkata, “[Jika] raja ingin mendengarkan pernyataan-pernyataan yang penting, kita sebaiknya mendiskusikan pernyataan-pernyataan yang penting.”


Raja berkata, “Yang Mulia, karena engkau sedang berada di Sang Jalan, apakah yang terpenting, untuk alasan apakah engkau menjadi petapa?”


Nāgasena berkata:

Kami ingin meninggalkan dukkha didalam kehidupan ini dan kami tidak ingin mengalami dukkha yang lainnya di kehidupan selanjutnya. Karena alasan inilah kami telah menjadi petapa; Bagi kami hal inilah manfaat yang terpenting.


Raja berkata, “Apakah semua petapa ingin tidak mengalami dukkha yang lainnya di kehidupan ini dan kehidupan mendatang dan karena alasan inilah [mereka] menjadi petapa?”


Nāgasena berkata, “Tidak semuanya menjadi petapa karena alasan ini. Ada empat jenis petapa.”


Raja berkata, "Apakah empat itu?"


Nāgasena berkata:

Beberapa diantara mereka terlilit hutang dan menjadi petapa, beberapa di antara mereka takut pada pemerintah dan menjadi petapa, beberapa diantara mereka miskin dan menjadi petapa, dan beberapa di antara mereka benar-benar ingin meninggalkan dan melenyapkan dukkha dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya dan untuk alasan ini [mereka] menjadi petapa.


Nāgasena berkata, “Bagiku sendiri, tekad awal dan sejatiku adalah untuk mencari Sang Jalan dan karena alasan inilah aku menjadi seorang petapa.”


Raja berkata, “Yang Mulia, apakah engkau telah menjadi seorang petapa demi Sang Jalan sekarang?"


Nāgasena berkata:

Aku menjadi pertapa ketika aku masih muda. Saat itu terdapat [khotbah] Buddha Dharma sehubungan dengan Sang Jalan dan para siswa, para petapa yang semuanya sangat bijaksana, dan [aku] belajar dari mereka Dharma dan Vinaya, hal ini meresapi batinku. Aku menjadi seorang petapa demi meninggalkan dukkha di kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya; inilah alasannya.


Raja berkata, "Baiklah."


[Melampaui Kelahiran Kembali]


Raja bertanya, “Mungkinkah terdapat orang-orang yang setelah kematian tidak terlahir kembali?”


Nāgasena berkata, “Beberapa di antara mereka terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, beberapa di antara mereka tidak terlahir kembali.”


Raja berkata, “Siapakah yang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya dan siapakah yang tidak terlahir kembali?”


Nāgasena berkata:

Orang-orang yang memiliki nafsu dan keinginan indriawi pada akhirnya akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya. Orang-orang yang tidak memiliki nafsu dan keinginan indriawi tidak lagi terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.”


Raja berkata, “Dengan penuh perhatian pada Dharma Sejati dan pada apa yang bajik dengan penyatuan batin [Dhyāna], apakah seseorang karena alasan-alasan ini tidak lagi terlahir kembali di kehidupan selanjutnya?”


Nāgasena berkata:

Dengan penuh perhatian pada Dharma Sejati dan dengan penuh perhatian pada apa yang bajik dengan penyatuan batin [Dhyāna], dan [juga] memiliki kebijaksanaan dan kualitas-kualitas baik lainnya, seseorang karena alasan-alasan ini akan tidak lagi terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.


Raja berkata:

Demikianlah seseorang [tidak akan terlahir kembali] dengan penuh perhatian pada Dharma Sejati dan apa yang bajik dengan penyatuan batin [Dhyāna] maupun dengan memiliki kebijaksanaan. Apakah kedua kualitas ini memiliki makna yang sama?


Nāgasena berkata, “Masing-masing maknanya berbeda; mereka tidak sama.”


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Sapi jantan dan kuda, enam [jenis] hewan ternak, apakah mereka memiliki kebijaksanaan atau mereka tidak memiliki kebijaksanaan?”


Nāgasena berkata, “Sapi jantan dan kuda, enam [jenis] hewan ternak, masing-masing memiliki [jenis] kebijaksanaannya sendiri; [namun] pikiran mereka berbeda.”


Nāgasena berkata kepada Raja, “Apakah engkau pernah melihat seorang pemanen gandum pada masa lampau? Dengan tangan kiri mereka menggenggam gandum dan dengan tangan kanan mereka memotongnya.”


Nāgasena berkata, “Seorang bijaksana memotong nafsu dan keinginan seperti halnya seorang pemanen gandum.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘kualitas-kualitas baik lainnya’ itu?”


Nāgasena berkata:

Kualitas-kualitas baik [lainnya] adalah sungguh-sungguh berkeyakinan, memiliki ketaatan, penuh semangat, penuh perhatian pada apa yang bajik, penyatuan batin [Dhyāna], dan kebijaksanaan. Ini adalah kualitas-kualitas baik [lainnya].


Raja berkata, “Apakah sungguh-sungguh berkeyakinan itu?”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang sungguh-sungguh berkeyakinan tidak memiliki keraguan lagi. Ia memiliki keyakinan pada Buddha, Dharma dari Buddha Dharma, dan keyakinan pada Saṃgha. Ia memiliki keyakinan pada para Arhat, keyakinan pada kehidupan ini, dan keyakinan akan kehidupan selanjutnya. Ia memiliki keyakinan dalam ketaatan kepada orang tuanya, keyakinan bahwa melakukan apa yang bajik akan menghasilkan hasil yang bajik, dan keyakinan bahwa melakukan apa yang buruk memiliki hasil yang buruk. Dengan memperoleh keyakinan, setelahnya pikiran dimurnikan dan pada akhirnya menjadi jauh dan terasing dari lima keburukan. Apakah lima keburukan itu? Yang pertama adalah nafsu seksual, yang kedua adalah kemarahan, yang ketiga adalah kemalasan-dan-kelambanan, yang keempat adalah kegelisahan-dan-kekhawatiran, dan yang kelima adalah keragu-raguan. Pikiran seseorang yang belum meninggalkan lima keburukan ini tidak akan terkonsentrasi. Meninggalkan lima keburukan ini, pikiran pada akhirnya menjadi murni.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya raja pemutar roda yang dengan kereta-kereta, kuda-kuda, dan pasukan melintasi air suatu sungai melalui sebuah arungan, membuat airnya menjadi keruh dan menjijikkan. Setelah melewatinya, raja menjadi haus dan ingin mendapatkan air untuk diminum. Raja memiliki sebuah permata penjernih air, yang ia masukkan ke dalam air sehingga air itu menjadi jernih. Sehingga raja pada akhirnya memperoleh air jernih untuk diminum.


Nāgasena berkata:

Keburukan dalam pikiran seseorang adalah seperti air keruh. Para siswa Sang Buddha melewati kelahiran dan kematian dan memperoleh pencerahan dengan memurnikan pikiran mereka seperti halnya permata penjernih air. Menarik diri dari semua keburukan, keyakinan seseorang yang tulus menjadi murni, seperti halnya dengan kecemerlangan bulan atau sebuah permata.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


Raja bertanya, “Bagaimanakah seseorang dengan keyakinan yang tulus [menjadi] bersemangat?”


Nāgasena berkata:

Para siswa Sang Buddha melihat dalam satu sama lain beberapa yang telah menghilangkan [keadaan] buruk dari pikiran. Beberapa di antara mereka telah mencapai pemasuk-arus, beberapa di antara mereka telah mencapai yang sekali-kembali, beberapa di antara mereka mencapai yang-tidak-kembali, dan beberapa di antara mereka telah mencapai ke-Arhat-an. Mengikuti teladan dari [orang-orang] diantara mereka dengan keyakinan yang tulus, mereka semua juga memperoleh Jalan yang melampaui dunia.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya air yang berlimpah mengalir turun dari puncak gunung ketika hujan deras. Semua orang di kedua sisi tidak mengetahui seberapa dalam air itu dan [menjadi] takut, tidak berani untuk menyeberang. Misalkan seseorang yang berasal dari jauh dan, melihat ke air, memperkirakan luas, batas, dan kedalamannya. Mereka mengetahui kekuatan dan kemampuan mereka sendiri, memasuki air, dan pada akhirnya mampu menyeberanginya. Kerumunan orang di kedua sisi pada akhirnya mengikuti teladan mereka dan juga mampu menyeberanginya dan pergi.


Para siswa Sang Buddha adalah seperti demikian. Mereka melihat bahwa para pendahulu mereka telah memurnikan pikiran mereka dan mencapai pemasuk-arus, yang sekali-kembali, yang tidak-kembali, dan pencerahan para Arhat, yang semuanya merupakan hasil dari pikiran yang bajik dan bersemangat. Dalam sebuah Dharma Sang Buddha berkata bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan yang tulus di dalam pikiran mereka dapat memperoleh Jalan melampaui dunia dengan dirinya sendiri. Orang-orang yang dapat menahan diri dan mundur dari lima utas kenikmatan indria, yang mengetahui dengan dirinya sendiri bahwa tubuh ini tidak memuaskan, dapat mencapai Jalan melampaui dunia. Dengan kebijaksanaanlah semua orang mencapai Jalan kebajikan.


Raja berkata, "Baiklah, Baiklah."


Raja berkata, “Apakah ketaatan itu?”


Nāgasena berkata:

Semua hal yang bermanfaat adalah karena ketaatan demikian. Semua tiga puluh tujuh sayap-sayap [pencerahan yang dinyatakan] dalam Dharma berasal dari ketaatan, yang adalah akar mereka.


Raja berkata, “Apakah tiga puluh tujuh sayap-sayap [pencerahan yang dinyatakan] dalam Dharma?”


Nāgasena berkata:

Mereka adalah empat penegakan perhatian, empat usaha [benar], empat landasan keberhasilan, lima indriya, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan jalan mulia berunsur delapan.


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Apakah empat penegakan perhatian?”


Dalam menjawab, Nāgasena berkata kepada raja:

Sang Buddha telah mengajarkan penegakan [perhatian] pertama dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, penegakan [perhatian] kedua dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, penegakan [perhatian] ketiga dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, dan penegakan [perhatian] keempat dengan merenungkan dharma sebagai dharma. Ini adalah empat penegakan perhatian.


Raja bertanya lagi, “Apakah empat usaha [benar] itu?”


Nāgasena berkata:

Sang Buddha telah mengajarkan bahwa, setelah dengan jelas mengokohkan diri pada empat aspek dari tidak lagi memiliki pikiran [buruk], ini adalah empat usaha [benar]. Dengan memperoleh empat usaha benar, seseorang pada akhirnya memperoleh empat landasan keberhasilan dan ingatan.


Raja bertanya lagi, “Apakah empat landasan keberhasilan dan ingatan?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah dapat melihat secara menembus dengan mata, yang kedua adalah dapat mendengar secara menembus dengan telinga, yang ketiga adalah dapat mengetahui yang dipikirkan orang lain, dan yang keempat adalah mampu terbang dengan tubuh[nya]. Ini adalah empat landasan keberhasilan dan ingatan.


Raja bertanya lagi, “Apakah lima indriya itu?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah [ketika] pikiran tidak memiliki nafsu kemelekatan saat melihat dengan mata bentuk-bentuk yang cantik dan bentuk-bentuk yang buruk, ini adalah sebuah indriya. Yang kedua adalah [ketika] pikiran tidak memiliki nafsu kemelekatan saat mendengar dengan telinga suara-suara yang menyenangkan dan suara-suara yang jahat atau kasar, ini adalah sebuah indriya. Yang ketiga adalah [ketika] pikiran tidak memiliki nafsu kemelekatan pada mencium dengan hidung wangi-wangian dan bau busuk, ini adalah sebuah indriya. Yang keempat adalah [ketika] pikiran tidak memiliki nafsu kemelekatan pada mendapatkan rasa yang lezat dan yang pahit atau pedas di mulut, ini adalah sebuah indriya. Yang kelima adalah [ketika] pikiran tidak bersenang dalam menyentuh dengan tubuh pada apa yang halus dan lembut dan ketika pikiran juga tidak menolak untuk menyentuh dengan tubuh pada apa yang kasar dan padat. Ini adalah lima indriya.


Raja bertanya lagi, “Apakah lima kekuatan itu?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah kekuatan untuk menahan mata, yang kedua adalah kekuatan untuk menahan telinga, yang ketiga adalah kekuatan untuk menahan hidung, yang keempat adalah kekuatan untuk menahan mulut, dan yang kelima adalah kekuatan untuk menahan tubuh, [masing-masing] membuat pikiran tidak tenggelam. Ini adalah lima kekuatan.


Raja bertanya lagi, “Apakah tujuh faktor pencerahan itu?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah faktor pencerahan perhatian, yang kedua adalah faktor pencerahan pembedaan [dari berbagai hal], yang ketiga adalah faktor pencerahan bersemangat, yang keempat adalah faktor pencerahan kegembiraan, yang kelima adalah faktor pencerahan ketenangan, yang keenam adalah faktor pencerahan konsentrasi, dan yang ketujuh adalah faktor pencerahan keseimbangan. Ini adalah tujuh faktor pencerahan.


Raja bertanya lagi, “Apakah jalan mulia berunsur delapan itu?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah pandangan benar, yang kedua adalah pikiran benar, yang ketiga adalah ucapan benar, yang keempat adalah penghidupan benar, yang kelima adalah perbuatan benar, yang keenam adalah usaha benar, yang ketujuh adalah perhatian benar, dan yang kedelapan adalah konsentrasi benar. Inilah jalan mulia berunsur delapan. Semua tiga puluh tujuh sayap-sayap [pencerahan yang dinyatakan] didalam Dharma ini berasal dari ketaatan [pada mereka], yang adalah akarnya.


Nāgasena berkata:

Orang-orang awam yang dengan kerja keras mencapai tujuannya, bagaimanapun mereka menyelesaikan dan membangun semuanya diselesaikan di atas bumi. Lima biji-bijian di dunia, pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang menghadap ke langit, semuanya tumbuh di atas bumi.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seorang arsitek ahli yang berencana untuk membangun sebuah kota besar. Pertama ia harus mengambil ukuran dan mempersiapkan pondasinya. Hal ini diselesaikan, ia dapat memulai kota.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seorang akrobat yang ingin tampil. Ia harus terlebih dahulu membersihkan lahan dengan menyapu dan meratakannya, dan kemudian tampil. [Dengan cara yang sama] seorang siswa Sang Buddha dalam pencarian Sang Jalan terlebih dahulu harus mempraktekkan Śīla [yang ditemukan] dalam kanon dan penuh perhatian pada apa yang bajik. [Dengan] mengandalkan hal itu, untuk memahami dukkha dan pada akhirnya meninggalkan semua nafsu dan keinginan, ia pada akhirnya dengan penuh perhatian memperhatikan jalan mulia berunsur delapan.


Raja berkata, “Bagaimanakah seseorang meninggalkan semua nafsu dan keinginan?”


Nāgasena berkata, “Dengan penuh perhatian pada Sang Jalan dengan penyatuan batin [Dhyāna] seseorang melenyapkan nafsu dan keinginannya sendiri.”


Raja berkata, "Baiklah, Baiklah."


Raja bertanya lagi, “Apakah yang dimaksud dengan bersemangat?”


Nāgasena berkata, “Untuk menjaga apa yang bajik dan mendukung apa yang bajik, ini adalah bersemangat.”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya dengan menopang sebuah tembok yang akan runtuh di satu sisi atau lebih jauh menopang sebuah rumah yang akan runtuh, ini adalah bersemangat.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan raja suatu negara yang, ketika sedang diserang, mengirim pasukannya. Para pasukannya [yang sedikit menjadi] lemah dan hampir tidak mampu melakukannya. Raja kembali mengirimkan pasukan untuk mendukung dan dengan pasukan ini pada akhirnya memperoleh kemenangan. Orang-orang yang memiliki keburukan seperti pasukan ketika sedang sedikit dan lemah. Dengan dukungan kondisi pikiran yang bajik, orang-orang itu menghilangkan kondisi pikiran yang buruk. Seperti halnya dengan bala bantuan raja, yang memperoleh kemenangan. Dengan dukungan dari lima kondisi pikiran bajik seseorang melenyapkan lima kondisi pikiran buruk. Seperti halnya dengan memperoleh kemenangan di dalam perang. Ini adalah bersemangat dalam mendukung apa yang bermanfaat.


“Dengan cara ini,” Nāgasena berkata, “dengan dukungan semangat, orang-orang yang telah berada di jalan kebajikan mencapai jalan melampaui-dunia secara sepenuhnya dan tidak akan berbalik.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi, “Apakah yang dimaksud dengan penuh perhatian yang sesuai pada hal-hal yang bermanfaat?”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya seseorang yang mengambil berbagai jenis bunga dan dengan tali mengikatnya bersama sehingga hembusan angin tidak dapat memisahkan mereka.”


Nāgasena berkata lagi:

Seperti halnya bendahara raja yang tahu bahwa di inventaris raja ada begitu banyak emas, perak, permata, giok, beryl, dan harta. Sama seperti ini, ketika seseorang yang berada pada Sang Jalan, yang menginginkan untuk mencapai pencerahan, penuh perhatian pada tiga puluh tujuh sayap-sayap [pencerahan yang dinyatakan] didalam Dharma, yaitu ketika dengan penuh perhatian pada jalan melampaui dunia. Orang-orang yang memiliki tekad untuk pencerahan mengetahui apa yang bajik dan apa yang buruk, mengetahui apa yang harus dipraktekkan dan mengetahui apa yang tidak harus dipraktekkan, mereka membedakan hitam dan putih. Memperhatikan pada diri mereka sendiri, kemudian mereka meninggalkan apa yang buruk dan pada akhirnya terlibat dalam apa yang bajik.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya penjaga gerbang kerajaan, yang mengetahui siapakah yang dihormati raja dan mengetahui siapa yang tidak dihormati raja, ia mengetahui siapa yang bermanfaat bagi raja dan mengetahui siapa yang tidak bermanfaat bagi raja. Mengetahui siapa yang dihormati raja dan mengetahui siapa yang bermanfaat bagi raja, penjaga gerbang pada akhirnya akan membiarkan mereka masuk, dan mengetahui siapa yang tidak dihormati raja dan siapa yang tidak bermanfaat bagi raja, penjaga gerbang tidak akan membiarkan mereka masuk.


Nāgasena berkata:

Seseorang yang memegang tekad [untuk pencerahan] adalah seperti demikian; mereka harus membiarkan [kualitas] bajik masuk ke dalam [dirinya] dan tidak membiarkan [kualitas] tidak bajik di dalam [dirinya]. Menjaga kehendak dan mengendalikan pikiran seseorang adalah seperti perumpamaan ini.


Nāgasena mengajarkan sesuai Dharma, dengan berkata:

Seseorang seharusnya menjaga dan melindungi kehendaknya sendiri dan [perbuatan] jasmaninya. Berada di antara [apa yang membangkitkan] enam nafsu dan keinginan, mereka harus menjunjung tinggi tekad mereka dan tetap menjaganya. Kemudian mereka akan dengan dirinya sendiri melampaui dunia.


Raja berkata, "Baiklah, Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Apakah penyatuan batin [Dhyāna] itu?”


Nāgasena berkata, “Di antara semua keterampilan, penyatuan batin sendiri adalah yang paling utama. Semua keterampilan terjadi bagi seseorang yang mampu menyatukan pikiran.”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya dengan sebuah tangga ke lantai atas yang harus memiliki sesuatu sebagai penyokongnya, Demikianlah semua keterampilan mengikuti penyatuan batin.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seorang raja yang pergi berperang dengan empat jenis pasukannya, pasukan gajahnya, pasukan berkudanya, pasukan keretanya, dan prajuritnya, semuanya yang dipimpin oleh raja, yang mereka kelilingi. Buddha Dharma dan Śīla, dan semua hal bajik lainnya, semuanya terjadi dari penyatuan batin, seperti halnya dengan pasukan.


Nāgasena mengajarkan sesuai Dharma, dengan berkata:

Di antara semua keterampilan, penyatuan batin adalah akarnya. Banyak orang yang berlatih dalam Sang Jalan pertama-tama akan bergantung pada penyatuan batin [untuk merealisasikan bahwa] kelahiran dan kematian dari tubuh seseorang berlalu seperti air yang mengalir ke bawah, dari awal hingga akhir, mengikuti satu sama lain tanpa berhenti [sedikitpun] .


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi, “Apakah kebijaksanaan itu?”


Nāgasena berkata, “Aku sudah menjelaskannya sebelumnya. Seseorang yang memiliki kebijaksanaan dapat memotong semua keraguan dan memiliki pandangan terang tentang semua hal yang bajik; ini adalah kebijaksanaan.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan memegang sebuah pelita yang menyala untuk memasuki suatu ruangan yang gelap, ketika seseorang berjalan dengan nyala api untuk memasuki ruangan, kegelapan itu pada akhirnya akan surut dan tentu menjadi terang. Pencerahan seseorang yang memiliki kebijaksanaan mirip dengan cahaya dari nyala api.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang memegang sebilah pisau yang tajam untuk menebang sebatang pohon. Seseorang yang memiliki kebijaksanaan dapat memotong semua keburukan, seperti halnya dengan memiliki sebilah pisau yang tajam.


Nāgasena berkata, “Bagi orang-orang di dunia, kebijaksanaan adalah yang utama. Orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dapat mencapai pembebasan dari dukkha kelahiran dan kematian.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja berkata:

Dharma yang dikutip oleh Nāgasena sebelum dan setelahnya berasal dari berbagai jenis yang berbeda. Apakah mereka semata-mata dimotivasi oleh perhatian dengan mundur dari semua yang buruk?


Nāgasena berkata, “Ya, Dharma yang berbeda diucapkan oleh Sang Buddha pada apa yang bajik semata-mata dimotivasi [oleh perhatian] untuk mundur dari semua yang buruk.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seorang raja yang mengirimkan empat jenis pasukannya. Walaupun mereka berbaris untuk melakukan pertempuran, sejak berangkat, niat satu-satunya hanyalah keinginan untuk mengalahkan musuh. Dharma berbeda yang diucapkan oleh Sang Buddha tentang apa yang bajik hanya membagikan motivasi untuk menyerang dan melenyapkan semua yang buruk.


Raja berkata, “Baiklah, baiklah. Dharma yang dikutip oleh Nāgasena sangat tepat sasaran.”


[Tentang Kelahiran Kembali]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

[Ketika] seseorang pada saat kematiannya berjalan di jalan kebajikan dan keburukan, apakah ia terus menjaga kesadaran tubuh sebelumnya ketika akan terlahir kembali? Atau apakah ia cenderung berubah ke kesadaran lainnya ketika akan terlahir kembali?


Nāgasena berkata, “[Kesadaran] itu bukanlah kesadaran tubuh sebelumnya atau berbeda dari kesadaran tubuh sebelumnya.”


Sehubungan dengan hal ini, Nāgasena bertanya kepada raja, “Ketika tubuhmu masih kecil dan [masih] menyusui dan ketika tubuhmu tumbuh dewasa, apakah engkau terus-menerus memiliki tubuh [yang sama] sebelumnya?”


Raja berkata, “Ketika aku masih kecil, tubuhku berbeda.”


Nāgasena berkata:

Ketika embrio seseorang di dalam rahim ibu baru saja terbentuk dan ketika embrio itu matang, apakah itu adalah embrio sebelumnya atau apakah berbeda darinya? [Ketika] embrio mengeras menjadi otot dan tulang, apakah itu adalah embrio sebelumnya ataukah berbeda darinya? Ketika baru lahir dan ketika berumur beberapa tahun, apakah itu adalah embrio sebelumnya atau berbeda dengannya? Ketika seseorang belajar menulis, dapatkah seorang pengamat melakukan pekerjaan menggantikan mereka?


Raja berkata, “[Pengamat] tidak dapat melakukan pekerjaan menggantikan mereka.”


Nāgasena berkata, “Jika seseorang melanggar hukum dan [menghadapi] hukuman, dapatkah seseorang menggantikannya dengan orang yang tidak bersalah?”


Raja berkata, "Seseorang tidak dapat melakukan ini." Raja tidak mengerti dalam pikirannya apa yang Nāgasena katakan kepada raja sehubungan dengan kesadaran dan hukum tentang hukuman. Sehubungan dengan hal ini, raja berkata, “Jika seseorang menanyai Nāgasena [dengan cara di atas], bagaimana Nāgasena menjelaskannya?”


Nāgasena berkata:

Tubuhku yang sebelumnya, sejak ketika aku masih kecil. Dari kecil hingga dewasa penuaan tubuh terus berlangsung. Saat dewasa atau ketika kecil, ia tetaplah sebuah tubuh yang dipelihara, yang takdirnya harus dipelihara.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Seperti halnya seseorang yang menyalakan sebuah pelita; apakah [nyala] itu akan bertahan sampai fajar?”


Raja berkata, “Sebuah pelita yang menyala yang memiliki minyak [yang cukup] akan bertahan sampai fajar.”


Nāgasena berkata:

Apakah nyala api pada sumbu pelita ketika suatu waktu di malam hari selalu terus menjadi cahaya dari api sebelumnya? Mencapai tengah malam, apakah saat itu masih cahaya dari api sebelumnya? Mencapai fajar, apakah saat itu masih cahaya dari api sebelumnya?


Raja berkata, "Itu bukanlah cahaya dari api sebelumnya."


Nāgasena berkata:

Pelita yang dinyalakan, apakah mencapai dari satu [waktu] di malam hari sampai tengah malam atau apakah nyala api dari pelita itu menyala lagi? Apakah pelita menyala lagi mendekati waktu fajar?


Raja berkata, “Tidak, nyala api yang menyala di tengah malam terus menyala di sumbu tunggal yang sebelumnya hingga nyala api di pagi hari.”


Nāgasena berkata:

Keberlangsungan yang terus menerus dari kesadaran seseorang adalah seperti perumpamaan ini. Seseorang pergi dan seseorang datang. Dari terdapat kesadaran menjadi, seseorang dilahirkan dan mencapai usia tua dan kematian, setelah kesadaran itu berlanjut lebih jauh menuju kelahiran kembali. Keberlangsungan yang terus menerus bukanlah kesadaran sebelumnya dan juga tidak berbeda dengan kesadaran sebelumnya. Setelah seseorang meninggal, kesadaran berlanjut menuju kelahiran kembali.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya susu yang menggumpal menjadi dadih. Krim dadih diambil dan dimasak perlahan, berubah menjadi ghee. Dapatkah seseorang mengambil ghee atau krim dadih dan masih menyebutnya "susu"? Apakah pernyataan seperti itu yang dibuat oleh seseorang sudah memadai?


Raja berkata, “Pernyataan seperti itu yang dibuat oleh seseorang tidak memadai.”


Nāgasena berkata:

Kesadaran seseorang [seperti halnya] dengan susu. Dari susu seseorang memperoleh dadih, dari dadih seseorang memperoleh krim, dan dari krim seseorang memperoleh ghee. Kesadaran seseorang juga seperti demikian. Dari terdapat kesadaran menjadi, seseorang dilahirkan kembali, dan dari dilahirkan kembali, seseorang mencapai dewasa, dari dewasa seseorang mencapai usia tua, dari usia tua seseorang mencapai kematian, dan setelah kematian kesadaran seseorang akan kembali terlahir kembali. Tubuh seseorang ketika mati, seseorang akan mengambil tubuh lain lagi. Seperti halnya dengan dua api yang saling menyalakan satu sama lain.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


[Arhat]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Seseorang yang tidak akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, akankah orang-orang itu mengetahui untuk dirinya sendiri?”


Nāgasena berkata, “Ya, mereka dapat mengetahui untuk dirinya sendiri.”


Raja berkata, “Bagaimanakah mereka mengetahuinya?”


Nāgasena berkata:

Orang-orang itu mengetahui untuk dirinya sendiri bahwa tidak ada nafsu, tidak ada keinginan indria, dan tidak ada keburukan. Karena alasan inilah mereka mengetahui untuk dirinya sendiri bahwa mereka tidak akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.


Nāgasena bertanya kepada raja:

Seperti halnya seorang petani yang membajak dan menabur gandum, menuai banyak, dan meletakkannya di [lumbung] bambu. Pada tahun-tahun berikutnya ia tidak lagi membajak dan tidak lagi menabur, tetapi hanya makan dengan mengandalkan apa yang ada di [lumbung] bambu. Akankah petani itu mengharapkan untuk mendapatkan gandum baru?


Raja berkata, "Petani tidak memiliki apa-apa lagi untuk diharapkan."


Nāgasena berkata, “Bagaimana petani itu mengetahui bahwa ia tidak akan mendapatkan gandum lagi?”


Raja berkata, “Petani itu tidak lagi membajak dan tidak lagi menabur; oleh karena itulah ia tidak memiliki apa-apa untuk diharapkan.”


Nāgasena berkata:

Mereka yang telah mencapai pencerahan juga seperti demikian. Mereka mengetahui untuk dirinya sendiri bahwa mereka telah meninggalkan dan melepaskan nafsu, pikiran mereka menjadi tanpa nafsu terhadap kesakitan atau kesenangan. Karena alasan inilah mereka mengetahui untuk dirinya sendiri bahwa mereka tidak akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.


[Raja berkata, “Baiklah, baiklah.”]


Raja berkata lagi, “Orang-orang itu, yang tidak akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, apakah mereka saat ini memiliki kebijaksanaan yang berbeda dari orang [lain]?”


Nāgasena berkata, “Ya, mereka memiliki kebijaksanaan yang berbeda dari orang [lain].”


Raja berkata, "Apakah mereka dapat memiliki pandangan terang tentang hal itu?"


Nāgasena berkata, “Ya, mereka memiliki pandangan terang tentang itu.”


Raja berkata, “Apa perbedaan antara kebijaksanaan dan pandangan terang?”


Nāgasena berkata, “Kebijaksanaan dan pandangan terang adalah sama saja.”


Raja berkata, “Mereka yang memiliki kebijaksanaan dan pandangan terang, akankah mereka mengetahui sepenuhnya segala sesuatu? Mungkinkah mereka tidak mengetahui sesuatu?”


Nāgasena berkata, “Dalam beberapa hal orang-orang [demikian] memiliki pengetahuan dan dalam beberapa hal mereka tidak memilikinya.”


Raja berkata, “Tentang pengetahuan apakah yang mereka miliki dan tentang apakah yang tidak mereka miliki?”


Nāgasena berkata:

Apa yang sebelumnya tidak dipelajari oleh orang-orang itu, mereka tidak mengetahuinya dari awal. Apa yang telah dipelajari oleh orang-orang itu sebelumnya, mereka mengetahuinya dari awal. Para bijaksana melihat bahwa orang-orang dan segala sesuatu akan berlalu, mereka kembali ke kekosongan dan tidak mendapatkan kebebasan, [mereka melihat] bahwa semua kenikmatan indria dalam pikiran seseorang adalah benih dukkha, akar di mana dukkha disebabkan. Para bijaksana mengetahui ketidak-kekalan dan naik-turunnya segala hal. Inilah bagaimana para bijaksana berbeda dari orang [lainnya].


Raja bertanya, “Seseorang yang memiliki kebijaksanaan [demikian], apakah mereka memiliki delusi dimanapun?”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang memiliki kebijaksanaan [demikian] telah dengan dirinya sendiri melenyapkan semua delusi.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang memasuki suatu ruangan gelap sambil memegang sebuah pelita yang menyala. Segalanya di ruangan tersebut menjadi terang dan kegelapan dihilangkan. Kebijaksanaan adalah seperti demikian. Seseorang yang memiliki kebijaksanaan melenyapkan semua delusi.


Raja berkata, "Dimanakah kebijaksanaan seseorang itu?"


Nāgasena berkata:

[Ketika] kebijaksanaan seseorang telah melakukan [tugasnya], kebijaksanaan ini pada akhirnya menghilang setelahnya. Apa yang merupakan akibat dari kebijaksanaan yang telah dilakukan, hal itu [tetap] telah dilakukan.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang pada malam hari menulis sepucuk surat di bawah nyala api [sebuah pelita]. Nyala api menjadi padam, [namun] surat itu tetap ada. Apa yang telah dicapai oleh orang bijaksana adalah seperti demikian. Kebijaksanaan pada akhirnya menghilang, apa yang telah dilakukannya tetap ada.


Raja berkata, “Apakah maksud dari pernyataan bahwa kebijaksanaan itu, setelah mencapai sesuatu, pada akhirnya menghilang dengan sendirinya?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seseorang yang, untuk bersiap-siap sebelum [terjadinya] suatu kebakaran, menyiapkan lima kendi berisi air untuk memadamkan api. Jika sesuatu terbakar, orang itu mengambil lima kendi berisi air dan, menuangkan air, memadamkan api. Setelah api itu padam, akankah orang itu, yang telah memadamkan api, ketika kembali ke rumah ingin membawa kendi-kendi bekas itu bersamanya untuk ia gunakan?


Raja berkata, “Orang itu tidak akan menginginkan kendi itu lagi dan akan memecahkannya. Apinya telah padam, bagaimana mungkin mereka menginginkan kendi-kendi itu lagi?”


Nāgasena berkata:

Seseorang [yang berada] pada Sang Jalan yang mengambil lima kondisi batin yang bajik untuk melenyapkan semua keburukan adalah seperti halnya dengan [orang] yang memadamkan api dengan kendi-kendi air.


Raja berkata, “Apakah lima [kondisi batin] yang bermanfaat itu?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah keyakinan bahwa ada yang baik dan yang buruk, yang kedua adalah tidak melanggar Śīla [yang terdapat] di dalam kanon, yang ketiga adalah bersemangat, yang keempat adalah memiliki kebijaksanaan dan penuh perhatian pada apa yang bajik, dan yang kelima adalah penuh perhatian pada Sang Jalan dengan penyatuan batin [Dhyāna]. Ini adalah lima [kondisi batin] yang bermanfaat. Seseorang yang mampu melaksanakan lima [kondisi batin] yang bermanfaat ini pada akhirnya memperoleh kebijaksanaan dan pada akhirnya mengetahui bahwa tubuh dan segala hal adalah tidak kekal, ia pada akhirnya mengetahui bahwa mereka adalah dukkha dan tidak mendapatkan kebebasan, pada akhirnya ia mengetahui bahwa mereka adalah kosong dan tidak terdapat apapun di dalam mereka untuk dimiliki.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seorang tabib yang mengambil [sebuah ramuan dari] lima jenis obat dan mendatangi rumah orang yang sakit dan memberikan obat itu kepada orang sakit untuk diminum. Orang sakit itu minum obatnya dan sembuh. Akankah tabib itu ingin membuat obat sebelumnya lagi untuk diberikan lagi demi menyembuhkan orang?


Raja berkata, “Ia tidak akan mau lagi untuk membuat obat sebelumnya.”


Nāgasena berkata:

Lima jenis obat seperti halnya lima [kondisi pikiran] yang bermanfaat dari seorang bijaksana. Tabib itu seperti halnya seseorang yang mencari Sang Jalan. Penyakit itu seperti halnya semua keburukan. Seseorang yang terdelusi seperti halnya orang yang sakit. Seseorang yang memperoleh jalan melampaui dunia adalah seperti halnya seseorang yang sakit yang telah disembuhkan. Apa yang dicapai oleh kebijaksanaan adalah membawa orang tersebut ke jalan yang melampaui dunia. [Ketika] orang tersebut telah mencapai Sang Jalan, kebijaksanaan menghilang dengan sendirinya.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seorang pejuang yang kuat yang, menggenggam sebuah busur dan membawa anak-anak panah, maju ke arah musuh. Menembak lima anak panah ke arah musuh, ia memperoleh kemenangan. Apakah orang itu ingin anak-anak panahnya kembali kepadanya lagi dan lagi?


Raja berkata, "Ia tidak lagi menginginkan anak-anak panah itu."


Nāgasena berkata:

Lima anak panah adalah lima kebijaksanaan seseorang. Seorang bijaksana memperoleh Sang Jalan melalui kebijaksanaan, seperti halnya pejuang memperoleh kemenangan. Semua orang yang buruk di kelompok musuh adalah seperti semua keburukan. Seseorang pada Sang Jalan berpegang teguh pada lima kondisi pikiran yang bajik untuk memadamkan dan mundur dari semua keburukan. Semua keburukan telah dipadamkan, kebijaksanaan yang terampil muncul. Melalui kebijaksanaan yang terampil orang tersebut mencapai jalan yang melampaui dunia, dan hal ini tetap ada secara konstan dan tidak padam.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja berkata, “Jika seseorang telah mencapai pencerahan dan tidak terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, apakah setelah itu mereka masih mengalami kesakitan?”


Nāgasena berkata, “Mereka akan mengalami beberapa rasa sakit dan tidak mengalami rasa sakit lainnya.”


Raja berkata, “Bagaimana mungkin mereka mengalami [beberapa] rasa sakit dan tidak mengalami rasa sakit [lainnya]?”


Nāgasena berkata, “Hanya tubuh mereka yang mengalami rasa sakit; pikiran mereka tidak mengalami rasa sakit.”


Raja berkata, “Bagaimana mungkin [hanya] tubuh mereka yang mengalami rasa sakit dan pikiran mereka tidak mengalami rasa sakit?”


Nāgasena berkata:

Tubuh mereka mengalami rasa sakit sebagai sebuah akibat dari keberadaan tubuh saat ini, oleh karena itulah mereka mengalami rasa sakit. Pikiran mereka telah melenyapkan semua keburukan dan tanpa keinginan, oleh karena itulah tidak lagi mengalami rasa sakit.


Raja berkata, “Dalam kasus seseorang mencapai pencerahan dan tidak dapat terbebas dari rasa sakit tubuh, apakah ini karena mereka belum mencapai pencerahan Nirvāṇa?”


Raja berkata:

[Jika] seseorang, yang telah mencapai pencerahan dan tanpa nafsu, pikirannya damai [namun] tubuhnya kesakitan, apa gunanya mereka mencapai pencerahan?


Raja berkata, “Jika seseorang telah mencapai pencerahan, mengapa mereka tetap tinggal?”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya buah yang belum matang, buah itu tidak akan matang dengan dipaksa. Karena sudah matang, tidak ada lagi yang harus ditunggu. ”


Nāgasena berkata:

Apa yang menjadi fokus raja sehubungan dengan pencerahan telah dijelaskan oleh Bhikṣu Sāriputta. Ketika masih hidup, Bhikṣu Sāriputta berkata, “Aku tidak mencari kematian dan aku juga tidak mencari kehidupan. Aku hanya menunggu waktuku. Ketika waktu yang tepat telah tiba, pada akhirnya aku akan pergi.”


Raja berkata, "Baiklah, Baiklah."


[Jenis-jenis Pengalaman]


Raja bertanya:

Apakah baik atau tidak baik bagi seseorang untuk mengalami kesenangan? Apakah baik atau tidak baik bagi seseorang untuk mengalami kesakitan? Sang Buddha tidak akan menyangkal bahwa terdapat kesenangan atau bahwa terdapat kesakitan.


Raja berkata [lebih lanjut], “Dengan ketentuan bahwa tidak [hanya] kesakitan dalam apa yang terkondisi.”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Jika seseorang memegang besi panas yang terbakar di tangannya, apakah tangan orang tersebut akan terbakar? Kemudian, [jika] ia memegang es di tangan [lainnya], apakah es itu juga akan membakar tangan [lainnya]?


Raja berkata, "Ya, masing-masing dari kedua tangan akan terdampak."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Dengan cara ini apakah setiap benda yang ia ambil di kedua tangannya terbakar?”


Raja berkata, "Keduanya tidak terbakar."


Nāgasena berkata, “Apakah keduanya dingin?”


Raja berkata, "Keduanya tidak dingin."


Nāgasena berkata, “[Namun,] kedua tangannya terbakar.”


Nāgasena berkata:

Aku kembali bertanya kepada Yang Mulia. [Jika] yang sebelumnya dan yang setelahnya sama-sama panas, Yang Mulia seharusnya berkata, “Keduanya panas.” [Jika] keduanya dingin, engkau seharusnya berkata, “Keduanya dingin.” Apakah alasannya, yang satu dingin dan yang satu panas, bagimu untuk dapat mengatakan dengan setara bahwa mereka membakar tangan orang tersebut?


Raja berkata, “Kebijaksanaanku sangat mendasar dan aku tidak mampu memperdebatkan hal ini. Semoga Nāgasena menjelaskannya kepadaku.”


Nāgasena berkata:

Sang Buddha telah mengajarkan dalam suatu Dharma bahwa terdapat enam hal yang bersama-sama menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang, enam hal yang menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang, dan lagi enam hal yang menyebabkan bukan kegembiraan maupun kesedihan [di dalam diri] seseorang; selain itu terdapat enam hal yang, berada di luar [kemelekatan], menyebabkan [kegembiraan] seseorang, kesedihan, [dan bukan kegembiraan maupun kesedihan].


Raja bertanya, “Apakah enam hal yang menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah pemandangan [yang menyenangkan] dan apa yang seseorang harapkan [untuk dilihat] dengan mata; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Yang kedua adalah suara yang menyenangkan dan apa yang seseorang harapkan untuk didengar dengan telinga; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Yang ketiga adalah wewangian yang menyenangkan dan apa yang seseorang harapkan untuk dicium dengan hidung; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Yang keempat adalah rasa yang enak dan apa yang seseorang harapkan [untuk dicicipi] dengan lidah; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Yang kelima adalah [menyentuh] apa yang halus dan lembut dan apa yang seseorang harapkan untuk [menyentuh] dengan tubuh; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Yang keenam adalah kesenangan [batin] dan apa yang seseorang harapkan untuk dialami dengan pikiran; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.

Dengan cara inilah terdapat enam hal yang menyebabkan kegembiraan di dalam diri seseorang.


Raja bertanya lagi, “Apakah enam hal yang, berada di luar [dari] kemelekatan], menyebabkan kegembiraan seseorang?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah [ketika], saat melihat bentuk-bentuk yang menyenangkan dengan mata, seseorang menyadari bahwa mereka tidak dapat diperoleh terus-menerus dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan, kemudian seseorang secara pribadi memberikan perhatian yang saksama pada sifat tidak kekalnya; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan seseorang di luar [kemelekatan].

Yang kedua adalah [ketika], saat mendengarkan suara-suara yang menyenangkan dengan telinga, seseorang menyadari bahwa mereka tidak dapat diperoleh terus-menerus dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan seseorang di luar [kemelekatan].

Yang ketiga adalah [ketika], saat mencium wewangian yang menyenangkan dengan hidung, seseorang menyadari bahwa mereka tidak dapat diperoleh terus-menerus dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan seseorang di luar [kemelekatan].

Yang keempat adalah [ketika], saat mendapatkan rasa yang enak di mulut, seseorang menyadari bahwa mereka tidak dapat diperoleh terus-menerus dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan seseorang di luar [kemelekatan].

Yang kelima adalah [ketika], saat akan [menyentuh] apa yang halus dan lembut dengan tubuh, seseorang menyadari bahwa hal ini tidak dapat diperoleh terus-menerus dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan; ini adalah suatu alasan untuk menyebabkan kegembiraan seseorang di luar [kemelekatan].

Yang keenam adalah [ketika], saat memiliki pikiran nafsu dan keinginan dalam pikiran, seseorang memberikan perhatian kepada mereka dan menyadari bahwa ini semua tidak kekal dan bahwa mereka semua harus ditinggalkan; dengan menyadari mereka dalam cara ini seseorang mengalami kegembiraan setelahnya.

Ini adalah enam hal yang, berada di luar [kemelekatan], menyebabkan kegembiraan seseorang.


Raja bertanya lagi, “Apakah enam hal internal yang menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama yang menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang adalah melihat apa yang tidak menyenangkan dengan mata; hal ini menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Yang kedua adalah mendengar apa yang tidak diinginkan dengan telinga; mendengarnya menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Yang ketiga adalah mencium bau yang tidak diinginkan dengan hidung; hal ini menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Yang keempat adalah mendapatkan [rasa] yang tidak diinginkan di mulut; ketika [merasakan] hal itu menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Yang kelima adalah menyentuh apa yang tidak diinginkan dengan tubuh; menyentuhnya menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Keenam adalah mempunyai apa yang tidak dapat dinikmati di dalam pikiran; keberadaannya menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.

Inilah enam hal yang menyebabkan kesedihan di dalam diri seseorang.


Raja bertanya lagi, “Apakah enam hal yang, di luar [kemelekatan], menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah [ketika] melihat bentuk-bentuk buruk dengan mata menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Yang kedua adalah [ketika] mendengar suara-suara buruk dengan telinga menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Yang ketiga adalah [ketika] mencium bau busuk dan sesuatu yang berbau tengik dengan hidung menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Yang keempat adalah [ketika] mengecap apa yang pahit atau pedas dengan lidah menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Yang kelima adalah [ketika] menyentuh dengan tubuh apa yang kasar dan padat menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Yang keenam adalah [ketika] memikirkan apa yang dibenci menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.

Ini adalah enam hal yang, di luar [kemelekatan], menyebabkan bukan kegembiraan [maupun kesedihan] pada diri seseorang.


Raja bertanya lagi, “Apakah enam hal yang menyebabkan bukan kegembiraan maupun kesedihan [di dalam diri] seseorang?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah melihat dengan mata apa yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Yang kedua adalah mendengar dengan telinga suara-suara yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Yang ketiga adalah mencium dengan hidung apa yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Yang keempat adalah memasukan sesuatu ke mulut apa yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Yang kelima adalah menyentuh dengan tubuh apa yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Yang keenam adalah memikirkan di dalam pikiran apa yang tidak menyenangkan atau menyedihkan.

Ini adalah enam hal yang menyebabkan bukan kegembiraan maupun kesedihan di dalam diri seseorang.


Raja bertanya lagi, “Apakah enam hal yang, berada di luar [kemelekatan], menyebabkan kesedihan seseorang?”


Nāgasena berkata:

Yang pertama adalah melihat dengan mata apa yang mati, karena itulah seseorang menyadari bahwa tubuhnya sendiri dan segala sesuatu sebagai tidak kekal. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Yang kedua adalah tidak menikmati suara yang diinginkan oleh telinga. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Yang ketiga adalah tidak menyenangi bau-bau busuk atau wewangian di hidung. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Yang keempat adalah tidak [menikmati] ketika mencicipi apa yang pahit atau manis di mulut. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Yang kelima adalah tidak menikmati ketika menyentuh dengan tubuh apa yang halus dan lembut, juga tidak [menolak pada] apa yang kasar dan padat. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Yang keenam adalah tidak menikmati nafsu dan keinginan di dalam pikiran. Orang-orang itu menyadari hal ini dan berkata kepada dirinya sendiri, “Dengan menyadari demikian, mengapa aku belum [juga] mencapai pencerahan?”; dan karena itulah terdapat kesedihan di luar [kemelekatan].

Inilah enam hal yang menyebabkan kesedihan seseorang di luar [kemelekatan].


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


[Tentang Kelahiran Kembali Lagi]


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Setelah kematian seseorang, siapakah yang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya?”


Nāgasena berkata, “Batin-dan-jasmani yang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.”


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Apakah batin-dan-jasmani sebelumnya yang akan terlahir kembali?”


Nāgasena berkata:

Tidak. Yang terlahir bukanlah batin lama atau jasmani lama. Dengan batin dan jasmani ini seseorang melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini. [Kemudian] terdapat hanya kelahiran kembali di kehidupan selanjutnya.


Raja berkata:

Asalkan dengan batin-dan-jasmani ini kebajikan dan keburukan dilakukan pada kehidupan sekarang, dan [batin-dan-]jasmani yang sama tidak terlahir kembali karena hal tersebut di kehidupan selanjutnya, maka dapatkah seseorang terbebas secara langsung oleh jalan melakukan kebajikan dan keburukan, tanpa mengalami dukkha lebih jauh?


Nāgasena berkata:

Seseorang yang melakukan apa yang bajik pada kehidupan sekarang dan tidak terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, apakah [seorang demikian] pada akhirnya tidak memperoleh pembebasan? [Namun], seseorang yang melakukan kebajikan dan keburukan tanpa berhenti nantinya akan terlahir kembali; karena alasan inilah mereka belum memperoleh pembebasan.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang mencuri buah orang lain. Pemiliknya menangkap pencuri buah itu dan membawanya ke hadapan raja, dengan mengatakan, “Orang ini telah mencuri buahku.” Pencuri itu berkata, “Aku tidak mencuri buah orang ini. Orang ini baru saja menanam sebuah benih kecil; ia awalnya tidak menanam buah. Aku sendiri mengambil buah. Bagaimana aku bisa menjadi seorang pencuri? Aku tidak mencuri buah orang ini. Aku tidak terima dianggap bersalah.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Dari dua orang yang bertikai seperti ini, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?”


Raja berkata, “Orang yang menanam benih di rumahnya adalah yang benar. Benih itu sebelumnya ditanam olehnya. Pencuri itu bersalah dan harus menerima kesalahannya.”


Nāgasena berkata, “Mengapa [pencuri itu] bersalah?”


Raja berkata:

Karena akibat dari mencuri ia bersalah. Sebelumnya penanam benih menanamnya di rumahnya. Dari apa yang ia tanam akarnya tumbuh dan hanya karena alasan inilah buah-buahan tersebut ada di atas [pohon].


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang mencuri gandum yang telah matang milik orang lain. Pemiliknya menangkap pencuri itu dan, menggiring [orang tersebut] untuk diselidiki, [dengan berkata], "Engkau mencuri gandumku yang telah matang.” Pencuri itu berkata, “Aku tidak mencuri gandummu yang matang, tuan. Engkau sendiri yang menanam [benih] gandum, tuan; Aku sendiri mengambil gandum yang telah matang. Bagaimana mungkin aku telah melakukan pencurian?” Kedua orang itu saling menggiring di hadapan raja dan menyatakan [situasi] seperti ini. Siapakah yang benar dan siapa yang salah?


Raja berkata, Penanam benih itulah yang benar, pencurinya yang salah.


Nāgasena berkata, “Bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa pencuri gandum yang matang adalah yang salah?"


Raja berkata, “Penanaman [benih] gandum membentuk akar; tanpa menanam [benih] gandum tidak ada kondisi untuk akar, oleh karena itu bagaimana mungkin ada gandum yang telah matang?”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang ketika musim dingin merasa kedinginan dan di suatu rumah menyalakan sebuah api dengan tujuan ingin menghangatkan dirinya. [Kemudian] orang tersebut meninggalkan api itu dan pergi. Membakar secara perlahan, api itu mencapai dinding dan lantai [hingga] membakar ruangan dan lantai-lantai rumah yang berdekatan. Pemilik rumah, diberitahu tentang seseorang yang menyalakan api, membawa [orang itu] di hadapan raja dan berkata, “Orang ini menyalakan api yang terus membakar lantai-lantai rumahku.” Namun si pembakar berkata, “Aku hanya menyalakan sebuah api kecil untuk menghangatkan diri. Aku tidak membakar lantai-lantai rumah itu.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Siapakah yang benar?”


Raja berkata, “Orang yang sebelumnya menyalakan api adalah bersalah; dari tempat sebelumnya itulah [api besar] itu muncul.”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Seperti halnya bahwa [ketika] dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang pada malam hari menyalakan api sebuah lilin dan meletakkannya di dinding, dengan harapan untuk memakan makanannya dengan cahaya lilin itu. Lilin itu habis, namun [apinya membakar] dinding di atas dan mencapai bagian bambu dan kayu. Api itu membakar satu rumah pada akhirnya dan, menjadi sebuah kebakaran besar, api itu terus membakar seluruh kota. Orang-orang di seluruh kota menjadi marah dan bersama-sama berkata kepadanya, "Mengapa engkau membakar seluruh kota seperti ini?" Namun si pembakar berkata, “Aku menyalakan api sebuah lilin kecil hanya untuk memakan makananku di bawah cahayanya. Api besar ini [muncul] dengan sendirinya; api itu bukanlah apiku.” Dengan cara ini mereka pada akhirnya mengajukan tuntutan satu sama lain, membawa [si pembakar] di hadapan raja.


Nāgasena berkata kepada raja, “Dalam hal ini, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?”


Raja berkata, "Pembakar itu yang salah."


Nagasena berkata, “Bagaimanakah seseorang bisa mengetahuinya?”


Raja berkata:

Api itu muncul dari api sebelumnya. [Pembakar itu harus diberi tahu,] “Setelah memakan makananmu, engkau tidak berusaha memadamkan api dan hal ini menyebabkan api membakar seluruh kota.”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Dalam hal ini dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya. Karena kurangnya pemahaman seseorang melakukan kebajikan dan keburukan, karena alasan inilah yang menjadikannya tidak mampu untuk mencapai pembebasan.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang membayar sejumlah mahar untuk seorang gadis kecil di keluarga orang lain. Kemudian wanita itu tumbuh dewasa dan pria lain pada akhirnya memberikan sejumlah mahar bagi wanita itu untuk mendapatkan wanita itu sebagai istrinya. Orang [pertama] yang sebelumnya mengadakan pernikahan dengan keluarga itu datang sendiri dan berkata, "Kembalikanlah kepadaku istri yang engkau ambil." Orang [kedua] yang [berjanji menikahi] setelahnya dengan keluarga itu berkata, “Engkau sendiri yang menikah dengan wanita itu ketika ia masih kecil. Aku sendiri menikah dengan wanita itu ketika ia sudah tumbuh dewasa. Bagaimana bisa ia menjadi bayi yang engkau nikahi?” Mereka saling menggiring di hadapan raja.


Nāgasena berkata kepada raja, “Dalam hal ini, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?”


Raja berkata, “Orang yang sebelumnya berjanji menikahinya dengan keluarga yang benar.”


Nāgasena berkata kepada raja, “Bagaimana seseorang dapat mengetahuinya?”


Raja berkata:

Wanita ini sebelumnya kecil dan sekarang ia secara bertahap tumbuh dewasa; karena alasan inilah seseorang dapat mengetahui bahwa ia adalah yang benar, bahwa ia menikah dengan orang yang sebelumnya berjanji menikahinya dengan keluarga.


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang membawa sebuah botol untuk membeli susu dari sebuah keluarga peternak penjual susu. Setelah mendapatkan susunya, ia mengembalikannya kepada pemiliknya sebagai titipan, dengan berkata, “Aku akan kembali hari ini.” Segera setelahnya, orang itu kembali sejenak untuk mengambil botol dengan susu. Susu telah menggumpal pada akhirnya menjadi dadih. Orang yang membeli susu dari keluarga itu berkata, “Tuan, aku mengambil susu dan menitipkannya padamu. Apa yang engkau sekarang serahkan kepadaku untuk diambil kembali adalah dadih.” Peternak penjual susu berkata, “Ini adalah susu lamamu; sekarang sudah menggumpal menjadi dadih dengan sendirinya.” Kedua orang itu saling menuntut dan saling menggiring di hadapan raja.


Nāgasenabertanya kepada raja, “Dalam hal ini, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?”


Raja berkata, "Keluarga peternak penjual susu lah yang benar."


Nāgasena berkata kepada raja, “Bagaimana seseorang bisa mengetahuinya?”


Raja berkata:

[Pembeli harus diberi tahu], "Engkau membeli susu dengan dirimu sendiri dan menyimpan susu di tempat di mana susu itu menggumpal menjadi dadih dengan sendirinya." Apakah yang harus dicela pada keluarga peternak penjual susu?


Nāgasena berkata:

Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Dengan melakukan kebajikan dan keburukan pada kehidupan ini dengan batin-dan-jasmani ini seseorang terlahir kembali di kehidupan selanjutnya; perbuatan bajik dan buruk pada kehidupan ini adalah akarnya.


Raja bertanya lagi, “Sekarang apakah Nāgasena akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya?”


Nāgasena menjawab raja:

Aku telah menjawab pertanyaan itu sebelumnya dengan cara ini, “Selama aku memiliki nafsu keinginan, aku akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya. Selama aku tidak memiliki nafsu keinginan, aku tidak akan terlahir kembali.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang melayani raja dengan semua kekuatan mereka. Mengetahui keterampilan mereka membuat raja memberikan mereka kekayaan. Setelah mendapatkan kekayaan, orang tersebut memanfaatkannya secara maksimal dengan cara mendapatkan pakaian, makanan, dan minuman untuk dirinya sendiri, bersenang dalam kesenangannya sendiri. Selama diskusi, orang itu menyatakan, "Aku telah melakukan pelayanan kepada raja dan raja belum memberikan suatu hadiah kepadaku."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Jika orang tersebut, yang mendapatkan hadiah, malah menyatakan bahwa mereka belum menerimanya, apakah kata-kata orang itu pantas?”


Raja berkata, "Kata-kata orang itu tidak pantas."


Nāgasena berkata:

Karena alasan inilah aku berkata kepada raja, “Selama aku memiliki nafsu keinginan, aku akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya. Selama aku tidak memiliki nafsu keinginan, aku tidak akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.”


Raja berkata, "Baiklah, Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Yang Mulia, sebelumnya engkau berbicara tentang batin-dan-jasmani seseorang; apa itu 'batin' dan apa itu 'jasmani'?"


Nāgasena berkata, “Sekarang, apa yang tampak oleh mata adalah 'jasmani'; pemikiran di dalam pikiran adalah 'batin.'”


Raja bertanya lagi, “Mengapa seseorang memiliki sebuah batin yang akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya dan jasmaninya tidak akan terlahir kembali?”


Nāgasena berkata:

Jasmani dan batin seseorang saling berhubungan dari awal hingga akhir. Seperti halnya cairan dalam telur dan kulit terluarnya, yang menjadi sebuah telur. Batin-dan-jasmani seseorang saling terhubung dengan cara ini dan tidak dapat dipisahkan.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Waktu]


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Apakah suatu durasi waktu?”


Nāgasena berkata:

Melalui hal-hal masa lampau terdapat suatu durasi waktu dan [Melalui] hal-hal masa depan juga terdapat suatu durasi waktu. Dengan hal-hal saat ini tidak ada durasi waktu.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Apakah suatu durasi waktu sesungguhnya ada?”


Nāgasena berkata, “Satu waktu suatu durasi waktu ada, satu waktu durasi waktu tidak ada.”


Raja berkata lagi, “Bagaimana suatu durasi waktu ada dan bagaimana suatu durasi waktu tidak ada?”


Nāgasena berkata:

Bagi mereka yang telah mencapai pencerahan Nirvāṇa, suatu durasi waktu tidak ada. Bagi mereka yang belum mencapai pencerahan dan yang akan mengalami kematian dan kelahiran kembali berikutnya, terdapat suatu durasi waktu. [Namun demikian, jika] seseorang dalam kehidupan ini suka memberi dan menghormati orang tuanya, di kehidupan selanjutnya mereka akan mendapatkan keberuntungan.


Raja berkata, "baiklah, baiklah."


[Tentang Asal Mula Segala Sesuatu]


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Sehubungan dengan hal-hal di masa lampau, hal-hal di masa depan, dan hal-hal saat ini, apakah akar dari ketiga hal ini?”


Nāgasena berkata:

Delusi adalah akar dari hal-hal di masa lampau, hal-hal di masa depan, dan hal-hal saat ini. Setelah muncul, delusi memunculkan kesadaran, kesadaran memunculkan jasmani, jasmani memunculkan batin, batin memunculkan bentuk, dan bentuk memunculkan enam [bidang] pengetahuan: Yang pertama adalah mengetahui melalui mata, yang kedua adalah mengetahui melalui telinga, yang ketiga adalah mengetahui melalui hidung, yang keempat adalah mengetahui melalui mulut, yang kelima adalah mengetahui melalui tubuh, dan yang keenam adalah mengetahui melalui pikiran. Inilah enam [bidang] pengetahuan. Keenam hal ini semuanya diarahkan pada hal eksternal.


Bagaimana mereka diarahkan pada hal eksternal? Mata diarahkan pada bentuk, telinga diarahkan pada suara, hidung diarahkan pada wewangian, mulut diarahkan pada rasa, tubuh diarahkan pada apa yang halus, dan pikiran diarahkan pada nafsu keinginan. Keenam hal ini diarahkan pada hal eksternal melalui apa yang disebut kontak.


Bagi seseorang yang memiliki kontak, yang tergabung dengan kontak, terdapat pengetahuan tentang kesakitan dan pengetahuan tentang kesenangan. Dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kemenjadian muncul dan pada akhirnya kondisi untuk usia tua muncul. Dari usia tua [mendatangkan] kondisi penyakit, dari penyakit [mendatangkan] kondisi kematian, dari kematian [mendatangkan] kondisi ratapan, dari ratapan [mendatangkan] kondisi kesedihan, dari kesedihan [mendatangkan] kondisi menderita secara internal di dalam pikiran.


Bersama-sama, dalam penggabungan, semua ini adalah dukkha dan penggabungan mereka adalah apa yang disebut “seseorang.” Oleh karena itu, pada saat itu, kelahiran dan kematian tidak berakhir bagi “seseorang” [demikian], dan bagi “seseorang” [demikian] asal mula gugusan [dukkha] sebelumnya tidak dapat diperoleh.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang menanam lima [jenis] biji-bijian dan akarnya tumbuh. Dari akar, batang, daun, dan buah tumbuh. Setelah mendapatkan biji-bijian, kemudian, pada tahun berikutnya, mereka menanam lagi dan mendapatkan lebih banyak biji-bijian.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Jika seseorang menanam biji-bijian dari tahun ke tahun, apakah biji-bijian yang ditanam akan berakhir tanpa tumbuh pada waktunya?”


Raja berkata, “Menanam biji-bijian dari tahun ke tahun, tidak akan berakhir tanpa tumbuh pada waktunya.”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang terlahir kembali adalah seperti demikian. Saat itu keberlangsungan dalam kemunculan kelahiran tidak berakhir.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seekor ayam yang melahirkan sebutir telur, dan telur melahirkan seekor ayam. Dari telur, telur [yang lain] muncul; dari ayam, ayam [yang lain] muncul. Kelahiran dan kematian seseorang adalah seperti demikian dan saat itu tidak berakhir.


Nāgasena pada akhirnya menarik roda sebuah kereta kuda di tanah dan bertanya kepada raja, “Apakah roda ini memiliki sudut?”


Raja berkata, "[Roda] itu bulat dan tidak memiliki sudut."


Nāgasena berkata:

Dalam Buddha Dharma dikatakan bahwa kelahiran dan kematian seseorang adalah seperti sebuah roda kereta; terdapat keberlangsungan dalam kemunculan kelahiran saat itu yang tidak berakhir.


Nāgasena berkata:

Seseorang menyadari melalui mata, semua jenis bentuk, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Seseorang menyadari [melalui] telinga, mendengarkan suara-suara, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Seseorang menyadari [melalui] hidung, mencium wangi-wangian, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Seseorang menyadari [melalui] mulut, mendapatkan berbagai rasa, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Seseorang menyadari [melalui] tubuh, mendapatkan [sentuhan] apa yang halus dan halus, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Seseorang menyadari [melalui] pikiran, objek-objek pikiran, dan kesadaran; seseorang mengetahui dengan penggabungan ketiga hal ini. Dari penggabungan mereka, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, kondisi kemenjadian muncul; dari kemenjadian [mendatangkan] kondisi untuk kelahiran; dari kelahiran [mendatangkan] kondisi untuk melakukan kebajikan dan keburukan, dan dari [melakukan] kebajikan dan keburukan pada akhirnya terdapat kelahiran [yang lainnya].


Nāgasena berkata, “Demikianlah keberlangsungan kemunculan dari kelahiran seseorang yang tidak berakhir.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Yang Mulia, engkau mengatakan bahwa awal mula kelahiran dan kematian seseorang tidak dapat diperoleh. Apakah yang engkau anggap tanpa suatu awal yang bisa diperoleh?


Nāgasena berkata, “Karena [tidak ada] awal mula, hal itu tidak akan muncul lagi. Dengan terdapat suatu awal mula, hal itu akan berlangsung lagi. Hal ini karena ada awal mulanya.”


Raja berkata:

Karena tidak ada awal mula, hal itu tidak akan muncul lagi. Terbukti, dengan adanya awal mula, hal itu akan berlangsung lagi. Dalam hal ini awal mulanya belum dihentikan?


Nāgasena berkata, “Ya, dan semua itu akan berlangsung lagi.”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Dari apa saja kelahiran dan kematian seseorang berkembang?”


Nāgasena bertanya kepada raja, "Apakah terdapat hal lain yang membuat orang-orang di dunia dan makhluk-makhluk yang merayap dan menggeliat berkembang?"


Raja berkata:

Aku tidak bertanya kepada Nāgasena tentang orang-orang di dunia dan tentang makhluk-makhluk yang merayap dan menggeliat. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, Yang Mulia, tentang awal mula kelahiran dan kematian seseorang.


Nāgasena berkata:

Tumbuhnya pohon-pohon memiliki awal mula dengan ditanam; tumbuhnya lima biji-bijian memiliki awal mula dalam biji [benih]. Semua hal di seluruh dunia, semuanya tumbuh dari awal mula mereka yang spesifik. Seseorang memiliki awal mula dalam nafsu sehubungan dengan enam indera.


Nāgasena berkata:

Bagi seseorang terdapat mata, terdapat bentuk, dan terdapat kesadaran; terdapat telinga, terdapat suara, dan terdapat kesadaran; terdapat hidung, terdapat wewangian, dan terdapat kesadaran; terdapat lidah, terdapat rasa, dan terdapat kesadaran; terdapat tubuh, terdapat sentuhan pada apa yang halus dan lembut, dan terdapat kesadaran; terdapat pikiran, terdapat objek pikiran, dan terdapat kesadaran. Dari hal ini, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu, hanya penggabungan dari hal ini [berbagai jenis] dukkha muncul, yang menjadi seseorang.


Karena mata. . . telinga . . . hidung . . . mulut . . . tubuh . . . kesadaran menjadi sadar pada pikiran, terdapat kontak sebagai titik pertemuan mereka. Dari kontak, kesakitan dan kesenangan muncul; dari kesakitan dan kesenangan, keinginan muncul; dari keinginan, nafsu muncul; dari nafsu sebagai kondisi, kemenjadian muncul; dari kemenjadian sebagai kondisi, terdapat kelahiran; dari kelahiran sebagai kondisi, terdapat usia tua. Dan dari kondisi inilah terdapat penyakit, dari penyakit sebagai kondisi, terdapat kematian, dan dari kondisi inilah terdapat kesedihan, dari kesedihan sebagai kondisi, terdapat ratapan; dan dari ratapan sebagai kondisi, terdapat menderita secara internal di dalam pikiran. Seseorang yang terlahir adalah seperti demikian.


Nāgasena berkata:

Dengan tidak adanya mata dan tidak melihat bentuk-bentuk, seseorang tidak menyadarinya dan tidak mengetahuinya; dari tidak menyadarinya dan tidak mengetahuinya, tidak ada penggabungan. Dengan tidak adanya penggabungan, tidak ada kesakitan dan kesenangan; dengan tidak adanya kesakitan dan kesenangan, pada akhirnya keinginan tidak muncul; dengan tidak adanya keinginan, nafsu tidak muncul; dengan tidak adanya nafsu, tidak ada kemenjadian; dengan tidak adanya kemenjadian, tidak ada kelahiran dan tidak ada usia tua; dengan tidak adanya kelahiran dan tidak adanya usia tua, tidak ada penyakit dan tidak ada kematian; dengan tidak adanya penyakit dan tidak adanya kematian, tidak ada kekhawatiran dan ratapan; dengan tidak adanya kekhawatiran dan tidak adanya ratapan, pikiran tidak menderita secara internal. Dengan tidak ada satupun dari semua [jenis] dukkha ini, seseorang pada akhirnya terbebaskan dengan mencapai pencerahan pada Nirvāṇa.


Dengan tidak adanya telinga, tidak ada yang didengar. . . Dengan tidak adanya hidung, tidak ada yang tercium. . . Dengan tidak adanya mulut, tidak ada yang terasa. . . Dengan tidak adanya tubuh, tidak ada yang halus atau lembut yang disentuh. . . Dengan tidak adanya kesadaran, tidak ada pemikiran; dengan tidak adanya pemikiran, tidak ada kontak; dengan tidak adanya kontak, tidak ada kesakitan dan kesenangan; dengan tidak adanya kesakitan dan kesenangan, tidak ada keinginan; dengan tidak adanya keinginan, tidak ada nafsu; dengan tidak adanya nafsu, tidak ada kemenjadian pada suatu kandungan; dengan tidak adanya kemenjadian pada suatu kandungan, tidak ada kelahiran; dengan tidak adanya kelahiran, tidak ada usia tua; dengan tidak adanya usia tua, tidak ada penyakit; dengan tidak adanya penyakit, tidak ada kematian; dengan tidak adanya kematian, tidak ada kekhawatiran; dengan tidak adanya kekhawatiran, tidak ada ratapan; dengan tidak adanya ratapan, pikiran tidak menderita secara internal. Meninggalkan semua [jenis] dukkha ini, seseorang pada akhirnya mencapai pencerahan pada Nirvāṇa.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Mungkinkah di dunia ini terdapat entitas yang muncul dengan sendirinya?”


Nāgasena berkata, “Tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya; semua akan terjadi karena dikondisikan.”


Nāgasena karena alasan ini bertanya kepada raja, “Aula tempat raja duduk sekarang, apakah aula itu dibangun oleh pekerja atau muncul dengan sendirinya?”


Raja berkata, “Para pekerja membangunnya dengan kasau kayu yang terbuat dari pohon dan dengan plester di dinding yang terbuat dari tanah.”


Nāgasena berkata:

Kelahiran seseorang juga seperti demikian. Dalam hal ini penggabungan unsur-unsur menghasilkan seseorang. Karena alasan inilah tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya, segalanya terkondisi.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seorang pembuat tembikar yang membuat peralatan rumah tangga. Ia mengambil tanah dan air, menggabungkannya sehingga menjadi tanah liat dan membakarnya untuk membuat berbagai macam peralatan rumah tangga. Tanah liat tidak dapat menjadi peralatan rumah tangga dengan sendirinya. Harus ada seorang pekerja, kayu bakar, dan sebuah api, dan hanya pada saat itulah akan menjadi peralatan rumah tangga. Tidak ada sesuatu yang muncul dengan sendirinya di dunia.


Nāgasena berkata kepada raja, “Seperti halnya dengan, sebagai contoh, sebuah kecapi tanpa senar, tanpa bingkai, dan tanpa seorang pemain; akankah kecapi itu dapat mengeluarkan suara?”


Raja berkata, “Kecapi itu tidak akan dapat mengeluarkan suara dengan sendirinya.”


Nāgasena berkata, “Jika kecapi itu dimainkan, memiliki senar dan bingkai, dan terdapat seorang pemain, akankah suaranya muncul?”


Raja berkata, “Akan terdapat suara.”


Nāgasena berkata, “Demikian pula di seluruh dunia tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya. Semuanya akan terjadi karena dikondisikan.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Seperti halnya api yang dihasilkan dengan mengebor batu api. Tanpa dua buah kayu dan tanpa seseorang yang mengebor, akankah seseorang dapat memperoleh api?”


Raja berkata, "Seseorang tidak akan dapat memperoleh api."


Nāgasena berkata, “Jika terdapat dua buah kayu dan terdapat seseorang untuk mengebor, akankah ia dapat memperoleh api?”


Raja berkata, "Ya, api akan muncul."


Nāgasena berkata, “Di seluruh dunia tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya. Semua akan terjadi karena dikondisikan.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Seperti halnya sebuah alat penahan lubang tanpa orang yang memegangnya dan juga tanpa matahari dan tanpa sebuah langit [yang cerah], akankah seseorang dapat memperoleh api?”


[Raja berkata, “Seseorang tidak akan dapat memperoleh api.”]


Nāgasena berkata, “Jika seseorang memegang alat penahan lubang dan terdapat langit [yang cerah] dan matahari, akankah ia dapat memperoleh api?”


Raja berkata, "Ia memperoleh api."


Nāgasena berkata, “Di seluruh dunia tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya. Semua akan terjadi karena dikondisikan.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Jika seseorang tidak memiliki cermin dan tidak memiliki cahaya, dan orang itu ingin melihat diri mereka sendiri, akankah mereka dapat melihat penampilan mereka?”


Raja berkata, "Mereka tidak akan dapat melihat diri mereka sendiri."


Nāgasena berkata, “Jika terdapat cermin, terdapat cahaya, dan terdapat seseorang yang melihat dirinya sendiri, akankah mereka dapat melihat tubuh mereka sendiri?”


Raja berkata, "Ya, mereka akan dapat melihat diri mereka sendiri."


Nāgasena berkata, “Di seluruh dunia tidak ada entitas yang muncul dengan sendirinya. Semua akan terjadi karena dikondisikan.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Jiwa]


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Di antara orang-orang di dunia, mungkinkah terdapat seseorang yang [benar-benar ada]?”


Nāgasena berkata, “Tidak mungkin untuk menanyakan apakah seseorang [benar-benar] ada di dunia [tanpa mengklarifikasi] siapakah yang secara tepat disebut sebagai ‘seorang [yang benar-benar ada].’”


Raja berkata, “Bukankah prinsip kehidupan di dalam tubuh adalah seseorang [yang benar-benar ada]?”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Apakah prinsip kehidupan di dalam tubuh dapat melihat bentuk melalui mata? Apakah ia dapat mendengar suara dengan telinga? Apakah ia dapat mencium aroma wewangian melalui hidung? Apakah ia dapat mengetahui rasa melalui lidah? Apakah ia dapat mengetahui apa yang halus dan lembut melalui tubuh? Apakah ia dapat mengetahui apa yang ada melalui pikiran?


Raja berkata, “Ia mampu melakukannya.”


Nāgasena berkata, “Sekarang raja dan aku berada di aula atas yang memiliki jendela di keempat sisinya. Apakah kita dapat melihat dengan bebas, seperti yang kita inginkan, dari jendela mana pun?”


Raja berkata, "Kita bisa melihat."


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan seseorang berada di dalam tubuh dan dapat dengan bebas, sesuai keinginannya, melihat dari celah mana pun. Melihat melalui telinga, apakah ia [juga] dapat melihat bentuk-bentuk yang dapat dilihat dengan mata? Apakah ia dapat menggunakan telinga untuk melihat bentuk? Apakah ia [juga] dapat menggunakan hidung untuk melihat bentuk? Apakah ia [juga] dapat menggunakan mulut untuk melihat bentuk? Apakah ia [juga] dapat menggunakan tubuh untuk melihat bentuk? Apakah ia [juga] dapat menggunakan pikiran untuk melihat bentuk?


Raja berkata, “Ia tidak dapat melakukan itu.”


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berdiam di telinga. Apakah ia [hanya] dapat mendengar sesuatu melalui telinga? [Atau] apakah ia [juga] dapat melihat apa yang ada melalui telinga? Apakah ia [juga] dapat mengetahui wewangian dan bau busuk melalui telinga? Apakah ia [juga] dapat mengetahui rasa melalui telinga? Apakah ia [juga] dapat mengetahui apa yang halus dan lembut melalui telinga? Apakah ia [juga] dapat [mengetahui] apa yang dipikirkan melalui telinga?


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berdiam di hidung. Apakah ia [hanya] dapat mengetahui wewangian dan bau busuk melalui hidung? [Atau ia juga dapat melihat sesuatu melalui hidung?] Apakah ia [juga] dapat mendengar suara melalui hidung? Apakah ia [juga] dapat mengetahui rasa melalui hidung? Apakah ia [juga] dapat mengetahui apa yang halus dan lembut melalui hidung? Apakah ia [juga] dapat [mengetahui] apa yang dipikirkan melalui hidung?


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berdiam di mulut. Apakah ia [hanya] dapat mengetahui rasa melalui mulut? [Atau] apakah ia [juga] dapat melihat sesuatu melalui mulut? Apakah ia [juga] dapat mendengar suara melalui mulut? Apakah ia [juga] dapat mencium bau busuk dan wewangian melalui mulut? Apakah ia [juga] dapat mengetahui apa yang halus dan lembut melalui mulut? Apakah ia [juga] dapat [mengetahui] apa yang dipikirkan melalui mulut?


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berdiam di tubuh. Apakah ia [hanya] dapat mengetahui apa yang halus dan lembut melalui tubuh? [Atau] apakah ia [juga] dapat melihat apa yang ada melalui tubuh? Apakah ia [juga] dapat mendengar suara melalui tubuh? Apakah ia [juga] dapat mengetahui bau busuk dan wewangian melalui tubuh? Apakah ia [juga] dapat mengetahui rasa melalui tubuh? Apakah ia [juga] dapat [mengetahui] apa yang dipikirkan melalui tubuh?


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berdiam di kesadaran. Apakah ia [hanya] dapat [mengetahui] apa yang dipikirkan melalui kesadaran? [Atau apakah ia juga dapat melihat sesuatu melalui kesadaran?] Apakah ia [juga] dapat mendengar suara melalui kesadaran? Apakah ia [juga] dapat mengetahui bau busuk dan wewangian melalui kesadaran? Apakah ia [juga] dapat mengetahui rasa melalui kesadaran? Apakah ia [juga] dapat [mengetahui] apa yang halus dan lembut melalui kesadaran?


Raja berkata, “Ia tidak dapat mengetahuinya.”


Nāgasena berkata, “Apa yang raja katakan sebelumnya dan setelahnya tidak cocok dengan satu sama lainnya.”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya raja dan aku sedang duduk bersama di aula atas dan keempat jendela akan dihancurkan, dapatkah kita melihat dengan jauh dan luas?”


Raja berkata, “Ya, [kita dapat melihat] jauh dan luas.”


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan berada di dalam tubuh. Mata dicabut, apakah seseorang dapat melihat jauh dan luas? Jika telinga dipotong dan [rongganya] diperbesar, apakah seseorang dapat mendengar apa yang jauh? Hidung dipotong dan [rongganya] diperbesar, apakah seseorang dapat mencium wewangian yang jauh? Mulut dipotong dan diperbesar, apakah seseorang dapat mengetahui [lebih] banyak rasa? Kulit dikuliti, apakah seseorang akan mengetahui [lebih] banyak tentang apa yang halus dan lembut? Pikiran yang dipotong dan dicabut, apakah [kemampuan berpikirnya] akan menjadi besar?


Raja berkata, “Tidak, tidak akan.”


Nāgasena berkata, “Apa yang raja katakan sebelumnya dan setelahnya tidak cocok dengan satu sama lainnya.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “[Jika] bendahara raja masuk dan berdiri di hadapan raja, apakah Yang Mulia akan menyadarinya dan tahu bahwa ia ada di depanmu?”


Raja berkata, "Aku akan tahu bahwa ia ada di depanku."


Nāgasena berkata, “[Jika] bendahara raja masuk ke kamar raja, apakah ia tahu bahwa ia telah masuk ke kamar?”


Raja berkata, "Ia tahu bahwa ia telah masuk ke kamar."


Nāgasena berkata:

Misalkan prinsip kehidupan seseorang berada di dalam tubuh dan orang tersebut telah mengambil beberapa rasa dan memasukkannya ke dalam mulut, apakah ia dapat mengetahui apa yang manis, asam, tajam, asin, pedas, atau pahit?


Raja berkata, "Ia akan mengetahuinya."


Nāgasena berkata, “Apa yang raja katakan sebelumnya dan setelahnya tidak cocok dengan satu sama lainnya.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang membeli anggur berkualitas baik dan memasukkannya ke dalam sebuah bejana besar. Ia secara paksa menghalangi mulut orang lain dan menempatkannya terbalik ke dalam anggur untuk mencicipi anggur. Apakah orang itu mengetahui rasa anggurnya?


Raja berkata, “Orang itu tidak akan mengetahuinya.”


Nāgasena berkata, “Mengapa ia tidak mengetahui rasanya?”


Raja berkata, “Anggur itu tidak masuk ke mulutnya dan mencapai permukaan lidahnya; oleh karena itu ia tidak akan mengetahui rasanya.”


Nāgasena berkata, “Apa yang raja katakan sebelumnya dan setelahnya tidak cocok dengan satu sama lainnya.”


Raja berkata, “Aku telah bingung dan kecerdasanku tidak cukup untuk memperdebatkan hal ini. Dapatkah engkau menjelaskan bagaimana itu muncul [menurutmu].”


Nāgasena berkata:

Dari mata seseorang dan penglihatan bentuk-bentuk, terdapat aktivitas kesadaran. Dengan aktivitas kesadaran, kesakitan dan kesenangan muncul. [Dari munculnya kesakitan dan kesenangan] terdapat sebuah penggabungan dengan kehendak-kehendak dan pemikiran-pemikiran. Penggabungan mereka dengan telinga, hidung, mulut, tubuh, dan pikiran semuanya mirip. Terdapat pikiran dan apa yang dipikirkan, terdapat aktivitas kesadaran. Dengan aktivitas kesadaran, kesakitan dan kesenangan muncul. Dari munculnya kesakitan dan kesenangan, terdapat kehendak, dan dari kemunculannya, terdapat pemikiran-pemikiran. Keberlangsungan dalam kemunculan mereka tercapai dengan tepat tanpa terdapat suatu pemilik yang tetap.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Pengalaman]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Ketika di dalam diri seseorang [pengalaman melalui] mata muncul, apakah mata dan kesadaran muncul bersama-sama?”


Nāgasena berkata, “Ya, mereka muncul bersama pada saat yang sama.”


Raja bertanya lagi, “Apakah bidang mata muncul sebelumnya atau apakah bidang kesadaran muncul sebelumnya?”


Nāgasena berkata, “Bidang mata muncul sebelumnya dan bidang pikiran muncul setelahnya.”


Raja berkata:

Apakah mata berkata kepada kesadaran, ‘Di mana aku akan muncul, engkau harus mengikutiku dan muncul setelahnya.’ Apakah keduanya berkomunikasi satu sama lain? Apakah kesadaran berkata kepada mata, ‘Di mana engkau muncul, aku akan mengikutimu dan muncul setelahnya.’ Apakah keduanya berkomunikasi satu sama lain?


Nāgasena berkata, “Keduanya tidak berkomunikasi satu sama lain.”


Raja berkata, “Yang Mulia, engkau tidak menyebutkan alasan mengapa, [walaupun] muncul bersama pada saat yang sama, mereka tidak berkomunikasi satu sama lain.”


Nāgasena berkata, “Terdapat empat situasi di mana [hal-hal muncul] bersama-sama tanpa berkomunikasi satu sama lain.”


Nāgasena berkata sendiri:

Apa saja keempatnya? Yang pertama adalah dengan menuruni, yang kedua adalah dengan berbelok ke arah sebuah pintu, yang ketiga adalah dengan berjalan sepanjang sebuah jejak roda, dan yang keempat adalah dengan memperkirakan. Ini adalah empat situasi di mana [hal-hal muncul] bersama-sama tanpa berkomunikasi satu sama lain.


Raja bertanya lagi, "Apakah itu menuruni'?"


Nāgasena menjawab raja, “[Ketika] langit menurunkan hujan di atas sebuah gunung yang tinggi, kemana air akan mengalir setelahnya?”


Raja berkata, "Air itu akan menurun."


Nāgasena berkata, “Pada waktu yang lain langit hujan lagi, kemana air akan mengalir lagi?”


Raja berkata, "Air itu akan mengalir sesuai dengan tempat air sebelumnya mengalir."


Nāgasena bertanya kepada raja:

Apakah air sebelumnya berkata kepada air setelahnya, “Engkau harus mengikuti kemana aku pergi”? Apakah air setelahnya berkata kepada air sebelumnya, "Aku akan mengikuti tempat di mana engkau mengalir"? Apakah air sebelumnya dan air setelahnya berkomunikasi satu sama lain?


Raja berkata, “Masing-masing air mengalir dengan sendirinya. Yang sebelumnya dan yang setelahnya tidak berkomunikasi satu sama lain.”


Nāgasena berkata:

Mata juga seperti air. Mata tidak berkata kepada kesadaran, “Engkau harus mengikutiku setelah aku muncul.” Kesadaran juga tidak berkata kepada mata, “Aku akan mengikutimu setelah engkau sedang muncul.” Mata dan kesadaran tidak [datang] bersama dan berkomunikasi satu sama lain. Ini disebut "menuruni". Seperti halnya mata, begitu pula dengan telinga, hidung, mulut, tubuh, dan pikiran.


Raja bertanya lagi, "Apakah yang dimaksud dengan 'berbelok ke arah sebuah pintu'?"


Nāgasena berkata, “Seperti halnya suatu kota kerajaan besar yang memiliki satu gerbang. Di dalam terdapat satu orang yang ingin keluar. Ke mana mereka harus berbelok?”


Raja berkata, “Mereka harus keluar melalui gerbang.”


Nāgasena berkata, “Setelah itu, seseorang ingin keluar lagi. Ke mana mereka harus pergi keluar?”


Raja berkata, “Seperti sebelumnya, mereka harus keluar melalui gerbang [yang digunakan] oleh orang sebelumnya.”


Nāgasena berkata kepada raja:

Apakah orang yang keluar sebelumnya akan memberi tahu orang setelahnya, "Engkau harus mengikutiku, ke mana aku akan pergi"? Apakah orang setelahnya akan mengatakan kepada orang sebelumnya, “Tuan, aku akan mengikuti setelahmu, melalui gerbang yang engkau gunakan untuk keluar”? Apakah kedua orang itu saling berkomunikasi?


Raja berkata, “Orang yang sebelumnya dan orang yang setelahnya tidak [datang] bersama dan berkomunikasi satu sama lain.”


Nāgasena berkata:

Mata juga seperti gerbang. Mata tidak berkata kepada kesadaran, “Engkau harus mengikutiku setelah aku muncul.” Kesadaran juga tidak berkata kepada mata, “Sekarang aku harus mengikutimu setelah engkau muncul.” Mata dan kesadaran tidak [datang] bersama dan berkomunikasi satu sama lain. Ini disebut "berbelok ke arah sebuah pintu." begitu pula dengan telinga, hidung, mulut, tubuh, dan pikiran.


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah yang dimaksud dengan ‘berjalan sepanjang sebuah jejak roda’?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Sebuah kereta kuda telah datang sebelumnya dan terdapat sebuah jejak roda. Ke mana kereta kuda yang datang setelahnya akan berjalan?”


Raja berkata, “Kereta setelahnya akan berjalan mengikuti jejak kendaraan sebelumnya.”


Nāgasena berkata:

Apakah roda-roda kereta sebelumnya memberitahu roda kereta setelahnya, “Nantinya engkau harus mengikuti dari tempat di mana aku datang.” Apakah roda-roda kereta yang setelahnya mengatakan kepada roda-roda yang sebelumnya, “Kami akan mengikuti tempat-tempat di mana engkau datang.” Apakah mereka berkomunikasi satu sama lain?


Raja berkata, “Mereka tidak [datang] bersama dan berkomunikasi satu sama lain.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seseorang. Mata tidak berkata kepada kesadaran, “Engkau harus mengikutiku setelah aku muncul di tempat aku muncul.” Kesadaran juga tidak berkata kepada mata, “Tuan, aku akan mengikutimu setelah engkau muncul.”


Nāgasena berkata, “[Begitu pula dengan] telinga, hidung, mulut, tubuh, dan kesadaran; mereka tidak [datang] bersama dan berkomunikasi satu sama lain.”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘memperkirakan’ itu?”


Nāgasena berkata:

Orang yang memperkirakan menentukan dengan menulis atau dengan belajar. Itu adalah memperkirakan. Mata, telinga, hidung, mulut, tubuh, dan kesadaran secara bertahap semua mengetahui dan melalui penggabungan dari enam hal ini terdapat sesuatu yang diketahui. Tidak ada yang diketahui dari [hanya] salah satu dari hal-hal ini.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Ketika di dalam diri seseorang [pengalaman melalui] mata muncul, apakah kesakitan dan kesenangan muncul bersamaan dengan [pengalaman] itu?”


Nāgasena berkata, “[Pengalaman melalui] mata serta kesakitan dan kesenangan muncul bersamaan. Mereka semua berakar pada kemunculan dari penggabungan.”


Raja berkata lagi, "Apakah itu 'penggabungan'?"


Nāgasena berkata:

Penggabungan adalah bersentuhnya dua hal satu sama lain. Penggabungan seperti halnya [kepala] dua domba jantan yang saling menyeruduk satu sama lain. Itu adalah penggabungan. Satu domba jantan seperti halnya mata dan domba jantan lainnya seperti halnya bentuk yang terlihat. Penggabungan mereka disebut "kontak." Seperti halnya satu tangan yang [bagaikan] mata dan tangan yang lain adalah [bagaikan] bentuk yang terlihat; penggabungan kedua tangan adalah kontak. Seperti halnya dua buah batu, satu batu [bagaikan] mata dan batu lainnya [bagaikan] bentuk yang terlihat; penggabungan kedua batu adalah kontak. Dengan semua penggabungan yang sama dari mata, telinga, hidung, [mulut], tubuh, dan kesadaran terdapat kontak. Seperti halnya dua buah batu, satu batu adalah [bagaikan] kesadaran dan batu lainnya adalah [bagaikan] kehendak; penggabungan kedua batu adalah kontak. Penggabungan antara kesadaran dan kehendak adalah seperti demikian. Ini disebut "kontak".


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘ciri-ciri dari kesenangan’”?


Nāgasena berkata, “Seseorang menyadarinya sendiri dan mengetahuinya sebagai kesenangan.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang melayani raja negara. Orang itu bermoral dan terampil, sehingga raja memberinya kekayaan. Setelah memperolehnya, orang itu memanfaatkannya untuk memanjakan dirinya dengan apa pun yang ia inginkan. Orang itu berpikir dalam hati, “Melayani raja, aku memperoleh kekayaan yang di anugerahkan kepadaku. Sekarang aku memperoleh kesenangan [atas] kesenangan semacam ini.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang memikirkan apa yang bajik dengan pikiran, mengatakan apa yang bajik dengan mulut, dan melakukan apa yang bajik dengan tubuh. Setelah mempraktikkan apa yang bajik dengan cara ini, setelah kematian mereka terlahir kembali di surga. Di surga, orang itu, yang bersenang-senang hingga memenuhi tujuannya, berpikir dalam hati, “Ketika aku berada di dunia [manusia], aku memikirkan apa yang bajik dengan pikiranku, mengatakan apa yang bajik dengan mulutku, dan melakukan apa yang bajik dengan tubuhku. Karena alasan inilah sekarang aku terlahir kembali di sini, memperoleh kesenangan dan kesenangan yang lebih banyak lagi.” Ini adalah 'mereka menyadarinya [sendiri]'.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘menyadari’ itu?”


Nāgasena berkata:

Dari mengetahui seseorang menjadi sadar. Seperti halnya bendahara raja yang masuk ke dalam ruang penyimpanan dan melihat ke dalam ruangan sendiri. Ia mengetahui sendiri bahwa terdapat begitu banyak koin, emas, perak, permata, batu giok, sutra dengan berbagai warna dan aroma, mengetahui semuanya di berbagai tempat. Ini adalah "menyadari dan mengetahui."


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘ciri-ciri dari apa yang dipikirkan seseorang’?”


Nāgasena berkata:

Apa yang dilakukan seseorang adalah karena apa yang mereka pikirkan. Seperti halnya dengan seseorang yang, setelah mencampurkan racun ke dalam obat, meminumnya sendiri dan juga memberikannya kepada orang lain untuk diminum. Racun itu berdampak pada tubuhnya sendiri dan juga berdampak pada tubuh orang lain.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang melakukan keburukan dan setelah kematian akan masuk neraka. Mereka yang diperintahkan olehnya semuanya akan masuk ke dalam neraka. Apa yang dikatakan orang jahat itu adalah apa yang mereka pikirkan, seperti halnya demikian.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah ‘refleksi internal’ itu?”


Nāgasena berkata, “Ketika seseorang dengan sengaja berpikir, pada akhirnya terdapat refleksi internal."


Raja berkata, “Bagaimana refleksi berlangsung pada saat itu?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya sebuah mangkuk tembaga atau kuali tembaga. Seseorang datang dan memukulnya. Peralatan masak itu menghasilkan suara dan, ketika diangkat dengan tangan, sisa suaranya keluar. Seseorang adalah seperti demikian, refleksi dan pemikiran berlangsung karena kehendak.


Nāgasena berkata, “Waktu memukul adalah [seperti awal] refleksi dan sisa suara [seperti] kelangsungannya.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Apakah seseorang dapat mengambil apa yang tergabung dan memisahkannya sebagai “ini adalah penggabungan mereka”, “ini adalah pengetahuan”, “ini adalah pemikiran”, “ini adalah pikiran”, dan “ini adalah refleksi”?


Nāgasena berkata, “Jika mereka telah tergabung, seseorang tidak dapat memisahkan mereka lagi.”


Nāgasena berkata:

[Misalkan] raja menyuruh juru masaknya untuk menyiapkan sebuah sup lezat yang di dalamnya terdapat air, daging, bawang merah, bawang putih, jahe, kacang asin, dan nasi ketan. Raja memberikan perintah kepada seorang pelayan dapur, “Dari sup lezat yang telah dibuat, datang dan ambillah dari sup air dengan rasa yang sebelumnya, selanjutnya datang dan ambillah rasa daging, selanjutnya datang dan ambillah rasa bawang, selanjutnya datang dan ambillah rasa jahe, selanjutnya datang dan ambillah rasa kacang asin, selanjutnya datang dan ambillah rasa nasi ketan.” Sup yang sedang dibuat, apakah orang tersebut dapat mengambil setiap rasa dari sup dan memberikannya kepada raja?


Raja berkata, “Setelah sup digabungkan menjadi satu, seseorang tidak dapat memisahkan masing-masing rasa.”


Nāgasena berkata:

Semua hal ini juga seperti demikian. Karena tergabung menjadi satu, seseorang tidak dapat memisahkan mereka sebagai “ini adalah kesakitan dan kesenangan,” “ini adalah pengetahuan,” “ini adalah refleksi,” dan “ini adalah pemikiran.”


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Seseorang yang terus melihat dengan mata, dapatkah mereka membedakan dan mengetahui rasa garam?”


Nāgasena berkata, “Apakah pengetahuan raja seperti demikian? Apakah ia dapat terus melihat dengan mata dan mengetahui rasa garam?”


Raja berkata, “[Jadi] mata tidak mengetahui rasa garam?”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang terus [mencicipi] dengan lidah dapat mengetahui dan memperoleh rasa garam. Mereka tidak dapat mengetahui rasa garam melalui mata.”


Raja berkata lagi, “Apakah seseorang mengetahui rasa melalui lidahnya?”


Nāgasena berkata, “Semua orang dapat mengetahui rasa dengan jelas melalui lidah.”


Raja berkata, “Akankah semua rasa asin dapat diketahui dengan jelas melalui lidah?”


Nāgasena berkata, “Ya, semua rasa asin akan diketahui dengan jelas hanya dengan lidah.”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “[Misalkan] sebuah kereta pengangkut garam dan lembu dipasangkan di [kereta yang mengangkut] garam itu. Apakah lembu kereta itu dapat mengetahui dengan jelas rasa garamnya?”


Nāgasena berkata, “Lembu kereta itu tidak dapat mengetahui dengan jelas [atau bahkan hanya] mengetahui rasa garam.”


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Dapatkah rasa garam ditimbang?”


Nāgasena berkata, “Raja mengetahui apakah seseorang dapat menimbang rasa garam.”


Ditanya oleh raja, Nāgasena [meskipun demikian] berkata, “Rasa garam tidak dapat ditimbang; hanya beratnya yang dapat ditimbang.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Karma]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah kelima pengetahuan [indera] tubuh seseorang telah diperoleh melalui berbagai perbuatan? Apakah seseorang memperoleh lima pengetahuan [indera] dengan melakukan satu perbuatan?”


Nāgasena berkata:

Mereka diperoleh melalui berbagai perbuatan; mereka tidak diperoleh dengan satu perbuatan. Seperti halnya lima biji-bijian [ditaburkan] dalam satu ladang. Ketika mereka akan tumbuh, masing-masing dari mereka akan menumbuhkan jenisnya masing-masing. Semua lima pengetahuan [indera] tubuh seseorang masing-masing telah muncul melalui berbagai perbuatan.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Orang-orang di dunia ini semuanya diberkahi dengan sebuah kepala, rambut, janggut, kulit, wajah, mata, telinga, hidung, mulut, tubuh, empat lengan (tangan dan kaki), tangan, dan kaki. Apakah alasannya bahwa beberapa di antara mereka memiliki usia yang panjang dan beberapa di antara mereka memiliki usia yang pendek; bahwa beberapa di antara mereka memiliki banyak penyakit dan beberapa di antara mereka memiliki sedikit penyakit; bahwa beberapa di antara mereka miskin dan beberapa di antara mereka kaya; bahwa beberapa di antara mereka dihargai dan beberapa di antara mereka dihina; bahwa beberapa di antara mereka adalah orang-orang terkemuka dan beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang tidak penting; bahwa beberapa di antara mereka rupawan dan beberapa di antara mereka jelek; bahwa beberapa di antara mereka dipercaya orang-orang dan beberapa di antara mereka dicurigai orang-orang; bahwa beberapa di antara mereka cerdas dan berbakti dan beberapa di antara mereka bodoh? Mengapa mereka tidak serupa?


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan banyaknya buah-buahan dari pohon. Beberapa di antaranya asam dan tidak manis, beberapa di antaranya pahit, beberapa di antaranya pedas, beberapa di antaranya manis, dan beberapa di antaranya benar-benar masam.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Mereka semua [tumbuh] di pepohonan; mengapa mereka tidak serupa?”


Raja berkata, “Alasan mengapa mereka tidak serupa adalah karena [pohon yang ditanam] jelas berbeda dalam setiap kasus.”


Nāgasena berkata:

Dengan orang-orang juga seperti demikian. Masing-masing dan setiap pemikiran dalam pikiran mereka adalah berbeda. Inilah alasan yang membuat orang-orang di dunia tidak hanya menjadi serupa, sehingga beberapa di antara mereka memiliki usia yang pendek dan beberapa di antara mereka memiliki usia yang panjang; beberapa di antara mereka memiliki banyak penyakit dan beberapa di antara mereka memiliki sedikit penyakit; beberapa di antara mereka kaya dan beberapa di antara mereka miskin; beberapa di antara mereka dihargai dan beberapa di antara mereka dihina; beberapa di antara mereka adalah orang-orang terkemuka dan beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang tidak penting; beberapa di antara mereka adalah rupawan dan beberapa di antara mereka jelek; beberapa di antara mereka mengatakan apa yang bermanfaat dan beberapa di antara mereka mengatakan apa yang tidak bermanfaat; beberapa di antara mereka cerdas dan beberapa di antara mereka bodoh.


Nāgasena berkata:

Karena alasan inilah Sang Buddha bersabda bahwa orang-orang akan mendapatkan apa yang sesuai dengan perbuatan bajik dan buruk mereka sendiri. Beberapa di antara mereka kuat dan kaya; beberapa di antara mereka miskin dan membutuhkan. Semua ini adalah dari jasa kebajikan yang diperoleh masing-masing sesuai dengan perbuatan bajik dan buruk mereka sendiri di kehidupan sebelumnya dan kelahiran sebelumnya di dunia.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Seseorang yang ingin melakukan apa yang bermanfaat, apakah hal itu harus dilakukan sebelumnya atau harus dilakukan setelahnya?”


Nāgasena berkata, “Hal itu harus dilakukan sebelumnya; apa yang akan dilakukan di kemudian tidak mampu memberi manfaat bagi orang tersebut [pada masa sekarang]. Apa yang telah dilakukan sebelumnya akan bermanfaat bagi orang tersebut.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Ketika raja haus dan ingin minum, haruskah ia mempekerjakan orang untuk menggali tanah dan membangun sebuah sumur? Akankah mereka bisa memenuhi rasa haus raja?”


Raja berkata, “Mereka tidak akan [dapat] memenuhi rasa hausku. Mereka seharusnya membangun sumur lebih awal.”


Nāgasena berkata, “Dengan orang-orang juga demikian. Di mana pun orang-orang tinggal, semuanya harus diselesaikan sebelum mereka tinggal. Melakukannya nanti tidak akan ada gunanya. ”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Raja lapar dan hanya pada saat itu ia mempekerjakan orang untuk membajak tanah, memupuki tanah, dan menabur biji-bijian. Karena lapar, apakah ia dapat memperoleh seporsi makanan [atau] haruskah ia membuat bekal sebelumnya?


Raja berkata, “Tidak, aku seharusnya membuat perbekalan sebelumnya.”


Nāgasena berkata:

Dengan orang-orang juga seperti demikian. Mereka seharusnya melakukan apa yang bajik sebelumnya. Melakukan apa yang bajik hanya ketika seseorang berada di bawah tekanan tidak akan memberikan keuntungan pribadi.


Nāgasena bertanya kepada raja:

Seperti halnya raja yang memiliki seorang musuh. Akankah raja, tepat pada waktunya pergi berperang, dapat mempekerjakan orang-orang untuk melatih para kuda, melatih para gajah, melatih orang-orang, dan memproduksi peralatan untuk berperang?


Raja berkata:

Tidak, aku seharusnya membuat persiapan dari jauh-jauh hari, [sehingga] tepat pada waktunya itu aku dapat memberikan pertempuran. Saat itu untuk melatih para kuda, melatih para gajah, melatih orang-orang, [dan memproduksi alat-alat untuk perang] tidak ada gunanya.


Nāgasena berkata:

Sang Buddha bersabda di dalam sebuah khotbah bahwa orang-orang harus mengingat perbuatan-perbuatan bajik mereka sendiri sebelumnya. Melakukan apa yang bajik di kemudian waktu tidak akan memberikan manfaat.


Nāgasena berkata kepada raja:

Seseorang seharusnya tidak membuang jalan yang bagus untuk menjalani jalan yang salah. Tidak ada manfaatnya orang bodoh, yang telah membuang apa yang bajik dan telah melakukan keburukan, duduk setelahnya dan menangis; hal ini tidak ada manfaatnya. Seorang anggota keluarga yang membuang dan menolak kesetiaan dan apa yang benar dan yang melakukan apa yang salah di kemudian hari, pada saat kematiannya, akan menyesalinya.


Raja berkata, "Baiklah, baiklah."


[Tentang Neraka]


Raja bertanya lagi pada Nāgasena:

Yang Mulia, kalian para petapa berkata, “Api di dunia tidak menyala seperti api di neraka.” Yang Mulia, kalian [para petapa] lebih jauh mengatakan, “Sebuah batu kecil, yang ditempatkan ke dalam api di dunia, tidak akan habis sepanjang malam.” Yang Mulia, kalian [para petapa] lebih jauh mengatakan, “Menempatkan sebuah batu yang sangat besar ke dalam api di neraka, batu itu akan habis saat itu juga.” Untuk alasan ini aku tidak mempercayaimu. Yang Mulia, kalian [para petapa] lebih jauh mengatakan, “Orang-orang yang telah melakukan keburukan pada saat kematian akan [dilemparkan] ke neraka, di mana selama jutaan tahun orang-orang itu tidak akan habis atau mati.” Untuk alasan ini, sekali lagi, aku tidak mempercayai pernyataan seperti itu.


Nāgasena bertanya kepada raja:

Pernahkah raja mendengar atau melihat bahwa di dalam air ada ular python betina, buaya betina, kura-kura betina, dan kepiting betina yang sedang mengandung seekor anak, memakan batu pasir?


Raja berkata, "Ya, mereka semua menggunakan batu pasir sebagai makanan."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Akankah batu pasir akan habis di

perut mereka?”


Raja berkata, "Ya, mereka semua akan habis."


Nāgasena berkata, “Apakah anak-anak yang mereka kandung juga akan habis di perut mereka?”


Raja berkata, "Mereka tidak akan habis."


Nāgasena berkata, “Apakah alasannya bahwa mereka tidak akan habis?”


Raja berkata, "Semata-mata nasib baik dari fisiognomi mereka adalah alasannya mengapa mereka tidak habis."


Nāgasena berkata:

Bagi orang-orang di neraka juga seperti demikian; selama jutaan tahun mereka tidak akan habis atau mati. Alasan mereka tidak akan habis atau mati adalah karena kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang ini belum habis.


Nāgasena bertanya kepada raja:

Singa betina, harimau betina, anjing betina, dan kucing betina, yang sedang mengandung seekor anak, semuanya memakan daging. Apakah tulang yang mereka kunyah dan telan akan habis di perut mereka?


Raja berkata, “Mereka semua akan habis sepenuhnya.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah anak-anak yang mereka kandung juga akan habis di perut mereka?”


Raja berkata, "Mereka tidak akan habis."


Nāgasena berkata, “Apakah alasannya bahwa mereka tidak akan habis?”


Raja berkata, “Hal ini semata-mata karena nasib baik dari fisiognomi mereka, itulah alasan mengapa mereka tidak habis.”


Nāgasena berkata:

Bagi orang-orang di neraka juga seperti demikian; selama jutaan tahun mereka tidak akan habis atau mati. Alasan orang-orang di neraka tidak akan habis atau mati adalah karena perbuatan buruk yang mereka lakukan belum dihilangkan.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah sapi betina, kuda betina, keledai betina, elk betina, dan kijang betina, yang sedang mengandung seekor anak, semuanya makan rumput dan jerami sebagai pakan ternak mereka?”


Raja berkata, "Ya, mereka semua menggunakannya sebagai makanan mereka."


Nāgasena berkata, “Apakah jerami dan rumput di perut mereka akan habis sepenuhnya?”


Raja berkata, "Semua itu akan habis."


Nāgasena berkata, “Apakah anak-anak di perut mereka akan habis sepenuhnya?”


Raja berkata, “Mereka tidak akan habis sepenuhnya.”


Nagasena berkata, “Apakah alasannya bahwa mereka tidak akan habis sepenuhnya?”


Raja berkata, “Hal ini semata-mata karena nasib baik dari fisiognomi mereka, itulah alasannya mengapa mereka tidak habis sepenuhnya.”


Nāgasena berkata, “Bagi orang-orang di neraka juga seperti demikian, karena kesalahan mereka belum habis, mereka tidak akan habis atau mati.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Wanita berpangkat tinggi dan wanita dari keluarga kaya semuanya memakan makanan lezat, memakan apa yang mereka suka. Apakah makanan di perut mereka akan habis?”


Raja berkata, “Semua itu akan habis.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah anak-anak yang sedang dikandung mereka akan habis di perut mereka?”


Raja berkata, "Mereka tidak akan habis."


Nāgasena berkata, “Apakah alasannya bahwa mereka tidak akan habis?”


Raja berkata, “Hal itu semata-mata keberuntungan dari fisiognomi mereka, itulah alasannya yang menyebabkan mereka tidak habis.”


Nāgasena berkata:

Bagi orang-orang di neraka juga seperti demikian; selama jutaan tahun mereka tidak akan habis atau mati. Alasan mereka tidak akan habis atau mati adalah karena perbuatan jahat yang mereka lakukan di kehidupan sebelumnya belum dihilangkan.


Nagasena berkata, “Orang-orang [yang terlahir] di neraka, tumbuh di neraka, dan menjadi tua di neraka. Ketika kesalahan mereka habis, mereka [pada akhirnya] akan mati.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Elemen-elemen]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Yang Mulia, kalian para petapa berkata, ‘Di seluruh dunia, bumi bersandar pada air, air bersandar pada angin, dan angin bersandar pada ruang.’ Aku tidak percaya ini.”


Nāgasena pada akhirnya maju ke depan dan mengambil tinta tulis milik raja. Mengangkatnya dengan tiga jari, ia bertanya kepada raja, “Apakah air di sini ditopang oleh angin?”


Raja berkata, "Ya, air itu ditopang oleh angin."


Nāgasena berkata, “Angin menopang air sama seperti ini.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Nirvāṇa]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Ketika pencerahan pada Nirvāṇa, apakah segala sesuatu yang lampau ditinggalkan dan tidak ada penjelmaan selanjutnya?”


Nāgasena berkata, “Ketika pencerahan pada Nirvāṇa, tidak ada penjelmaan selanjutnya.”


Nāgasena berkata:

Orang-orang yang [diliputi] ketidaktahuan datang melalui jalur pencarian nafsu ragawi, secara internal dan eksternal. Menetap pada [nafsu demikian], karena alasan inilah mereka tidak dapat mencapai pembebasan dari usia tua, penyakit, dan kematian.


Nāgasena berkata:

Para bijaksana yang berlatih pada Sang Jalan adalah orang-orang yang tidak melekat pada [nafsu] ragawi, secara internal dan eksternal. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki nafsu. Seseorang yang tidak memiliki nafsu tidak memiliki keinginan inderawi. Seseorang yang tidak memiliki keinginan inderawi tidak [tunduk] pada pembuahan di dalam sebuah rahim. Seseorang yang tidak [tunduk] pada pembuahan di dalam sebuah rahim tidak dilahirkan dan tidak menua. Tidak dilahirkan dan tidak menua, tidak ada penyakit dan tidak ada kematian. Dengan tidak ada penyakit [dan tidak ada kematian], tidak ada kesedihan dan ratapan. Dengan tidak ada kesedihan dan ratapan, seseorang tidak menderita secara internal di dalam pikirannya dan pada akhirnya mencapai pencerahan pada Nirvāṇa.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah semua orang yang berlatih pada Sang Jalan dapat mencapai pencerahan pada Nirvāṇa?”


Nāgasena berkata:

Tidak semua dari mereka dapat mencapai pencerahan pada Nirvāṇa. Mereka yang berjalan dengan benar pada jalan kebajikan, yang berlatih dalam memahami hal-hal dengan benar, yang mengejar apa yang seharusnya dikejar, yang menjauhi dan membuang apa yang tidak seharusnya dikejar, yang memikirkan apa yang harus dipikirkan, yang membuang apa yang tidak seharusnya dipikirkan—orang-orang seperti ini akan mencapai pencerahan Nirvāṇa.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah seseorang yang belum mencapai pencerahan pada Nirvāṇa mengetahui bahwa pencerahan pada Nirvāṇa adalah kebahagiaan?”


Nāgasena berkata, "Ya, walaupun mereka belum mencapai pencerahan pada Nirvāṇa, mereka memiliki alasan untuk mengetahui bahwa pencerahan pada Nirvāṇa adalah kebahagiaan."


Raja berkata, “Bagaimana seseorang, yang belum mencapai pencerahan pada Nirvāṇa, mengetahui bahwa hal itu adalah kebahagiaan?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Seseorang yang sejak lahir tidak pernah dipotong tangan dan kakinya, [apakah mereka tahu bahwa] hal ini adalah saat yang menyakitan?”


Raja berkata, “Meskipun seseorang tidak pernah dipotong tangan dan kakinya, mereka memiliki alasan untuk mengetahui bahwa hal ini menyakitkan.”


Nāgasena berkata, “Bagaimanakah mereka mengetahui bahwa ini menyakitkan?”


Raja berkata, “[Ketika melihat] orang lain berteriak karena tangan dan kakinya dipotong, seseorang memiliki alasan untuk mengetahui bahwa hal ini menyakitkan.”


Nāgasena berkata:

Begitu juga dengan orang-orang. Mereka yang sebelumnya telah mencapai pencerahan pada Nirvāṇa menyatakan secara terus-menerus bahwa pencerahan pada Nirvāṇa adalah kebahagiaan. Inilah alasannya mengapa [mereka yang belum mencapainya] mempercayainya.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Sang Buddha]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah Nāgasena pernah melihat Sang Buddha sebelumnya?”


Nāgasena berkata, “Aku belum pernah melihat-Nya.”


Raja bertanya, “Apakah para guru Nāgasena pernah melihat Sang Buddha sebelumnya?”


Nāgasena berkata, “Guru-guruku juga belum pernah melihat Sang Buddha.”


[Raja berkata,] “Mengingat Nāgasena dan guru-gurunya belum pernah melihat Sang Buddha, tentu saja Sang Buddha tidak ada.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah raja telah melihat tempat penggabungan lima ratus air?”


Raja berkata, "Aku belum melihatnya."


Nāgasena berkata, “Apakah ayah atau kakek raja semuanya melihat air ini?”


Raja berkata, “Mereka semua belum melihatnya.”


Nāgasena berkata, “Raja, ayahnya, dan kakeknya belum pernah melihat tempat penggabungan lima ratus air. Jadi, apakah tidak ada tempat penggabungan dari lima ratus air di dunia ini?”


Raja berkata, “Meskipun aku, ayahku, dan kakekku, kita semua belum pernah melihat air ini, memang benar bahwa air ini ada.”


Nāgasena berkata, “Meskipun aku dan guru-guruku belum pernah melihat Sang Buddha, memang benar bahwa Sang Buddha itu ada.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi, “Apakah tidak ada orang lain yang melebihi Sang Buddha?”


Nāgasena berkata, “Ya, tidak ada seorang pun yang melebihi Sang Buddha.”


Raja bertanya lagi, “Bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang melebihi Sang Buddha?”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Seperti halnya seseorang yang belum pernah memasuki samudera, apakah ia mengetahui bahwa air di samudera itu luas? Terdapat lima sungai, dan [untuk setiap sungai besar] terdapat lima ratus sungai kecil yang mengalir ke sungai-sungai besar: yang pertama disebut Gangga, yang kedua disebut Indus (Sindhu), yang ketiga disebut Tarim (Śītā), yang keempat disebut Oxus (Vakṣu), dan yang kelima disebut Sarasvatī. Siang dan malam air dari kelima sungai ini mengalir ke samudera tanpa terdapat peningkatan dan juga tanpa pengurangan air laut.


Nāgasena berkata, “Apakah Yang Mulia dapat mendengar dan mengetahui hal ini?”


Raja berkata, “Memang benar, aku mengetahui hal ini.”


Nāgasena berkata, “Seperti orang-orang yang telah mencapai pencerahan dan membagikan [pengalaman] pencerahan, [mereka] mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang melebihi Sang Buddha, oleh karena itu aku mempercayainya.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Dengan cara [yang lain], apakah seseorang dapat mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang melebihi Sang Buddha?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Siapakah guru yang menciptakan kanon?”


Raja berkata, "Guru yang menciptakan kanon disebut Zhi."


Nāgasena berkata, “Apakah Yang Mulia pernah melihat Zhi?”


Raja berkata, “Zhi sudah lama meninggal; Aku belum pernah melihatnya.”


Nāgasena berkata, “Karena Yang Mulia belum pernah melihat Zhi, dengan cara apakah engkau dapat mengetahui bahwa Zhi adalah guru yang menciptakan kanon?”


Raja berkata:

Karakter-karakter kanon telah dipertahankan sejak zaman kuno dan terus-menerus diajarkan dan dijelaskan. Karena alasan inilah aku mengetahui namanya adalah Zhi.


Nāgasena berkata:

Karena alasan [yang sama], [walaupun] aku belum pernah melihat Sang Buddha, Dharma dan Vinaya adalah seperti melihat Sang Buddha; tidak ada perbedaannya. Dharma yang diucapkan oleh Sang Buddha tentang Sang Jalan sangat mendalam dan menyenangkan. Orang-orang yang telah mengenal Sang Buddha dan Dharma Vinaya-Nya kemudian pada akhirnya mengajarkannya kepada mereka secara terus menerus. Karena alasan inilah aku mengetahui bahwa tidak ada orang yang mampu mengungguli Sang Buddha.


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Dapatkah seseorang berlatih untuk waktu yang lama setelah secara pribadi melihat [hanya] Dharma dan Vinaya Sang Buddha?”


Nagasena berkata, “Śīla, Dharma, dan Vinaya yang diajarkan oleh Sang Buddha sangatlah menyenangkan sehingga seseorang akan memperjuangkannya hingga usia tuanya.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Kelahiran Kembali]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Setelah seseorang meninggal dunia, apakah tubuh tidak mengikutinya menuju kelahirannya di kehidupan selanjutnya?”


Nāgasena berkata, “Setelah seseorang meninggal dunia, ia akan lebih kepada menerima sebuah tubuh baru; tubuh lama tidak mengikutinya.”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya menyalakan sebuah pelita dari sumbu yang lain. Sumbu lama tetap diam; lebih kepada sebuah sumbu baru yang sedang dinyalakan. Tubuh seseorang adalah seperti demikian. Tubuh lama tidak berlanjut; seseorang akan lebih kepada menerima sebuah tubuh yang baru.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Ketika kecil, apakah Yang Mulia belajar menulis dan membaca kanon-kanon dari seorang guru?”


Raja berkata, "Ya, dan aku terus mengingatnya."


Nāgasena bertanya kepada raja:

Kanon-kanon yang diterima Yang Mulia dari gurunya, apakah guru itu masih mengetahui kanon asli ini? Apakah engkau benar-benar membawa kanon-kanon asli itu?


Raja berkata, “Tidak, guruku terus mengetahui dengan dirinya sendiri semua kanon-kanon asli itu.”


Nāgasena berkata, “Tubuh seseorang adalah seperti demikian, seseorang menerima sebuah tubuh baru yang terpisah dari yang lama.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Sesungguhnya, adakah seseorang yang mengetahui [dalam hal ini suatu entitas yang berpindah]?”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang mengetahui tidak ada [dalam hal ini suatu entitas yang berpindah].”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya seseorang yang mencuri buah orang lain. Apakah pencurinya adalah yang bersalah?”


Raja berkata, "Ia bersalah."


Nāgasena berkata, “Pada saat benih pertama kali ditanam, tidak ada buah di atasnya. Mengapa pencuri itu harus bersalah?”


Raja berkata, “Jika benih tidak ditanam, bagaimana mungkin ada buah? Karena alasan inilah pencuri itu bersalah.”


Nāgasena berkata, “Dengan orang-orang juga seperti demikian. Karena melakukan kebajikan dan keburukan dalam kehidupan ini, seseorang terlahir di kehidupan selanjutnya dan kembali menerima sebuah tubuh baru.”


Raja berkata, “Karena telah melakukan kebajikan dan keburukan dengan tubuh lama ini, seseorang menerima sebuah tubuh baru lagi. Di tempat apakah [perbuatan] bajik dan buruk itu menetap?”


Nāgasena berkata:

Kebajikan dan keburukan yang dilakukan seseorang mengikuti orang tersebut, seperti bayangan mengikuti tubuh. Pada saat kematian seseorang kehilangan tubuhnya; mereka tidak kehilangan perbuatan mereka. Seperti halnya menyalakan sebuah api untuk menulis di malam hari. Api itu menjadi padam, surat-surat tersebut terus ada. Mereka akan muncul kembali ketika dijangkau oleh sebuah api. Apa yang telah dilakukan di kehidupan sekarang akan muncul di kehidupan selanjutnya, seperti orang ini menerima hal itu dengan cara ini.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja berkata, “Apakah Nāgasena dapat membedakan dan menunjukkan tempat di mana kebajikan dan keburukan berdiam?”


Nāgasena berkata, “Tidak mungkin mengetahui tempat di mana kebajikan dan keburukan berdiam.”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Katakanlah, ketika pohon belum berbuah, apakah seseorang dapat membedakan, menunjukkan, dan mengatakan bahwa [di area cabang ini akan terdapat buah seperti itu] dan di area cabang itu tidak akan terdapat buah? Apakah seseorang dapat mengetahuinya sebelumnya?


Raja berkata, “Hal itu tidak mungkin untuk diketahui.”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang belum mencapai pencerahan tidak dapat mengetahui sebelumnya tempat di mana kebajikan dan keburukan berdiam.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi, “Seseorang yang akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, apakah ia dapat mengetahui hal itu dengan dirinya sendiri?”


Nāgasena berkata, “Seseorang yang akan terlahir kembali [dapat] mengetahui hal itu dengan dirinya sendiri.”


Raja berkata, “Dengan cara apakah ia mengetahuinya?”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya seorang petani yang membajak [tanah] dan menabur [benih] dan langit menurunkan hujan pada waktunya. Apakah orang tersebut mengetahui sebelumnya bahwa ia akan memperoleh gandum?”


Raja berkata, "Ya, ia bahkan tahu bahwa ia akan mendapatkan banyak gandum."


Nāgasena berkata, “Seseorang juga seperti demikian. Seseorang [dapat] mengetahui dengan dirinya sendiri sebelumnya bahwa mereka akan terlahir kembali di kehidupan selanjutnya.”


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Sang Buddha]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Sesungguhnya, apakah Nirvāṇa itu ada?”


Nāgasena berkata, “Sesungguhnya, [Nirvāṇa] itu ada.”


Raja berkata, “Apakah Nāgasena dapat menunjukkan kepadaku suatu tempat tertentu di mana Sang Buddha berada?”


Nāgasena berkata:

Aku tidak dapat menunjukkan suatu tempat tertentu di mana Sang Buddha berada. Sang Buddha telah pergi dengan mengambil Nirvāṇa akhir; tidaklah mungkin untuk menunjukkan-Nya, untuk menunjukkan suatu tempat untuk dilihat.


Nāgasena berkata:

Seperti halnya dengan seseorang yang, setelah menyalakan sebuah api yang besar, memadamkan api itu. Dari api itu, dapatkah seseorang menunjukkan lebih jauh dan mengetahui tempat di mana cahaya itu berada?


Raja berkata, “Seseorang tidak dapat mengetahui tempat itu.”


Nāgasena berkata, “Sang Buddha telah pergi dengan mengambil Nirvāṇa akhir; seseorang tidak dapat mengetahui tempatnya lebih jauh.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah para petapa memiliki rasa cinta terhadap tubuh mereka sendiri?”


Nāgasena berkata, “Para petapa tidak memiliki rasa cinta terhadap tubuh mereka sendiri.”


Raja berkata:

Jika para pertapa tidak memiliki rasa cinta terhadap tubuh mereka  sendiri, apakah alasan mereka berbaring untuk beristirahat, berharap untuk menenangkan diri mereka dan merasakan kenyamanan, dan mereka minum dan makan, berharap untuk mendapatkan apa yang lezat dan baik? Apakah alasan mereka merawat diri mereka sendiri?


Nāgasena bertanya kepada raja, “Di masa lalu, apakah engkau pernah masuk di tengah-tengah pertempuran?”


Raja berkata, "Ya, di masa lalu aku masuk di tengah-tengah pertempuran."


Nāgasena berkata, “Dalam pertempuran di masa lalu, apakah engkau [pernah] ditebas oleh sebilah pedang atau [ditusuk] oleh sebuah anak panah?”


Raja berkata, "Di masa lalu aku cukup tertebas oleh pedang."


Nāgasena berkata, “Yang Mulia terluka oleh sebilah pedang [atau dengan] sebilah tombak [atau sebuah] anak panah, apa yang akan engkau lakukan?”


Raja berkata, "Aku segera mengoleskan salep medis dan membalutnya dengan kapas yang empuk."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah Yang Mulia mencintai luka itu dan karena alasan ini mengoleskan salep medis dan membalutnya dengan kapas empuk?”


Raja berkata, “Aku tidak memiliki rasa cinta terhadap luka itu.”


Nāgasena berkata, “Jika engkau benar-benar tidak memiliki rasa cinta terhadap luka itu, mengapa engkau menggunakan salep medis dan menggunakan pembalut dengan kapas yang empuk untuk melindunginya?”


Raja berkata, “Aku hanya ingin menyembuhkan penyakitku. Aku tidak memiliki rasa cinta terhadap luka itu.”


Nāgasena berkata:

Para pertapa juga seperti demikian. Mereka tidak memiliki rasa cinta terhadap tubuh mereka. Meskipun mereka makan dan minum, pikiran mereka tidak bersenang di dalamnya, mereka tidak menggunakannya untuk menjadi rupawan, mereka tidak menggunakannya untuk menjadi menarik, dan mereka tidak menggunakannya untuk mendapatkan warna kulit [yang menarik]. Tujuan mereka hanyalah untuk mendukung tubuh untuk mengejar Dharma dan Vinaya Sang Buddha. Sang Buddha bersabda dalam sebuah Dharma, “Seseorang memiliki sembilan lubang. Sembilan lubang itu [seperti] luka oleh sebilah tombak. Semua lubang itu bau dan tempat kekotoran.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah Sang Buddha benar-benar memiliki tiga puluh dua tanda, delapan puluh karakteristik kecil, dan sebuah tubuh yang seluruhnya berwarna emas [dan] memancarkan sebuah lingkaran cahaya?”


Nāgasena berkata, “Sang Buddha benar-benar memiliki tiga puluh dua tanda dan delapan puluh karakteristik kecil, dan Beliau seluruhnya berwarna emas dan memancarkan sebuah lingkaran cahaya.”


Raja berkata, "Apakah orang tua Sang Buddha juga memiliki tiga puluh dua tanda, delapan puluh karakteristik kecil, dan sebuah tubuh yang seluruhnya berwarna emas [dan] memancarkan sebuah lingkaran cahaya?"


Nāgasena berkata, “Orang tua Sang Buddha tidak memiliki tanda-tanda ini.”


Raja berkata, “Jika orang tua Sang Buddha tidak memiliki tanda-tanda ini, [maka] Sang Buddha juga tidak memiliki tanda-tanda ini.”


Raja selanjutnya berkata, “Orang-orang dan anak-anak yang terlahir dari mereka memiliki ciri-ciri yang serupa. Orang tua[-Nya] tidak memiliki tanda-tanda ini, tentu saja Sang Buddha tidak memiliki tanda-tanda ini.”


Nāgasena berkata:

Meskipun orang tua Sang Buddha tidak memiliki tiga puluh dua tanda ini, delapan puluh karakteristik kecil, dan sebuah tubuh berwarna emas [dengan sebuah lingkaran cahaya], Sang Buddha benar-benar memiliki tanda-tanda ini.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah Yang Mulia pernah melihat setangkai bunga teratai di masa lalu?”


Raja berkata, "Aku telah melihatnya."


Nāgasena berkata:

Bunga teratai ini lahir di tanah dan tumbuh di lumpur dan air. Bunga ini memiliki warna dan sangat harum dan menarik. Apakah bunga itu sesuai dan menyerupai dengan jenis dari warna lumpur dan air?


Raja berkata, “Bunga Itu tidak menyerupai jenis warna tanah, lumpur, dan air.”


Nāgasena berkata:

Walaupun orang tua Sang Buddha tidak memiliki tanda-tanda ini, Sang Buddha benar-benar memiliki tanda-tanda ini. Sang Buddha lahir di dunia dan dibesarkan di dunia, namun Beliau tidak menyerupai hal-hal di dunia.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Apakah perilaku Sang Buddha benar-benar seperti perilaku Brahmā, penguasa surga ketujuh; apakah Beliau tidak berhubungan dengan wanita?”


Nāgasena berkata, “Ya, Beliau benar-benar terpisah dari wanita, murni dan tanpa cela.”


Raja berkata:

Jika perilaku Sang Buddha seperti Brahmā, penguasa langit ketujuh, [maka] Sang Buddha adalah seorang murid Brahmā, penguasa surga ketujuh.


Nāgasena bertanya kepada raja, "Apakah penguasa surga ketujuh memiliki kecerdasan (buddhi) atau apakah ia tidak memiliki kecerdasan?"


Raja berkata, “Brahmā, penguasa langit ketujuh, memiliki kecerdasan.”


Nāgasena berkata, “Karena alasan inilah, Brahmā, penguasa surga ketujuh, dan semua dewa yang lebih tinggi adalah murid dari Sang Buddha.’”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Suara apakah yang dihasilkan oleh suara seekor gajah?”


Raja berkata, "Suara yang dihasilkan oleh suara seekor gajah seperti suara seekor angsa liar."


Nāgasena berkata:

Dengan cara ini seekor gajah akan menjadi murid seekor angsa liar, masing-masing makhluk dari spesies yang berbeda. Dengan Sang Buddha juga demikian, Beliau bukanlah murid Brahmā, penguasa surga ketujuh.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Apakah Sang Buddha sepenuhnya terlatih dalam memahami dan mengejar Dharma dan Vinaya?”


Nāgasena berkata, “Sang Buddha sepenuhnya terlatih dalam memahami dan mengejar Dharma dan Vinaya.”


Raja berkata, “Dari guru manakah Sang Buddha menerima Dharma dan Vinaya?”


Nāgasena berkata:

Sang Buddha tidak memiliki seorang guru. Ketika Sang Buddha mencapai pencerahan, Beliau pada akhirnya memahami sepenuhnya dengan dirinya sendiri semua Dharma dan Sang Jalan. Sang Buddha tidak seperti para siswa yang berlatih untuk memahami apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang akan dikejar oleh semua siswa hingga usia tua.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Orang-orang menangis dan menitikkan air mata atas kematian orang tua mereka. Orang-orang juga menangis dan menitikkan air mata saat mendengar Dharma Sang Buddha. Mereka semua menitikkan air mata. Apakah perbedaan di antara mereka?


Nāgasena berkata:

Orang-orang yang menangisi orang tua mereka semuanya memberikan perhatian kepada rasa cinta mereka dan mengingatnya dengan kesedihan dan kesakitan. Orang-orang yang berduka itu merasa sedih hanya karena ketidaktahuan. Mereka yang menitikkan air mata saat mendengar Dharma Sang Buddha tentang Sang Jalan semuanya memiliki belas kasihan dalam pikiran mereka saat mengingat penderitaan dunia. Untuk alasan inilah mereka menitikkan air mata. Jasa yang mereka peroleh [dengan demikian] sangatlah besar.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah perbedaan antara orang yang telah mencapai pembebasan dan orang yang belum mencapai pembebasan?”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang belum mencapai pembebasan memiliki nafsu keinginan di dalam pikirannya. Seseorang yang telah mencapai pembebasan tidak memiliki nafsu keinginan di dalam pikirannya. Walaupun demikian mereka ingin mendapatkan makanan untuk dimakan hanya untuk mempertahankan hidup.


Raja berkata, “Aku telah melihat orang-orang di dunia; mereka semua menginginkan kesenangan ragawi dan ingin mendapatkan makanan yang lezat tanpa menjadi terpuaskan karenanya.”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang belum mencapai pembebasan memakan makanan demi berkembang dalam kesenangan dan menjadi menarik. Seseorang yang telah mencapai pembebasan, meskipun mereka memakan makanan, mereka tidak menganggapnya menyenangkan atau menganggapnya memuaskan. Tujuan mereka hanya untuk menopang tubuh.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Ingatan]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah orang-orang mengingat apa yang telah mereka lakukan dan hal-hal di masa lalu yang jauh?”


Nāgasena berkata, “Ketika orang-orang khawatir, mereka semua mengingat hal-hal di masa lalu yang jauh.”


Raja berkata, “Dengan cara apakah seseorang mengingat? Apakah seseorang mengingat melalui kehendak? [Atau] apakah seseorang mengingat [hanya] dengan melalui perenungan?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah engkau [dengan cuma-cuma mencoba untuk] mengingat di kemudian waktu apa yang engkau latih dan pahami di masa lalu?”


Raja berkata, “Ya. Apa yang aku latih dan pahami di masa lalu, di kemudian waktu aku telah melupakannya lagi.”


Nāgasena berkata kepada raja, “Apakah engkau tanpa kehendak pada saat melupakannya?”


Raja berkata, “Saat itu aku [hanya] melupakan ingatanku.”


Nāgasena berkata, “Hal itu yang membedakan [ingatan] raja dengan seekor gajah.”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Apakah seseorang mengingat semua yang telah ia lakukan; apakah ia mengerti dengan cara mengingat semua yang telah ia lakukan sejak awal [hingga] apa yang ia lakukan sekarang, pada saat ini?


Nāgasena berkata, “Ia memahami semua hal yang telah berlalu dengan cara mengingatnya dan ia memahami hal-hal saat ini, di masa sekarang, dengan cara mengingatnya.”


Raja berkata, “Seseorang yang mengingat hal-hal yang telah berlalu dengan cara ini seharusnya tidak dapat mengingat hal-hal yang baru juga.”


Nāgasena berkata, “Dengan cara ini [hanya] jika seseorang tidak dapat mengingat dengan baik hal-hal yang baru yang sedang dilakukan.”


Raja berkata, “Apakah [ingatan] tidak berguna bagi seseorang yang baru belajar keterampilan menulis?”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang baru belajar menulis dan menggambar memiliki ingatan. Inilah alasannya yang membuat seorang murid yang belajar memiliki pengetahuan; hal itu hanya karena mereka memiliki ingatan.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Dalam berapa banyak carakah ingatan muncul dalam diri seseorang?”


Nāgasena berkata:

Terdapat enam belas cara di mana ingatan muncul dalam diri seseorang. Yang pertama adalah ingatan yang muncul dari apa yang telah dilakukan pada masa lalu yang jauh. Yang kedua adalah ingatan yang muncul dari apa yang baru dipelajari. Yang ketiga adalah ingatan yang muncul dari suatu peristiwa besar. Yang keempat adalah ingatan yang muncul dari perenungan tentang apa yang baik. Yang kelima adalah ingatan yang muncul dari kesakitan yang dialami di masa lalu. Yang keenam adalah ingatan yang muncul dari memperhatikan diri sendiri. Yang ketujuh adalah ingatan yang muncul dari ragam perbuatan sebelumnya. Yang kedelapan adalah ingatan yang muncul dari mengajar seseorang. Yang kesembilan adalah ingatan yang muncul dari suatu kemiripan. Yang kesepuluh adalah ingatan yang muncul sehubungan dengan apa yang telah dilupakan seseorang pada masa lampau. Yang kesebelas adalah ingatan yang muncul karena pengenalan. Yang kedua belas adalah ingatan yang muncul dari perhitungan. Yang ketiga belas adalah ingatan yang muncul karena pernah berhutang. Yang keempat belas adalah ingatan yang muncul dari penyatuan pikiran. Yang kelima belas adalah ingatan yang muncul dari membaca suatu buku. Yang keenam belas adalah ingatan yang muncul dari pengalaman melihat apa yang dititipkan seseorang pada masa lalu [kepada orang lain]. Inilah enam belas cara di mana [ingatan] muncul.


(1) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan masa lalu yang jauh?”


Nāgasena berkata:

Siswa Sang Buddha Ānanda dan seorang siswa wanita, Upāsikā Khujjuttarā, mengingat kehidupan lampau yang tak terhitung banyaknya dan mengingat hal-hal pada saat ini. Banyak praktisi Sang Jalan lainnya seperti Ānanda dan siswa wanita [Khujjuttarā], semuanya mampu mengingat hal-hal di masa lalu. Mereka mengingat, dan begitulah cara mereka membangkitkan ingatan.


(2) Raja bertanya lagi, “Apakah itu ingatan yang muncul dari sesuatu yang baru dipelajari?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang dulunya pernah belajar dan mengetahui perhitungan dan kemudian melupakannya lagi. Melihat seseorang menghitung, ia pada akhirnya mengalami kemunculan ingatan.


(3) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari suatu peristiwa besar?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya putra mahkota yang telah ditetapkan sebagai raja. Ia mengingatnya dengan dirinya sendiri pengangkatan luar biasa menjadi raja. Inilah ingatan yang muncul dari suatu peristiwa besar.


(4) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari perenungan tentang apa yang baik?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya ketika sedang diundang dan dihibur dengan niat baik [yang terbaik] oleh seseorang. Orang tersebut mengingatnya dengan dirinya sendiri, 'Pada suatu hari aku diundang dan dihibur dengan niat baik [yang terbaik] oleh seseorang.' Inilah ingatan yang muncul dari perenungan tentang apa yang baik.


(5) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari pengalaman kesakitan?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang di masa lalunya dipukuli atau diikat dan dipenjarakan oleh seseorang. Inilah ingatan yang muncul dari pengalaman kesakitan.


(6) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari memperhatikan diri sendiri?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya [memperhatikan] apa yang telah seseorang lihat sebelumnya, seperti istrinya, kerabatnya, atau hewan peliharaannya. Inilah ingatan yang muncul dari memperhatikan diri sendiri.


(7) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari ragam perbuatan sebelumnya?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya nama seseorang, nama segala sesuatu, jenis-jenis warna, wewangian dan bau, [rasa] manis dan pahit, mengingat hal-hal ini adalah ingatan yang muncul dari keragaman.


(8) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari mengajar seseorang?”


Nāgasena berkata:

Seseorang yang menyenangi dirinya sendiri adalah pelupa terhadap orang-orang yang ada di dekatnya, terhadap sebagian orang ia memiliki [ingatan] dan sebagian ia lupakan. Ketika mengajar orang-orang, ingatan muncul tentang apa yang ia telah lupakan.


(9) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari suatu kemiripan?”


Nāgasena berkata, “Orang-orang, sapi-sapi, dan kuda-kuda masing-masing memiliki jenis kemiripannya sendiri. Inilah bagaimana ingatan muncul dari suatu kemiripan.”


(10) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul sehubungan dengan apa yang telah dilupakan seseorang pada masa lampau?”


Nāgasena berkata:

Seperti halnya seseorang yang tiba-tiba melupakan sesuatu. Berulang kali mengingatnya ketika sedang sendirian, ia mendapatkan [ingatannya] kembali. Inilah ingatan yang muncul sehubungan dengan apa yang telah dilupakan seseorang pada masa lampau.


(11) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul karena pengenalan?”


Nāgasena berkata, “Setelah belajar menulis, seseorang dapat memilih suatu huruf tertentu. Ini adalah ingatan yang muncul karena pengenalan.”


(12) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari perhitungan?”


Nagasena berkata:

Seperti halnya orang-orang yang telah selesai menghitung bersama-sama. Mereka semua mengetahui dengan baik rencana dan metode mereka, yang sangat jelas bagi mereka. Inilah ingatan yang muncul dari perhitungan.


(13) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul karena pernah berhutang?”


Nāgasena berkata, “Seperti halnya melihat apa yang berfungsi sebagai suatu penyimpanan untuk hutang [seseorang], [seperti] sebuah drum. Inilah ingatan yang muncul karena pernah berutang.”


(14) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari penyatuan pikiran?”


Nāgasena berkata:

Seorang petapa yang memiliki penyatuan pada pikiran mereka mengingat dengan diri mereka sendiri hal-hal dari masa kehidupan lampau yang tak terhitung jumlahnya hingga sekarang. Inilah ingatan yang muncul dari penyatuan pikiran.


(15) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari membaca suatu buku?”


Nāgasena berkata:

Kaisar memiliki buku-buku kuno dari masa lalu. Dari buku-buku itu ia mengingat waktu seorang kaisar tertentu pada tahun tertentu. Inilah ingatan yang muncul dari membaca suatu buku.


(16) Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah itu ingatan yang muncul dari pengalaman melihat apa yang dititipkan seseorang pada masa lalu [kepada orang lain]?”


Nāgasena berkata:

Ketika seseorang telah menitipkan sesuatu [kepada orang lain] dan ia mengalami [suatu peristiwa] melihat benda itu dengan matanya, pada akhirnya ingatan muncul. Inilah ingatan yang muncul dari [melihat] apa yang dititipkan [kepada orang lain].


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Sang Buddha]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah Sang Buddha akan mengetahui semua hal di masa lampau, dari awal hingga apa yang akan datang?”


Nāgasena berkata, “Ya, Sang Buddha mengetahui semuanya.”


Raja berkata:

Jika Sang Buddha benar-benar mengetahui segala sesuatu, apakah alasan Beliau tidak mengajarkannya kepada para murid-Nya sekaligus? Apakah alasan Beliau mengajari mereka sedikit demi sedikit?


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah terdapat seorang tabib di negeri ini?”


Raja berkata, "Terdapat seorang tabib."


[Nāgasena bertanya kepada raja,] “Apakah ia tahu semua obat-obatan di dunia?”


Raja berkata, "Ia benar-benar dapat membedakan semua obat-obatan."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Ketika tabib tersebut menyembuhkan suatu penyakit, apakah ia memberikan obatnya sekaligus atau ia memberikannya sedikit demi sedikit?”


Raja berkata, “Ia tidak dapat memberikan obat terlebih dahulu kepada seseorang yang belum sakit. Ia hanya akan memberikan obat hanya ketika sesuai dengan penyakitnya.”


Nāgasena berkata:

Walaupun Sang Buddha mengetahui semua hal di masa lampau, sekarang, dan masa depan, Beliau juga tidak dapat mengajarkan semuanya sekaligus kepada orang-orang di dunia. Beliau akan mengajarkan kepada mereka sedikit demi sedikit Dharma dan Vinaya agar mereka mengejarnya.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena:

Yang Mulia, kalian para petapa mengatakan bahwa orang yang melakukan keburukan di dalam hidup mereka hingga ratusan tahun, dan ia yang pada saat menjelang kematian mengingat Sang Buddha, setelah kematian semuanya akan terlahir kembali di alam surga. Aku tidak mempercayai pernyataan ini. Dan lagi, kalian mengatakan bahwa membunuh satu makhluk, saat meninggal dunia seseorang akan masuk neraka. Aku juga tidak mempercayai pernyataan ini.


Nāgasena bertanya kepada raja, “Seperti halnya seseorang yang mengambil sebuah batu kecil dan meletakkannya di atas air. Apakah batu itu akan mengapung atau akan tenggelam?”


Raja berkata, "Batu itu akan tenggelam."


Nāgasena berkata, “Misalkan ia mengambil seratus batu besar dan meletakkannya di atas sebuah perahu. Akankah perahu itu tenggelam?”


Raja berkata, "Perahu itu tidak akan tenggelam."


Nāgasena berkata:

Karena perahu, seratus batu besar di perahu tidak akan tenggelam. Walaupun seseorang sebelumnya [berperilaku] buruk, sekali mengingat Sang Buddha, karena alasan inilah, ia tidak akan masuk neraka dan pada akhirnya akan mencapai kelahiran kembali di surga. Tenggelamnya batu kecil adalah seperti keburukan yang dilakukan oleh seseorang yang, tidak mengetahui Dharma Sang Buddha, setelah kematian pada akhirnya akan masuk neraka.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Waktu]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Yang Mulia, untuk alasan apakah kalian menjadi petapa untuk berlatih pada Sang Jalan?”


Nāgasena berkata:

Kami ingin meninggalkan semua dukkha—dukkha pada masa lampau, dukkha pada saat ini, dan dukkha pada masa depan—kami tidak ingin mengalaminya lebih lanjut. Inilah alasannya mengapa kami menjadi petapa untuk berlatih pada Sang Jalan.


Raja bertanya kepada Nāgasena lagi, “Dukkha yang terjadi di masa depan, mengapa berlatih pada Sang Jalan sebelumnya, dengan menjadi petapa?”


Nāgasena bertanya kepada raja, "Apakah Yang Mulia memiliki musuh-musuh dari negara musuh yang ingin menyerangnya?"


Raja berkata, "Ya, ada musuh-musuh dari negara musuh yang terus-menerus ingin menyerangku."


Nāgasena bertanya kepada raja:

Akankah Yang Mulia, ketika waktunya telah tiba dan pemimpin musuh sudah dekat, baru kemudian memproduksi peralatan untuk berperang dan menggali parit untuk perlindungan, atau apakah engkau akan mempersiapkannya sebelumnya?


Raja berkata, “Aku akan menyediakan persiapan sebelumnya.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah alasannya untuk menyediakan persiapan sebelumnya?”


Raja berkata, “Alasannya adalah, ketika musuh datang, tidak ada [lagi] waktu untuk bersiap-siap.”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah karena alasan inilah engkau bersiap-siap sebelumnya untuk musuh yang belum datang?”


[Raja berkata, “Ya.”]


Nāgasena bertanya lagi kepada raja, “Apakah seseorang perlu membajak dan menabur hanya ketika lapar? Apakah seseorang perlu menggali sumur hanya ketika haus?”


Raja berkata, “Semuanya harus dilakukan sebelumnya.”


Nāgasena berkata, “Apakah karena alasan inilah seseorang memiliki perbekalan sebelumnya ketika ia belum lapar atau haus?”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Seberapa jauhkah surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā?”


Nāgasena berkata:

Sangat jauh sekali. Melepaskan sebuah batu sebesar istana raja terjatuh dari surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā, batu itu hanya akan jatuh di dunia ini setelah enam hari.”


Raja berkata:

Yang Mulia, kalian para petapa mengatakan bahwa seseorang yang telah mencapai pencerahan seorang Arhat dapat terbang ke surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā secepat seseorang menekuk atau merentangkan tangan.


Raja berkata, “Aku tidak mempercayai hal ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan perjalanan jutaan mil (satuan tradisional Cina) begitu cepat?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Di negara mana pada awalnya raja terlahir?”


Raja berkata, "Pada awalnya aku terlahir di sebuah kota bernama Alisan (Alexandria), di kekaisaran besar Qin (kolonial Yunani)."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Berapa mil (satuan tradisional Cina) dari sini [kota] Alisan?”


Raja berkata, “Dua ribu yojana atau sekitar delapan ribu mil (satuan tradisional Cina).”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Di masa lalu, apakah engkau pernah memikirkan suatu hal di negara asalmu yang jauh?”


Raja berkata, “Ya, aku sering hanya memikirkan hal-hal di negara asalku.”


Nāgasena berkata, “Dapatkah Yang Mulia mencoba memikirkan kembali sesuatu di negara asalmu, sesuatu yang engkau lakukan di masa lampau.”


Raja berkata, "Aku telah memikirkannya."


Nāgasena berkata, “Bagaimana raja telah menempuh delapan ribu mil dan kembali lagi begitu cepat?”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nagasena:

Jika terdapat dua orang yang meninggal pada saat yang sama, satu orang terlahir di surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā dan satu orang lahir di Kashmir, tujuh ratus dua puluh mil (satuan tradisional Cina) dari sini, siapakah di antara mereka yang tiba terlebih dahulu?


Nāgasena berkata, “Kedua orang itu tiba pada saat yang sama.”


Raja berkata, “Terdapat suatu perbedaan yang besar dalam jarak masing-masing, bagaimana mereka bisa tiba pada [waktu] yang sama?”


Nāgasena berkata, “Dapatkah Yang Mulia mencoba memikirkan [kota] Alisan.”


Raja berkata. "Aku telah memikirkannya."


Nāgasena berkata lagi, “Dapatkah Yang Mulia mencoba memikirkan kembali [kota] Kashmir.”


Raja berkata, "Aku telah memikirkannya."


Nāgasena bertanya kepada raja, “Manakah dari dua negara ini yang engkau pikirkan lebih cepat?”


Raja berkata, “[Aku pikir] keduanya sama [cepatnya].”


Nāgasena berkata:

Dua orang yang mati bersama, satu orang terlahir kembali di surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā dan satu orang terlahir kembali di Kashmir, juga sama [cepatnya].”


Nāgasena bertanya kepada raja:

Jika terdapat sepasang burung terbang dan seekor burung hinggap di sebuah pohon besar dan seekor burung hinggap di sebuah pohon kecil yang lebih rendah, kedua burung itu hinggap bersama, bayangan siapakah yang jatuh terlebih dahulu di tanah?


Raja berkata, "Bayangan mereka juga mencapai tanah bersama-sama."


Nāgasena berkata:

Dua orang yang mati bersama, satu orang terlahir kembali di surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā dan satu orang terlahir kembali di Kashmir, mereka juga tiba pada saat yang sama.


Raja berkata, "Baiklah."


[Tentang Hal-hal Lainnya]


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Dengan berlatih dalam berapa banyak carakah seseorang mengetahui Sang Jalan?” 


Nāgasena berkata: 

Dengan berlatih dalam tujuh cara seseorang mengetahui Sang Jalan. Apakah tujuh itu? Yang pertama adalah dengan penuh perhatian pada hal-hal yang bajik dan buruk. Yang kedua adalah dengan bersemangat. Yang ketiga adalah bersenang dalam Sang Jalan. Yang keempat adalah menundukkan pikiran pada apa yang bajik. Yang kelima adalah dengan penuh perhatian pada Sang Jalan. Yang keenam adalah penyatuan pikiran. Yang ketujuh adalah dengan tanpa kebencian atau nafsu sehubungan dengan apa pun yang seseorang temui.


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah seseorang yang berlatih melalui tujuh cara ini mengetahui Sang Jalan?”


Nāgasena berkata:

Bukan dengan melatih ketujuh cara seseorang mengetahui Sang Jalan. Orang bijaksana mengambil kebijaksanaan untuk membedakan kebajikan dan keburukan. Hanya dengan satu cara ini mereka dengan jelas mengetahui [Sang Jalan].


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Jika seseorang mengetahuinya dengan satu cara, mengapa engkau berbicara tentang tujuh cara?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Jika seseorang mengambil sebilah pedang, memasukkannya ke dalam sarungnya, dan menyandarkannya ke sebuah dinding, apakah pedang itu sendiri dapat memotong sesuatu?”


Raja berkata, "Pedang itu tidak akan dapat memotong apa pun."


Nāgasena berkata, “Walaupun seseorang memiliki kejernihan dalam batinnya, ia harus memperoleh enam cara ini bersamaan hanya untuk mencapai kebijaksanaan.”


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah perolehan jasa kebajikan oleh orang-orang yang telah melakukan kebajikan lebih besar atau apakah mereka mendapatkan keburukan karena melakukan keburukan yang lebih besar?”


Nāgasena berkata:

Perolehan jasa kebajikan oleh orang-orang yang telah berbuat baik adalah lebih besar; perolehan keburukan karena telah melakukan keburukan adalah lebih sedikit. Orang-orang yang telah melakukan keburukan dengan dirinya sendiri menyesalinya setiap hari, oleh karena itu setiap hari kesalahan mereka menjadi berkurang. Orang-orang yang berbuat bajik dengan dirinya sendiri mengingatnya siang dan malam dengan gembira, oleh karena itu jasa kebajikan yang mereka capai menjadi lebih besar.


Nāgasena berkata:

Sebelumnya, pada saat Sang Buddha masih hidup, di dalam negara terdapat seseorang yang dimutilasi tanpa tangan dan kaki. Ia mengambil sekuntum bunga teratai dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata kepada para Bhikṣu, “Anak yang dimutilasi tanpa tangan dan kaki ini selama sembilan puluh satu kalpa di masa depan tidak akan lagi jatuh ke neraka atau terlahir sebagai binatang atau di jalan hantu kelaparan. Ia akan terlahir kembali di surga, dan pada akhir kehidupan di surga, ia akan kembali menjadi seorang manusia lagi.” Karena alasan inilah aku mengetahui bahwa seseorang yang melakukan suatu kebajikan kecil akan mendapatkan jasa kebajikan yang menjadi lebih besar. Setelah melakukan keburukan, orang menyesali kesalahan mereka sendiri. Setiap hari keburukan itu berkurang dan habis. Karena alasan inilah aku mengetahui bahwa keburukan seseorang yang telah melakukan suatu kesalahan menjadi lebih sedikit.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Seorang yang bijaksana melakukan keburukan dan seorang yang bodoh melakukan keburukan. Manakah di antara kedua orang ini yang memperoleh keburukan yang lebih besar?”


Nāgasena berkata, “Orang bodoh yang melakukan keburukan mendapatkan keburukan yang lebih besar; orang bijaksana yang melakukan keburukan memperoleh keburukan yang lebih kecil.”


Raja berkata, “Nāgasena berkata bahwa mereka tidak setara!”


Raja berkata:

Hukum pemerintah negaraku menghukum berat seorang menteri utama yang bersalah dan menghukum ringan seorang bodoh yang bersalah. Oleh karena itu [aku mengetahui] bahwa orang bijaksana yang melakukan keburukan mendapatkan keburukan yang lebih besar, orang bodoh yang melakukan keburukan mendapatkan keburukan yang lebih kecil.


Nāgasena bertanya kepada raja:

Seperti halnya besi yang terbakar yang berada di tanah. Satu orang mengetahui bahwa ini adalah besi yang terbakar; satu orang tidak mengetahuinya. Kedua orang itu maju bersama dan memegang besi yang terbakar. Tangan siapakah yang akan mengalami luka bakar lebih besar?


Raja berkata, "Tangan orang yang tidak mengetahuinya akan mengalami luka bakar yang lebih besar."


Nāgasena berkata:

Orang bodoh yang melakukan keburukan tidak dapat menyesalinya dengan dirinya sendiri; karena alasan inilah keburukan mereka menjadi lebih besar. Orang bijaksana yang melakukan keburukan mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tidak pantas dan setiap hari menyesali kesalahan mereka, karena alasan inilah keburukan mereka menjadi berkurang.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi pada Nāgasena:

Apakah terdapat orang yang dapat terbang dengan tubuh mereka ke surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā, untuk mencapai wilayah Uttarakuru, atau untuk mencapai tempat [lainnya] sesuai keinginan mereka?


Nāgasena berkata, “Mereka memiliki kemampuan.”


Raja berkata:

Bagaimana mereka terbang dengan tubuh mereka ke surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā, untuk mencapai wilayah Uttarakuru, atau untuk mencapai tempat [lainnya] sesuai dengan keinginan mereka?


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah Yang Mulia ingat bahwa, ketika dirimu masih kecil dan dalam permainan, engkau melompat sejauh satu zhang?”


Raja berkata, "Aku ingat bahwa ketika aku masih muda dan dalam pikiranku ingin melompat, aku akan melompat sejauh satu zhang atau lebih."


Nāgasena berkata:

Seperti itulah ketika seseorang yang telah mencapai pencerahan ingin melompat dan mencapai surga ketujuh [yang dikuasai] Brahmā atau mencapai wilayah Uttarakuru.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi pada Nāgasena:

Yang Mulia, kalian para petapa berkata, “Ada tulang yang panjangnya empat ribu mil (satuan tradisional Cina).” Tubuh apa yang bisa memiliki tulang hingga empat ribu mil (satuan tradisional Cina)?


Nāgasena bertanya kepada raja, “Apakah engkau pernah mendengar sebelumnya bahwa di samudra terdapat seekor ikan besar bernama Zhi, yang panjang tubuhnya dua puluh delapan ribu mil (satuan tradisional Cina)?”


Raja berkata, “Ya, aku sebelumnya mendengar bahwa itu ada.”


Nāgasena berkata, “Dari sebuah ikan yang panjangnya dua puluh delapan ribu mil (satuan tradisional Cina) seperti ini, tulang rusuknya empat ribu mil (satuan tradisional Cina) panjangnya.”


Raja terkejut karena hal ini.


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Yang Mulia, kalian para petapa berkata, ‘Kami dapat menghentikan aktivitas pernapasan.’”


Raja berkata, “Bagaimana seseorang dapat menghentikan nafasnya?”


Nāgasena bertanya kepada raja, “Pernahkah engkau mendengar tentang ‘kehendak’ sebelumnya?”


Raja berkata, “Aku telah mendengarnya.”


Nāgasena berkata, "Apakah Yang Mulia mempertimbangkan kehendak yang akan dilakukan di dalam tubuh seseorang?"


Raja berkata, "Aku mempertimbangkan kehendak yang akan dilakukan di dalam tubuh seseorang."


Nāgasena berkata kepada raja:

Misalkan seorang bodoh yang tidak mampu mengendalikan tubuh dan ucapan dan tidak mampu menegakkan Dharma dan Vinaya. Orang-orang seperti itu juga tidak memiliki kesenangan jasmani [dari pencapaian penyerapan (Dhyāna)].


Nāgasena berkata:

Orang-orang yang berlatih pada Sang Jalan mampu mengendalikan tubuh dan ucapan, mampu menegakkan Dharma dan Vinaya, dan mampu memiliki penyatuan pikiran. Mereka mencapai penyerapan [Dhyāna] keempat dan pada akhirnya tidak dapat bernafas lagi.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya kepada Nāgasena, “Seseorang berbicara tentang 'samudera'. Apakah samudera disebut 'samudera' karena airnya atau disebut 'samudera' karena alasan lain?"


Nāgasena berkata, “Alasan orang-orang menyebutnya 'samudera' adalah karena airnya bercampur garam; masing-masing adalah setengah [dari alasan]. Hanya inilah alasan untuk [menyebutnya] 'samudera.'”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apa alasannya samudera benar-benar asin dan rasanya seperti garam?”


Nāgasena berkata:

Alasan mengapa air laut asin adalah karena air tawar menumpuk untuk waktu yang lama dan banyak ikan, kura-kura, dan reptil secara bergantian menodainya. Karena alasan inilah samudera telah menjadi hanya [terasa] asin.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Apakah seseorang yang telah mencapai pencerahan dapat memahami semua jenis hal yang mendalam?”


Nāgasena berkata, "Ya, seseorang yang telah mencapai pencerahan dapat memahami semua hal mendalam."


Nāgasena berkata: Dharma-Dharma Sang Buddha adalah tentang memahami berbagai jenis hal yang sangat mendalam, jenis-jenis hal yang melampaui ukuran, yang semuanya dapat diputuskan secara merata oleh kebijaksanaan.


Raja berkata, "Baiklah."


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Kesadaran, kebijaksanaan, dan sifat dasar yang sesungguhnya dari seseorang, apakah ketiga hal ini adalah sama dan [hanya] namanya saja yang berbeda?”


Nāgasena berkata, “Dari kesadaran seseorang, keawasan muncul. Kebijaksanaan adalah fajar dari pencerahan. Karena sifat dasar dari seseorang itu kosong, tidak ada "diri" [seperti demikian].”


Raja bertanya lagi pada Nāgasena:

[Orang-orang mengatakan bahwa] suatu "diri" [demikian] diperoleh. "Diri" seperti apakah yang diperoleh? Mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium wewangian, mulut mengetahui rasa-rasa, tubuh mengetahui apa yang disentuh, dan pikiran mengetahui hal-hal yang bajik dan buruk. Di mana lagi "diri" seseorang dapat diperoleh?


Nagasena bertanya kepada raja:

Jika seseorang dapat membuat "diri" itu dapat melihat melalui matanya sendiri, dengan mengeluarkan pupilnya, apakah mereka dapat melihat jauh dan luas? Memotong dan memperbesar telinga mereka, apakah mereka dapat mendengar suara yang jauh dan luas? Memotong hidung untuk memperbesar [lubangnya], apakah mereka dapat mencium banyak wewangian? Membuka mulut untuk memperbesarnya, apakah mereka dapat mengetahui banyak rasa? Mengupas kulit dan otot, apakah engkau percaya hal itu akan membuat mereka mengetahui [lebih baik] apa yang disentuh? Menghapus kehendak, apakah mereka akan berkembang dengan banyak pikiran?


Raja berkata, “Tidak.”


Nāgasena berkata, “Apa yang dilakukan Sang Buddha, ketika masih hidup, sangatlah sulit. Apa yang Sang Buddha [lakukan, ketika masih hidup,] sangatlah agung.”


Raja bertanya lagi kepada Nāgasena, “Bagaimanakah yang Beliau lakukan sangat sulit? Bagaimanakah hal tersebut sangat agung?”


Nāgasena berkata:

Sang Buddha berkata dan mampu mengetahui tentang apa yang terdapat di dalam dada seseorang. Beliau mampu memahami semua hal yang tidak tampak oleh mata, dan beliau mampu memahami tentang mata, mampu memahami tentang telinga, mampu memahami tentang hidung, mampu memahami tentang mulut, mampu memahami tentang tubuh, mampu memahami tentang yang menurun, mampu memahami tentang yang meragukan, mampu memahami tentang ingatan, dan mampu memahami tentang kesadaran.


Nāgasena berkata:

Seseorang yang mengambil air dari samudera di mulutnya, apakah ia mengetahui dengan jelas bahwa air di mulutnya adalah air dari mata air itu, air dari aliran arus itu, air dari sungai itu?


Raja berkata, “Berbagai perairan semuanya menyatu dan menjadi satu, sulit untuk mengetahui masing-masing dengan jelas.”


Nāgasena berkata:

Apa yang dilakukan Sang Buddha sangatlah sulit. Beliau mampu mengetahui dengan jelas rasa dari semua air ini. Sekarang air dari samudera adalah hal yang terlihat di depan mata seseorang, namun Yang Mulia tidak dapat mengetahuinya dengan jelas sekarang, [apalagi mengetahui dengan jelas] kesadaran seseorang, yang tidak terlihat, [atau] enam cara [dari pengalaman indera] di dalam tubuh seseorang, yang tidak dapat dilihat.


Nāgasena berkata:

Alasannya adalah karena Sang Buddha memahami bahwa, dengan mengikuti pikiran, pemikiran mencapai apa yang terlihat oleh mata; mengikuti pikiran, pemikiran mencapai apa yang didengar oleh telinga; mengikuti pikiran, pemikiran mencapai apa yang dicium oleh hidung; mengikuti pikiran, pemikiran mencapai rasa yang diketahui oleh mulut; mengikuti pikiran, pemikiran mencapai kesakitan dan kesenangan yang dikenal oleh tubuh, sentuhan yang dingin dan hangat, kasar dan padat. Mengikuti pikiran, pemikiran bergerak menuju apapun yang ada. Sang Buddha mengetahui itu semua, menganalisisnya, dan memahaminya.


Raja berkata, "Baiklah."


[Kesimpulan]


Nāgasena berkata, “Sekarang sudah tengah malam, aku ingin undur diri.”


Raja memerintahkan para menteri pengiringnya untuk mengambil empat potong kapas yang digulung dan dicelupkan ke dalam minyak untuk dibawa sebagai pelita-pelita dan mengawal Nāgasena ketika ia kembali, “Bersikaplah dengan hormat kepada Nāgasena seolah-olah kalian sedang menungguku.”


Para menteri pengiring semuanya berkata, "Kami telah menerima instruksimu."


Raja berkata, “Mendapatkan seorang guru seperti Nāgasena dan memiliki seorang murid sepertiku, pencerahan dapat dicapai dengan cepat.”


Semua pertanyaan oleh raja telah sepenuhnya dijawab setiap saat. Raja sangatlah senang. Raja mengeluarkan dari perbendaharaan sebuah kain yang sangat indah senilai seratus ribu [koin] dan mempersembahkannya kepada Nāgasena. Raja berkata kepada Nāgasena:


Mulai saat ini, semoga Nāgasena bersama dengan delapan ratus petapa setiap hari makan di istana. Semoga ia mengambil dari raja apapun yang ia ingin dapatkan.


Nāgasena menjawab kepada raja, “Aku adalah seseorang yang mempraktikkan Sang Jalan; singkatnya, tidak ada yang aku dambakan.”


Raja berkata kepada Nāgasena, “Engkau harus melindungi dirimu sendiri dan engkau juga harus melindungiku secara personal.”


Nāgasena berkata, “Bagaimana aku harus melindungi diriku sendiri dan secara personal melindungi Yang Mulia?”


Raja menjawab: Aku takut orang-orang yang membicarakannya akan mengatakan bahwa raja adalah orang yang kikir. Nāgasena telah menjelaskan kepada raja semua yang ia ragukan, namun ia tidak dapat memberinya sebuah hadiah. Aku takut orang-orang akan mengatakan bahwa Nāgasena tidak dapat menjelaskan apa yang diragukan raja dan karena alasan ini raja tidak memberinya sebuah hadiah.


Raja berkata, “[Jika] Nāgasena menerimanya, itu akan membuatku mendapatkan jasa kebajikan dan Nāgasena juga akan melindungi reputasinya.”


Raja berkata:

Aku seperti seekor singa di dalam sebuah sangkar emas yang, meskipun dibungkam, terus-menerus memiliki keinginan dalam pikiran untuk pergi. Meskipun aku sekarang adalah raja suatu negara di istana kerajaan, pikiranku tidak bersenang di dalamnya. Aku ingin meninggalkan negara, pergi darinya, dan terlibat dalam pelatihan Sang Jalan.


[Ketika] raja selesai berbicara, Nāgasena pada akhirnya bangkit untuk kembali ke Ārāma. [Ketika] Nāgasena telah pergi, raja diam-diam berpikir dalam batinnya, “Hal-hal apa yang aku tanyakan kepada Nāgasena? Hal-hal apa yang telah Nāgasena jelaskan kepadaku?” Raja berpikir dalam batinnya, “Mengenai apa yang aku tanyakan kepada Nāgasena, tidak ada yang aku pikirkan yang belum ia jelaskan.”


Kembali ke Ārāma, Nāgasena juga berpikir dalam hati, “Hal-hal apa yang raja tanyakan kepadaku? Juga, hal-hal apa yang aku balas kepada raja?” Nāgasena berpikir dalam batinnya, “Apa yang raja tanya kepadaku, aku telah menjelaskan semuanya.” Mereka memikirkan hal ini sampai fajar.


Keesokan harinya Nāgasena mengenakan jubahnya, mengambil mangkuknya, dan langsung pergi ke aula atas istana untuk duduk. Raja berjalan maju ke depan dan, setelah memberi hormat kepada Nāgasena, berjalan mundur untuk duduk. Raja berkata kepada Nāgasena:


[Ketika] Nāgasena pergi, aku berpikir dalam batinku, “Apakah yang aku tanyakan kepada Nāgasena? Apakah balasan Nāgasena kepadaku?” Aku lebih jauh berpikir, “Apa pun yang aku tanyakan kepada Nāgasena, tidak ada dalam pikiranku yang tidak dijelaskan oleh Nāgasena.” Memikirkan pernyataan ini aku senang dan tidur nyenyak sampai fajar.


Nāgasena berkata:

Kembali ke Ārāma, aku juga berpikir dalam batinku, “Hal-hal apa yang raja tanyakan kepadaku? Juga, hal-hal apa yang telah aku jelaskan kepada raja?" Aku lebih jauh berpikir, “Apa yang raja tanyakan kepadaku, aku telah menjelaskannya sepenuhnya.” Karena alasan itulah aku bahagia sampai fajar.


Setelah selesai berbicara, Nāgasena ingin pergi. Raja kemudian bangkit dan memberi hormat kepada Nāgasena.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tibetan Udānavarga

  Udānavarga ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet oleh Pandita dari India bernama Vidyaprabhakara dan Lo...