Jumat, 03 Januari 2025

法句譬喻經 [Fǎ jù pì yù jīng] (T 211) Chinese Dharmapada Atthakatha Bahasa Indonesia

 

法句譬喻經 [Fǎ jù pì yù jīng] (T 211)

Dharmapada ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin Kuno oleh Bhiksu Faju 法炬, dan Fali 法立 selama tahun-tahun Kekaisaran Huidi 惠帝 (290–306 M) dari Dinasti Jin Barat 西晉 di Luoyang. Dikenal juga dengan judul 法句本末經 [Fǎ jù běn mò jīng], 法句喩經 [Fǎ jù yù jīng], 法喩經 [Fǎ yù jīng], dan 法句譬經 [Fǎ jù pì jīng]. Ditulis dalam tiga puluh sembilan bab yang terbagi dalam empat buku, Dharmapada ini, seperti 法句經 [Fǎ jù jīng] (T 210), memiliki hubungan yang erat dengan Dhammapada dari Kanon Pāli, dan sekitar dua pertiga dari teks ini sama dengan T 210. Dharmapada ini terdiri dari teks komentar yang ditambahkan pada syair-syair Dharmapāda. Versi terjemahan ini berasal dari terjemahan Inggris edisi Suttacentral yang telah diedit dan dimodernisasi oleh Yasoj dan Ayya Vimala. Teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Samuel Beal pada tahun 1878 yang dipublikasikan oleh Trübner & CO. Teks aslinya (buku ‘The Buddhist Canon, Commonly Known as Dhammapada, With Accompanying Narratives’) dapat dilihat di sini. Saya (Arya Karniawan) yang menerjemahkan Dharmapada ini. Dharmapada ini tidak pernah dipublikasikan kemanapun selain di sini. Jika terdapat kesalahan dalam terjemahan ini, jangan sungkan komen di kolom komentar. Copyright Dharmapada ini adalah:

 

Translated by Arya Karniawan, 2025.

Diterjemahkan dari teks milik Samuel Beal.

Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.

Prepared by Arya Karniawan.

 

###

 

Buku Pertama – Bab 1 – 8.

 

###

 

無常品第一 [Wú cháng pǐn dì yī] - 1. Ketidak-kekalan (Aniccatā).

[1] Perumpamaan pertama dalam bagian ini menceritakan bahwa Deva Śakra pada suatu kesempatan terlahir ke dalam keluarga seorang pengrajin tembikar, sebagai keturunan keledai betina yang memutar penggilingan, keledai itu, yang sangat gembira dengan calon keturunan, menendang tumitnya ke atas, dan memecahkan semua kendi dan pot yang dibuat oleh tuannya. Atas kejadian ini, lelaki itu, mengambil sebilah tongkat, memukul binatang itu sedemikian rupa, sehingga janin yang baru terbentuk itu hancur, dan calon keturunannya pun terputus. Pada kesempatan itu Sang Buddha mengucapkan syair-syair ini—

 

[1.1] “Apapun yang terkondisi (sanskāra) tidak akan bertahan lama. Itulah sebabnya terdapat istilah “berkembang” dan “menua.” Seseorang dilahirkan, lalu ia meninggal. Oh, sungguh bahagia terbebas dari kondisi ini! Karena kehidupan manusia hanyalah bagaikan wadah tanah liat yang dibuat di suatu pabrik tembikar; Dibentuk dengan kehati-hatian, semuanya berakhir pada kehancuran.”

 

Deva Śakra, setelah mendengar syair-syair ini, mencapai tingkat kesucian pertama, dan memperoleh kedamaian.

 

[2] Pada suatu kesempatan, Sang Buddha berdiam di negeri Śrāvastī (Sewet). Raja Prasenajit sedang menyelenggarakan upacara pemakaman ibu surinya, yang berusia lebih dari sembilan puluh tahun. Selagi pulang, ia datang ke tempat di mana Sang Buddha berada dan memberi hormat kepada-Nya. Pada kesempatan ini, Sang Guru Agung itu berkata demikian (setelah bertanya tentang alasan kunjungan tersebut): “Terdapat empat hal, O Rāja! Yang sejak dulu hingga sekarang telah menjadi penyebab kekhawatiran dan ketakutan manusia—Ketakutan akan usia tua, penyakit, kematian, dan kesedihan akibat kematian. Sial! Kehidupan manusia hanyalah seperti hal-hal yang mengalami kehancuran yang terlihat di sekitar kita; Hari ini mereka berkembang, esoknya mereka lenyap. Seperti halnya air dari lima sungai yang terus mengalir tanpa henti siang dan malam, demikian pula halnya dengan manusia—Kehidupannya akan terus memudar.” Dan kemudian Sang Bhagavantnt mengucapkan syair-syair ini dan berkata—

 

[1.2] “Seperti halnya air sungai yang terus mengalir dengan cepat, dan sekali pergi, tidak akan pernah kembali, demikianlah kehidupan manusia. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.”

 

Setelah Sang Buddha menjelaskan lebih lanjut tentang hal ini, Raja dan para pelayannya meninggalkan kesedihan mereka, dan, dipenuhi dengan kegembiraan, memasuki “Sang Jalan.”

 

[3] Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Hutan Bambu dekat Rājagriha, Beliau sedang berkhotbah di kota tersebut, dan selagi pulang bersama para pengikut-Nya, Beliau bertemu dengan seorang pria yang sedang menggiring sekawanan sapi gemuk dan berkulit lembut menuju gerbang kota. Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant mengangkat topik tersebut, dan berkata demikian:

 

[1.3] “Seperti halnya seorang pria dengan tongkat di tangannya yang terus mengarahkan dan menggembalakan sapi, demikian pula usia tua dan kematian, mereka juga mengawasi kehidupan (menuju) kehancuran; Dan dari semua yang mereka awasi, tidak ada satu pun, dari kelas apa pun, pria atau wanita, kaya atau miskin, yang pada akhirnya akan menua dan lenyap. Setiap siang dan malam merenggut sedikit ruang dari setiap orang yang terlahir; Terdapat penuaan (secara) bertahap selama beberapa tahun dan semuanya lenyap, seperti halnya air pada suatu kolam yang terputus (atau habis).”

 

Sang Buddha setelah tiba di hutan, dan setelah mencuci kaki-Nya dan merapikan jubah-Nya, duduk; Pada kesempatan ini, Bhiksu Ānanda dengan penuh hormat meminta Sang Buddha untuk menjelaskan syair yang baru saja diucapkan-Nya, yang dikisahkan oleh Sang Bhagavant bahwa pemilik sapi yang baru saja dilihat-Nya, setiap hari menggiring mereka keluar menuju padang rumput dan memberi makan, agar ketika mereka sudah gemuk dan dalam kondisi baik, mereka dapat dibunuh satu per satu. “Demikianlah,” tambah-Nya, “Nasib semua yang hidup; Seperti itulah mereka berkembang biak untuk sesaat dan kemudian mati.” Karena hal ini, lebih dari dua ratus Śrāvaka memperoleh kemampuan batin, dan menjadi Rahat.”

 

[4] Pada suatu kesempatan ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, di Taman Anāthapindada, seorang Brahmachārin tertentu, yang telah kehilangan seorang putri tunggalnya, berusia sekitar empat belas atau lima belas tahun, sangat cantik dan amat dicintai, (ia) hampir kehilangan akal sehatnya karena dukacita, setelah mendengar kabar tentang kebijaksanaan dari Yang Suci (Sang Buddha), datang kepada-Nya di mana Beliau berada, dan mengungkapkan penyebab ketidak-bahagiaannya, yang kemudian Sang Guru mengangkat diskusi-Nya, dan berkata—"Terdapat empat hal di dunia, Brahmachārin! Yang tidak dapat bertahan selamanya, dan apakah keempat hal itu? Berpikir bahwa kita telah memperoleh sesuatu: Yang akan bertahan lama, seyogyanya akan kita lihat bahwa hal itu tidak akan bertahan lama. Menjadi kaya, seyogyanya kemiskinan akan datang. Menjadi bersatu dan sepakat, akan ada perpecahan dan perpisahan. Menjadi kuat dan sehat, namun akan datang kematian" Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini—

 

[1.4] “Yang tampak kekal akan binasa; Yang tinggi akan direndahkan; Di mana terdapat kesepakatan, di situ akan terjadi perpecahan; Dan di mana terdapat kelahiran, di situ akan terjadi kematian."

 

Pada saat itu, sang Brahmachārin menerima pencerahan, dan setelah mencukur rambut dan memakai jubah seorang Bhiksu, ia dengan cepat menjadi seorang Rahat.

 

[5] Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta, dekat Rājagriha, terdapat seorang pelacur terkenal di kota itu, yang disebut "Lien-hwa" (Pundarī, atau Padma) yang paling cantik rupanya, dan keanggunannya tidak tertandingi. Wanita ini, yang telah lelah dengan kehidupannya, memutuskan untuk bergabung dengan Sang Buddha dan menjadi seorang Bhiksunī. Karena alasan itulah ia berjalan menuju ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan setelah setengah mendaki gunung, ia berhenti sejenak di sebuah sumber air untuk minum; Ketika mengangkat air ke mulutnya, ia melihat wajahnya terpantul di sumber air, dan ia tidak dapat tidak memperhatikan kecantikannya sendiri yang tak tertandingi, kelembutan kulitnya, rambutnya yang kemerahan, bentuk tubuhnya yang anggun. Ketika melihat dirinya sendiri demikian, ia mengubah pikirannya, dan mengatakan—"Haruskah seseorang yang terlahir secantik diriku akan meninggalkan dunia ini dan menjadi seorang petapa?— Tidak! Lebih baik biarlah aku menikmati kesenanganku dan merasa puas"—Atas hal ini ia bersiap untuk berbalik dan pulang. Namun saat itu Sang Buddha, melihat kesempatan itu, dan mengetahui bahwa Pundarī berada dalam kondisi yang dapat diselamatkan (beralih keyakinan), segera mengubah Dirinya menjadi Seorang Wanita Cantik, jauh lebih menawan dari Pundarī. Ketika bertemu saat mereka berpapasan, pelacur itu kagum dengan kecantikan Wanita Asing itu, dan bertanya kepada-Nya, "Dari mana Engkau datang, Wanita Cantik? Dan di mana keluarga-Mu tinggal? Dan mengapa Engkau bepergian sendiri tanpa pelayan?" Orang Asing itu menjawab, "Aku akan kembali ke kota di sana, dan meskipun kita tidak saling kenal, marilah kita bergabung dan pergi bersama." Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mereka hingga tiba di sebuah sumber air di jalan, di mana mereka duduk. Pada akhirnya, setelah percakapan itu berakhir, (Wanita) Asing yang cantik itu, yang sedang bersandar di lutut Pundarī, tertidur. Setelah beberapa saat, pelacur itu, menatap ke arah Temannya, terkejut melihat wujud-Nya berubah total; Ia telah menjadi menjijikkan seperti seonggok mayat, wajah-Nya pucat, gigi-Nya hilang, rambut-Nya rontok dari kepala-Nya, serangga-serangga yang menjijikkan memakan daging-Nya. Karena takut dan terkejut melihat pemandangan itu, Pundarī bergegas meninggalkan tempat itu, dan sambil berteriak, "Betapa singkatnya kecantikan manusia!" Ia bergegas kembali lagi ke arah Sang Buddha berdiam, dan setelah tiba, Ia bersujud di kaki-Nya, dan menceritakan kepada-Nya apa yang telah dilihatnya, sehubungan itu Sang Buddha menjelaskan kepadanya demikian—"Terdapat empat hal, Pundarī, yang pasti akan menyebabkan kesedihan dan kekecewaan. Bahwa seseorang, betapapun cantiknya, pasti akan menjadi tua; Bahwa seseorang, betapapun kuatnya, (pasti) akan mati; Bahwa seseorang yang terikat dalam ikatan hubungan dan kasih sayang yang erat, masih harus terpisahkan dari mereka yang dicintainya; Dan kekayaan itu, yang ditumpuk dalam limpahan demikian, masih harus tersebar dan hilang.” Dan kemudian Sang Bhagavant mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—

 

[1.5] “Usia tua juga mendatangkan hilangnya semua ketertarikan jasmani; Melalui penuaan dan penyakit seseorang binasa; Tubuhnya bungkuk, dan dagingnya susut, inilah akhir kehidupan. Apalah gunanya tubuh ini ketika ia terbaring membusuk di tepi arus Sungai Gangga? Tubuh ini hanyalah penjara, rumah dari penyakit, dan penderitaan dari usia tua dan kematian. Bersenang dalam kesenangan, dan menjadi tamak setelah memanjakan diri sendiri, sama saja dengan menambah kumpulan kekotoran, melupakan perubahan besar yang harus terjadi, dan ketidak-kekalan kehidupan manusia. Dengan tanpa putera yang dapat diandalkan, tanpa ayah ataupun saudara; Kematian mendesak di depan pintu—Tanpa seorang teman (kerabat) untuk dimintai bantuan.”

 

Pelacur itu setelah mendengar syair-syair ini, mampu melihat bahwa kehidupan hanyalah seperti bunga, bahwa tiada yang kekal kecuali Nirvāna (tanpa kondisi), dan karena itulah ia memohon izin untuk menjadi seorang Bhiksunī, yang langsung dikabulkan, ia mencukur rambutnya dan mengenakan jubah, dan segera menjadi seorang Rahat, dan semua yang mendengar Sabda Sang Buddha dipenuhi dengan kegembiraan yang tak terlukiskan.

 

[6] Dahulu kala, ketika Sang Buddha berdiam di Hutan Bambu dekat Rājagriha, membabarkan Dharma, terdapat seorang Brahmachārin tertentu dan tiga saudaranya, yang telah memperoleh mata dewa, dan karenanya mereka tahu bahwa setelah tujuh hari mereka akan mati. Karena hal tersebut mereka berkata, "Dengan kekuatan batin kita, kita dapat memutar-balikkan surga dan bumi, menyentuh matahari dan bulan, memindahkan gunung, dan menahan derasnya arus air, namun bagaimanapun juga kita tidak dapat menghentikan kematian." Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Aku akan mencari di kedalaman samudera, Setan ketidak-kekalan ini dan menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku akan membelah Gunung Sumeru menjadi dua, dan masuk ke sana untuk mencari Setan ketidak-kekalan ini untuk menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku akan naik ke angkasa yang terjauh untuk mencari Setan ketidak-kekalan dan menghancurkannya." Yang lain berkata, "Aku akan memasuki perut bumi untuk mencarinya dan menghancurkannya." Raja negeri itu setelah mendengar tentang orang-orang ini, mendatangi Sang Buddha untuk menanyakan tentang hal tersebut, yang kemudian dijelaskan oleh Sang Bhagavant bahwa terdapat empat hal yang, selama kita berada di dunia (yin), tidak dapat dihindari. (1.) Tidaklah mungkin menghindari kelahiran dalam bentuk apa pun; (2.) Setelah dilahirkan, tidaklah mungkin menghindari usia tua; (3.) Ketika tua, tidaklah mungkin menghindari kelemahan dan penyakit; (4.) Dalam keadaan demikian, tidaklah mungkin menghindari kematian—Dan kemudian ia mengucapkan syair-syair ini dan berkata—

 

[1.6] “Tidak di angkasa, tidak di kedalaman samudera, tidak di celah tersembunyi di pegunungan, ataupun di tempat lain mana pun kematian dapat dihindari. Dengan mengetahui dan merenungkan hal ini Bhiksu tersebut dapat mengalahkan bala tentara Māra dan memperoleh pembebasan dari kelahiran dan kematian.”

 

###

 

法句譬喻經教學品第二  [Fǎ jù pì yù jīng jiào xué pǐn dì èr] - 2. Mendorong pada Kebijaksanaan.

[1] Pada bab ini terdiri dari dua puluh sembilan syair, yang dirancang untuk membangkitkan semangat para Bhiksu yang lesu agar kembali semangat dalam Jalan Pelatihan. Empat gātha pertama disabdakan oleh Sang Buddha di Jetavana, di Śrāvastī. Pada kesempatan ini, seorang siswa yang ceroboh telah meninggalkan Samgha para Śrāvaka, ketika ia sedang berkhotbah tentang perlunya upaya dalam menyingkirkan rintangan dan belenggu yang menghalangi kemajuan dalam kehidupan suci. Setelah kembali ke dalam Kutinya, ia memanjakan dirinya dalam tidur dan sifat feminim—tidak mengetahui bahwa setelah tujuh hari ia akan meninggal. Kemudian Sang Buddha menasehatinya demikian:

 

[2.1] “Sial! Bangunlah engkau! Mengapa tidur di sana? Seorang rekan laba-laba, dan serangga melata. Tersembunyi dari pandangan, melakukan ketidak-murnian, dengan menyedihkan tertipu oleh karakteristik tubuh (atau Kehidupan), bahkan seperti orang yang takut akan amputasi lengannya yang membusuk, batinnya berat, dan penderitaannya besar, berusaha melupakan dalam tidur, namun tetap tidak dapat melarikan diri dari ingatan akan malapetakanya yang akan datang—Seperti itulah kasusmu. Tetapi orang yang berusaha mengejar kebijaksanaan sejati, tidak merasakan dukacita demikian, selalu merenungkan Dharma, ia melupakan dirinya sendiri—Dengan memiliki pemahaman benar tentang Kebenaran ia semakin bijaksana setiap harinya, ia menjadi seorang penerang di dunia; Bagaimanapun ia dilahirkan, kebahagiaannya seribu kali lipat lebih besar, dan pada akhirnya ia akan terhindar dari setiap cara kelahiran yang jahat.”

 

Mendengar syair-syair ini Bhiksu itu bangkit dan datang ke hadapan Sang Buddha, dan bersujud di hadapan-Nya; Kemudian Sang Bhagavant bertanya kepadanya apakah ia mengetahui kelahiran-kelahiran sebelumnya; Bhiksu itu mengakui bahwa karena bersenang dalam nafsu ragawinya, ia tidak mampu menembus misteri-misteri tersebut—Kemudian Sang Guru menjelaskan bagaimana pada masa satu Buddha sebelumnya ia pernah menjadi seorang Śrāvaka, tetapi telah menyerah pada pemanjaan diri dan tidur—Karenanya ia telah dilahirkan selama ribuan tahun, sebagai seekor serangga, dan dalam bentuk-bentuk serupa lainnya—Tetapi sekarang Karma buruknya telah habis, ia telah terlahir kembali sebagai seorang manusia dan menjadi seorang Bhiksu. Mendengar hal ini sang Bhiksu, yang diliputi penyesalan, menyesali perbuatan buruknya dan menjadi seorang Rahat.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, di Jetavana, ketika berkhotbah demi manfaat keempat kelompok pengikut-Nya, terdapat seorang Bhiksu muda, yang diliputi oleh pikiran-pikiran bodoh, tidak mampu menahankan nafsu keinginannya. Merasa sedih akan hal ini, ia memutuskan untuk menggunakan pisau, dan untuk tujuan tersebut ia pergi ke rumah Penyokongnya (dānapati), dan setelah memperoleh sebilah pisau, ia menuju ke kutinya, dan duduk di tempat duduknya, ia mulai merenungkan kejahatan yang diakibatkan oleh kekuatan pemuasan nafsu keinginan. Sang Buddha yang mengetahui pikirannya, dan menyadari bahwa ia diliputi oleh ketidak-tahuan akan penyebab sebenarnya dari perilakunya, (yakni) pikiran yang tidak terkendali, menuju ke kutinya, dan menanyakan apa yang akan ia lakukan. Sehubungan dengan hal ini, Bhiksu tersebut menjelaskan bahwa ia tidak mampu menahankan nafsu keinginan, dan sebagai akibatnya untuk maju dalam Jalan Pelatihan, ia hendak menggunakan pisau. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha menjelaskan bahwa ketidak-pastian dan keragu-raguan merupakan penyebab hambatan dalam kemajuan Latihan, bahwa hal utama yang harus dilakukan adalah mengendalikan pikiran, dan menahankan pemikiran-pemikiran, yang tanpanya, hanya sekadar menyingkirkan penyebab-penyebab kejahatan eksternal adalah tidak berguna, dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut—

 

[2.2] “Pelajarilah dahulu untuk menyingkirkan Sang Ibu, dan mengikuti satu-satunya pemandu sejati (Menteri), singkirkan semua bawahan penggantinya, inilah (perilaku) orang yang benar-benar tercerahkan.”

 

Dan kemudian menjelaskan bahwa “Keragu-raguan” adalah Sang Ibu, dan dua belas (kondisi) sebab-akibat adalah bawahannya, sementara Kebijaksanaan adalah satu-satunya Menteri, Bhiksu tersebut memperoleh pencerahan, dan menjadi tenang.

 

[3] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta dekat Rājagriha dan membabarkan Dharma tentang Tanpa Kondisi (yakni Nirvāna) kepada banyak kumpulan, terdapat seorang Bhiksu tertentu yang pembangkang dan keras kepala, yang tidak terpengaruh oleh kata-kata Sang Guru. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha, yang mengetahui pikirannya, mengirimnya ke belakang pegunungan untuk bermeditasi di bawah sebatang pohon di tengah jurang, yang dikenal sebagai jurang "Hantu Jahat"—Dengan tujuan untuk menyingkirkan rintangan yang mencegahnya mencapai Nirvāna. Sesampainya di tempat itu ia terus-menerus waspada dan terganggu oleh suara-suara dari hantu-hantu jahat, walaupun ia tidak melihat wujud apa pun, dan karena itulah alih-alih mencapai keadaan tenang yang stabil, ia lebih senang untuk kembali ke tempat asalnya—Tetapi setelah merenungkan bahwa suara-suara yang didengarnya hanyalah suara hantu-hantu jahat yang ingin mengusirnya dari tujuannya, ia (memutuskan) tetap pada tempatnya. Kemudian Sang Buddha mendekatinya ketika ia sedang duduk, duduk di sampingnya dan berkata—"Apakah engkau tidak takut tinggal sendirian di tempat terasing ini?" Ia menjawab—"Pada awalnya ketika aku baru saja memasuki sisi Gunung ini, aku sejenak diliputi dengan ketakutan—Tetapi kemudian seekor gajah liar datang ke tempatku duduk, dan berbaring dekat denganku di bawah sebatang Pohon, tertidur, seolah-olah ia sangat bergembira karena dapat menjauh dari kawanan lainnya, dan merasa tenang (dan demikianlah aku merasa tenang)." Kemudian Sang Buddha, yang mengetahui dengan sempurna keadaan pada kasus tersebut, berkata, "Gajah itu adalah pemimpin dari kawanan yang berjumlah lima ratus ekor, yang karena takut akan disergap oleh kawanannya, menemukan kegembiraannya dalam perpisahan, dan kehidupan yang terasing—Lebih jauh lagi, jika demikian, (bukankah) engkau seharusnya mencari kebahagiaan dalam meninggalkan rumahmu, dan mempraktikkan dalam keterasingan aturan-aturan kehidupan pertapaan?" Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini—

 

[2.3] “Mengetahui bahwa kawanan yang bodoh tidak akan pernah dapat mencapai Kebijaksanaan Sejati, orang bijaksana lebih memilih keterasingan demi menjaga dirinya sendiri dalam perilaku bajik, tidak berhubungan dengan orang bodoh; Bersenang dalam menjalankan tugas moral (Sila) dan mempraktekkan perilaku demikian yang sesuai dengan cara hidup ini, tidak memerlukan seorang teman atau rekan dalam praktik demikian—Sendirian dalam kebajikan, tanpa dukacita, seseorang yang bersenang seperti gajah liar (yang lari dari kawanan).”

 

Mendengar kata-kata ini Bhiksu itu memperoleh ketenangan, dan "Hantu-hantu Jahat" juga, yang mendengarkan dan memahaminya, sangat tergugah hingga mereka bersumpah tidak akan lagi mengganggu para petapa yang sedang menyendiri, dan kemudian Sang Buddha dan Bhiksu itu kembali ke tempat mereka.

 

[4] Pada suatu kesempatan ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana di Śrāvastī, membabarkan (Dharma) demi manfaat para Deva dan manusia, dua murid baru dari Rājagriha berkeinginan untuk pergi ke tempat di mana mereka dapat menemui-Nya. Di antara kedua negara terdapat gurun yang tak berpenghuni dan tidak dapat ditinggali. Karena terbakar oleh panas matahari dan sangat kelelahan, mereka akhirnya tiba di sebuah kolam air dan duduk, dengan penuh semangat ingin memuaskan dahaga mereka. Namun mereka menyadari bahwa air itu penuh dengan serangga, dan (mereka) menjadi ragu untuk minum. Pada akhirnya salah seorang berkata, “Jika aku tidak minum, aku tidak akan dapat menemui Sang Buddha, tujuannya untuk membenarkan rencananya,” dan demikianlah ia meminum air itu. Yang lain, merenungkan bahwa salah satu Dharma Sang Buddha adalah cinta kasih universal, yang melarang pembunuhan, menolak untuk minum, dan ketika orang pertama melanjutkan perjalanannya sendirian, orang kedua meninggal dunia dan terlahir kembali di alam Surga. Kemudian (dengan) mengingat keadaan di kehidupan lampaunya, ia segera turun dan datang ke tempat di mana Sang Buddha berada dan memberi hormat kepada-Nya. Dalam waktu singkat, orang pertama juga tiba di tempat itu, dan ketika Sang Buddha bertanya kepadanya dari mana ia datang dan di mana temannya berada, ia dengan sedih menceritakan semua keadaan yang telah terjadi, yang mana Sang Guru, menunjuk ke Deva yang cemerlang, yang turun dari Surga, meyakinkan orang pertama bahwa ini adalah mantan temannya; Ia telah menjaga Dharma dan terlahir di alam Surga, dan merupakan orang pertama yang melihat tubuh Sang Buddha; Tetapi engkau "Yang mengatakan engkau melihat-Ku, namun telah melanggar Dharma-Ku, (engkau) tidak terlihat oleh-Ku, namun seolah-olah engkau berada sepuluh ribu Li jauhnya, sedangkan orang ini yang telah menjaga Dharma, berdiam selamanya di hadapan-Ku," dan Sang Bhagavant mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—

 

[2.4] “Murid yang taat yang tanpa gagal mengikuti aturan-aturan, di alam mana pun (Surga atau Bumi) adalah mulia, ia akan memperoleh keinginan dan tujuannya (harapannya). Namun, di sisi lain, murid yang kurang taat, tidak menjaga aturan-aturan dengan ketat, di alam mana pun akan sangat menderita, meratapi sumpah-sumpah sebelumnya (yang tidak terpenuhi). Namun keduanya, jika mereka tekun dalam penyelidikan dan pencarian, akan selamat dari kesesatan, walaupun dengan susah payah.”

 

Mendengar kata-kata ini, murid yang telah (berbuat) salah itu sangat gembira, dan mencapai Pencerahan.

 

###

 

法句譬喻經多聞品第三 [Fǎ jù pì yù jīng duō wén pǐn dì sān] - 3. Murid, atau “Śrāvaka.”.

[1] Pada suatu ketika di Śrāvastī terdapat seorang istri perumah tangga tertentu, walaupun ia miskin, tidak memiliki prinsip Dharma, dan tidak memiliki keyakinan. Sang Buddha melihat kondisinya dan berbelas kasihan. Beliau melihat bahwa, setiap kali para siswa-Nya berpindapatta di kota, mereka tidak mendapatkan apa pun kecuali hinaan di depan pintu rumah wanita ini. Ketika seorang Bhiksu berdebat dengannya, dengan alasan bahwa ia hanya meminta derma makanan sebagai tugas pertapaan, wanita itu berkata, "Jika engkau sedang sekarat, aku tidak akan memberimu apa pun, apalagi sekarang engkau sehat dan bugar." Mendengar ini, Bhiksu itu, berdiri di hadapannya, mengubah kondisinya seperti seseorang yang benar-benar mati. Berbagai fungsi tubuhnya berhenti, dan dari mulut dan hidungnya keluar masuk serangga-serangga yang menjijikkan seraya dengan kematian. Ketika melihat hal yang mengerikan ini, wanita itu jatuh pingsan, dan terbaring di sana. Sementara itu, Bhiksu itu, dengan kekuatan batinnya, pergi dari sana sejauh beberapa Li, dan, (sambil) duduk di bawah sebatang pohon, menenangkan dirinya pada perenungan. Sementara suami wanita itu kembali, dan menemukan istrinya dalam kondisi demikian, menanyakan alasannya, karena itu ia menjawab bahwa ia telah ditakut-takuti oleh seorang Bhiksu kejam. Mendengar itu sang suami karena amarah mengambil busur dan pedangnya, lalu pergi mengejar dan membalas dendam kepada Bhiksu itu. Sesampainya di tempat di mana Bhiksu itu berada, Bhiksu itu dengan kekuatan batinnya mengelilingi dirinya dengan sebuah tembok, walaupun di dalamnya terdapat gerbang untuk mendekat, tetapi semuanya tertutup. Suami yang marah tersebut, karena tidak berhasil mendapatkan Bhiksu itu, memintanya untuk membuka gerbang; Bhiksu itu kemudian menjawab, "Singkirkan busur dan pedangmu dan engkau boleh masuk." Mendengar hal ini pria itu berpikir, "Bahkan jika aku meninggalkan senjataku, aku akan dapat melukainya dengan tinjuku." Karena itu, ia meletakkan busur dan pedangnya, lalu meminta izin untuk masuk lagi. Namun, Bhiksu itu berkata, "Gerbang ini tidak dapat dibuka, karena busur dan pedang yang harus engkau singkirkan bukanlah senjata yang engkau bawa di tanganmu, tetapi permusuhan dan kedengkian yang memenuhi batinmu; Singkirkanlah hal ini dan engkau boleh masuk.” Mendengar demikian lelaki itu, yang tersadar akan keburukannya, baik ia maupun istrinya menyesal atas rencana jahat mereka dan (mereka) menjadi murid—pada saat itulah siswa Sang Buddha yang tercerahkan (Manusia Bōdhi, atau manusia Dharma) mengucapkan syair-syair ini, dan berkata—

 

[3.1] “Sang Murid (Śrāvaka) yang mampu memegang (Sila) dengan tekun, seperti sebuah tembok yang sulit dirubuhkan, mengelilingi dirinya dengan perlindungan Dharma, dan demikianlah dengan cara terbaik (ia) menjaga dirinya sendiri dalam keamanan kebijaksanaan. Sang murid, dengan pikirannya yang tercerahkan, dengan pencerahan ini menambah timbunan kebijaksanaannya, dan dengan demikian memperoleh pandangan sempurna tentang misteri Dharma (Kebenaran), dan demikianlah (ia) tercerahkan, ia mempraktikkan tugas-tugas panggilannya dengan damai. Sang murid, (yang) mampu menyingkirkan (penyebab) dukacita, dalam ketenangan sempurna menikmati kebahagiaan, dan dengan kebajikan membabarkan Dharma yang Tanpa Kondisi, dirinya memperoleh Nirvāna. Dengan mendengar, ia mengenali Aturan-aturan Kehidupan Suci; Ia melepaskan keragu-raguan dan menjadi kokoh dalam keyakinan. Dengan mendengar, ia mampu untuk menolak semua yang bertentangan dengan Dharma (Kebenaran), dan demikianlah (ia) maju, ia tiba di tempat di mana tidak terdapat lagi Kematian.”

 

Mendengar syair-syair tersebut suami dan istrinya, menyaksikan tanda-tanda menakjubkan Sang Buddha yang ditunjukkan pada diri Sang Murid tersebut, menepuk dada mereka dalam penyesalan, dan tak terhitung banyaknya ribuan insan, seperti mereka, di seluruh dunia, beralih keyakinan dan terselamatkan.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kausāmbī, di sebuah Vihāra bernama Mei-yin (suara merdu), dan membabarkan Dharma demi manfaat empat golongan, terdapat seorang Brahmachārin tertentu, yang tak tertandingi dalam hal pengetahuan Dharma, yang karena tidak menemukan seorang pun yang setara dengannya dalam berargumen, terbiasa membawa, ke mana pun ia pergi, sebuah Obor menyala di tangannya. Suatu hari seseorang di pasar suatu kota tertentu, melihatnya demikian, bertanya kepadanya alasan perilaku anehnya, karena itu ia menjawab—"Dunia ini begitu gelap, dan manusia begitu terdelusi, sehingga aku membawa Obor ini untuk menerangi sejauh yang kubisa." Pada saat ini Sang Buddha mengubah diri-Nya menjadi seorang Pria Terkemuka (Hakim), yang, duduk di kursi kantor-Nya di pasar, dengan cepat memanggil sang Brahmachārin, "Apa yang engkau lakukan di sana! Apa yang engkau lakukan (dengan Obor itu)?" Kepada-Nya Brahmachārin itu menjawab, “Semua manusia begitu terbungkus dalam ketidaktahuan dan kegelapan, sehingga aku membawa Obor ini untuk menerangi mereka.” Kemudian Sang Hakim bertanya lagi kepadanya, “Dan apakah engkau begitu terpelajar sehingga mengetahui empat risalah (Vidyā) yang terdapat di tengah-tengah Kitab Suci, yaitu, risalah tentang Literatur (Śabdavidyā); Risalah tentang “Tubuh Surgawi dan Jalannya; Risalah tentang “Pemerintahan;” dan risalah tentang “Seni Militer”? Ketika sang Brahmachārin dipaksa untuk mengakui bahwa ia tidak mengetahui hal-hal ini, ia membuang Obornya, dan Sang Buddha muncul dalam Tubuh Agung-Nya, mengucapkan syair-syair ini—

 

[3.2] “Jika siapapun, apakah ia terpelajar ataupun tidak, menganggap dirinya begitu hebat hingga merendahkan orang lain, ia bagaikan seorang buta yang memegang sebatang lilin—Membutakan dirinya sendiri, ia menerangi yang lain.”

 

Mendengar syair-syair ini, sang Brahmachārin ingin menjadi murid Sang Buddha, dan diterima dengan baik.

 

[3] Dahulu kala terdapat seorang bangsawan, bernama Su-ta (Sudatta?), yang berdiam di Śrāvastī, yang telah menjadi seorang murid Sang Buddha dan memasuki Jalan Pertama. Ia memiliki seorang sahabat bernama "Hau-shi" (Sudana?), yang bukanlah seorang yang berkeyakinan. Ketika sahabatnya itu jatuh sakit, dan setelah meminta petunjuk (ia) tidak menemukan pertolongan dari siapa pun, sahabatnya Sudatta memutuskan untuk menghubungi Sang Buddha dan meminta-Nya untuk mengunjungi sahabatnya. Sesuai dengan permohonan tersebut Sang Buddha datang, dan, dengan tubuh-Nya yang agung bagaikan matahari, memasuki rumah Sudana, dan duduk. [Beliau kemudian membabarkan khotbah tentang penyakit moral yang karenanya orang-orang menderita, dan kemudian mengucapkan syair-syair ini]:

 

[3.3] “Tugas Matahari adalah memberikan cahaya; Tugas seorang Ayah, adalah bersikap baik, dan berbelas-kasihan; Tugas seorang Penguasa adalah untuk mengendalikan dan memerintah; Tugas seorang yang Bijaksana (seseorang yang berkeyakinan) adalah mendengarkan instruksi; Seorang tabib menyibukkan diri dengan memperpanjang hidup orang-orang; Seorang prajurit menginginkan kemenangan; Dan karena itulah Agama (Dharma) berada dalam kepemilikan kebijaksanaan. Perjalanan mengarungi kehidupan yang bahagia adalah kegembiraan dunia; Seorang teman adalah untuk berkonsultasi; Memilih seorang teman (pendamping) adalah untuk kesempatan yang membutuhkannya; Untuk melihat kecantikan wanita adalah kegembiraan kamar; Bukti kebijaksanaan adalah dalam berbicara; Untuk menjadi Penguasa seseorang harus dapat membedakan dengan benar; Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesalahan, seseorang harus mengerahkan cahaya kebijaksanaan tertinggi (Bōdhi); Untuk mencari pondasi dari ketenangan dan keheningan, seseorang harus dapat dengan penuh keyakinan memegang (mematuhi) Harta Karun Dharma (Kitab Suci). Ia yang mendengarkan (Dharma) dapat memberikan manfaat pada dunia saat ini, istrinya, anak-anaknya, dan teman-temannya, dan di alam selanjutnya mencapai kebahagiaan yang terbaik. Dengan tetap mendengarkan (Dharma), ia mencapai kesempurnaan pengetahuan mulia, dan mampu untuk membedakan dan menjelaskan rahasia Kebenaran; Dan demikianlah ia mengendalikan dirinya sendiri tanpa pelanggaran; Menerima Dharma, ia memuji apa yang benar, dan dengan demikian memperoleh pembebasan dari semua penyakit (moral), ia menghilangkan semua penyebab dukacita dan kesakitan, ia menyingkirkan semua kemungkinan dari kemalangan atau malapetaka, ia selalu berhasil dalam menemukan dasar untuk kedamaian dan kenyamanan: Demikianlah akibat yang mengikuti dalam kehidupan ia yang banyak mendengar' (Sang Śrāvaka).”

 

Setelah mendengarkan khotbah ini, orang sakit itu berkeyakinan pada Dharma dan menjadi seorang murid.

 

[4] Dahulu kala, di selatan Rājagriha terdapat sebuah gunung besar, berjarak sekitar 200 Li dari kota. Sepanjang gunung ini terdapat sebuah jalan setapak yang dalam dan sepi, yang menjadi jalan menuju India Selatan. Lima ratus pencuri telah menetap di tempat kotor ini, yang biasanya terdapat pembunuhan dan perampokan semua pengembara yang melalui jalan itu. Raja telah dengan sia-sia mengirim (pasukan) untuk menangkap mereka, namun mereka selalu lolos. Sang Buddha, yang berdiam di sekitar tempat itu, dan mempertimbangkan perkara orang-orang ini, bahwa mereka tidak memahami sifat (konsekuensi) perilaku mereka, dan bahwa walaupun Beliau datang ke dunia untuk mengajarkan manusia, namun mata mereka belum melihat-Nya, atau telinga mereka belum mendengar kabar tentang Dharma-Nya, Beliau memutuskan untuk pergi mengunjungi mereka. Karena itulah Beliau mengubah dirinya menjadi seorang Pria yang terlihat kaya, di atas seekor kuda yang dihias dan dilengkapi dengan baik, dengan pedang dan busur-Nya, dengan kantong-kantong perak dan emas di pelana kuda-Nya, dan batu-batu berharga menghiasi keberanian kuda-Nya. Saat memasuki tempat kotor itu (Beliau) membunyikan kudanya dengan keras. Mendengar suara itu 500 pencuri itu bersiap dan mengintai Pengembara itu, dengan berteriak, "Kita belum pernah mendapat rampasan seperti ini; bersiaplah, dan tangkap Dia!" Maka mereka bersiap mengepung Pengembara itu, dengan maksud untuk mencegah-Nya kabur; Namun Beliau, dengan satu tembakan busur-Nya, berhasil menembus 500 orang itu, dan dengan satu tebasan pedang-Nya melukai mereka.

Saat mereka jatuh ke tanah, mereka berteriak, "Deva siapakah ini? Oh Ia yang menarik anak panah ini? Dan meredakan kesakitan yang luar biasa dari luka-luka yang kita alami!" Mendengar hal ini Pengembara itu mulai menjelaskan bahwa kesakitan seperti itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesakitan yang disebabkan oleh dukacita yang menguasai dunia, dan luka-luka dari mereka yang tidak berkeyakinan dan (memiliki) keragu-raguan, dan bahwa tidak ada yang dapat menyembuhkan luka-luka seperti itu kecuali kebijaksanaan yang diperoleh dari perhatian (mendengarkan) dengan sungguh-sungguh terhadap Dharma; Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini dan berkata:

 

[3.4] “Tidak ada luka yang menyakitkan seburuk dukacita—Tidak ada anak panah yang menembus tajam setajam kebodohan. Tidak ada yang dapat menyembuhkan hal-hal ini kecuali perhatian yang sungguh-sungguh terhadap instruksi Dharma. Dari sinilah orang buta memperoleh penglihatan, yang terdelusi menjadi tercerahkan. Orang-orang dibimbing dan diarahkan dengan hal ini, seperti halnya mata yang diberikan kepada mereka yang tanpa mata. Inilah, (yang) kemudian, mampu menghilangkan ketidak-yakinan, menghilangkan dukacita, memberikan kegembiraan; Kebijaksanaan tertinggi adalah milik mereka yang 'Mendengar'. Inilah gelar bagi mereka yang telah memperoleh jasa kebajikan terbesar (yang utama untuk dihormati).”

 

Mendengar hal ini para pencuri menyesali kehidupan jahat mereka, dan anak-anak panah, dengan sendirinya, meninggalkan tubuh mereka, dan luka-luka mereka pun sembuh. Mereka kemudian menjadi murid, dan memperoleh ketenangan dan kedamaian.

 

###

 

法句譬喻經篤信品第四 [Fǎ jù pì yù jīng dǔ xìn pǐn dì sì] - 4. Hanya Keyakinan.

[1] Dahulu kala, di tenggara Śrāvastī, terdapat sebuah sungai besar, sangat lebar dan dalam, di tepiannya terdapat sebuah desa, terdiri dari sekitar 500 rumah, para penduduknya belum mendengar berita tentang Pembebasan, dan akibatnya tenggelam sepenuhnya dalam keduniawian dan pemuasan diri.

Sang Bhagavant, Yang selalu memikirkan Pembebasan manusia, memutuskan untuk pergi ke desa ini dan membabarkan (Dharma) kepada orang-orang. Karena itulah, Beliau datang ke tepi sungai, dan duduk di bawah sebatang pohon. Orang-orang desa, melihat Kemuliaan penampilan-Nya, mendekat dengan hormat untuk memuja-Nya. Setelah mereka selesai melakukannya, Sang Buddha mulai membabarkan (Dharma) kepada mereka, namun mereka tidak mempercayai-Nya. Karena hal ini Sang Buddha memunculkan seorang pria yang datang dari arah selatan sungai, di mana airnya sangat dalam dan arusnya kuat, berjalan di permukaan sungai itu; Dan begitu tiba, ia mendekati Sang Buddha, dan, menundukkan kepala, memuja-Nya. Semua orang, melihat peristiwa ini, bertanya kepada orang itu dengan keheranan, dari mana ia datang, “Karena kami tidak pernah sepanjang hidup kami melihat peristiwa seperti ini, seorang pria berjalan di permukaan air. Kalau begitu, beritahu kami, dengan tipu daya apa  hal ini dilakukan, dan bagaimana engkau tidak terhanyut oleh arus.” Orang itu menjawab: “Aku berdiam di tepi selatan sungai, dan selalu hidup dalam ketidak-tahuan dan kebodohan sampai aku mendengar bahwa Sang Buddha berada di sini mengajarkan Jalan Pembebasan, karena itulah, (aku) datang ke tepi sungai, dan tidak punya waktu untuk menunggu diseberangkan, aku bertanya kepada orang-orang apakah sungainya dalam, dan apakah aku tidak dapat menyeberang tanpa sebuah perahu. Mereka berkata, 'Oh ya! Engkau dapat menyeberang tanpa rasa takut.' Mendengar hal itu aku berjalan menyeberang, karena aku percaya. Hanya ini dan tidak ada hal lain yang mungkin aku lakukan.” Mendengar hal itu Sang Buddha berkata: “Hal itu diucapkan dengan baik—diucapkan dengan baik. Keyakinan seperti milikmu sendiri dapat menyelamatkan dunia dari jurang besar kelahiran dan kematian yang terus-menerus; Hanya keyakinan demikian yang dapat memungkinkan mereka untuk berjalan menyeberangi daratan yang kering (menuju pantai seberang),” dan kemudian Beliau mengucapkan syair-syair ini:

 

[4.1] “Keyakinan dapat menyeberangi banjir, bahkan seperti nakhoda kapal (mengemudikan perahunya menyeberangi samudera); Teruslah maju dalam menaklukkan dukacita, kebijaksanaan mendaratkan kita di pantai seberang. Orang bijaksana yang hidup dengan keyakinan, dalam moralitas kehidupan sucinya, menikmati sukacita tanpa diri, dan melepaskan semua belenggu. Keyakinan memegang Kebijaksanaan Sejati (atau menemukan Sang Jalan); Dharma menuntun pada Pembebasan dari kematian; Dari mendengar munculah pengetahuan, yang membawa Pencerahan; Keyakinan, ketaatan yang luas (pada aturan moralitas), adalah Jalan Kebijaksanaan: Dengan teguh bertahan dalam hal ini, seseorang menemukan jalan keluar dari kesakitan, dan dengan demikian dapat menyeberang dan keluar dari jurang kehancuran.”

 

Mendengar syair-syair ini, para penduduk desa dipenuhi dengan kegembiraan, dan dengan menerima lima peraturan, mereka mampu untuk berkeyakinan kepada Sang Buddha.

 

[2] Ketika Sang Buddha (masih) berada di dunia terdapat seorang bangsawan tertentu bernama Su-lo-to (Śraddha?), yang sangat kaya, yang karena satu prinsip keyakinannya telah memutuskan untuk menjamu Sang Buddha dan murid-murid-Nya pada hari kedelapan setiap bulan di masa Varsa (yaitu, bulan-bulan musim hujan); Tetapi pada saat itu tidak ada seorang pun putra atau cucunya yang muncul, karena sibuk dengan urusan lain. Pada akhirnya bangsawan itu meninggal, dan karena tiada seorang pun anak yang peduli untuk menjamu Sang Buddha, seorang anak pelayan bernama Pi-lo-to (Vraddah?) memutuskan untuk melakukannya. Akibatnya, setelah meminjam 500 keping uang, ia mulai mengundang Sang Guru dan 1200 murid-Nya ke rumahnya. Setelah menjamu dan para tamu pergi, ia pergi beristirahat; Lihatlah! Ketika terbangun keesokan paginya, ia mendapati rumahnya penuh dengan perak dan emas dan semua benda berharga.

Saat pergi menemui Sang Buddha, Sang Guru menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari keyakinannya, dan kemudian (Beliau) mengucapkan syair-syair berikut:

 

[4.2] “Keyakinan adalah kekayaan! Ketaatan adalah kekayaan! Kesederhanaan juga adalah kekayaan! Mendengarkan (Dharma) adalah kekayaan, dan begitu pula Kedermawanan! Kebijaksanaan adalah kekayaan tujuh kali lipat. Berjalan dengan keyakinan, yang selalu murni, seseorang memahami Kebenaran (Dharma). Kebijaksanaan seperti halnya sendal pada kaki mereka yang berjalan. Menerima instruksi dengan hormat, dan tidak melupakannya, hal ini, siapa pun ia, dan bagaimanapun (ia) terlahir, adalah kekayaan: Tiada pertanyaan apakah ia laki-laki atau perempuan, hanya hal ini yang akan mendatangkan perolehan pada akhirnya. Siapa pun yang bijaksana akan memahami kebenaran ini.”

 

Setelah mendengar syair-syair ini, Pi-lo-to menjadi mampu untuk berkeyakinan, dan menjadi seorang murid; Begitu pula istrinya, dan anak-anaknya.

 

###

 

法句譬喻經戒慎品第五 [Fǎ jù pì yù jīng jiè shèn pǐn dì wǔ] - 5. Berhati-hati Menaati Peraturan Moralitas.

[1] Sekitar empat puluh atau lima puluh Li di sebelah selatan Benares dahulunya terdapat sebuah gunung di mana lima orang Bhiksu berdiam, mempraktekkan aturan pertapaan. Setiap pagi mereka biasa meninggalkan kediaman mereka dan berpindapatta, lalu kembali ke gunung, tetapi, terkadang, mereka baru kembali pada larut malam, setelah itu mereka mempraktekkan meditasi secara ketat. Dan juga, walaupun tahun demi tahun telah berlalu, mereka belum juga mencapai Tujuan (Bōdhi). Sang Buddha, yang merasa kasihan dengan kondisi mereka, mengubah Dirinya menjadi Seorang Pertapa, dan pergi ke kediaman mereka, menanyai mereka, dengan berkata. Apakah kalian telah mencapai tujuan dari praktek pertapaan kalian atau belum? Dan kemudian para petapa itu menjelaskan bahwa, walaupun mereka telah secara ketat mematuhi aturan pertapaan mereka, dan setiap hari mempraktikkan pelepasan diri dan meditasi, namun mereka gagal mencapai tujuan akhir, yaitu Kedamaian dan Ketenangan Sejati. Karena hal itu, Orang Asing itu meminta mereka untuk tetap tinggal di kediaman mereka pada keesokan harinya, dan biarlah Ia membawakan mereka makanan, dan dengan demikian mereka dapat menenangkan diri mereka sejenak; Dan demikianlah selama beberapa hari berturut-turut Ia mencukupi kebutuhan mereka, sementara mereka sendiri merasa puas, dan mampu bangkit dari sekadar perhatian (terhadap tugas-tugas) formalitas menjadi tugas (melatih pengembangan diri); Dan kemudian Orang Asing itu mengucapkan syair-syair ini, dan berkata:

 

[5.1] “Seorang Bhiksu, yang menaati aturan kehidupan suci dengan ketat, yang menjaga dan mengendalikan semua inderanya, mengambil makanan secukupnya, tidur sesuai kebutuhan, dengan aturan ini ia menundukkan pikirannya, menjaga pikirannya dalam kendali yang ketat, tercerahkan secara internal melalui kebijaksanaan dan meditasi, tidak pernah meninggalkan Jalan yang benar (Jalan Bōdhi): Demikianlah batinnya tercerahkan, menjalankan aturan perilaku yang benar, puas dengan karakteristik Kebijaksanaan Sejati, melangkah maju dalam Jalan tugas sehari-hari, orang ini, yang tenang dalam dirinya sendiri, akan menghilangkan semua dukacita.”

 

Setelah Orang Asing itu berkata demikian, lihatlah! Tubuh Sang Buddha yang agung bersinar, dan kelima orang itu berkeyakinan, dan memperoleh kondisi Rahat.

 

###

 

法句譬喻經惟念品第六 [Fǎ jù pì yù jīng wéi niàn pǐn dì liù] - 6. Dalam Merefleksikan.

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha masih berada di dunia, seorang Raja tertentu bernama Fo-kia-sha (Vaksha) adalah teman dari Raja Bimbisāra; Namun, pada awalnya, ia tidak berkeyakinan terhadap Sang Buddha, seperti halnya Bimbisāra dulu. Pada suatu kesempatan, Vaksha telah mengirimkan tujuh payung berharga (chatta) kepada sahabatnya Bimbisāra. Setelah menerimanya, Bimbisāra mempersembahkannya kepada Sang Buddha, dan berkata, “Sahabatku, Raja Vaksha, telah memberikanku payung-payung berharga ini! Mohon izinkan aku mempersembahkannya kepada-Mu, dengan maksud agar batinnya berkeyakinan dan matanya terbuka untuk melihat Sang Buddha, sehingga ia dapat menerima Dharma-Mu dan menghormati Samgha sebagai hadiahnya.” Kemudian Sang Buddha menjawab: “Rāja Bimbasāra, tulislah Sūtra tentang dua belas Nidāna, dan berikan buku tersebut kepada raja itu sebagai hadiah atas tujuh payung berharga; Dan batinnya akan tercerahkan (atau, menerima pembebasan karena Keyakinan).” [Maka Bimbisāra pun melakukannya, dan sahabatnya, pada akhirnya, memiliki keyakinan dan menjadi seorang murid; Dan akhirnya menyerahkan kerajaan kepada putranya. Setelah gagal mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Sang Buddha, meskipun ia sering menemui-Nya saat berpindapatta di jalan-jalan Rājagriha, Sang Guru akhirnya memanggil seorang Bhiksu untuk menemui raja, dan menjelaskan kepadanya bahwa dengan merenungkan pada hasil kerjanya ia dapat benar-benar melihat Sang Buddha; Dan karena itu Beliau mengucapkan syair-syair berikut]:—

 

[6.1] “Seseorang yang berlindung kepada Sang Buddha, orang inilah yang memperoleh keuntungan sejati. Karena itulah, siang dan malam, ia harus selalu merenungkan Sang Buddha, Dharma, dan Samgha. Dengan benar-benar Tercerahkan demikian, orang ini adalah murid Sang Buddha. Dengan demikian, ia terus merenungkan tiga Harta, dan pada ketidak-kekalan, dan tubuhnya sendiri, merenungkan tentang moralitas, tentang kedermawanan, tentang kekosongan atas segala hal di sekitarnya, dan ketidak-nyataannya (tanpa tanda-tanda), inilah pokok-pokok yang perlu dipertimbangkan.”

 

[Mendengar syair-syair ini, Vaksha memasuki jalan ketiga (Anagamin), dan memperoleh ketenangan.]

 

###

 

法句譬喻經慈仁品第七 [Fǎ jù pì yù jīng cí rén pǐn dì qī]- 7. Tentang Cinta Kasih atau Belas Kasihan (Mettā).

[1] Dahulu kala, Sang Buddha berdiam di sebuah negeri yang berjarak sekitar 500 Li dari Rājagriha, penuh dengan pegunungan. Di pegunungan ini terdapat sebuah klan tertentu yang beranggotakan sekitar 122 orang, yang hidup dengan berburu, dan memakan daging dari binatang yang mereka bunuh. [Sang Buddha pergi ke tempat itu dan mengalihkan keyakinan para wanita, yang ditinggalkan sendirian di siang hari, sementara suami mereka berburu, dan kemudian mengucapkan syair-syair berikut]:

 

[7.1] “Ia yang berperi-kemanusiaan tidak membunuh (atau, tidak membunuh adalah berperi-kemanusiaan); Ia selalu mampu menyelamatkan hidupnya (sendiri?). Prinsip (chu) ini tidak akan pernah hilang; Siapa pun yang mematuhinya, tidak akan ada malapetaka yang menimpa orang itu. Kesopanan, pengabaian terhadap hal-hal duniawi, tidak menyakiti siapa pun, tanpa tempat untuk gangguan—Inilah karakteristik dari Surga Brahma (atau Deva Brahma). Selalu berbelas kasihan terhadap yang lemah; Murni, sesuai dengan Ajaran Sang Buddha; Mengetahui kapan sudah cukup; Mengetahui kapan harus berhenti,—Inilah cara untuk terhindar dari (terulangnya) Kelahiran dan Kematian.”

 

[Para wanita, setelah mendengar syair-syair ini, menjadi berkeyakinan, dan saat para pria kembali, walaupun pada awalnya mereka ingin membunuh Sang Buddha, mereka ditahan oleh istri mereka; Dan, setelah mendengarkan kata-kata cinta kasih-Nya, mereka juga menjadi berkeyakinan]. Dan kemudian Beliau mengucapkan syair-syair ini:

 

[7.2] “Terdapat sebelas keuntungan yang menyertai ia yang mempraktikkan belas kasih, dan bersikap lembut kepada semua makhluk hidup; Tubuhnya selalu sehat (bahagia); Ia diberkati dengan tidur yang damai, dan ia juga tenang ketika sedang belajar; Ia tidak memiliki mimpi buruk, ia dilindungi oleh Surga (Para Deva), dan dicintai oleh manusia; Ia tidak diganggu oleh hal-hal beracun, dan terhindar dari kejahatan perang; Ia tidak terluka oleh api atau air; Ia sukses di mana pun ia tinggal, dan setelah meninggal ia pergi ke surga Brahma. Inilah sebelas keuntungan itu.”

 

Setelah mengatakan syair-syair ini, baik para pria maupun wanita diterima dalam kelompok murid-murid-Nya, dan memperoleh kedamaian.

 

[2] Dahulu kala, terdapat seorang raja tertentu yang sangat kuat, yang disebut Ho-meh (kegelapan-cinta), yang memerintah di suatu distrik di mana belum terdengar kabar tentang Sang Buddha atau Dharma-Nya yang penuh belas kasih; Namun praktik keagamaan yang umum dilakukan orang-orang saat itu adalah pengorbanan dan berdoa kepada para deva untuk perlindungan. Saat itu ibu suri dari sang raja sedang sakit, para tabib dengan sia-sia telah mencoba obat-obatan mereka, semua orang bijaksana dipanggil untuk mendiskusikan mengenai cara terbaik untuk memulihkan kesehatannya. Setelah beberapa tahun, di mana kesehatannya tidak membaik, ibu suri memanggil 200 Brahmana yang terkenal, dan meminta mereka untuk menggunakan kemampuan batin mereka dalam menemukan cara pemulihan dari matahari, bulan, dan bintang-bintang. Para Brahmana ini menjawab: "Tidak ada gunanya melakukan itu, karena tanda-tanda surgawi sedang bertentangan dan tidak menguntungkan." Ketika Raja bertanya kepada mereka apa yang harus dilakukan, mereka menjawab, “Di luar kota haruslah dipilih suatu tempat yang nyaman, datar dan rata, dan tanpa polusi, dan korbankan seratus ekor binatang dari berbagai jenis yang dipersembahkan pada empat bukit (atau pada empat penjuru), matahari, bulan, dan bintang-bintang, dengan seorang anak kecil sebagai persembahan puncak pada Surga. Kemudian Raja sendiri, bersama ibunya, pergi ke tempat itu untuk ikut dalam pengorbanan, bintang-bintang dan benda-benda langit dapat ditenangkan. [Atas hal ini, Sang Buddha, tergerak oleh belas kasihan, datang ke tempat itu, dan membabarkan sebuah khotbah tentang “Cinta kasih kepada semua makhluk,” dan mengucapkan syair-syair ini]:

 

[7.3] “Jika seseorang hidup selama seratus tahun, dan mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya untuk persembahan kepada para deva, mengorbankan gajah-gajah dan kuda-kuda, dan hal-hal lainnya, semua ini tidaklah setara dengan satu tindakan cinta kasih yang murni dalam menyelamatkan kehidupan.”

 

[Akibat dari khotbah ini dan pemandangan tubuh agung Sang Buddha, mereka berkeyakinan, dan menjadi murid.]

 

###

 

法句譬喻經言語品第八 [Fǎ jù pì yù jīng yán yǔ pǐn dì bā] - 8. Tentang Ucapan (Percakapan).

[1] Dahulu kala, ketika rāja Fo-kia-sha (Vaksha?) memasuki kota Rājagriha untuk meminta berpindapatta dari pintu ke pintu, di gerbang kota terdapat seekor sapi, yang baru saja melahirkan anaknya, yang telah berbalik dan menabrak pemiliknya hingga mati. Sapi itu telah dijual kepada seorang pejalan kaki, ia mengikatkan tali di tanduknya, dan ingin menariknya maju; Tetapi sapi itu, yang menyerang dari belakang, membunuh orang ini juga; Kemudian putranya, dalam kemarahan, membunuh binatang itu, dan memotong-motongnya, memamerkannya untuk dijual di pasar. Saat itu seseorang yang lewat, membeli kepala binatang itu, dan membawanya pergi bersamanya, ketika ia duduk untuk beristirahat, mengikat (kepala itu) di dahan pohon tepat di atas tempat ia beristirahat; Tiba-tiba, talinya terputus, kepala itu jatuh, dan tanduknya, menembus kepala orang yang berada di bawahnya, membunuhnya juga. Rāja Bimbisāra, mendengar kejadian aneh ini, bagaimana seekor sapi itu membunuh tiga orang dalam satu hari, datang kepada Sang Buddha untuk menanyakan kepadanya tentang penyebab sebelumnya dari tragedi ini, kemudian Sang Buddha menceritakan kisah berikut ini: "Dahulu kala terdapat tiga pedagang yang, datang ke suatu kota tertentu untuk bertransaksi bisnis, menetap di rumah seorang wanita tua yang tanpa teman, dan menginap di sana. Karena tidak puas dengan tempat tinggal mereka, ketiga orang itu meninggalkan rumah itu tanpa membayar, dan ketika wanita tua itu mencari mereka dan menemukan mereka, mereka memaki-maki wanita itu dengan kejam, karena itulah wanita tersebut mengucapkan sumpah ini: 'Semoga aku terlahir di tahun-tahun selanjutnya dalam kondisi yang dapat membunuh kalian bertiga.' "Sekarang," Sang Buddha menambahkan, "Ketiga orang yang dibunuh oleh sapi itu adalah ketiga pedagang ini, dan sapi itu sendiri adalah wanita tua itu," dan kemudian Beliau mengucapkan syair-syair ini:

 

[8.1] “Dari ucapan yang jahat dan kasar serta sikap arogan, menghina dan merendahkan orang lain, kebencian dan dendam tumbuh dan meningkat. Dengan menahan perkataan seseorang, dan bersikap sopan kepada seseorang, dengan kesabaran dan kesopanan, akibat-akibat jahat ini akan hancur dengan sendirinya. Kehidupan masa depan seseorang bergantung pada ucapannya, dan karena itulah dari ucapan yang jahat munculah kehancuran diri sendiri.”

 

[Mendengar syair-syair ini, Bimbisāra dipenuhi dengan kegembiraan, dan ia beserta para pengikutnya pun pergi.]

 

###

 

Buku Pertama Selesai.

 

###

 

Buku Kedua – Bab 9 – 19.

 

◎法句譬喻經雙要品第九 [Fǎ jù pì yù jīng shuāng yào pǐn dì jiǔ] - 9. Syair Berpasangan.

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, raja negeri tersebut, yang bernama Prasenajit, datang ke tempat di mana Sang Buddha berdiam, dan turun dari keretanya, menghampiri Sang Guru dengan penghormatan yang terdalam, dan mengundang Beliau pada keesokan harinya untuk memasuki kota dan terlibat dalam acara ramah-tamahnya, dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang-orang kualitas Dirinya dan Dharma-Nya, agar mereka dapat berkeyakinan kepada-Nya.

Setelah Sang Buddha menyetujuinya, keesokan harinya Beliau memasuki kota bersama seluruh murid-Nya, dan setelah melewati empat persimpangan jalan kota, Beliau tiba di tempat yang telah ditentukan dan duduk. Setelah makan, Beliau memulai, atas permintaan raja, untuk membabarkan Dharma di tengah-tengah perempatan jalan besar, ketika itu para pendengar-Nya sangat banyak. Pada saat itu terdapat dua orang pedagang yang mendengarkannya. Salah satu dari mereka merefleksikan, “Betapa bijaksananya raja dengan memberitakan Dharma seperti ini secara terbuka! Betapa luas penerapannya, betapa mendalamnya karakter mereka!”

Yang lain berpikir demikian, “Betapa bodohnya raja, membawa orang ini kemari untuk membabarkan Dharma! Bagaikan anak sapi yang mengikuti sapi, kesana dan kemari, terikat pada kendaraan yang ditariknya, meringkik ketika berjalan—Demikianlah Sang Buddha ini mengikuti raja.” Kedua pedagang itu setelah pergi dari kota sekitar tiga puluh Li, tiba di sebuah penginapan di mana mereka bermalam. Saat minum anggur pedagang yang baik ditahan dan dilindungi oleh empat deva penjaga yang mengawasi dunia. Sebaliknya, yang lain dihasut oleh hantu jahat untuk terus minum, hingga ia terkalahkan oleh tidur, dan berbaring di jalan dekat penginapan. Pagi-pagi sekali, kereta-kereta pedagang meninggalkan tempat itu, sang kusir tidak menyadari pedagang itu tidur di jalan, pedagang itu terlindas sampai mati oleh roda-roda kereta.

[Pedagang lainnya, setelah datang ke negeri yang jauh, dipilih dengan seekor kuda suci yang bersujud kepadanya untuk menggantikan raja; Dan berdasarkan itu ia naik takhta. Setelah itu, mengingat kejadian yang aneh telah terjadi, ia kembali dan mengundang Sang Buddha untuk mengunjunginya, dan membabarkan Dharma kepada rakyatnya—Pada kesempatan itu Sang Bhagavānt menyatakan alasan kematian pedagang yang berpikiran jahat itu, dan kemakmuran bagi ia yang berpikiran bijaksana, dan kemudian mengatakan syair-syair berikut]:

 

[9.1] “Pikiran adalah asal mula segala sesuatu; Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah penyebab. Jika ketika berpikir terdapat pikiran-pikiran buruk, maka ucapannya buruk, perbuatannya juga buruk, dan dukacita akibat keburukan mengikuti orang tersebut, seperti halnya roda kereta mengikutinya (atau ia) yang menariknya. Pikiran adalah asal mula segala sesuatu; pikiranlah yang mengatur, pikiranlah yang merancang. Jika di dalam pikiran terdapat pikiran-pikiran bajik, maka ucapannya bajik dan perbuatannya juga bajik, dan kebahagiaan yang akibat dari perilaku demikian mengikuti orang tersebut, seperti halnya bayangan yang menyertai tubuh.”

 

Mendengar syair-syair ini, raja dan para menterinya, dengan banyak orang lainnya, menjadi berkeyakinan, dan menjadi murid.

 

[2] Dahulu kala, di belakang pegunungan Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, terdapat sebuah desa, dihuni oleh sekitar tujuh puluh keluarga, semuanya adalah Brahmana. Sang Buddha berkeinginan untuk meyakinkan orang-orang ini, datang ke tempat itu dan duduk di bawah sebatang pohon. Orang-orang yang melihat wibawa dari kehadiran-Nya, dan penampilan tubuh-Nya yang agung, mengerumuni-Nya. Saat itulah Beliau bertanya kepada para Brahmana berapa lama mereka tinggal di gunung ini, dan apakah pekerjaan mereka. Mereka menjawab, "Kami telah tinggal di sini selama tiga puluh generasi, dan pekerjaan kami adalah menggembalakan ternak." Ketika ditanya lebih jauh tentang keyakinan mereka, mereka berkata, "Kami memberikan penghormatan dan pengorbanan kepada matahari dan rembulan, hujan (air), dan api, sesuai dengan musim-musim yang ada. Jika salah satu dari kami meninggal, kami berkumpul dan berdoa agar ia dapat terlahir kembali di alam Brahma dan terhindar dari transmigrasi lagi." Sang Buddha menjawabnya—"Ini bukanlah jalan yang aman, dan dengan jalan ini kalian tidak dapat terbebas dari tiga jalan jahat dalam kelahiran yang akan datang. Jalan yang benar adalah mengikuti-Ku, menjadi petapa sejati, dan mempraktikkan pengendalian diri sepenuhnya dengan tujuan untuk memperoleh Nirvāna;" dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:

 

[9.2] “Mereka yang menganggap kebenaran sebagai hal yang tidak benar, dan menganggap hal yang tidak benar sebagai kebenaran, hal ini semata-mata adalah menganut pandangan sesat dan tidak akan pernah menuntun pada keuntungan sejati. Namun dalam mengetahui apa yang benar sebagai kebenaran, dan menganggap apa yang salah sebagai kesalahan, inilah kebenaran yang sempurna, dan hal ini akan mendatangkan keuntungan sejati. Di seluruh dunia ini terdapat kematian—Tidak ada kedamaian di tiga alam. Para Deva, memang, menikmati masa sukacita; Namun kebahagiaan mereka juga harus berakhir, dan mereka juga harus mati! Merenungkan hal ini sebagai kondisi dari semua makhluk (dunia), bahwa tidak ada yang terlahir yang tidak mati, dan, oleh karena itu, berkeinginan untuk terhindar dari kelahiran dan kematian, hal ini untuk melatih diri sendiri dalam Kebenaran Dharma.”

 

Tujuh puluh Brahmana yang mendengar syair-syair ini, langsung berkeinginan menjadi Bhiksu; Dan saat diterima oleh Sang Buddha, rambut mereka rontok, dan mereka memperlihatkan penampilan murid sejati. Kemudian mereka semua berangkat kembali ke Vihāra, dan ketika di jalan pikiran-pikiran tertentu tentang istri dan keluarga mengganggu mereka, sementara pada saat yang sama hujan lebat menghalangi perjalanan mereka. Kemudian Sang Buddha, mengetahui pikiran mereka, membuat sekitar sepuluh rumah muncul di pinggir jalan, tempat mereka ingin berteduh; Tetapi saat memasuki salah satu rumah segera terlihat bahwa hujan masuk melalui atap, dan hanya terdapat sedikit perlindungan dari basah, karena itulah Sang Buddha menyatakan syair-syair ini, dan berkata:

 

[9.3] “Seperti halnya suatu atap rumah yang tidak terpasang dengan baik, maka air hujan akan menemukan arah masuk dan merembes ke dalam, demikian pula ketika pikiran tidak dikendalikan dengan saksama, maka keinginan (seksual) akan segera menggerogoti semua tekad bajik kita. Namun seperti halnya atap yang tertutup rapat maka air tidak dapat merembes, demikian pula dengan mengendalikan pikiran seseorang, dan bertindak dengan penuh perenungan, keinginan seperti demikian tidak akan muncul atau mengganggu kita.”

 

Tujuh puluh Brahmana, setelah mendengarkan syair-syair ini, walaupun teryakinkan bahwa keinginan mereka tercela, namun tidak sepenuhnya terbebas dari keraguan, walaupun demikian mereka tetap melanjutkan perjalanan.

Saat mereka berjalan mereka melihat beberapa kertas harum di tanah, dan Sang Buddha mengambil kesempatan untuk menarik perhatian mereka ke kertas itu; Dan setelah ini, melihat beberapa isi perut ikan juga tergeletak di sekitarnya, Beliau mengarahkan perhatian mereka ke bau busuknya, dan kemudian menyatakan syair-syair ini, dan berkata:

 

[9.4] “Ia yang bergaul dengan yang rendah dan hina, ia akan memiliki karakteristik yang sama seperti ia yang memegang suatu benda busuk; Ia akan semakin buruk, dan tanpa alasan sama sekali, ia menyempurnakan dirinya sendiri dalam kejahatan. Tetapi orang bijaksana (bergaul dengan yang bijaksana) akan memiliki karakteristik yang sama, seperti bau harum yang melekat pada ia yang memegangnya; Maju dalam kebijaksanaan, mempraktikkan kebajikan, ia akan mencapai kesempurnaan, dan terpuaskan.”

 

Tujuh puluh Brahmana, setelah mendengar syair-syair ini, yakin bahwa keinginan mereka untuk pulang dan menikmati kesenangan pribadi adalah noda jahat yang melekat pada mereka, menyingkirkan pikiran-pikiran demikian, dan, dengan melangkah maju, datang ke Vihāra, dan akhirnya memperoleh kondisi Rahat.

 

[3] Dahulu kala, ketika bangsawan Sudatta membeli dari pewaris tahta, (pangeran) Jeta, tanah untuk sebuah Vihāra, di Śrāvastī, kemudian bangsawan tersebut mengundang Sang Buddha dan para pengikutnya untuk terlibat dalam acara ramah-tamahnya selama sebulan, dan khotbah-khotbah yang kemudian dibabarkan oleh Sang Bhagavant, mengakibatkan, semua yang hadir memperoleh pencerahan, dan Pangeran sendiri kembali dengan gembira ke Istana Timur.

Saat itu Virudhaka, saudara laki-laki pangeran, selalu berada di dekat raja; Dan pada kesempatan ini Yang Mulia, beserta pengiringnya, dan para perwira "istana setelahnya", mulai mengenakan jubah, dengan tujuan untuk mengunjungi Sang Buddha. Setelah tiba ke tempat di mana Beliau berada, mereka memberikan penghormatan kepada-Nya seperti biasa, dan dengan penuh perhatian mendengarkan instruksi-Nya.

Sementara itu, Virudhaka, yang tetap tinggal, diundang oleh para pejabat istana, karena ayahnya tidak ada, untuk menduduki takhtanya; Dan begitu duduk di sana, ia tidak mau mengundurkan diri. [Akibatnya, ia mengirim (pasukan) dan memerintahkan (agar) ayahnya, dan 500 pengikutnya, untuk dibunuh. Sang Buddha pun menyatakan syair-syair berikut]:

 

[9.5] “Seseorang yang menyebabkan kegembiraan pada saat ini, akan bergembira di kehidupan selanjutnya. Dengan hidup bermoral, ia bergembira dua kali—Ia bergembira dan bangga; Melihat kebahagiaannya sendiri, batinnya tenang. Ia bergembira sekarang, ia bergembira di kehidupan selanjutnya; Melakukan apa yang benar, ia memiliki kegembiraan ganda; Ia menikmati perlindungan devata (di sini), dan ia menerima hasilnya dan tenang (di kehidupan selanjutnya).”

 

Kemudian Sang Buddha setelah meramalkan bahwa Virudhaka, setelah tujuh hari, akan terjatuh ke neraka, menyatakan syair-syair ini:

 

[9.6] “Ia yang menyebabkan dukacita mengalami dukacita di kehidupan selanjutnya. Berjalan dalam keburukan, ia menderita dua kali—Merenungkan kejahatan yang telah dilakukannya, ia menderita; Melihat kesalahannya, ia lebih menderita dalam prediksi di masa depan. Orang yang menyesal (bersedih) sekarang, menyesal di masa depan. Karena perbuatan jahatnya ia berduka di kedua dunia; Melihat perbuatan jahatnya sendiri bekerja, ia menanggung kesedihan akibat kesalahan (di dunia ini), dan ia mewarisi kesedihan dari perbuatan jahatnya (di alam nanti).”

 

Setelah Sang Buddha menjelaskan dengan panjang lebar kepada para hadirin dan Pangeran Jeta, mengenai kebodohan dari ketamakan dan ambisi jahat, dan Virudhaka setelahnya, sesuai dengan ramalan, jatuh ke dalam kondisi seseorang yang tersesat, seluruh hadirin pun berkeyakinan, dan dibawa pada pengetahuan kebenaran.

 

###

 

法句譬喻經放逸品第十 [Fǎ jù pì yù jīng fàng yì pǐn dì shí]  - 10. Tentang Kecerobohan (Kesemberonoan).

 

[1] Dahulu kala, terdapat lima ratus pedagang, yang, setelah melakukan perjalanan di pedalaman, kembali ke rumah mereka. Ketika melewati suatu jalur  tertentu yang dalam dan berbahaya hantu-hantu jahat membuat mereka bingung sehingga, karena tidak dapat menemukan jalan keluar, mereka pada akhirnya menjadi kelelahan karena kekurangan makanan dan terbaring (lemas) dan meninggal, meninggalkan harta benda mereka berserakan di pegunungan. Pada saat itu seorang Bhiksu tertentu, yang sedang mempraktekkan pertapaan di daerah itu, melihat barang-barang berharga tergeletak di sana, berpikir demikian dalam dirinya"Aku telah berlatih dalam pelepasan keduniawian selama tujuh tahun terakhir, dan gagal mencapai tujuanku. Aku akan membawa barang-barang berharga ini dan kembali lagi ke rumah." Kemudian Sang Buddha, yang menyadari kondisi Bhiksu ini, dan mengetahui bahwa ia akan mencapai pembebasan, memunculkan seorang Bhiksunī, dengan memakai hiasan kepala yang dihiasi permata. Ketika melihatnya, Bhiksu tersebut terkejut, dan berkata, "Bagaimana mungkin engkau, seorang Bhiksunī, berhias seperti ini?" Ia menjawab, “Tetapi bagaimana mungkin engkau, seorang Bhiksu, juga memiliki kekayaan dan permata, yang mana hal tersebut terlarang bagi seseorang sepertimu?”—Dan kemudian Bhiksunī itu menyatakan syair-syair berikut, dan berkata:

 

[10.1] “Seorang Bhiksu dengan tekun menaati aturan-aturan (sesuai panggilannya). Seseorang yang ceroboh dan lalai dalam hal-hal ini, mengumpulkan banyak dukacita. Ia yang dengan cermat memperhatikan hal-hal kecil, akan mencapai hasil yang besar; Ia yang mengumpulkan perbuatan jahat akan memasuki lubang api. Namun dengan menjaga Sila, maka kebahagiaannya akan meningkat, dan kegembiraan akan mengikutinya, karena dengan lalai menentangnya akan menyebabkan penyesalan dan kepahitan batin. Bhiksu yang mampu menyingkirkan semua sisa-sisa kemelekatan duniawi (tiga dunia), orang tersebut sungguh-sungguh dekat dengan Nirvāna.”

 

Kemudian Bhikshunī tersebut muncul kembali dalam wujud agung Sang Buddha, Bhiksu tersebut, dipenuhi dengan rasa terkejut dan ketakutan, bersujud di kaki-Nya, dan menyesali kecerobohan dan ketidak-tahuannya, bersumpah untuk memperbaiki hidupnya dan menjalankan tugasnya dengan penuh kehati-hatian. Atas hal ini, Sang Bhagavant segera melafalkan gāthā ini:

 

[10.2] “Walaupun seseorang mungkin sebelumnya ceroboh, namun jika setelahnya ia dapat mengatur dan menahan dirinya, orang ini akan menjadi penerang di (atau menerangi) dunia, dan semakin ia merenung semakin ia akan bertekad (untuk berpengendalian diri). Seseorang mungkin telah melakukan banyak kesalahan, namun jika ia memperbaiki dirinya dan menebus kejahatan dengan melakukan kebajikan, orang ini akan menjadi penerang di dunia, dan semakin ia merenung semakin bajiklah ia. Orang yang pada masa puncak hidupnya meninggalkan rumahnya dan dengan sempurna mengajari dirinya sendiri dalam Dharma Sang Buddha, orang ini bersinar di dunia seperti rembulan ketika ia muncul dari awan. Orang yang di masa lalunya telah berbuat kejahatan, namun setelahnya berhenti dalam pekerjaannya dan tidak melakukan kesalahan lagi—Orang itu bersinar di dunia seperti rembulan ketika ia muncul dari awan.”

 

Mendengar kalimat ini, Bhiksu itu kembali bersujud di kaki Sang Buddha, dan kembali ke tempat duduknya yang terasing di bawah sebatang pohon, berusaha keras untuk mempraktikkan pengendalian diri dan perenungan, dan demikianlah ia memulihkan landasan yang telah hilang, dan mencapai buah ke-Rahat-an.

 

###

 

法句譬喻經心意品第十一 [Fǎ jù pì yù jīng xīn yì pǐn dì shí yī] - 11. Pikiran (Cittavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha (masih) berdiam di dunia, terdapat seorang pertapa tertentu yang berdiam di bawah sebatang pohon di tepi suatu sungai. Setelah berlatih sendiri dalam latihan pertapaan selama dua belas tahun, ia masih belum dapat menyingkirkan pikiran-pikiran duniawi, atau untuk menghilangkan ingatan akan kenikmatan-kenikmatan duniawi—Yaitu, yang dihasilkan dari penglihatan, atau pendengaran, atau penciuman, atau pengecapan, atau sentuhan, atau pikiran tentang sifat-sifat dari fenomena-fenomena di sekelilingnya (dharma)—Dan demikianlah setelah dua belas tahun ini ia masih belum berkeyakinan. Sang Buddha, mengetahui kemampuan keyakinannya, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan datang ke pohon tempat ia duduk, dan menempati suatu tempat di dekat (pohon) lainnya. Setelah beberapa saat, ketika bulan sedang bersinar, lihatlah! Mereka melihat seekor kura-kura keluar dari sungai, dan datang ke arah pohon; Pada saat yang sama seekor anjing sungai yang lapar datang dan berusaha untuk menangkap kura-kura itu untuk memakannya. Namun sebelum ia menerkam, kura-kura (itu) memasukkan kepala, ekor, dan kakinya ke dalam cangkangnya, dalam keadaan aman, dan anjing itu tidak dapat menyakitinya. Namun begitu anjing itu pergi, kura-kura itu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan kembali seperti sebelumnya. Karena inilah pertapa itu memperhatikan ke arah Bhiksu—"Kura-kura ini, karena ia memiliki perlindungan yang aman (lit. 'sebuah tempurung keselamatan'), anjing itu menjadi kecewa dengan makanannya." Dan Bhiksu itu menjawab—"Aku teringat dengan seorang yang sangat berbeda dari hal ini. Orang ini, melupakan ketidak-kekalan dari hal-hal yang bersifat duniawi, dan bersenang dalam enam utas kenikmatan indria, dengan mudah menjadi korban Māra; Tubuhnya hancur, batinnya hilang, ia berputar lagi melalui kelahiran berulang yang tanpa akhir, seorang korban dari dukacita dan kesengsaraan yang disebabkan oleh pikirannya yang tidak terkendali; Dan kemudian Beliau menyatakan gāthā berikut:

 

[11.1] "Tubuhmu ini akan segera kembali ke tanah—Bentukmu hancur, batinmu pergi—Lalu mengapa, menginginkan tempat tinggal demikian? Pikiranlah yang membuat tempat tinggalnya sendiri; Sejak awal, pikiran yang memikirkan jalan kejahatan, pikiran sendiri yang menyebabkan dukacitanya sendiri. Tidak lain adalah pikiran yang membuat (dukacitanya) sendiri. Tidak seorang ayah atau ibu yang dapat berbuat begitu banyak; Jika saja pikirannya diarahkan pada hal yang benar, maka kebahagiaan pasti akan mengikutinya. Bersembunyi dari enam nafsu keinginan seperti kura-kura yang menyembunyikan anggota tubuhnya, menjaga pikirannya seperti sebuah kota yang dikelilingi oleh parit, maka orang bijaksana pasti akan menang dalam perjuangannya melawan Māra, dan membebaskan dirinya sendiri dari segala kesengsaraan di masa depan.”

 

Kemudian pertapa tersebut, setelah mendengar syair-syair ini, menyingkirkan segala nafsu keinginan, mencapai ke-Rahat-an, dan mengenali Sang Buddha dalam wujud seorang Bhiksu, ia bersujud di kaki Beliau; Dan semua Deva, Naga, dan Hantu, yang mengelilingi tempat itu, dipenuhi dengan kegembiraan yang tak terkatakan.

 

###

 

法句譬喻經華香品第十二 [Fǎ jù pì yù jīng huá xiāng pǐn dì shí èr]- 12. Bunga (Pupphavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat sebuah pulau kecil tertentu (gundukan, atau benteng, atau tempat pengamatan) di tenggara negara itu, di tengah lautan, yang di puncaknya terdapat sebatang pohon yang menghasilkan bunga-bunga harum yang indah.

Di tempat yang sama berdiam lima ratus wanita dari kasta Brahmana, yang sepenuhnya mengabdikan diri pada tugas-tugas duniawi mereka, tidak mengetahui bahwa terdapat seorang Buddha yang terlahir di dunia. Sekarang para wanita ini terbiasa berbincang bersama tentang ketidak-bahagiaan kondisi duniawi mereka, dan akibatnya mereka biasa pergi ke pohon yang berada di atas tempat tinggal mereka, dan memetik bunga-bunga serta mempersembahkannya kepada deva Brahmā, dengan harapan agar mereka dapat terhindar dari kekuatan Yama (raja kematian), dan terlahir di surga (alam Brahma). Sekarang Sang Buddha, yang memahami keadaan mereka, dan mengetahui bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berkeyakinan, secara tiba-tiba pergi bersama para pengikut-Nya ke tempat tinggal mereka, dan kemudian datang dan duduk di dekat mereka. Para wanita yang melihat pemandangan yang menakjubkan itu, menjadi terpesona, dan berseru, "Brahmā sendiri telah datang untuk mengabulkan harapan kita!" Namun sesosok deva tertentu menjawab mereka, dan berkata, "Ini bukanlah Brahmā, tetapi Sang Buddha, Sang Sugata, yang telah datang untuk menyelamatkan dunia." Karena hal itu para wanita bersujud dengan hormat, dan menyapa Sang Buddha dengan kata-kata ini—"Kami, memanglah, hanya seorang wanita, sangat tercemar, namun kami sangat menginginkan, di atas segalanya, untuk lolos dari kuasa deva Yama, dan untuk terlahir di surga tertinggi;" Kepada mereka Sang Buddha pun menjawab, "Semoga kalian, benar-benar, memperoleh keinginan kalian! Namun terdapat dua hal di dunia yang tidak dapat diubah—Bahwa perbuatan bajik mendatangkan kebahagiaan, dan perbuatan buruk mengakibatkan dukacita. Namun (tidak diketahui secara umum bahwa) kegembiraan surgawi seperti halnya penderitaan duniawi, keduanya harus dihindari. Lalu, siapakah, yang mampu memetik dan memiliki kegembiraan sejati dari pemadaman sempurna (pemadaman tanpa perbuatan)? Kalian sungguh memiliki pemahaman,  O para wanita!" Dan karena hal itu Beliau melafalkan gātha ini:

 

[12.1] “Siapakah yang mampu untuk memilih (menaklukkan?) bumi (yaitu, tempat kediamannya), untuk lolos dari Yama (kematian), dan meraih surga? Siapakah (yang mampu) mengulang syair-syair Dharma seperti seseorang yang memilih bunga-bunga pilihan (terbaik)? (Ia) Yang Tercerahkan memilih bumi, menghindari Yama (kematian), merebut surga, mengulang syair-syair Dharma dengan gemilang, mampu memetik bunga-bunga kebajikan. Mengetahui bahwa dunia ini seperti sebuah gundukan pasir, bahwa dunia ini tidak kekal seperti sebuah fatamorgana, ia memisahkan anak panah berbunga Māra, dan lolos dari lingkaran kelahiran dan kematian. Mempersepsikan tubuh sebagai sebuah gelembung, sebagai sebuah fatamorgana yang terbentuk sendiri, ia memisahkan untaian bunga Māra, dan lolos dari kelahiran dan kematian.”

 

Dan demikianlah 500 wanita itu pun berkeyakinan, dan, sebagai jawaban kepada Bhiksu Ānanda, Sang Buddha menjelaskan bagaimana wanita-wanita ini sebelumnya hidup di zaman Buddha Kāśyapa, dan karena pengabdian mereka kepada-Nya, kini mereka memiliki keberuntungan dalam kehidupan (mereka) di zaman Buddha Śākya, dan berkeyakinan kepada-Nya. Dan demikianlah pada kesempatan lainnya Sang Buddha melafalkan gātha-gātha ini:

 

[12.2] “Seperti halnya banyak jenis bunga yang dilemparkan dan tersebar, aromanya tersebar jauh dan luas, begitu luas pula reputasi dari jasa-jasa kebajikan yang terkumpul, ia yang begitu terlahir dan hidup seperti keinginannya. Aroma bunga Vassikī tidak bergerak melawan arah angin, namun (aroma) dari mereka yang hidup sesuai Dharma menyebar jauh dan luas—Reputasi orang yang bajik menyebar ke semua tempat. Aroma kayu Cendana dan Tagara, bunga Teratai dan Vassikī, walaupun nyata dan dapat dirasakan, tidaklah seperti aroma dari (ia yang berjalan sesuai dengan) Sila. Begitu rendah dan palsu dalam perbandingan, aroma bunga terlangka dengan reputasi orang yang berpegang teguh pada moralitas, yang kesempurnaan perilakunya menjulang ke surga. Ia yang hidup demikian dalam persetujuan yang sempurna dengan Sila, yang berjalan dengan hati-hati, dan yang dengan pikiran mantap telah memperoleh pembebasan, ia telah jauh melampaui jalan Māra.”

 

Dan pada kesempatan lain, ketika Sang Buddha berdiam di Gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, Beliau melafalkan gātha-gātha berikut:

 

[12.3] “Seperti halnya sebuah selokan di ladang, dekat dengan jalan raya, akan menumbuhkan bunga Lili di tengahnya, dan menyebarkan aromanya yang harum ke mana-mana, demikian pula di tengah kehidupan dan kematian (yaitu, fenomena dunia), di samping jalan spekulasi palsu (penyelidikan universal), orang bijaksana menyebarkan perasaan gembiranya dalam menjadi murid Sang Buddha.”

 

###

 

法句譬喻經愚闇品第十三 [Fǎ jù pì yù jīng yú àn pǐn dì shí sān] - 13. Orang Bodoh (Balavaggo).

[1] Pada suatu kesempatan tertentu, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat seorang Brahmana kaya tertentu, berusia delapan puluh tahun, yang telah membangun sebuah rumah besar untuk dirinya sendiri, karena ketidak-tahuannya akan ketidak-kekalan benda-benda duniawi, dengan harapan akan umur panjang. Sang Buddha mengirim Bhiksu Ānanda ke orang itu, dan mengetahui bahwa kematiannya sudah dekat, Beliau bertanya mengapa ia membangun sebuah rumah dengan begitu banyak kamar; Dan ketika orang tersebut memberikan alasannya, dan menjelaskan beberapa tujuan dari beberapa kamar, maka Sang Bhagavant menyatakan gāthā ini:

 

[13.1] “Aku mempunyai anak-anak dan kekayaan, begitulah yang terus dipikirkan oleh orang bodoh. Ia bahkan bukan tuannya sendiri (atau, [bagi] dirinya sendiri)—Lalu, apakah, artinya anak-anak dan uangnya? Jika panas, maka akan demikian; Jika dingin, maka akan demikian. Banyak kekhawatiran orang bodoh, namun ia tidak tahu apa-apa tentang perubahan di masa depan. Orang bodoh yang tidak mengetahui betapa besar kebodohannya namun mengaku berpengetahuan; Orang bodoh yang berkata ia bijaksana memanglah orang bodoh.”

 

Ketika Brahmana tua itu kembali ke kediamannya, tiba-tiba ia terjatuh dan mati karena benturan yang diterimanya saat ia berjalan, karena itulah Sang Buddha pergi ke tempat itu, dan demi kepentingan para Brahmana lainnya Beliau menyatakan syair berikut:

 

[13.2] “Orang bodoh, walaupun ia hidup bersama orang bijaksana, tidak memahami apa pun tentang Dharma Sejati, seperti sebuah sendok yang tidak merasakan rasa sup. Orang yang berakal, yang sering bergaul dengan para bijaksana, dalam sekejap akan mengetahui rahasia Dharma Sejati, seperti lidah yang merasakan rasa kaldu. Bahkan kedermawanan orang bodoh pun menimbulkan dukacita baginya; Apalagi perbuatan jahatnya! Perbuatan buruk yang dilakukannya menyebabkan penyesalan di alam nanti; Yang disertai dengan hasil berupa linangan air mata dan wajah yang sedih.”

 

Mendengar syair-syair ini para Brahmachārin menjadi berkeyakinan, dan menghormat kepada Sang Buddha, bangkit dan pergi.

Pada kesempatan lain, ketika seorang Pratyeka Buddha, bernama Kāla, memasuki Nirvāna, setelah menahan hinaan dari wanita tertentu saat ia berpindapatta, Sang Bhagavant mengucapkan syair berikut:

 

[13.3] "Orang bodoh dan pengikutnya yang melakukan kejahatan tidak mampu menyelamatkan diri mereka sendiri. Kemalangan mengikuti mereka dengan panas membara. Perbuatan jahat mereka harus berbuah, ketika telah berbuah, mereka dalam kehancuran total. Orang bodoh, ketika masih di dalam daging (lit. memiliki jasmani), tidak menyadari dukacita yang mengikutinya; Namun ketika ia tenggelam ke dalam alam penghancuran, barulah ia mengetahui kebodohannya sendiri.”

 

###

 

法句譬喻經明哲品第十四 [Fǎ jù pì yù jīng míng zhé pǐn dì shí sì] - 14. Orang Bijaksana (Panditavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmachārin yang baru berusia dua puluh tahun, yang, memiliki bakat cemerlang, dengan bodohnya berpikir bahwa ia tidak dapat diajari dalam hal seni atau keterampilan apa pun pada umumnya di dunia. Oleh karena itu, dalam perjalanannya, ia tiba di suatu negeri di mana ia melihat seorang pembuat anak panah sedang membuat anak-anak panah dan membentuk busurnya; Setelah melihatnya ia menjadi yakin akan ketidak-tahuannya dalam hal ini; Dan begitu juga di negeri lainnya, (ketika) melihat seseorang membangun sebuah kapal, ia pun menjadi yakin; Dan begitu pula ketika di tempat lain ia melihat seseorang membangun sebuah istana kerajaan. Setelah mempelajari semua seni ini, dan secara berturut-turut melewati enam belas negeri, ia kembali ke tempatnya sendiri, dan dengan sombongnya bertanya, "Siapakah di dunia ini yang lebih mengenal seni daripada diriku?" Sang Buddha menyadari kapasitasnya untuk berkeyakinan, mengubah dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan datang ke tempat di mana ia berdiam, dengan jubah-Nya yang tertata rapi, dan mangkuk derma-Nya di tangan-Nya, berdiri di hadapannya. "Dan siapakah Engkau?" Kata Brahmachārin. "Aku adalah Seseorang yang mampu mengendalikan tubuh-Nya," Jawab Bhiksu itu. “Dan apakah itu?” Bertanya kepada-Nya, dan Bhiksu itu pun menyatakan syair-syair berikut:

 

[14.1] “Pembuat panah mengukir dan mengatur tanduk yang dengannya busurnya dibuat; Nahkoda mengendalikan kapalnya; Arsitek memotong balok-baloknya; Orang bijaksana mengendalikan tubuhnya (dirinya sendiri). Karena, dengan perumpamaan, batu karang yang kokoh tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula orang bijaksana, yang pikirannya penuh perhatian, tidak gentar walaupun dipuji atau dicela: Seperti halnya suatu danau yang dalam (tidak mudah beriak namun tetap) tenang dan sunyi, demikian pula orang bijaksana mendengarkan Dharma (Sang Jalan), batinnya hening dan tenang.”

 

Bhiksu tersebut setelah menyatakan syair-syair ini, dengan kekuatan batin-Nya mengangkat diri-Nya sendiri ke udara, dan memperlihatkan tiga puluh dua Tanda Agung dari seorang Buddha, yang membuat sang Brahmachārin berkeyakinan, dan memperoleh buah ke-Rahat-an.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha berdiam di Śrāvastī, terdapat sebuah desa sekitar 500 Li jauhnya, yang dihuni oleh sekitar lima puluh atau enam puluh keluarga (Orang-orang pegunungan). Di antara mereka terdapat seorang pria tertentu yang miskin dan istrinya, yang telah melahirkan dua putera (kembar), sangat elok dipandang, dan dengan keanggunan yang tak tertandingi. Yang pertama mereka sebut "Anggun" (Tih), yang lainnya "Beruntung" (Fuh). Pada suatu hari sang ayah pulang dari pekerjaannya, dan berbaring di tempat tidurnya untuk beristirahat, sementara sang ibu masih berada di ladang. Kedua anak ini, yang saat itu baru berusia tujuh atau delapan minggu, (karena) tidak melihat ayah mereka, mulai saling mencela satu sama lain, karena mereka dilahirkan dalam keadaan seperti itu, dan harus bernasib buruk seperti yang mereka alami. Sang ayah, yang diliputi keheranan saat mendengar putera-puteranya berkata demikian, dan mengira bahwa mereka adalah setan dalam bentuk manusia, memutuskan untuk membunuh mereka dan membakar tubuh mereka. Karena itulah, ia pergi ke ladang guna mengumpulkan kayu bakar untuk tujuan tersebut, dan (setelah) bertemu dengan istrinya ia menceritakan segalanya kepadanya. Karena hal ini sang ibu, tergerak oleh kasih sayang, dan takut dalam mempercayai kebenaran hal tersebut, memohon penangguhan selama beberapa hari demi para puteranya. Keesokan harinya ia sendiri pergi ke luar rumah dan mendengarkan, Lihatlah! Ketika ia mendengarkan para puteranya saling mencela seperti sebelumnya. Karena itulah, dengan yakin bahwa mereka adalah setan dalam bentuk anak-anak, ia menyetujui tindakan yang biasa dilakukan dalam kasus seperti ini, bahwa mereka harus dibakar (antara "dibakar hidup-hidup," atau "dibunuh dan dibakar"). Pada saat itu Sang Buddha, mengetahui keadaan dari kasus tersebut, mengarahkan diri-Nya ke desa (tersebut), dan, dengan Agung dan Gemilang, menerangi tempat itu dan seluruh negeri di sekitarnya dengan cahaya kehadiran-Nya. Karena hal ini para penduduk desa, dan terutama kedua orang tua dari anak-anak itu, datang mendekat untuk menghormati-Nya. Ketika melihat kedua orang tua, dan mendengar cerita mereka tentang anak-anak tersebut, Sang Buddha tersenyum, dan dari mulutnya terpancar lima warna sinar yang bersinar di surga dan bumi, dan kemudian Beliau menceritakan masa lalu anak kembar itu, bagaimana mereka telah menjadi murid dari Sang Buddha Kāśyapa, dan berada di suatu Jalan yang benar untuk mencapai pembebasan sempurna, ketika mereka saling berdiskusi tentang doktrin-doktrin sesat mereka telah menghalangi pembebasan mereka, dan terus dilahirkan, pada suatu waktu dalam derajat yang tinggi, di waktu lainnya dalam kemiskinan, dan akhirnya sebagai anak kembar dari orang-orang miskin dihadapan-Nya; Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan gātha ini:

 

[14.2] “Seseorang yang Agung sepenuhnya terbebas dari ketamakan—Ia berdiam di suatu tempat yang terang dengan dirinya sendiri tercerahkan. Walaupun mungkin ia mengalami dukacita, ia bersukacita; Tanpa kesombongan, ia menunjukkan kebijaksanaannya. Orang bijaksana (Bhadra) tidak mempedulikan urusan duniawi; Ia tidak menginginkan kekayaan, anak, atau harta benda (tanah), selalu berhati-hati menjalankan Sila, dan berjalan di Jalan kebijaksanaan tertinggi, ia tidak mendambakan doktrin yang aneh (atau kekayaan atau kehormatan). Orang bijaksana, yang mengetahui karakteristik ketidak-stabilan, seperti halnya sebatang pohon di tengah pasir (menggunakan segala upaya) untuk mengubah temannya yang pikirannya tidak mantap, dan membawanya kembali dari ketidak-murnian menuju kebajikan (kemurnian).”

 

Ketika mendengarkan syair-syair ini, para putera mampu menjadi Śrāmaṇera ke dalam Samgha, dan kedua orang tua serta para penduduk desa lainnya memasuki Sang Jalan (Mencapai Srotāpanna).

 

###

 

法句譬喻經羅漢品第十五 [Fǎ jù pì yù jīng luó hàn pǐn dì shí wǔ] - 15. Rahat (Arahantavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama Na-lai (Nara), dekat dengan Laut Selatan, di mana penduduknya berpenghidupan dengan mencari mutiara dan menjual kayu cendana. Saat itu terdapat dua kakak beradik di negeri ini, yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia, mereka sepakat untuk berpisah dan mencari peruntungan masing-masing. Salah satu dari mereka memiliki seorang budak bernama Fun-na (Pūrna) yang sangat cerdas, yang melakukan perjalanan mencari petualangan yang menguntungkan bagi tuannya. Setelah memperoleh keuntungan besar dari penjualan kayu cendana berbentuk kepala lembu, ia datang ke Śrāvastī, dan setelah bertemu dengan Sang Buddha, ia berkeyakinan dan menjadi seorang Rahat. Kemudian ia kembali ke bangsanya sendiri, dan memperlihatkan kepada mereka kemampuan batin yang dimilikinya—Yaitu, terbang ke udara, dan menyebabkan air dan api keluar dari tubuhnya—Ia menuntun banyak dari mereka untuk menjadi murid, dan pada akhirnya, atas permintaan mereka yang mendesak, Sang Buddha sendiri datang untuk meyakinkan Raja, yang pada kesempatan itu Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:

 

[15.1] “Pikirannya telah tenang, ucapan dan perbuatannya juga tenang; Terbebaskan dengan kebenaran, dalam kedamaian sempurna ia kembali ke (atau menemukan perlindungan di dalam) Nirvāna. Terbebas dari nafsu keinginan, tanpa belenggu, terbebas dari rintangan dunia (tiga dunia), semua pikiran penyenangan diri telah sirna, orang ini dengan benar disebut (yang) Unggul. Baik di desa terpencil atau di hutan belantara, di tanah datar atau tepian sungai yang tinggi, di mana pun orang-orang seperti itu berdiam pasti terdapat kesenangan. Mereka telah menemukan kesenangan mereka di hutan belantara, di mana orang-orang tidak menemukannya; Dengan tanpa nafsu mereka bersukacita, tidak memiliki dasar yang tersisa untuk mencari kesenangan inderawi.”

 

###

 

法句譬喻經述千品第十六 [Fǎ jù pì yù jīng shù qiān pǐn dì shí liù] - 16. Ribuan (Sahassavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat seorang Bhiksu tua bernama Pan-teh-san (Patisena?) yang karena sifatnya yang pemarah dan lamban, tidak dapat menghafal satu Gāthā pun dengan pikirannya. Karena itulah Sang Buddha memerintahkan 500 Rahat setiap hari untuk menginstruksikannya, tetapi setelah tiga tahun ia masih tidak dapat mengingat bahkan sebuah Gāthā. Kemudian semua orang di negeri itu (empat kelompok masyarakat) mengetahui ketidak-tahuannya, mulai mengejeknya, karena hal ini Sang Buddha, merasa kasihan padanya, memanggilnya ke sisi-Nya, dan dengan lembut mengulangi syair berikut:

 

[16.1] "Ia yang menjaga mulutnya, dan menahan pikirannya, ia yang tidak menyinggung dengan tubuhnya, orang yang bertindak demikian akan memperoleh pembebasan."

 

Kemudian Patisena, yang tergerak oleh belas kasihan Sang Guru kepadanya, merasakan pikirannya terbuka, dan dengan segera ia mengulangi syair tersebut. Sang Buddha kemudian menasehatinya lebih lanjut—"Engkau sekarang, seorang yang tua, hanya dapat mengulang satu syair saja, dan orang-orang mengetahui hal ini, dan mereka akan tetap mengejekmu, oleh karena itu sekarang Aku akan menjelaskan makna dari syair tersebut kepadamu, dan dengarkanlah dengan penuh perhatian."

 

Kemudian Sang Buddha menyatakan tiga sebab sehubungan dengan tubuh, empat sebab sehubungan dengan ucapan, dan tiga sebab yang sehubungan dengan pikiran, yang dengan menghancurkannya seseorang dapat memperoleh pembebasan, karena hal ini Bhiksu tersebut, yang sepenuhnya merealisasikan kebenaran yang dijelaskan demikian, memperoleh kondisi seorang Rahat.

 

Sekarang, pada saat itu terdapat 500 Bhiksunī yang berdiam di Vihāra mereka, yang mengirim seseorang dari mereka kepada Sang Buddha untuk meminta Beliau mengirimkan seorang Bhiksu untuk menginstruksikan mereka tentang Dharma, sehubungan dengan hal itu Sang Buddha menginginkan Bhiksu tua Patisena untuk menemui mereka demi tujuan ini. Mendengar bahwa rencana ini telah dibuat, semua Bhiksunī mulai tertawa bersama, dan sepakat pada hari esoknya, ketika ia datang, untuk mengucapkan Gāthā secara salah (terbalik), dan dengan demikian membingungkan Bhiksu tua itu dan membuatnya malu. Kemudian pada hari berikutnya ketika ia datang, semua Bhiksunī, senior dan junior, keluar untuk memberi hormat kepadanya, dan ketika mereka melakukannya, mereka saling memandang dan tersenyum. Kemudian sambil duduk, mereka menawarkan makanan kepadanya. Setelah makan dan mencuci tangannya, mereka kemudian memohon kepadanya untuk memulai khotbahnya. Setelah itu Bhiksu tua itu naik ke tempat duduk yang tinggi, dan sambil duduk, memulai khotbahnya: “Para Arya! Bakatku sangatlah kecil, pengetahuanku sangat sedikit. Aku hanya tahu satu Gāthā, tetapi aku akan mengulanginya dan menjelaskan artinya. Dengarkanlah dengan penuh perhatian dan pahamilah.” Kemudian semua Bhiksunī muda mulai mencoba mengucapkan Gāthā tersebut secara terbalik; Namun lihatlah! Mereka tidak dapat membuka mulut mereka; Dan dipenuhi dengan rasa malu, mereka menundukkan kepala mereka dalam dukacita. Kemudian Patisena setelah mengulangi Gāthā tersebut, mulai menjelaskannya, kata demi kata, seperti yang telah diajarkan Sang Buddha kepadanya. Kemudian semua Bhiksunī yang mendengar kata-katanya, dipenuhi dengan kekaguman, dan bersukacita mendengar instruksi tersebut, dengan sepenuh hati mereka menerimanya, dan mereka menjadi Rahat.

 

Keesokan harinya Raja Prasenajit mengundang Sang Buddha beserta seluruh Bhiksu Samgha untuk berkumpul di istananya (dan menikmati jamuan makan). Karena itulah Sang Buddha yang mengetahui keadaan Patisena yang agung dan layak dihormati, berkeinginan agar ia membawa mangkuk derma-Nya dan mengikuti-Nya saat Beliau pergi. Namun, ketika mereka tiba di gerbang istana, penjaga pintu, yang mengetahui karakternya (di masa lalu), tidak mengizinkannya masuk ke aula pertemuan; Karena "Kami tidak memiliki jamuan," katanya, "Bagi seorang Bhiksu yang hanya mengetahui satu Gāthā; Tidak ada tempat bagi orang biasa sepertimu—Berikanlah tempat untuk mereka yang lebih baik dan pergilah." Patisena pun duduk di luar pintu.

 

Sang Buddha saat itu telah naik ke mimbar, setelah mencuci tangannya, lihatlah! Lengan Patisena, dengan mangkuk derma di tangannya, memasuki ruangan. Kemudian Raja, para menteri, dan seluruh kumpulan, melihat pemandangan ini, dipenuhi dengan kekaguman, dan berkata—"Ah! Lengan siapakah ini?" Sang Buddha menjawab, “Itu adalah tangan Patisena, Sang Bhiksu. Ia baru saja memperoleh pencerahan, dan Aku ingin agar ia untuk membawakan mangkuk derma-Ku di belakang-Ku; Tetapi penjaga pintu menolaknya, sehingga lengannya muncul dengan mangkuk derma-Ku di tangannya.” Atas hal ini, ia diterima dan memasuki perkumpulan. Kemudian Raja Prasenajit, menatap kearah Sang Buddha, dan berkata—“Aku mendengar bahwa Patisena ini adalah orang yang tidak cakap, dan hanya mengetahui satu Gāthā saja, lalu, bagaimana ia memperoleh kebijaksanaan tertinggi?” Sang Buddha menjawab—“Mempelajari (Dharma) tidak perlu banyak, perilaku adalah hal yang utama. Patisena ini telah menerima kebajikan rahasia dari kata-kata satu Gāthā ini untuk memasuki batinnya; Tubuh, ucapan, dan pikirannya telah memperoleh ketenangan yang sempurna; Karena walaupun seseorang mengetahui begitu banyak, jika pengetahuannya tidak menjangkau kehidupannya, untuk membebaskannya dari kekuatan yang mengarah pada kehancuran, apakah manfaat semua pembelajarannya?” dan kemudian Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:

 

[16.2] “Walaupun seseorang dapat mengulang seribu (bagian) syair, namun tidak memahami makna dari syair yang diulanginya, hal ini tidaklah sama dengan mengulang satu kalimat yang dipahami dengan baik, yang mampu mengendalikan pikiran saat didengar. Dalam mengulang seribu kata tanpa memahami, apakah keuntungan yang terdapat di sana? Namun dalam memahami satu kebenaran, dan mendengarkannya demi bertindak sesuai (dengan kebenaran itu), adalah untuk menemukan pembebasan. Seseorang mungkin dapat mengulang banyak kitab, tetapi jika ia tidak dapat menjelaskannya, apakah keuntungnan yang terdapat di sana? Namun dalam menjelaskan satu kalimat Dharma, dan berjalan sesuai (dengan Dharma itu), inilah cara untuk menemukan kebijaksanaan tertinggi (untuk menjadi seorang Rahat).”

 

Mendengar syair-syair ini, dua ratus Bhiksu memperoleh pembebasan, dan Raja beserta para menterinya dipenuhi dengan kegembiraan.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di kota Śrāvastī, untuk membabarkan Dharma-Nya, terdapat seorang Brahmana kaya tertentu dari negeri itu yang bernama Yamata, yang biasa meminta semua Brahmana di lingkungan itu, lebih dari 5.000 orang, untuk berbagi dalam jamuannya, dan menerima hadiah berupa ternak, budak, pakaian, uang, dll., di pertengahan setiap lima tahun. Pada kesempatan ini, setelah menerima hadiah-hadiah ini, dan ikut serta dalam berbagai pengorbanan, mereka datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dengan perasaan yang begitu gembira dan sangat bangga. Sehubungan dengan hal ini, Sang Buddha, setelah menegur mereka atas kebodohan mereka, menyatakan syair-syair berikut:—

 

[16.3] “Jika seseorang setiap bulannya mengulang seribu pengorbanan, dan terus menerus ia membuat persembahan tubuh tanpa henti, hal ini tidak setara dengan perilaku seseorang yang hanya sesaat, dengan perhatian penuh (yih sin, ekachittam), memusatkan pikirannya kepada Dharma. Kebahagiaan akibat dari satu momen perenungan yang mendalam melebihi (kebahagiaan yang dihasilkan dari) pengorbanan tubuh (dari korban yang tak terhitung banyaknya). Walaupun seseorang selama seratus tahun memuja dan mempersembahkan korban kepada Deva Api, hasilnya tidak setara dengan seseorang yang sesaat memberikan penghormatan kepada Triratna; Kebahagiaan akibat dari suatu tindakan penghormatan demikian melampaui yang dihasilkan dari seluruh hal (yang dilakukan selama) seratus tahun tersebut.”

 

Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant lebih jauh menasehati Yamata dengan khotbah berikut:—

 

“Terdapat empat macam persembahan pemberian. “Apakah empat itu? Pertama, ketika pemberiannya besar, dan hasilnya kecil; Kedua, ketika pemberiannya kecil, dan hasilnya besar; Ketiga, ketika pemberiannya besar, dan hasilnya besar; Keempat, ketika pemberiannya kecil, dan hasilnya juga kecil. Dan sekarang, sehubungan dengan jenis pertama, kapankah suatu pemberian besar, dan hasilnya kecil? Dalam kasus orang bodoh dan terdelusi yang menghilangkan kehidupan demi tujuan mempersembahkan korban kepada para deva, disertai dengan meminum anggur, bernyanyi, menari, dan pemberian kekayaan. Di sini pemberiannya adalah besar, tetapi hasilnya sungguh kecil. Sehubungan kasus ketika pemberiannya kecil dan hasilnya kecil, hal ini terjadi ketika, karena ketamakan dan pikiran yang jahat, persembahan yang diberikan kepada yang terpelajar (atau orang suci) adalah kecil dan terbatas; Dalam kasus demikian hasilnya juga terbatas. Dan kapankah persembahan, walaupun kecil, memberikan hasil yang besar? Dalam kasus ketika, berdasarkan satu prinsip cinta kasih, seseorang memberikan kepada seseorang yang bajik (atau orang suci) pemberian kecil yang dimilikinya, dengan keinginan untuk belajar darinya prinsip-prinsip kebijaksanaan sejati, orang ini menuai hasil yang besar. Dan terakhir, kasus suatu pemberian besar yang menjamin hasil yang besar, seperti dalam kasus seseorang yang, menyadari kesia-siaan segala hal duniawi, karena kebaikan hati memberikan kekayaannya untuk mendirikan Vihara, atau untuk membeli tanah untuk buah-buahan, yang dengannya ia dapat memberikan persembahan kepada Triratna, atau yang memberikan jubah dan kebutuhan lainnya untuk tujuan yang sama ini, jasa kebajikannya, seperti air dari lima sungai yang mengalir ke samudera, tidak terukur, hasilnya kembali kepadanya sendiri berlipat ganda, seperti hasil dari benih yang ditabur oleh petani di tanah yang telah dipersiapkan untuk bertani.”

 

Yamata dan yang lainnya setelah mendengarkan khotbah ini, dipenuhi dengan kegembiraan, sementara para Deva dan Yaksa dapat memasuki tingkat kesucian pertama. Lima ribu Brahmachārin menjadi murid, sementara Yamata dan para perumah tangga lainnya menerima lima sila, dan Raja, para menteri, dan yang lainnya, berlindung dalam Trisarana, dan menjadi murid awam, dan memperoleh mata Dharma (Srotapatti magga).

 

[3] Dahulu kala terdapat seorang tertentu yang tidak bermoral yang berdiam di Rājagriha, yang tidak menghormati orang tuanya atau memberi hormat kepada atasannya, namun selalu melakukan pengorbanan dan pemujaan kepada matahari, bulan, dan api suci ketika ia berbuat salah, berharap dengan hal itu (ia) memperoleh jasa kebajikan, dan merasa bahagia dalam dirinya; Tetapi meskipun semua latihan jasmaninya, dalam pemujaan dan persembahan, ia tidak menemukan kedamaian, bahkan setelah tiga tahun ketekunan yang tanpa henti. Pada akhirnya ia memutuskan pergi ke Śrāvastī untuk bertanya kepada Sang Buddha. Sesampainya di sana, dan melihat keagungan-Nya, ia bersujud di kaki-Nya, dan menanyakan kabar-Nya. Kemudian Sang Buddha menjelaskan kebodohan atas pengorbanan hewan, dan tanpa manfaat atas segala latihan seperti itu di mana batinnya tidak tersentuh, dan tidak ada penghormatan kepada orang tua atau perilaku berbakti kepada mereka yang pantas menerimanya; Dan sebagai penutup Beliau menyatakan Gāthā ini:—

 

[16.4] “Dalam berkorban kepada Deva agar menemukan kedamaian (kebajikan), atau, setelah kehidupan ini mengharapkan hasil kebajikan, kebahagiaannya tidak setara dengan seperempat dari kebahagiaan seseorang yang memberi penghormatan kepada orang baik. Ia yang selalu berniat pada perilaku bajik dan menghormat kepada orang lain, yang selalu menghormati usia tua, akibatnya empat kebahagiaan semakin menyertai orang itu—Paras bagus dan kekuatan, serta usia panjang dan kedamaian.”

 

Mendengar syair-syair ini orang itu dipenuhi dengan kegembiraan, dan meminta izin untuk menjadi seorang murid, dan setelah beberapa saat mencapai kondisi seorang Rahat.

 

###

 

法句譬喻經惡行品第十七 [Fǎ jù pì yù jīng è xíng pǐn dì shí qī] - 17. Perilaku Jahat (Pāpavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha berdiam di Rājagriha, Beliau mengirim seorang Rahat bernama Sumanta (Su-man-teh) ke negeri Ki-pin (Cophen, yaitu, Gandhāra) dengan beberapa relik pribadi-Nya (Rambut dan kuku) untuk sebuah menara Cetya (yaitu, Cetya yang terdapat menara relik atau stupa) di Pegunungan Selatan, di mana 500 Rahat terus-menerus berdiam (di sana), dan setiap pagi dan sore membakar dupa dan melakukan pemujaan. Pada saat ini di pegunungan yang sama terdapat 500 monyet, yang setelah melihat para Bhiksu ini melakukan puja, segera terjadi kesepakatan di antara mereka sendiri untuk mendirikan sebuah menara relik dari batu dan kayu di sisi sungai yang dalam di dekatnya untuk menghormati Sang Buddha. Mereka melakukannya, dan di atasnya menempatkan tiang penyangga (Tee) dengan umbul-umbul dan bendera. Di sini mereka datang untuk melakukan Puja setiap pagi dan sore, bahkan seperti yang dilakukan para Bhiksu dari Vihāra tetangga. Pada saat itu, karena sungai yang tiba-tiba meluap, monyet-monyet itu terbawa oleh arus deras, dan karena tidak dapat melarikan diri mereka pun tenggelam. Akan tetapi, karena akibat dari perbuatan baik mereka, mereka terlahir sebagai para Deva di Surga Trayastriñśas, di mana mereka memiliki istana, pakaian, dan makanan sesuai dengan kehidupan baru mereka. Ketika merenungkan kehidupan mereka sebelumnya, mereka melihat bahwa mereka adalah monyet-monyet yang tenggelam di lembah itu, dan karena hal itu, mereka turun ke bumi, dan mengumpulkan kayu harum dan keperluan lainnya, mereka membuat api pemakaman untuk mengkremasi 500 jenazah. Setelah diperhatikan oleh beberapa Brahmana sesat yang menetap di lingkungan itu, mempraktikkan pertapaan mereka, dan setelah ditanya oleh mereka tentang alasan perilaku mereka, mereka menjelaskan seluruh kisahnya, akibatnya para Brahmana itu terdorong untuk pergi menemui Sang Buddha guna mempelajari Dharma-Nya—Bersama dengan para Deva. Sesampainya di sana, Sang Buddha menjelaskan bahwa 500 monyet yang tenggelam dan terlahir kembali di Surga, pada kelahiran sebelumnya adalah para Brahmana yang menganut ajaran sesat, yang telah mengejek, dan menertawakan perilaku seorang Bhiksu, yang berdiam di pegunungan yang sama, dan karena aktivitasnya dalam menaiki dan menuruni tebing saat membangun sebuah menara suci, mereka mengejeknya "Kaki Monyet." Karena itulah mereka telah terlahir sebagai 500 monyet; Namun karena perbuatan baik mereka dalam mendirikan menara kecil di tepi sungai, mereka sekarang telah terlahir sebagai Deva. Dan kemudian Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:

 

[17.1] “Menertawakan dan mengejek orang lain adalah perilaku yang salah; Ia yang telah melakukan hal demikian pasti akan menerima banyak air mata sebagai akibatnya, sesuai dengan kesalahan atau kejengkelan (yang ditimbulkan) atas perilakunya.”

 

Karena hal ini 500 Deva bersujud dalam penghormatan, dan 500 Brahmana, setelah berkeyakinan, menjadi para Rahat.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihara Jetavana di kota Śrāvastī, membabarkan (Dharma) demi manfaat bagi para Deva dan manusia, Pangeran Koli setelah memenjarakan ayahnya dan membunuh kakak laki-lakinya, pewaris takhta, menyatakan dirinya sendiri sebagai Raja, dan meresmikan pemerintahannya dengan membunuh ribuan orang Śākya. Pada saat itu, Sang Bhagavant, berbicara kepada Mugalin, dengan berkata:

 

[17.2] “Tidak di celah alam surga, tidak di kedalaman samudera, tidak dengan memasuki celah-celah pegunungan yang berbatu, tidak di tempat-tempat ini seseorang dapat dengan cara apa pun lolos dari takdirnya, akibat dari kejahatan yang telah dilakukannya. Semua orang dapat mengalami dukacita dan kesakitan; Tidak ada yang dapat lolos dari usia tua dan kematian. Hanya orang bermoral yang memiliki kebijaksanaan; Orang yang tidak menyerah pada menyibukkan pikiran (tentang kehidupan), baginya tidak ada kejahatan.”

 

Sebagai akibat dari syair ini, banyak orang yang mendengarnya dapat memasuki Sang Jalan.

 

###

 

法句譬喻經刀仗品第十八 [Fǎ jù pì yù jīng dāo zhàng pǐn dì shí bā] - 18. Hukuman (Daṇḍavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama Kin-tai (Gandhāra?), di mana tinggal seorang Bhiksu tua yang terjangkit penyakit yang sangat menjijikkan, menyebabkannya mengotori setiap tempat yang ditempatinya. Karena ia berada di sebuah Vihāra milik tempat itu, tidak ada seorang pun yang mau mendekatinya atau menolongnya dalam kesusahannya. Atas hal itu Sang Buddha datang bersama 500 pengikutnya, dan setelah memperoleh segala macam alat-alat yang diperlukan serta air hangat, mereka bersama-sama mengunjungi tempat di mana Bhiksu tua itu terbaring. Bau di tempat itu sangat tidak sedap sehingga semua Bhiksu merasa jijik terhadap Bhiksu tua itu: Namun Sang Bhagavant memerintahkan Deva Śakra untuk membawakan air hangat, kemudian dengan tangan-Nya sendiri (tangan berlian) mulai memandikan tubuh Bhiksu itu dan merawat penyakitnya. Kemudian bumi berguncang, dan seluruh tempat itu dipenuhi dengan cahaya surgawi, sehingga Raja beserta para menterinya, dan seluruh penghuni surga (Para Deva, Nāga, dsb.) berbondong-bondong ke tempat itu, dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah melakukannya, mereka semua menghadap Sang Buddha, dan bertanya bagaimana Seseorang Yang Begitu Agung dapat merendahkan Dirinya pada pekerjaan-pekerjaan seperti ini, dan Sang Buddha menjelaskan hal tersebut demikian:

 

“Tujuan Tathāgata datang ke dunia adalah untuk berteman dengan orang-orang miskin, tak berdaya, dan tak terlindungi—Untuk merawat mereka yang terjangkit penyakit fisik, apakah mereka Bhisku maupun mereka yang berasal dari ajaran lain (Tao-sse)—Untuk membantu orang miskin, yatim piatu, dan lansia—Dan dengan melakukan hal demikian, dan membujuk orang lain untuk melakukannya, jasa kebajikan yang dihasilkan-Nya begitu besar sehingga semua sumpah sebelum-Nya terpenuhi, dan Beliau mencapai tujuan besar dari semua kehidupan, seperti halnya lima sungai ketika mereka menghilang di samudera.”

 

Raja kemudian bertanya tentang kondisi sebelumnya dari Bhiksu tua ini, dan mengapa ia dilahirkan dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Sang Buddha menjawabnya:

 

“Dahulu kala terdapat seorang raja yang dijuluki 'Perilaku Buruk' (Pāpakamma?), yang memerintah rakyatnya dengan tirani dan penindasan. Ia pernah mengirim para perwiranya untuk menindas orang-orang, dan dengan cambukan yang kejam untuk memeras mereka segalanya yang bisa mereka dapatkan. Terdapat seorang Pria Terhormat tertentu yang akan dicambuk, ketika Ia memohon belas kasihan karena Ia adalah seorang murid Sang Buddha. Atas permintaan itu, petugas itu mencambuknya dengan ringan; Tetapi, walaupun demikian, karena perbuatan jahatnya ia kemudian terlahir di neraka, dan berulang kali sebagai seekor binatang, dan akhirnya sebagai seorang manusia, namun selalu sakit keras. Pada saat itu sang Raja adalah Devadatta, sang algojo adalah Bhiksu yang sakit ini, dan Pria Terhormat itu adalah Aku sendiri; Tetapi karena Aku adalah orang yang memohon belas kasihan, tugas-Ku sekarang adalah membantu orang malang ini, karena ia telah mengasihani-Ku.”

 

Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:—

 

[18.1] “Ia yang menimbulkan kesakitan pada yang lembut dan baik, atau dengan kebohongan menuduh (ia) yang tidak bersalah, orang ini akan mewarisi salah satu dari sepuluh malapetaka ini—Entah kunjungan langsung dari Surga (Dengan api, angin, atau air); Atau, jika terlahir kembali, suatu tubuh yang cacat dan sakit; Atau beberapa kebakaran yang spontan, atau kehilangan akal sehat, atau beberapa tuduhan palsu, atau beberapa kesulitan dari pemerintah, atau hilangnya harta kekayaan secara bertahap, atau pengasingan dari kerabat, atau kerusakan harta (berupa tanaman atau biji-bijian) oleh api atau petir; Dan ketika meninggal, terlahir di neraka. Inilah sepuluh malapetaka itu.”

 

Bhiksu yang sakit itu mendengar syair-syair ini, menjadi yakin akan keburukannya, berbalik kepada Sang Buddha dan memberi hormat kepada-Nya, yang membuatnya mencapai kondisi seorang Rahat; Dan Raja juga bersama para pengikutnya, dipenuhi dengan kegembiraan, mengambil lima Sila, dan memasuki Sang Jalan.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di Śrāvastī, dan membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para deva dan manusia, di sebuah negeri di sebelah timur, yang disebut Uttaravati, terdapat sekelompok 500 Brahmana, yang telah sepakat untuk pergi bersama ke kediaman seorang petapa Nirgrantha tertentu di tepi Sungai Gangga, yang, dengan mengotori dirinya dengan tanah, dll., beraspirasi untuk mencapai kondisi seorang Rishi. Dalam perjalanan mereka, mereka kehausan di padang pasir. Melihat sebatang pohon, dan berharap menemukan peradaban manusia di dekatnya, mereka bergegas ke sana, namun ketika tiba di sana mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan; Di sana, mereka berteriak dalam ratapan. Tiba-tiba dari pohon itu mereka mendengar suara Yaksa Penunggu (pohon), yang bertanya kepada mereka mengapa mereka meratap seperti itu, dan setelah mendengar alasannya, (ia) memberi mereka minuman dan daging sampai kenyang. Para Brahmana, yang siap untuk melanjutkan perjalanan, bertanya kepada Yaksa tersebut tentang kehidupan lampaunya, sehingga ia terlahir demikian; Dan Yaksa itu menjelaskan bahwa setelah pergi ke Samgha Bhiksu di Śrāvastī ketika Sudatta mempersembahkan taman itu kepada Sang Buddha, ia tetap di sana sepanjang malam mendengarkan Dharma, dan setelah mengisi gelas minumnya dengan air selama perjalanan, ia memberikannya sebagai derma di antara para Bhiksu. Ketika ia kembali keesokan paginya, istrinya dengan marah bertanya kepadanya tentang gangguan apa yang telah ia terima sehingga ia harus pergi sepanjang malam. Ia menjawab bahwa ia tidak terganggu, tetapi ia telah mendengarkan khotbah Sang Buddha di Jetavana. Karena itulah istrinya mulai memaki Sang Buddha, dan berkata, "Gotama ini hanyalah seorang pembabar yang gila, yang menipu orang-orang," dan seterusnya. Sehubungan dengan hal ini aku tidak membenci pernyataannya, tetapi malah menurutinya, dan ketika aku meninggal dunia, aku terlahir sebagai sesosok Yaksa, tetapi karena kepengecutanku, aku terkurung di pohon ini; Dan kemudian ia menyatakan syair-syair berikut:—

 

[18.2] “Pengorbanan dan pelayanan demikian merupakan sumber dukacita—Siang dan malam merupakan beban dan kecemasan yang terus-menerus; Untuk terbebas dari dukacita, dan menghancurkan unsur-unsur tubuh, seseorang harus memperhatikan Dharma (Sang Buddha), dan mencapai pembebasan dari semua Aturan Ajaran duniawi (para Rishi dunia).”

 

Setelah mendengar kata-kata ini, para Brahmana memutuskan untuk pergi ke Śrāvastī, ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan setelah menjelaskan tujuan kunjungan mereka, Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut:—

 

[18.3] “Walaupun seseorang berjalan telanjang dengan rambut kusut, atau walaupun ia mengenakan beberapa helai daun atau jubah kulit pohon, walaupun ia menutupi dirinya dengan tanah dan tidur di atas batu, apalah gunanya hal ini untuk menyingkirkan pikiran-pikiran yang tidak murni? Tetapi ia yang tidak berkelahi atau membunuh, atau menghancurkan dengan api, yang tidak mengharapkan kemenangan, yang tergerak oleh niat baik terhadap seluruh dunia. Tidak ada dasar dalam kasus demikian untuk niat buruk atau kebencian.”

 

Mendengar kata-kata tersebut para Brahmana pun berkeyakinan dan menjadi Bhiksu.

 

###

 

Buku Kedua Selesai.

 

###

 

Buku Ketiga – Bab 19 – 29.

 

◎喻老耄品第十九 [Yù lǎo mào pǐn dì shí jiǔ] - 19. Usia Tua (Jaravaggo).

[1] Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di Śrāvastī. Setelah makan, ia mulai membabarkan Dharma tentang Nirvana demi manfaat bagi para Deva dan manusia, di hadapan Raja dan para menterinya. Pada saat itu terdapat tujuh orang, para Brahmana, yang datang dari jauh, dan setelah bersujud di kaki Sang Bhagavant, memohon agar Beliau mengizinkan mereka berdiam di dekatnya, dan mendengarkan instruksi-Nya. Setelah mendapatkan izin, mereka diberi kamar atas sebagai tempat berdiam mereka. Setelah beristirahat di sana, mereka mulai berbicara bersama dan tertawa keras. Mendengar ini, Sang Buddha mendatangi mereka, dan mengatakan syair-syair ini:

 

[19.1] “Apalah (waktu untuk) bergembira, apalah (waktu untuk) tertawa, mengingat (api) yang selalu terbakar. (Dunia) yang gelap dan suram ini tentunya tidak cocok bagi seseorang untuk mencari keamanan dan penenangan. Lihatlah tubuh ini dalam penampilannya; Apakah yang dapat diandalkan sebagai tempat penenangan, yang dipenuhi oleh pikiran-pikiran yang amat sesak, yang rentan terhadap segala penyakit. Oh! Bagaimana mungkin orang-orang tidak menyadari penampilan palsunya? Ketika tua, maka keindahannya memudar; Dalam penyakit, betapa pucat dan kurusnya—Kulit menjadi keriput, daging menjadi kering, kematian dan kehidupan keduanya menyatu. Dan ketika tubuh (ini) mati, dan kesadaran memudar, seperti halnya ketika seorang bangsawan menolak sebuah kereta perang (yang rusak), demikianlah daging dan tulang pun berserakan dan tercerai-berai. Jadi, apakah yang dapat diandalkan seseorang dari tubuh?”

 

Mendengar kata-kata ini, para Brahmana tersadar dan penuh perhatian, dan akhirnya mencapai kondisi para Rahat.”

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di Śrāvastī, membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva dan manusia, pada saat itu terdapat sebuah desa Brahmana, terdiri dari sekitar lima ratus keluarga atau lebih, yang juga memiliki lima ratus siswa Brahmana muda yang berlatih dalam pengetahuan rahasia kasta mereka, dan penuh dengan penghinaan terhadap seluruh orang lain, tanpa rasa hormat kepada usia tua ataupun kedudukan yang lebih tinggi. Sekarang kelima ratus pemuda ini, yang membanggakan kemampuan mereka dalam menyelidiki kebenaran, berkata demikian: “Adapun Bhiksu Gotama ini, Ia hanya menyebut Dirinya sendiri sebagai Sang Buddha; Bakat-Nya tidak seberapa dibandingkan dengan kita; Kita harus menantang-Nya untuk datang ke sini dan berdebat dengan kita.” Sehubungan dengan hal itu, mereka mengirim seseorang untuk menantang-Nya; Dan demikianlah Sang Buddha, bersama semua siswa-Nya, datang ke tempat itu, dan setelah duduk di samping air yang mengalir, mereka memakan makanan mereka dan mencuci tangan mereka. Pada saat itu seorang Brahmana tua dan istrinya berjalan melewati desa, meminta makanan mereka. Sang Buddha, mengetahui bahwa dulunya orang tua ini sangat kaya, dan salah satu menteri utama kerajaan, ia segera menoleh ke para Brahmana muda, dan bertanya kepada mereka apakah mereka tahu siapakah orang tua ini? Mereka semua menjawab bersama-sama, "Kami tahu dengan pasti." Dan kemudian Sang Buddha bertanya lagi, "Dan siapakah ia?" Mereka berkata, "Ia dulunya seorang menteri besar, dan sangat kaya." "Lalu bagaimana (Sang Buddha bertanya) ia sekarang mengemis untuk makanannya?" Kemudian mereka jawab, "Karena ia tidak menjaga uangnya, dan dengan bodoh menggunakannya, ia sekarang miskin." Kemudian Sang Buddha berkata, "Para Brahmana! Terdapat empat hal di dunia yang sulit dilakukan; Mereka yang dapat melakukannya pasti akan memperoleh banyak kebahagiaan (Jasa kebajikan), dan terbebas dari kemiskinan. Dan apakah empat itu? Pertama, ketika di puncak kemudaan janganlah meremehkan; Kedua, ketika bertambahnya usia tinggalkan pikiran tentang kesenangan (kesenangan indria); Ketiga, ketika kaya, selalu ingatlah dalam kedermawanan; Keempat, dengan penuh hormat berikanlah perhatian terhadap kata-kata seorang guru yang bijaksana. Karena tidak melakukan keempat aturan tersebut Brahmana tua (terhormat) ini menjadi seperti sekarang, dan bagaikan seekor bangau tua yang duduk di tepi suatu kolam yang kering. Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut, dan berkata:—

 

[19.2] “(Siang dan malam) terus menerus meremehkan dan sombong, ketika tua masih penuh nafsu, memiliki kekayaan menjadi kikir, menolak sabda Sang Buddha—Keempat kecenderungan ini, betapa besarnya dukacita yang mereka berikan; Dan, sial! Ketika usia tua datang, bentuk tubuh mengkerut dan bentuk (tubuh) yang usang! Orang yang, ketika muda, menyenangkan dirinya sendiri, ketika tua akan diinjak-injak. Tidak berjalan dengan madya (di usia dewasa), kekayaan akan terlepas darinya (ketika tua)—Bahkan seperti halnya bangau putih yang duduk sendirian di tepi kolam yang kering, demikian pula ia yang mengabaikan Aturan Moralitas akan jatuh miskin. Tua dan lemah, dengan kekuatan yang terkuras—Kebaikan apakah yang dapat mengikuti pikiran yang cemas. Ketika tua, seperti daun musim gugur, membusuk dan tanpa penutup, kehidupan telah surut dan kehancuran sudah dekat, maka penyesalan (hanya) menghasilkan sedikit kebaikan!”

 

Dan kemudian Sang Buddha menambahkan—"Terdapat empat kesempatan yang diberikan kepada setiap orang yang menjalani kehidupan suci, untuk mencapai pembebasan dan menghindari dukacita; Dan apakah empat hal (itu)? Pertama, ketika (masih) muda dan mampu memiliki tekad moral yang tinggi; Kedua, ketika kaya dan memiliki sarana; Ketiga, ketika cukup bahagia untuk memperoleh pengetahuan dari tiga orang terhormat, dan dengan demikian memiliki kesempatan untuk memperluas kemampuan seseorang dalam hal jasa kebajikan; Keempat, ketika melalui pengalaman seseorang telah mempelajari kesia-siaan dari hal-hal duniawi, untuk bertindak sesuai dengannya. Mereka yang memanfaatkan kesempatan-kesempatan ini pada akhirnya pasti akan memperoleh kebijaksanaan;" Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut:—

 

[19.3] “Siang dan malam, berjuang untuk menyingkirkan keinginan ragawi, dan pada kesempatan yang tepat mengerahkan upaya dengan sungguh-sungguh; Menemukan kebenaran bahwa segala sesuatunya tidaklah kekal—Orang demikian tidak akan pernah jatuh ke dalam jurang kehancuran. Berusaha untuk belajar bagaimana menyalakan pelita perenungan, dan mencari dalam cahaya pengalaman kebijaksanaan tertinggi (Prajñā), menyingkirkan segala kekotoran, dan menghindari hal-hal yang mengotori, dengan cahaya ini seseorang akan menemukan dasar untuk pembebasan (Bōdhi)."

 

Sang Bhagavant setelah menyatakan syair-syair ini, menyebabkan Kemuliaan Dirinya terwujud, dan akibatnya para Brahmana muda menjadi berkeyakinan atas Dirinya, dan memohon izin untuk memasuki Samgha, dan pada akhirnya tiba pada pembebasan sempurna (kondisi para Rahat).

 

###

 

法句譬喻經愛身品第二十 [Fǎ jù pì yù jīng ài shēn pǐn dì èr shí] - 20. Cinta akan Tubuh [Diri] (Attavaggo).

 

[1] Dahulu kala terdapat sebuah negeri bernama To-mo-ho-lo (Damakara?), dan sekitar tujuh Li dari (ibu) kota terdapat sebuah Vihāra, di mana 500 orang Bhiksu berdiam. Di antara mereka terdapat seorang Bhiksu tua bernama Mo-ho-lu (Makhara?), yang, karena pikirannya berat dan tumpul, tidak mampu mempelajari bahkan satu Gāthā pun, walaupun telah diinstruksikan oleh 500 orang Bhiksu selama bertahun-tahun. Atas hal ini ia diperlakukan dengan hina oleh yang lainnya, dan tidak diizinkan untuk ikut bersama mereka, namun ditinggalkan untuk menyapu Vihāra, dan menjaga kuti-kuti para Bhiksu. Pada suatu kesempatan, Raja negeri itu meminta semua Bhiksu untuk berkumpul di istananya, dan menerima jamuan makannya. Pada kesempatan ini, Makhara, setelah ditinggalkan seperti biasanya, ia berpikir demikian dalam batinnya—"Aku telah terlahir tumpul dan bodoh, dan bahkan tidak dapat mengingat satu syair pun dari kitab suci. Apalah gunanya untuk hidup lebih lama lagi, diabaikan dan dihina oleh sesama rekanku?" Atas hal ini ia mengambil seutas tali, dan pergi ke belakang taman, ia menempatkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dengan maksud untuk menggantung dirinya. Pada saat ini Sang Buddha, dengan kemampuan mata batin-Nya, melihat kasus orang ini, seketika mengubah Dirinya menjadi sosok Yaksa Penunggu Pohon, dan dengan setengah tubuh-Nya keluar dari pohon, berbicara kepada Bhiksu tua itu dengan ucapan teguran berikut—"Psha! Psha! Engkau Bhiksu (bodoh), apakah yang akan engkau lakukan?" Atas hal ini Makhara menjelaskan penyebab kesedihannya; Yang kemudian Yaksa Penunggu Pohon melanjutkan ucapan-Nya dan berkata—"Janganlah melakukan hal seperti ini, tetapi dengarkan kata-kata-Ku: Pada masa Sang Buddha Kāsyapa, dahulu kala, engkau adalah seorang Bhiksu yang sangat mengenal tiga buku (keranjang—yaitu, Pitaka), dan di antara 500 Ayusmant engkau adalah yang terkemuka, akibatnya engkau dipenuhi dengan kebanggaan dan rasa puas akan diri sendiri, dan meremehkan seluruh Bhiksu lain karena ketidak-tahuan mereka; Dan karena engkau meninggal saat itu tanpa penyesalan, maka sejak saat itu engkau terlahir bodoh dan tumpul—Lalu, apalah gunanya menghancurkan dirimu sendiri?”

Dan kemudian Sang Buddha, muncul dalam segala kemuliaan-Nya, mengucapkan syair-syair ini:—

 

[20.1] “Jika seseorang mencintai dirinya sendiri, biarlah ia melindungi dengan saksama apa yang membuatnya begitu cemas (yakni, dirinya sendiri). Jika ia berharap terbebas dari keinginan ragawi, biarlah ia mempelajari Jalan yang benar tanpa kemalasan (tidur). Dirinya sendiri, inilah pertimbangan pertama; Biarlah ia mengerahkan kekuatannya sendiri dan mencapai kebijaksanaan. Menguntungkan (dirinya sendiri dengan cara ini), ia kemudian dapat menginstruksikan orang lain. Tanpa lelah dalam usahanya, ia kemudian akan memperoleh kebijaksanaan. Orang yang tercerahkan pertama-tama akan mengendalikan dirinya sendiri, kemudian pada waktunya ia akan mampu mengatur orang lain. Mengatur perilakunya sendiri, dan memasuki (wilayah) kebijaksanaan sejati, ia harus naik ke tempat tertinggi (yakni, menjadi terkemuka). Tetapi jika seseorang tidak dapat meningkatkan (keuntungan) dirinya sendiri, bagaimana bisa orang demikian dapat memberi manfaat kepada orang lain; Dan, di sisi lain, keinginan (sumpah) apakah yang tidak dapat dicapai ketika dirinya mampu mengendalikan dengan benar atas dirinya sendiri? Apa yang sekarang kulakukan dalam tubuhku, setelahnya akan kuterima sendiri; Jika aku berbuat jahat, aku sendiri akan menyebabkan kejahatan yang lebih banyak lagi, seperti halnya bor baja yang melubangi permata.”

 

Makhara, setelah mendengarkan syair-syair ini, dan melihat kemuliaan tubuh Sang Buddha, segera bersujud di kaki-Nya untuk menghormat, dan mampu mencapai kedamaian. Lebih jauh Sang Buddha memerintahkannya untuk pergi ke istana Raja; Dan setelah berkhotbah di sana, ia menjadi seorang Rahat. [Dan Raja beserta para menterinya, dll., memasuki Sang Jalan.]

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, terdapat 500 Brahmana yang terus-menerus berusaha untuk menghardik-Nya. Sang Buddha, melalui mata dewa-Nya, menembus niat mereka, dan tergerak oleh belas kasihan terhadap mereka, ingin membawa mereka kepada pengetahuan tentang kebenaran. Mereka telah sepakat untuk membujuk seorang tukang daging agar meminta Sang Buddha untuk menerima jamuan makannya, dan kemudian, ketika Beliau berada di sana, mempertontonkan pembunuhan berbagai makhluk di sekitar-Nya, sehingga dalam mengutuk pembunuhan, Belau harus mengutuk tuan rumahnya, atau, dalam memuji tuan rumahnya, ia harus membenarkan pembunuhan tersebut. Kemudian Sang Buddha, setelah menerima undangan tuan rumahnya, menyapanya demikian—"Ketika buah sudah matang ia akan jatuh dengan sendirinya, jadi ketika jasa kebajikan sudah matang, ia akan dengan sendirinya menunjukkan dirinya (menghasilkan keselamatan)." Kemudian si tukang daging, kembali ke rumahnya, membuat semua persiapan yang diperlukan untuk jamuan makan. Pada waktu yang ditentukan Sang Buddha tiba, dan setelah naik ke singgasana pembabaran, Beliau tergerak oleh keinginan yang kuat untuk membuat para Brahmana dan mereka semua yang berkumpul di sana menjadi berkeyakinan; Dan dengan benar-benar mengetahui isi pikiran mereka, Beliau mulai dengan menutupi wajah-Nya dengan lidah-Nya, dan kemuliaan-Nya tampak di seluruh kota; Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:

 

[20.2] “Ajaran orang bijaksana adalah ini, bahwa dengan kebijaksanaan kita menjaga diri kita sendiri. Orang bodoh mengejeknya—Mereka melihat, dan tetap berbuat jahat; Dan dengan perbuatan jahat mereka menuai kemalangan, seperti halnya ia yang menabur (bibit) tanaman yang berbahaya (menuai hal yang sama). Orang jahat dalam dirinya sendiri mengumpulkan (menerima buah dari) kesalahannya (sendiri); Orang baik menuai buah (jasa kebajikan) yang baik dalam dirinya sendiri; Dan demikianlah setiap orang menyiapkan panen untuk dirinya sendiri. Perhatian orang lain tidak memengaruhi kasus seseorang—Berbuat baik, maka kita menuai kebaikan, seperti orang yang menabur sesuatu yang manis (menikmati hal yang sama).”

 

Mendengar kata-kata ini, para Brahmana menjadi yakin akan kebodohan mereka, dan menjadi murid. Tukang daging dan rekan-rekannya juga berkeyakinan, dan kemudian Sang Buddha kembali ke Vihāra.

 

###

 

法句譬喻經世俗品第二十一 [Fǎ jù pì yù jīng shì sú pǐn dì èr shí yī] - 21. Dunia (Lokavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat seorang Raja Brahmana tertentu bernama To-mi-seay (Dhamasa?). Suatu hari terlintas dalam pikiran sang Raja untuk membagikan, sesuai kebiasaan para Brahmana, batu-batu permata dalam jumlah tak terbatas, dsb., kepada para pengikut kepercayaannya, dengan aturan bahwa setiap Brahmachārin yang datang sebagai seorang penerima (pengemis) dapat mengambil segenggam dari tumpukan itu dan pergi. Begitulah hal itu berlangsung selama berhari-hari; Namun tumpukan kekayaan itu tidak tampak berkurang. Sehubungan dengan hal itu, Sang Buddha, mengetahui kondisi Raja dan kemampuannya (kapasitasnya) untuk berkeyakinan, mengubah Dirinya menjadi seorang Brahmachārin, dan pergi ke tempat itu. Sang Raja keluar dari istananya, ketika ia melihat-Nya mendekat, memberi hormat kepada-Nya, dan mengantar-Nya masuk, menanyakan apa yang ingin Beliau terima, dan meminta-Nya untuk tidak ragu-ragu dalam meminta. Mendengar hal itu, Sang Brahmachārin menjawab, “Aku datang dari jauh dan ingin meminta beberapa permata, agar Aku dapat memiliki harta yang cukup untuk membangun sebuah rumah.” Raja dengan segera menjawab, “Tuan yang Mulia, Engkau boleh mengambil segenggam, dan marilah.” Mendengar hal itu, Brahmachārin itu mengambil banyak permata dari tumpukan itu, lalu setelah berjalan tujuh langkah, ia kembali dan menaruhnya kembali di tumpukan itu. Karena hal itu Raja bertanya mengapa Beliau bertindak seperti demikian, tidak mengambil permata-permata itu. Brahmachārin itu menjawab, “Segenggam ini memang cukup untuk-Ku membangun sebuah rumah; Namun setelahnya Aku akan mempersunting seorang istri, dan untuk tujuan itu segenggam ini tidaklah cukup.” Mendengar hal itu, Raja meminta-Nya untuk mengambil tiga genggam, dan marilah. Setelah melakukannya dan berjalan tujuh langkah, lagi-lagi Beliau kembali dan menaruh permata-permata itu di tumpukan. Raja pun bertanya lagi tentang alasan-Nya melakukan hal itu. Beliau pun menjawab, “Ini mungkin cukup untuk memberi-Ku rumah dan istri, tetapi Aku harus membeli beberapa budak, lembu, dan kuda, dan untuk tujuan ini tiga genggam tidak akan cukup.” Karena hal itu Raja pun berkata, “Ambillah tujuh genggam, dan marilah.” Setelah Brahmachārin itu melakukannya, dan berjalan tujuh langkah, Beliau kembali lagi dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Beliau berkata bahwa tujuh genggam ini, walaupun cukup untuk tujuan yang ditentukan, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan anak-anak-Nya. Raja pun memintanya untuk mengambil seluruh tumpukan permata dan menggunakannya untuk tujuan yang disebutkan. Brahmachārin itu pun melakukannya, dan pergi. Karena hal ini Sang Raja, tertegun, berteriak kepada-Nya dalam suara yang keras apakah alasan-Nya Beliau melakukan hal itu? Brahmachārin itu menjawab, bahwa mereka yang mengemis hanya mencari hal-hal untuk kehidupan saat ini; Sementara mereka yang berpikir, menemukan ketidak-stabilan dan ketidak-kekalan dari semua hal duniawi, dan kumpulan dukacita dan kesakitan yang terus terkumpul merupakan hasil dari kehidupan duniawi. Dan sehubungan dengan hal ini, setelah kembali ke tubuh-Nya yang Mulia sebagai Sang Buddha, Beliau menyatakan syair-syair berikut:

 

[21.1] “Walaupun seseorang memiliki setumpuk permata setinggi alam surga, yang cukup untuk memenuhi dunia, ia tidak sebahagia orang yang memahami prinsip pertama dari kebenaran (mulia); Ia yang membuat keburukan menyerupai kebajikan, dan cinta menyerupai kebencian (atau, mencampur-adukkan satu dengan hal lain), ia yang mencampur-adukkan sumber kegembiraan sejati dengan dukacita—Orang itu pasti, yang kehilangan akal sehat, menyebabkan kehancurannya sendiri.”

 

Mendengar kata-kata ini, Sang Raja dipenuhi dengan kegembiraan, dan baik Raja dan para menterinya menerima Sila, dan memasuki Sang Jalan.

 

###

 

法句譬喻經述佛品第二十二  [Fǎ jù pì yù jīng shù fú pǐn dì èr shí èr] - 22. Sang Buddha (Buddhavaggo).

[1] Dahulu kala, Sang Buddha sedang berdiam di Magadha, di bawah pohon yang menaungi Bodhimanda (tempat pencerahan). Setelah mengalahkan Māra dengan kekuatan kehadiran-Nya (Parami), ia merenungkan dalam batin-Nya bahwa lima orang yang sebelumnya dikirim oleh ayah-Nya untuk menjaga-Nya dan memberi-Nya makanan yang cukup, berada dalam kondisi yang dapat mendengar suara genderang Dharma tentang Nirvana; Dan menyadari bahwa mereka berada di Benares, Beliau segera bangkit dari bawah pohon, sementara alam surga dan manusia diterangi dengan cahaya surgawi, dan tanah di bawahnya berguncang. Bergembira dengan tanda-tanda ini, Beliau berjalan maju, dan di tengah jalan Beliau bertemu dengan seorang Brahmachārin bernama Upaka (Yeon-fu), yang telah meninggalkan keluarga dan rumahnya untuk mencari seorang guru yang dapat membimbingnya di jalan kebenaran. Melihat Sang Bhagavant, betapa Agung penampilan-Nya dan betapa menyenangkan perilaku-Nya ketika Beliau berjalan, ia berteriak kepada Beliau dengan suara yang keras, “O Tuan! (Engkau) penuh dengan pengetahuan dan penyelidikan Dharma, apakah latar belakang-Mu, dan siapakah yang menjadi guru-Mu, sehingga Engkau sampai pada kondisi seperti ini?” Kepadanya Sang Buddha menjawab dalam syair-syair berikut:—

 

[22.1] “Dengan Diriku sendiri, dan oleh Diriku sendiri, Aku telah mencapai pelenyapan, tidak ada yang mengotori. Semua cinta akan hal-hal duniawi telah berakhir. Aku telah menghancurkan jaring nafsu. Dengan Diriku sendiri, tanpa seorang guru pun, Aku telah mencapai posisi ini; Dan Aku sekarang tidak membutuhkan pelindung atau pendukung. Aku berdiri sendirian, tanpa seorang pun yang menjadi pembimbing dalam perilaku; Setelah memiliki satu tujuan ini, Aku telah menjadi Sang Buddha (Tercerahkan), dan dengan ini, telah mencapai Kesucian yang Sempurna.”

 

Upaka setelah mendengarkan syair-syair ini, tanpa pemahaman Dharma apa pun, bertanya lebih lanjut, “Baiklah, Gotama, ke arah mana Engkau akan pergi?” Sang Buddha menjawab, “Aku akan pergi ke Benares, untuk menabuh genderang Dharma yang tak tertandingi, yang belum pernah terdengar, yang dengannya baik Deva maupun manusia dapat mencapai Nirvāna, bahkan seperti yang telah Aku capai sekarang.” Kemudian Upaka dengan gembira menjawab, “Benar sekali! Sādhu! Semoga Engkau, seperti yang Engkau katakan, dapat menyatakan Dharma tentang Nirvāna!” Dan setelah berkata demikian, Upaka berbalik ke jalan lain, dan kehilangan kesempatan untuk menemukan seorang guru untuk membimbingnya ke Jalan yang benar. Di tengah malam itu Upaka meninggal; pada saat itu Sang Buddha, mengetahui fakta itu melalui mata dewa-Nya, berbicara sebagai berikut (dalam prosa, setelah suatu sentimen serupa):—

 

[22.2] “Melihat kebenaran, murni dan tak tercampur, terbebas dari lima jalan kehancuran (lima cara kelahiran), Sang Buddha telah datang untuk mencerahkan dunia, untuk membuat Jalan keluar dari semua sumber dukacita dan kesakitan. (Sungguh) sulit untuk terlahir sebagai manusia; Juga (sungguh) sulit untuk mencapai usia (yaitu, umur panjang); (Sungguh) sulit terlahir ketika kemunculan Sang Buddha; Dan juga (sungguh) sulit untuk mendengarkan pembabaran Dharma Sang Buddha.”

 

Setelah mendengar kata-kata ini, lima ratus pengunjung surgawi dipenuhi dengan kegembiraan, dan memasuki Sang Jalan.

 

[2] Dahulu kala terdapat sebuah negeri sekitar 4.000 Li di selatan Rājagriha yang sepenuhnya menganut ritual Brahmana, dengan sekitar seribu Brahmana (atau beberapa ribu) sebagai penduduknya. Pada suatu masa terjadi kekeringan di negeri itu, yang berlangsung selama tiga tahun lamanya. Dengan sia-sia orang-orang membuat pengorbanan kepada semua Deva mereka—Tanpa ada hasil yang baik. Pada akhirnya Raja bertanya kepada para Brahmachārin bagaimana hal ini bisa terjadi; Dan mereka menjawab, “Kita harus menaati Dharma tertinggi, dan menyingkirkan orang-orang tertentu untuk berkomunikasi dengan Deva Brahma, dan meminta agar malapetaka ini diakhiri.” Sehubunngan dengan hal ini Raja menanyakan niat mereka, dengan maksud untuk meneruskannya lebih jauh, dan mereka menjawab, “Kita perlu memiliki dua puluh kereta perang, dengan kayu, dupa, salep, bendera, dan uang, dan bejana korban.” Setelah Raja menyediakan semua ini, mereka meninggalkan kota sekitar tujuh Li, dan di sana, di suatu tanah yang datar, mereka mendirikan kayu mereka di tempat yang tinggi, dan kemudian saling menasehati agar tidak peduli dengan kondisi tubuh mereka saat ini, tetapi bercita-cita untuk dilahirkan di alam Brahma; Dan demikianlah pada akhirnya tujuh orang dibujuk agar setuju naik ke api pengorbanan, dan dibakar di atasnya. Kemudian, setelah pelafalan mantra dan ritual seperti biasanya, mereka naik ke kayu bakar, dan menunggu akhirnya. Tetapi ketika api dinyalakan ke bagian bawah, terdengar suara retakan, dan (mereka) menjadi takut dengan kematian, mereka bangkit dan berlari ke sana-sini, dan memohon untuk diselamatkan—Namun semuanya sia-sia; Dan kemudian, dalam kebingungan, mereka berdoa demikian, “Oh, tidak adakah seorang pun di tiga alam yang mengasihani kami! Oh, datanglah engkau dan selamatkanlah kami!” Mendengar kata-kata ini, Sang Buddha muncul dari langit di atas mereka, dan ketika mereka dipenuhi dengan kegembiraan, Beliau berkata:

 

[22.3] “Sesungguhnya (karena ketakutan) orang-orang mencari banyak tempat berlindung; Mereka berlindung di pegunungan dan lembah-lembah, dan (mencari) penunggu-penunggu yang tinggal di pepohonan; Mereka mendirikan perwujudan para Deva, dan melakukan pemujaan kepada perwujudan tersebut, mencari kebahagiaan (jasa kebajikan). Namun perlindungan demikian bukanlah yang terbaik ataupun yang beruntung; Tidak satu pun dari perlindungan ini  yang mampu menyelamatkanmu dari dukacita (atau kesakitan yang terkumpul). Tetapi ia yang berlindung pada Sang Buddha, Dharma, dan Sangha, dan dengan pandangan terang menembus makna dari Empat Kebenaran Mulia, ia tentu akan mencapai (melihat) kebijaksanaan tertinggi. Ia yang mencari perlindungan pribadi dalam ketiga hal ini, menemukan yang paling beruntung dan terbaik. Hanya pada ketiga hal ini, tanpa perlindungan lain, seseorang dapat menemukan pembebasan dari semua dukacita.”

 

Mendengar syair-syair ini, suara api tidak lagi terdengar, dan para Brahmana serta para pelayan mereka, saat mereka melihat Sang Buddha (yang sekarang muncul) dalam kemuliaan-Nya, dipenuhi dengan kegembiraan, dan melihat kemunculan-Nya yang ajaib, mereka berkeyakinan, dan, turun dari api pengorbanan, mereka mengucapkan syair-syair ini:—

 

[22.4] “Oh, betapa bahagianya melihat Sang Muni! Oh, betapa bahagianya dapat mengandalkan-Nya sebagai pembimbing! Oh, betapa bahagianya orang yang dapat menghindari pergaulan dengan orang-orang bodoh, serta bertindak baik dan bermoral dengan dirinya sendiri! Betapa bahagianya ia yang dengan cermat menjaga Sang Jalan kebenaran (persepsi yang benar, atau cara-cara yang benar); Betapa bahagianya ia yang dapat mengulang Dharma; Betapa bahagianya ia yang menghindari diskusi (perselisihan) di dunia; Betapa bahagianya ia yang selalu menjalankan Sila; Betapa bahagianya ia yang bergaul dengan orang-orang baik, dan memperlakukan mereka sebagai saudaranya sendiri; Ia yang sering bergaul dengan mereka yang bermoral adalah seorang bijaksana, dan sangat termasyhur.”

 

Setelah mengucapkan syair-syair ini, ketujuh orang itu menjadi Rahat, dan Raja beserta para menterinya, bersama para Deva yang tak terhitung jumlahnya, setelah memasuki Sang Jalan, mendapat keistimewaan untuk melihat banyak hujan yang turun di tanah itu.

 

###

 

法句譬喻經安寧品第二十三 [Fǎ jù pì yù jīng ān níng pǐn dì èr shí sān] - 23. Tenang dan Tentram (Sukhavaggo).

[1] Dahulu kala sekitar 300 Li di selatan Rājagriha, terdapat sebuah desa yang dihuni sekitar 500 petani gunung yang batinnya terasing dari Dharma, dan tidak lagi dapat berkeyakinan dengan cara yang biasa, namun tidak acuh terhadap harapan akan pembebasan akhir. Mendengar hal ini, Sang Bhagavant, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, pergi ke desa tersebut untuk meminta derma makanan, dan setelah mengumpulkan cukup derma makanan, Beliau meninggalkan desa tersebut dan duduk di bawah sebatang pohon di dekatnya. Sambil duduk demikian, Beliau memasuki suatu kondisi Samādhi yang disebut Nirvāna (Saṃjñāvedayita-nirodha), dan demikianlah yang terjadi selama tujuh hari, tidak bergerak, dan (tampaknya) tidak bernafas. Orang-orang desa yang melihatnya demikian, dan percaya bahwa kehidupan telah lenyap, berkata di antara mereka sendiri, “Bhiksu ini jelas telah meninggal; Kita akan mengumpulkan kayu untuk api kremasi, dan membakar tubuh-Nya.” Setelah melakukannya, mereka membakar kayu tersebut. Setelah api itu padam, Sang Buddha bangkit dari bara apinya, dan memperlihatkan tubuh-Nya yang mulia dengan berbagai cara yang ajaib, Beliau kembali ke bawah naungan pohon tempat Beliau berada sebelumnya, dan kembali duduk dengan tenang. Penduduk desa, melihat kejadian yang menakjubkan ini, semuanya datang mendekat dan memberi penghormatan kepada-Nya, dan berkata, “Kami memang orang-orang pegunungan yang miskin, dan tidak tahu bahwa Engkau adalah seorang Deva, dan karena itulah kami menyiapkan api kremasi untuk membakar tubuh-Mu. Kami mengakui kesalahan kami, dan berharap pengampunan, dan memohon agar tidak ada kemalangan yang menimpa kami sebagai akibatnya, apakah itu penyakit, atau kelaparan, atau kekeringan.” Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant membuka mulut-Nya, dan menyatakan syair-syair ini:

 

[23.1] “Hidup-Ku kini tenang, tanpa amarah di antara mereka yang marah (atau mereka yang membenci). Orang-orang memanglah merasa marah di segala penjuru, tetapi hidup-Ku (perilaku) terbebas dari amarah. Hidup-Ku kini tenang, terbebas dari penyakit di antara mereka yang sakit; Semua orang menderita penyakit, bagi-Ku tidak. Hidup-Ku kini tenang, tanpa dukacita di tengah dukacita; Semua orang memiliki dukacita, tetapi Aku tidak memilikinya. Hidup-Ku kini tenang, dalam kedamaian yang sempurna, tanpa tujuan pribadi (wou wei), memakan sukacita (adiduniawi) [piti-sukha], seperti para deva bercahaya di atas sana (Brahma Abhāsvara). Hidup-Ku kini tenang, tentram, tanpa kepedulian, tanpa pemikiran tentang 'Apa yang harus Kulakukan.' Tumpuklah kayu bakar, dan biarkan api mengelilingi-Ku; Namun bagaimana api itu dapat menyentuh orang seperti-Ku?”

 

Atas hal ini penduduk desa menjadi berkeyakinan dan menjadi para Rahat, dan Sang Buddha beserta para pengikut-Nya kembali melalui langit ke hutan bambu, pada saat itu Sang Bhagavant menjelaskan kepada Ananda bahwa di masa lampau, ketika Beliau menjadi seorang Pratyeka Buddha, Beliau telah mencapai Nirvāna di bawah pohon yang sama[*], dan karena penduduk desa telah dengan penuh hormat membakar tubuh-Nya, dan mengumpulkan relik-Nya dan menaruh-Nya dalam peti, dan memberikan penghormatan kepada relik tersebut, mereka sekarang mendapat keistimewaan untuk mendengarkan khotbah-Nya, dan demikianlah (mereka) memperoleh buah dari Sang Jalan. Setelah penjelasan ini, para Deva yang tak terhitung jumlahnya memperoleh pengetahuan tentang Sang Jalan.

 

[*] Di bagian ini, nampaknya telah ada pengaruh ide-ide Mahayana, di mana seorang Śrāvaka dan Pratekya Buddha masih dapat terlahir kembali.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Jetavana, di Śrāvastī, terdapat empat orang Bhiksu yang duduk di bawah sebatang pohon, sedang berbincang-bincang demikian: “Menurutmu, apakah dukacita terbesar yang harus ditanggung di seluruh dunia?” Yang pertama berkata dukacita terbesar di dunia adalah nafsu; Yang kedua berkata dukacita terbesar adalah lapar dan haus; Yang ketiga berkata itu adalah kemarahan; Yang keempat berkata itu adalah ketakutan. Sementara mereka berdebat demikian, tanpa harapan untuk mencapai kesepakatan, Sang Buddha, mengetahui kasus tersebut, mendatangi tempat itu, dan bertanya tentang apakah perdebatan mereka. Karena hal ini para Bhiksu, setelah bangkit dan memberi hormat kepada-Nya, menjelaskan bagaimana kasus tersebut terjadi. Sehubungan dengan hal ini Sang Bhagavant menjelaskan bahwa mereka belum sampai ke dasar masalah tersebut, tetapi bahwa tubuh itu sendiri adalah dukacita terbesar, karena dari tubuh muncul dukacita lapar dan haus, dingin dan panas, kemarahan, dan kesombongan, dan nafsu; Dan karena itulah tujuan kita seharusnya adalah untuk menyingkirkan tubuh (kemenjadian di masa depan), dan dengan demikian mencapai ketenangan sempurna dari Nirvāna. Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:—

 

[23.2] “Tidak ada api yang lebih besar daripada nafsu; Tidak ada penderitaan (racun) yang lebih buruk daripada kebencian; Tidak ada dukacita yang lebih besar daripada tubuh ini; Tidak ada kegembiraan yang seperti kehancuran(nya). Tanpa keselarasan hanya terdapat sedikit kegembiraan yang dapat dicapai; Sedikit kemampuan dalam membedakan kebenaran dalam argumen menghasilkan sedikit kebijaksanaan; Dengan memahami dan mencari apa yang benar-benar terbaik, hanya dengan cara ini seseorang memperoleh ketenangan yang sempurna. Sekarang, Aku, Sang Bhagavant, menjelaskan sepenuhnya karakter mereka yang tidak berduka; Aku sepenuhnya (mampu) membebaskan tiga alam; Aku sendiri (atau oleh Diriku sendiri) telah mengalahkan seluruh pasukan Māra (Yang Jahat).”

 

Setelah menyatakan syair-syair ini, Sang Buddha menjelaskan bagaimana di masa lampau terdapat seorang Bhiksu tertentu yang memiliki lima kemampuan batin (iddhi), yang berdiam di pegunungan di bawah sebatang pohon, mempraktikkan pertapaan dengan tujuan untuk pembebasan akhir. Ketika berdiam demikian, empat binatang juga datang dan tinggal di dekatnya, yaitu, seekor burung kecil (burung pipit?), seekor burung besar (burung puyuh?), seekor ular berbisa, dan seekor rusa. Pada suatu kesempatan, Bhiksu itu mendengar makhluk-makhluk ini juga berdebat di antara mereka sendiri tentang apa yang merupakan dukacita terbesar di dunia, dan mereka juga, dari berbagai watak mereka, menganggap penyebab penderitaan yang sama seperti kalian punya, yaitu, nafsu, kelaparan, kemarahan, dan ketakutan. Kemudian Bhiksu itu menjelaskan kepada mereka juga, seperti yang telah Kujelaskan kepada kalian, bahwa tubuh, sumber dari semua dukacita, adalah dukacita terbesar, dan karena itulah kebahagiaan terbesar adalah menyingkirkan tubuh dan memperoleh Nirvāna. Dan karena hal ini mereka mampu memahami kebenaran. Sekarang pada waktu itu Aku adalah Bhiksu itu, dan kalian adalah keempat makhluk itu. Mendengar hal ini, para Bhiksu dipenuhi dengan keterdesakan (Samvega) dan cinta akan diri sendiri, yang kemudian membuat mereka mampu mencapai kondisi para Rahat.

 

###

 

法句譬喻經好喜品第二十四 [Fǎ jù pì yù jīng hǎo xǐ pǐn dì èr shí sì] - 24. Dicintai (Piyavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di kota Śrāvastī, terdapat empat orang Bhiksu yang baru saja ditahbiskan yang pergi bersama dan duduk di bawah sebatang Pohon Plum, berniat untuk mempraktekkan pemusatan pikiran (Dhyāna). Pada saat itu pohon tersebut sedang mekar sempurna, dan (karena) terpesona oleh warna-warna yang indah dan aroma harum bunga-bunga itu, percakapan para Bhiksu itu berubah menjadi seperti ini—Yaitu, tentang hal apakah di seluruh dunia ini yang paling layak untuk dicintai sebagai sumber kesenangan. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Menurutku kebahagiaan terbesar di dunia adalah pada suatu malam purnama di musim semi, ketika semua pohon sedang bermekaran, untuk terus mengembara di negeri, dan bersenang-senang tanpa hambatan,” Yang lain berkata, “Menurutku kesenangan tertinggi adalah kumpul-kumpul bersama keluarga, dan menikmati pesta dan anggur, musik dan tarian.” Yang lain berkata, “Menurutku kebahagiaan tertinggi adalah memiliki kekayaan yang memungkinkan seseorang memperoleh apa pun yang diinginkan pikirannya, baik itu kereta perang atau kuda, pakaian atau perhiasan, yang akan membuat seseorang, saat terlahir di dunia, dikagumi dan dicemburui semua yang melihatnya.” Yang keempat berkata, “Dan menurutku kebahagiaan tertinggi adalah memiliki istri secantik mungkin, dan melihatnya mengenakan semua jubah terbaik, diurapi dengan minyak wangi yang paling langka, dan selalu siap untuk memuaskan cinta.” Saat itu Sang Buddha, mengetahui bahwa orang-orang ini mampu berkeyakinan, namun belum mencapai pada pengetahuan tentang ketidak-kekalan dari enam objek keinginan, dengan segera, sambil menghela nafas, berbicara kepada keempat orang itu, dan bertanya kepada mereka, “Apakah topik pembicaraan kalian, saat kalian duduk bersama di sini di bawah pohon ini?” Sehubungan dengan hal ini, mereka memberi tahu Beliau dengan jujur ​​apa gagasan masing-masing tentang kebahagiaan. Dan kemudian Sang Buddha menimpali, “Akhirilah pembicaraan seperti itu, karena semua hal ini (yang kalian inginkan) adalah penyebab (jalan dari) dukacita, kemalangan, ketakutan, dan malapetaka. Hal ini bukanlah Jalan menuju kedamaian tanpa kondisi, kondisi kebahagiaan tertinggi. Bunga-bunga musim semi akan layu di musim gugur, dan gugur sepenuhnya sebelum musim dingin. Semua teman yang kalian andalkan untuk kebahagiaan, akan segera tersebar dan berpisah jauh. Kekayaan yang kalian hargai, dan kecantikan istri, dan kesenangan-kesenangan itu, sial! Adalah penyebab dari setiap kemalangan—Kebencian dalam keluarga, kehancuran tubuh, dukacita di masa depan! Karena itulah, para Bhiksu! Yakinlah bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meninggalkan dunia, mencari kebijaksanaan tertinggi, menginginkan satu kondisi yang tanpa kepedulian sepenuhnya, tidak menginginkan apa pun untuk diri sendiri, dan bertujuan pada Nirvāna.” Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:

 

[24.1] “Dari cinta (atau nafsu) muncullah dukacita, dari nafsu muncullah ketakutan; Ketika tidak ada nafsu (atau, tidak ada dasar untuk nafsu), dukacita, ketakutan apakah yang dapat muncul? Dari kesenangan muncullah dukacita, dari kesenangan muncullah ketakutan; Ketika tidak ada dasar untuk kesenangan, dukacita atau ketakutan apakah yang dapat muncul? Dari ketamakan (keserakahan) muncullah dukacita, dari ketamakan muncullah ketakutan; Ketika seseorang terbebas dari ketamakan, tidak akan ada dukacita ataupun ketakutan. Namun ketika menjadi serakah demi sepenuhnya memenuhi persyaratan (aturan moral) dari Dharma—Untuk jujur ​​dalam segala hal (atau, untuk benar-benar jujur), untuk bersikap madya dalam segala hal, untuk menjalankan urusannya sendiri (untuk mengendalikan dirinya sendiri) sesuai dengan apa yang benar—Hal ini berarti meletakkan sebuah pondasi atas cinta dari segalanya. Gagasan kesenangan belum dihasilkan, pikiran dan kata-katanya tenang, pikirannya tidak terpengaruh oleh kebingungan cinta, ia memang akan naik ke atas (atau memotong) Arus.”

 

[Setelah mengucapkan syair-syair ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa pada zaman dahulu kala terdapat seorang Raja yang pernah menjamu empat Raja tetangga dan memanjakan mereka dengan segala kesenangan. Pertanyaan-pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan di atas muncul di antara mereka. Akhirnya, Raja yang menjadi tuan rumah menjelaskan masalahnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sang Buddha. Pada saat itu, keempat Raja tersebut adalah empat Bhiksu itu, dan Raja utamanya adalah Sang Buddha sendiri.]

 

###

 

法句譬喻經忿怒品第二十五 [Fǎ jù pì yù jīng fèn nù pǐn dì èr shí wǔ] - 25. Kemarahan (Kodhavaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, kemudian (saat itu) Devadatta, bersama dengan Rāja Ajātaśatru, menyusun suatu rencana untuk menghancurkan Sang Guru dan para pengikut-Nya. Rencananya adalah demikian: Bahwa Raja melarang penduduk kota untuk memberikan derma kepada Samgha, dan demikianlah, setelah mereka merasa upaya pindapatta tidak berhasil, maka Raja mengundang mereka semua ke istana dalam suatu jamuan makan. Sementara itu, Devadatta, setelah memabukkan 500 ekor gajah, berencana akan melepaskannya kepada Sang Guru dan para pengikut-Nya, dan menghancurkan mereka semua. Undangan itu pun diberikan dan diterima oleh Sang Buddha, dan begitulah pada keesokan harinya mereka memasuki kota sesuai kesepakatan. Setelahnya, gajah-gajah itu dilepaskan dengan belalai terangkat dan datang ke Samgha sambil berteriak, sehingga 500 Rahat yang mengikuti Sang Buddha naik ke udara (dan terbang menjauh), tetapi Sang Buddha, dengan Ānanda di sisi-Nya, menahan amukan binatang buas itu, yang kemudian datang dan membungkuk, dan pergi ke hadapan Sang Guru dengan sangat patuh. Setelah itu, Sang Buddha mengangkat kelima jari tangan-Nya dan memunculkan lima singa, yang mengaum, sementara bumi berguncang dan gajah-gajah itu berbaring ketakutan di tanah. Setelahnya Sang Buddha dan para pengikut-Nya pergi ke istana Raja, dan setelah mendengarkan pengakuan Raja, Sang Buddha menyatakan syair-syair berikut:—

 

[25.1] “Di antara orang-orang tidak ada seorang pun yang tidak dicela, dari zaman dulu hingga sekarang. Sejak dulu mereka mencela orang yang banyak bicara, mereka mencela orang yang sabar dan pendiam; Mereka juga mencela orang yang mencari perilaku madya; Selalu ada celaan di dunia ini. Mereka yang ingin mencari kesalahan orang baik (suci) tidak pernah mampu membedakan dengan tidak memihak (mengambil jalan tengah); Mereka mencelanya sepenuhnya atau mereka memujinya sepenuhnya, namun semua itu dilakukan atas suatu gagasan palsu tentang keuntungan atau ketenaran. Tetapi orang yang dipuji oleh Mereka Yang Tercerahkan dan Bijaksana, dan yang mereka anggap dan sebut sebagai orang yang jujur ​​dan baik, seseorang yang benar-benar bijaksana dan hidup tanpa keburukan, tanpa dasar apapun untuk mencela dalam dirinya sendiri, sebagai seorang Rahat untuk kemurnian, tidak ada celaan baginya—Orang demikian harus dikagumi oleh para Deva sendiri, bahkan Brahma dan Śakra harus memuji orang demikian.”

 

Setelah menyatakan syair-syair ini, Sang Bhagavant menuturkan kisah ini:—"Dahulu kala terdapat seorang Raja tertentu, yang sangat mencintai daging angsa liar diatas segalanya sebagai makanan sehari-harinya. Oleh karena itu ia biasa mempekerjakan seorang pemburu (atau pemburu burung) dengan tujuan khusus untuk menjebak burung-burung ini dan menyediakan daging untuk hidangan kerajaan. Suatu hari pemburu burung itu pergi berburu, dan sekawanan angsa yang berjumlah 500 ekor datang dengan raja mereka sebagai pemimpin, dan hinggap untuk mencari makan di tempat perangkap dipasang. Akibatnya, raja angsa itu terperangkap dan tetap terjerat di dalam jerat. Kemudian, yang lainnya, karena ketakutan, terbang berputar-putar di tempat itu, namun tidak mau meninggalkannya. Salah satu angsa tertentu terus terbang dekat dengan jaring, dan, tidak gentar oleh anak panah pemburu itu, terus mengeluarkan teriakan memilukan, sementara tetesan darah (dari luka-lukanya) terus jatuh ke tanah, dan begitulah dari pagi hingga malam ia terus melakukan hal tersebut. Kemudian pemburu itu, tergerak oleh belas kasihan, membebaskan raja burung itu, dan dengan gembira ia terbang untuk bergabung kembali dengan kawanannya. Ketika menceritakan hal ini kepada Raja, Raja sangat menyetujui apa yang telah dilakukannya dalam membebaskan burung itu. Pada saat itu, Sang Buddha berkata, Aku adalah raja angsa liar, Ānanda adalah angsa setia yang tidak akan meninggalkan-Ku, engkau, O Raja! adalah Raja negeri itu, dan pemburu itu adalah Devadatta, yang selalu berusaha menyakiti-Ku (tetapi pada kesempatan ini Aku tidak menahan sedikit pun pujian darinya atas perilaku bajiknya) [setidaknya demikianlah tampaknya makna dari cerita itu].”

 

###

 

法句譬喻經塵垢品第二十六 [Fǎ jù pì yù jīng chén gòu pǐn dì èr shí liù] - 26. Kekotoran (Malavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat seorang pemuda yang tidak memiliki saudara laki-laki, namun hanya memiliki seorang putera kecil yang sangat dicintai oleh kedua orang tuanya. Mereka memberikan pendidikan kepadanya, dan dengan penuh harap ia akan menjadi kehormatan bagi keluarga mereka. Namun, sial! Ia ceroboh dan lalai, dan tidak belajar apa pun. Akibatnya orang tuanya membawanya ke rumah mereka, dan berharap ia akan berguna dalam mengelola rumah. Namun ia malas dan kotor dalam perilakunya, dan segalanya menjadi dukacita bagi mereka. Akibatnya ia diremehkan oleh semua tetangga, dan menjadi objek hinaan di antara teman-temannya, dan hampir dibenci oleh orang tuanya. (Karena) sangat tersentuh oleh hal ini, ia mencari penghiburan dalam pelatihan kehidupan suci, namun tidak menemukan bantuan dalam semua penebusan kesalahan dan pujanya kepada para Deva. Akhirnya, (setelah) mendengar bahwa Sang Buddha adalah Guru Yang Maha Bijaksana yang dapat memenuhi kebutuhan dalam kasusnya, ia datang kepada-Nya dan memohon bantuan-Nya. Kepadanya Sang Buddha menjawab, "Jika engkau ingin menemukan penghiburan dalam Samgha-Ku, hal pertama yang harus engkau pelajari adalah kemurnian perilaku. Oleh karena itu, pulanglah, ke rumahmu, dan belajarlah untuk mematuhi orang tuamu, lafalkanlah pujamu, tekunlah dalam pekerjaanmu sehari-hari, jangan biarkan cinta akan kemudahan menggodamu untuk mengabaikan kebersihan diri atau kesopanan dalam berpakaian; Dan kemudian, setelah mempelajari hal ini, kembalilah kepada-Ku, dan mungkin engkau akan diizinkan untuk masuk ke dalam Samgha-Ku.” Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair berikut:—

 

[26.1] “Tidak adanya puja (sehari-hari) adalah penyakit dari percakapan (kata-kata) (sehari-hari). Kurangnya ketekunan adalah penyakit dari seorang perumah tangga. Kurangnya kehormatan adalah penyakit dari kesopanan (penampilan luar). Kecerobohan adalah penyakit dari bisnis. Kekikiran adalah penyakit dari kedermawanan. Kejahatan adalah penyakit dari perilaku sehari-hari. Baik sekarang ataupun di alam nanti, Aturan Kehidupan (Dharma) yang jahat adalah selalu (menjadi) penyakit (noda). Namun penyakit dari segala penyakit, yang tidak ada yang lebih buruk, adalah ketidak-tahuan. Ia yang bijaksana (tercerahkan) harus membebaskan dirinya dari ini. Maka, O para Bhiksu! Tidak ada penyakit.”

 

Orang itu setelah mendengar syair-syair ini, dan menyadari bahwa ketidak-tahuan (dalam arti "kebodohan" atau "kegilaan") adalah akar dari semua kemalangannya, kembali ke rumah ayahnya, dan mengabdikan dirinya untuk patuh dan bekerja; Ia memberi hormat kepada gurunya, dan tekun dalam melafalkan Dharma, dan dalam segala hal mengatur hidupnya dengan tekun dan cermat, dan setelah tiga tahun (ia) kembali kepada Sang Buddha, dan setelah memberi hormat kepada-Nya, menceritakan bagaimana ia telah mengubah hidupnya, dan sekarang memohon izin masuk ke dalam Samgha-Nya. Mendengar hal ini Sang Bhagavant berkata padanya dengan kata-kata ini, "Marilah, pemuda!" dan seketika, rambutnya rontok, ia menjadi seorang Bhiksu, dan dengan usaha batinnya mencapai pengetahuan tentang Empat Kebenaran, dan setelah berusaha selama seharian (ia) menjadi seorang Rahat yang sempurna.

 

###

 

法句譬喻經奉持品第二十七 [Fǎ jù pì yù jīng fèng chí pǐn dì èr shí qī] - 27. Dengan Teguh Berpegang pada Dharma (Dhammatthvaggo).

[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmana yang sangat tua, bernama Sa-che (Sacha atau Satya) Nirgrantha, yang terkenal karena ketajamannya dalam berdiskusi. Ia memiliki 500 murid, dan mereka semua sangat yakin dengan pengetahuan mereka yang superior sehingga mereka biasa membungkus diri mereka dengan lempengan besi, agar kebijaksanaan mereka tidak meluap dan terbuang sia-sia (?). Ketika Sacha mendengar bahwa Sang Buddha telah datang ke dunia, dan meyakinkan orang-orang dengan kebijaksanaan-Nya yang superior, ia dipenuhi dengan kecemburuan, dan tidak dapat beristirahat di malam hari karena merasa sangat iri, dan karena itu, ia berkata kepada murid-muridnya, “Aku mendengar bahwa Pertapa Gotama mengaku sebagai seorang Buddha. Aku akan pergi dan menanyakan beberapa pertanyaan kepada-Nya, dan membuat-Nya tersipu malu ketika Ia tidak mampu menjawabnya.” Maka, ia bersama para pengikutnya pergi ke (Vihāra) Jetavana, dan ketika mereka berdiri (karena) belum pernah melihat kemuliaan sosok Sang Buddha, bagaikan matahari ketika Beliau pertama kali muncul dengan kekuatan-Nya, mereka terpukau dan dibingungkan oleh perasaan mereka, sehingga setelah melewati pintu mereka datang ke hadapan Sang Buddha, dan memberi hormat kepada-Nya. Karena hal ini Sang Buddha meminta mereka untuk duduk. Setelah duduk, Nirgrantha bertanya kepada Sang Buddha demikian:— “Siapakah orang yang adil? Siapakah orang yang terpelajar? Siapakah orang yang terhormat? Apakah kecantikan dan keanggunan sejati? Siapakah seorang Pertapa? Siapakah seorang Bhiksu sejati? Dan siapakah yang benar-benar tercerahkan? Dan siapakah orang yang taat (yang dengan hormat mematuhi aturan-aturan perilaku moral)? Jika Engkau mampu, sudilah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini demi para pengikutku.” Sehubungan dengan hal ini, Sang Bhagavant, yang memahami dengan tepat bagaimana kasusnya, menjawab dalam syair-syair ini:—

 

[27.1] “Orang yang selalu memiliki kemauan dan berkeinginan untuk belajar, yang berjalan dengan benar, yang merenungkan dan mempertimbangkan karakteristik dari kebijaksanaan yang berharga, orang ini disebut Adil (yaitu, Orang Benar; Orang yang telah mencapai Sang Jalan, atau Bōdhi). Dan siapakah orang yang Terpelajar? Ia yang tidak bergantung pada perbedaan kata-kata yang halus—Yang terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran, yang berdiri dengan apa yang benar—Ia adalah orang yang Terpelajar. Dan siapakah orang yang Terhormat (sesepuh)? Bukan ia yang telah mencapai usia tua (kepala enam)—Tubuhnya bungkuk, rambutnya putih—Karena dengan semua itu ia mungkin hanyalah seorang yang dungu. Tetapi ia yang merenungkan dan menyelidiki Dharma, yang mengarahkan dan mengekang perilakunya, (penuh dengan) cinta kasih dan kebajikan, yang mampu menembus makna-makna yang tersembunyi, dan murni—Orang ini dengan benar disebut 'Terhormat.' Dan siapakah orang yang anggun dan sempurna? Bukan ia yang memiliki kecantikan tubuh seperti bunga-bunga (yang memikat kita); Bukan ia yang menginginkan dan merindukan kesombongan kosong dari menghias diri; Bukan ia yang kata-kata dan perilakunya bertentangan satu sama lain; Tetapi ia yang mampu meninggalkan setiap jalan yang jahat, yang telah menyingkirkannya hingga akarnya, yang Tercerahkan tanpa sisa-sisa kebencian—Orang ini benar-benar anggun dan lurus (atau terhormat, yaitu, terpuji dalam perilaku). Dan siapakah Pertapa? Bukan ia yang terpaksa dicukur, yang berbicara tidak benar, dan menginginkan kepemilikan, atau seorang budak dari keinginan seperti orang pada umumnya; Tetapi ia yang mampu mengakhiri (untuk menenangkan) setiap (keinginan) yang jahat, untuk memadamkan setiap gagasan aku, untuk menenangkan pikirannya, dan mengakhiri pembentukkan pemikiran—Orang ini disebut seorang Pertapa. Dan siapakah yang disebut seorang Bhiksu? Bukan ia yang pada waktu-waktu tertentu mengemis makanannya; Bukan ia yang berjalan dengan tidak benar (berpandangan salah), tetapi yang berharap untuk dikenal sebagai seorang siswa (Śrāvaka), ingin membangun satu karakter (sebagai orang yang sesuai Dharma), dan itu saja; Tetapi ia yang melepaskan setiap sebab (karma) dari kesalahan, dan yang hidup dengan kemawasan dan murni, yang dengan kebijaksanaan mampu menghancurkan setiap (kecenderungan) jahat—Orang ini adalah seorang Bhiksu Sejati. Dan siapakah yang benar-benar tercerahkan (atau orang bijaksana)? Bukan ia yang hanya membisu, sementara kerja pikirannya yang sibuk itu tidaklah murni—Hanya menyesuaikan diri dengan aturan luar dan hanya itu saja; Tetapi ia yang batinnya tanpa keakuan (tanpa kecintaan), yang kerja batinnya murni dan spiritual (kosong), sama sekali tidak tergerak dan mati terhadap hal ini atau itu (diri atau milik diri)—Orang ini disebut orang yang tercerahkan secara batin (Muni?) Dan siapakah seorang yang Bōdhi (seorang Ariya atau 'berdarah murni')? Bukan ia yang menyelamatkan kehidupan semua makhluk, tetapi ia yang dipenuhi dengan manfaat universal, yang tidak memiliki kebencian di dalam batinnya—Ia adalah seorang Bōdhi. Dan orang yang taat pada Dharma bukanlah orang yang banyak bicara, tetapi orang yang menjaga tubuhnya (dirinya) agar tunduk pada Dharma (Ajaran), meskipun ia orang biasa, tidak terpelajar, selalu menjaga Jalan (kebenaran) tanpa lupa—Orang ini adalah seorang yang taat pada Dharma (yaitu, Dhammaṭṭho).”

 

Mendengar syair-syair ini, Sacha Nirgrantha dan 500 pengikutnya semuanya dipenuhi dengan kegembiraan, dan menjadi pengikut Sang Buddha (Bhiksu). Nirgrantha mencapai kondisi (batin) seorang Bōdhisatva, yang lainnya menjadi Rahat.[*]

 

[*] Bagian ini nampaknya terdapat sisipan gagasan ajaran Mahayana.

 

###

 

法句譬喻經道行品第二十八 [Fǎ jù pì yù jīng dào héng pǐn dì èr shí bā] - 28. Sang Jalan (Maggavaggo).

[1] Dahulu kala terdapat seorang Brahmana, yang ketika muda telah meninggalkan rumahnya untuk tujuan kehidupan suci, dan tetap menjadi seorang murid yang mengasingkan diri hingga berusia enam puluh tahun, tetapi bahkan setelah masa yang panjang ini ia tidak mampu mencapai kebijaksanaan tertinggi (Bōdhi). Sekarang, menurut Dharma para Brahmana, jika seorang pada usia enam puluh tahun belum mencapai kebijaksanaan, adalah tugasnya untuk kembali ke rumahnya dan menikahi seorang istri. Berdasarkan hal itu, setelah Brahmana itu melakukannya demikian, lahirlah seorang anak laki-laki yang sangat anggun, yang ketika berusia tujuh tahun, sudah sangat mendalami buku-buku Dharma, dan memiliki keterampilan dialektika yang luar biasa, tiba-tiba (anak itu) terserang penyakit fatal dan meninggal. Sang ayah, yang diliputi dengan dukacita, menyerah pada kesedihan yang tak tertahankan, dan sama sekali tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia melemparkan dirinya ke tubuh anaknya, dan berbaring di sana seperti orang mati. Setelah kembali tenang, tubuh anak itu dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti—Ayahnya telah ditegur oleh kerabat dan rekan-rekannya dalam satu kasta—Dan pada akhirnya (tubuh anak itu) dibawa ke luar kota untuk dimakamkan. Pada kesempatan ini, Brahmana itu mulai merenung dalam batinnya—“Apalah gunanya menangis seperti ini? Tidak ada gunanya; Tetapi aku akan segera pergi ke kediaman Chen-lo-wang (Rāja Yama), dan memohon kepadanya dengan rendah hati agar mengembalikan anakku dalam keadaan hidup.” Atas hal ini Brahmana itu, setelah melakukan beberapa ritual keagamaan dan mempersembahkan bunga serta dupa, pergi dari rumahnya, dan ke mana pun ia pergi, ia bertanya kepada semua orang yang ditemuinya apakah mereka tahu di mana Rāja Yama mendirikan pengadilan dan memerintah. Setelah berjalan terus sejauh beberapa ribu Li, ia tiba di sebuah celah gunung yang dalam, di mana ia bertemu dengan sekelompok Brahmana yang telah memperoleh kebijaksanaan tertinggi. Ia bertanya lagi kepada mereka apakah mereka dapat memberi tahu di mana Rāja Yama memerintah dan mendirikan pengadilannya. Atas pertanyaan ini mereka menjawab, “Dan mengapa engkau, tuan yang terhormat, ingin mengetahui hal itu?” Atas pertanyaan ini, ia menceritakan kesedihannya yang mendalam, dan menjelaskan niatnya untuk memohon kembali anaknya dari Deva Yama. Kemudian semua Brahmana, yang merasa kasihan dengan delusinya, menjawab—“Tidak ada manusia biasa yang dapat mencapai tempat Yama memerintah; Tetapi sekitar 400 Li ke arah barat tempat ini terdapat sebuah lembah besar, yang di tengahnya terdapat sebuah kota. Di kota ini para Deva dan makhluk surgawi, yang terkadang tinggal di antara manusia, tinggal di sana, dan Yama, pada hari kedelapan setiap bulannya, selalu mengunjungi tempat itu. Dengan pergi ke sana, dan mempraktikkan kehidupan suci yang ketat, engkau dapat, tuan yang terhormat, melihat Raja Yama.” Kemudian Brahmana itu, gembira mendengar berita ini, berangkat, dan sesampainya di lembah ini, lihatlah! Di tengah-tengahnya ia melihat sebuah kota yang indah dengan istana-istana, menara-menara, dan tempat tinggal, seperti yang ada di Surga Trāyastriñshas. Kemudian tiba di depan gerbang, ia mulai membakar dupa, dan membacakan mantra-mantra suci, dengan maksud untuk dapat diterima dan melihat Rāja Yama. Akhirnya ia diterima di hadapan Raja yang menakutkan, dan, ketika ditanya keinginannya, ia menceritakan masalahnya seperti sebelumnya. Raja menjawab demikian kepadanya—"Apa yang engkau minta, tuan yang terhormat, adalah bajik dan baik darimu. Puteramu sekarang berada di Taman Timur untuk bersenang-senang di sana; Bawa ia dan pergilah." Mendengar hal ini, Brahmana itu segera bergegas ke tempat itu, dan di sana ia melihat anak kesayangannya bermain dengan anak-anak lain. Ia segera berlari ke arahnya, dan memeluknya, dengan air mata mengalir di pipinya, (dengan) berteriak— "Bagaimana aku bisa melupakanmu, anakku, yang telah kujaga begitu lama dan penuh kasih! Ingatkah engkau padaku, anakku, (aku) ayahmu? Tidakkah engkau ingat kesedihan kita ketika kita merawatmu dalam penyakitmu, anakku?” Namun anak laki-laki itu menolak pelukan Brahmana itu, dan menegurnya karena menggunakan istilah-istilah bodoh seperti ayah dan anak, yang binasa seperti rumput. “Dalam keadaanku saat ini,” tambahnya, “Aku tidak tahu kata-kata seperti itu, dan aku terbebas dari pikiran-pikiran yang terdelusi seperti itu.” Mendengar hal ini, Brahmana itu, dengan berlinang air mata, pergi; Dan ketika ia pergi, ia memikirkan Pertapa Gōtama, dan ia memutuskan untuk pergi kepada-Nya dan mengungkapkan kesedihannya, dan mencari penghiburan. Karena itulah ia tiba di Jetavana, dan setelah memberi penghormatan seperti biasanya, ia menjelaskan keadaannya, dan bagaimana anaknya menolak untuk kembali bersamanya. Kepadanya Sang Bhagavant menjawab—"Sesungguhnya engkau terdelusi dan bodoh, karena ketika kesadaran seseorang yang telah meninggal pergi, tidakkah engkau mengetahui bahwa kesadaran itu segera mendapatkan tubuh jasmani yang lain, dan kemudian semua hubungan ayah, anak, istri, ibu, semua itu berakhir, seperti halnya seorang tamu yang meninggalkan tempat tinggalnya telah memperlakukannya seolah-olah itu adalah sesuatu dari masa lalu? Sungguh menyedihkan keadaanmu, dan sungguh kasihan, tidak mengetahui bahwa perubahan seperti itu akan terus berlanjut sampai engkau mencapai kondisi kebijaksanaan sejati, dan melepaskan, untuk selamanya, setiap pikiran tentang hal-hal duniawi seperti ini. Hanya dengan cara ini engkau dapat mengakhiri kelahiran dan kematian di masa depan, dan menjadi bebas selamanya.” Dan kemudian Beliau menambahkan syair-syair ini:—

 

[28.1] “Orang-orang menyibukkan diri dengan masalah istri dan anak; Mereka tidak menyadari Dharma tentang penyakit (dan kematian) yang tak terelakkan, dan akhir kehidupan yang datang dengan cepat, seperti banjir yang meluap (menyapu semua yang ada di hadapannya) dalam sekejap mata. Maka baik ayah maupun ibu tidak dapat menyelamatkan seseorang; Lalu, harapan apakah, yang dapat diberikan kepada semua kerabat (keluarga besar) seseorang? Di akhir kehidupan, orang tua dan kerabat bagaikan orang buta yang ditugaskan untuk mengawasi (menjaga) pelita yang menyala. Seorang bijaksana yang memahami hal ini harus dengan saksama mempraktikkan dengan dirinya sendiri dalam Aturan Dharma (kehidupan bermoral); Ia harus berjalan dengan tekun untuk membantu (menyelamatkan) dunia, dengan tujuan untuk menghancurkan sepenuhnya (sumber-sumber) dukacita, untuk menjauh dari pusaran air yang mendidih (dari kehidupan dan kematian); Seperti angin yang mengusir awan, demikian pula ia harus berusaha untuk menghancurkan semua sisa-sisa pikiran (persepsi, 'samjña);' Inilah tugas pengetahuan. Kebijaksanaan lebih unggul dari semua (hal) duniawi—Kebijaksanaan membuat seseorang tidak peduli dengan kesenangannya, dan membuatnya tidak peduli dengan urusan (duniawinya); Siapa pun yang menerima petunjuk sejati ini akan terbebas selamanya dari lingkaran kelahiran dan kematian.”

 

Setelah mendengar syair-syair ini, Brahmana itu seketika memperoleh pencerahan dan menyadari ketidak-kekalan hidup; Bahwa istri dan anak hanyalah seperti tamu yang meninggalkan rumah; Dan setelah memberi hormat kepada Sang Buddha, ia memohon izin untuk memasuki Samgha, dan Sang Buddha menyambutnya, ia seketika menjadi seorang Bhiksu, dan akhirnya mencapai kondisi seorang Rahat.

 

###

 

法句譬喻經廣衍品第二十九 [Fǎ jù pì yù jīng guǎng yǎn pǐn dì èr shí jiǔ] - 29. (Kalimat) yang Panjang dan Lebar.

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi meyakinkan berbagai jenis makhluk (Deva, Nāga, Manusia, dll.), terjadilah bahwa Raja negeri itu, yang bernama Prasenajita, telah pergi tiga kali bersama para menterinya untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha. Pada saat itu Raja telah memanjakan diri dengan gaya hidup mewah dan pemuasan indera lainnya, akibatnya ia menjadi tembem dan gemuk, dan karena itulah, ia menderita berbagai penyakit, seperti perut kembung dan rasa kantuk serta berat badan yang berlebihan, sehingga ia hampir tidak dapat bangun tanpa ketidak-nyamanan, dan selalu mengalami penderitaan entah lebih kuat atau lebih lemah karena ketidak-nyamanan.

Dalam kondisi ini ia pernah datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan sambil bersandar pada lengan para pelayannya, ia duduk, dan dengan merangkapkan tangan menyapa Sang Guru demikian:—"Bhagavant! Maafkan, aku mohon, aku kurang hormat karena tidak memberi hormat kepada-Mu sebagaimana mestinya, tetapi aku tidak tahu penyakit apa yang merasukiku sehingga aku menjadi begitu gemuk! Dan inilah yang membuatku sakit sehingga aku tidak dapat memberikan penghormatan yang semestinya kepada-Mu." Atas hal ini Sang Bhagavant menjawab—"Mahārāja! Terdapat lima hal yang selalu menghasilkan kondisi yang engkau keluhkan: Pertama, terus-menerus makan; Kedua, suka akan tidur; Ketiga, suka akan kesenangan; Keempat, tidak berpikir; Kelima, kurang beraktivitas. Inilah hal-hal yang menyebabkan kegemukan dan kebiasaan buruk; Jika engkau ingin terbebas dari kondisi ini, maka engkau harus meninggalkan kehidupan mewahmu, dan setelah itu engkau akan menjadi kurus lagi. Dan kemudian Sang Bhagavant mengucapkan syair-syair ini:—

 

[29.1] “Seseorang seharusnya mengingat dan mempertimbangkan setiap kali (hendak) makan untuk melatih pengendalian diri, dan dengan demikian terhindar dari rasa sakit dan nyeri yang sering dialaminya; Dengan menyediakan waktu ketika mengambil makanan, ia memperpanjang usianya.”

 

Mendengar syair-syair ini, Raja sangat senang sehingga ia memerintahkan kepala juru masaknya untuk mengingatnya dan membacanya di hadapannya sebelum dan sesudah makan. Dengan melakukan hal itu, Raja mampu menahan diri dan secara perlahan memulihkan berat tubuh dan perilaku hewannya. Hal itu membuatnya sangat gembira. Suatu ketika, ia pergi dengan berjalan kaki ke tempat di mana Sang Buddha berada dan menghampiri-Nya untuk memberi penghormatan. Ketika Sang Bhagavant memintanya untuk duduk, Beliau bertanya, “Di mana, Raja, kuda dan kereta perangmu? Bagaimana mungkin engkau datang ke sini dengan berjalan kaki?” Raja pun menjawab dengan gembira, “Dengan memperhatikan apa yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha kepadaku, tubuhku menjadi ringan kembali, sehingga aku tidak menemui kesulitan apa pun ketika berjalan seperti yang kulakukan ke tempat di mana kita bertemu sekarang.” Kemudian Sang Buddha menjawab Raja demikian:“Mahārāja! Karena manusia tidak mempertimbangkan ketidak-kekalan atas hal-hal di duniawi bahwa segala sesuatu menjadi seperti apa adanya. Mereka memberi makan dan menyenangkan tubuh dan selera makan mereka, bahkan tidak mengingat kenyamanan (kebahagiaan) mereka sendiri dalam melakukannya, dan demikianlah manusia itu mati dan kesadarannya pergi, sementara tubuhnya membusuk di dalam kuburan. Orang bijaksana memberi makan batinnya (kesadaran), orang dungu memberi makan tubuhnya. Jika engkau dapat memahami hal ini, maka engkau dapat mempersiapkan dirimu untuk menerima Dharma Suci (Ajaran-Ku), dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:—

 

[29.2] “Betapa tidak kekalnya manusia! Ia menua seperti lembu yang dikurung, gemuk, berdaging, dan kuat, tetapi ia tidak menyimpan kebijaksanaan; Tanpa memikirkan hidup dan mati, dan berbagai masalah yang terus-menerus menyertainya, hanya memikirkan tubuh dan kebutuhannya, dan demikianlah (ia) menambah dukacitanya tanpa harapan untuk keluar. Namun orang bijaksana yang memahami (penyebab) dukacita, karena alasan ini membiarkan tubuhnya pergi; Ia menghancurkan segala pemikiran (tentangnya), ia memotong nafsu keinginan, dan dengan demikian mengakhiri semua nafsu kecapan, ia juga mengakhiri kelahiran kembali.”

 

Raja yang mendengar syair-syair ini dan memahaminya, dengan segera memperoleh pencerahan, dan orang lain yang mendengarnya dalam jumlah besar, tiba di “Mata Dharma" (Penglihatan Dharma).

 

[2] Dahulu kala terdapat tujuh orang Bhiksu, yang bersama-sama pergi ke belantara pegunungan dengan tujuan untuk memperoleh kebijaksanaan tertinggi. Setelah dua belas tahun usaha yang sia-sia, mereka mulai mempertanyakan di antara mereka sendiri dan berkata: “Untuk memperoleh kebijaksanaan tertinggi sangatlah sulit; Menyiksa tubuh dan membuat tangan dan kaki menjadi kaku, dan menahan dingin dan kesakitan tanpa henti, dan mengemis makanan dan menerima persediaan yang sangat sedikit, semua ini sulit. Berupaya di jalan (atas tugas) agar terhindar dari kesalahan (keburukan) adalah sulit. Lalu mengapa kita masih menghabiskan hidup kita di belantara pegunungan? Tentunya jalan ini tidak begitu menyenangkan seperti kembali ke rumah dan membangun keluarga kita, dan menikahi istri dan memiliki anak, dan menikmati diri sendiri sampai akhir hayat kita.” Atas hal ini ketujuh orang itu setuju untuk meninggalkan pegunungan, dan melanjutkan perjalanan pulang mereka. Saat itu Sang Buddha, mengetahui keadaan mereka, dan menyadari terdapat kemungkinan atas pembebasan mereka, karena berbelas-kasihan kepada mereka, mengetahui bahwa ketidak-sabaran mereka dalam kehidupan suci akan, jika dibiarkan berlanjut, berakhir dengan kehancuran mereka, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan pergi ke tengah-tengah jurang sempit, menemui mereka ketika mereka datang. Dan kemudian Beliau bertanya kepada mereka, "Setelah begitu lama mencoba mencari kebijaksanaan tertinggi, mengapa kalian meninggalkan (pegunungan, dan meninggalkan tujuan)?" Yang mereka jawab, "Untuk mendapatkan kebijaksanaan (yaitu, pencerahan sepenuhnya, atau Bōdhi) itu sulit. Untuk berupaya dengan tekun (dalam membasmi) akar dukacita dan keburukan itu sulit. Untuk pergi mengemis di kota, dan menerima sedikit derma, itu sulit. Dan untuk tinggal di sini di pegunungan, tanpa seorang pun yang memberi kita makan, dalam ketidak-nyamanan yang terus-menerus sampai akhir hayat seseorang, hal ini tidak tertahankan; Dan karena itulah kita pulang untuk menyibukkan diri dalam pekerjaan duniawi dan memperoleh kekayaan, dan kemudian ketika kita tua kita akan mengabdikan diri kita untuk mencari kebijaksanaan tertinggi.”

Sang Bhiksu menjawab, “Berdirilah diam sejenak, dan dengarkanlah Aku. Kehidupan manusia tidaklah kekal; Suatu pagi dan suatu malam, dan kehidupan itu bisa saja berlalu. Walaupun Jalan Dharma itu sulit, namun dukacitalah yang pertama-tama muncul yang mengarah pada sukacita yang mengikutinya. Untuk hidup di dunia juga sulit; Melalui perkembangan zaman yang tak berujung untuk mengurus istri dan anak, tanpa jeda untuk beristirahat. Untuk hidup dalam Samgha, dan mengambil sumpah kesetaraan dalam semua materi duniawi, (dalam) mencari dan mengantisipasi kebahagiaan di masa depan tanpa jeda untuk dukacita, ini sulit. Kehidupan sekarang hanyalah pemandangan perjuangan terus-menerus melawan penyakit dan kesakitan; Di mana pun terdapat keberadaan jasmani, di situ terdapat kesakitan dan dukacita. Hanya ia yang memiliki keyakinan, dan hidup suci (menaati aturan moral), batinnya bertekad untuk memperoleh kebijaksanaan tertinggi, tanpa jeda untuk kelalaian atau pengurangan tugas, baginya sendiri terdapat akhir, akhir yang kekal, dari dukacita.” Mendengar hal itu, Sang Bhiksu kembali ke wujud agung Sang Buddha dan menyatakan syair-syair berikut:

 

[29.3] “Untuk berupaya dalam mencapai kebijaksanaan tertinggi dan meninggalkan keburukan itu sulit; Namun untuk hidup di dunia sebagai seorang umat awam juga sulit. Untuk tinggal di dalam Samgha dengan syarat-syarat kesetaraan yang sempurna dalam hal materi duniawi itu sulit; Namun yang sulit di luar perbandingan adalah memiliki benda-benda duniawi (atau, 'sulit untuk tidak melanggar dalam memiliki barang-barang tersebut'). Untuk mengemis makanan sebagai seorang Bhiksu itu sulit, namun apakah yang dapat dilakukan seseorang yang tidak menahan dirinya sendiri? Dengan ketekunan tugas itu menjadi kebiasaan, dan pada akhirnya tidak ada nafsu untuk memiliki cara lain. Dengan memiliki keyakinan, maka tugas iru mudah untuk dilaksanakan; Dari mengikuti Jalan dari Tugas (yaitu, tugas moral) seseorang sangat memperkaya dirinya sendiri, dan dari sini, terlebih lagi, hal ini berakibat di mana pun ia berada, oleh siapa pun yang terlihat, ia dihormati (disayangi). Duduk sendirian, menempati satu tempat untuk tidur, tanpa lalai mengikuti satu garis perilaku (berjalan, atau bertindak), dengan berkeinginan menjaga keadaan pikiran sendiri yang lurus (atau benar), akan ada kegembiraan bagi orang demikian (meskipun) tinggal di dalam hutan.”

 

Mendengar syair-syair tersebut, ketujuh orang Bhiksu itu menjadi malu karena perilaku mereka, bersujud di kaki Sang Bhagavant, dan kembali ke belantara pegunungan, sambil terus menjaga “Batin seorang yang sempurna,” mereka mencapai kebijaksanaan tertinggi, dan menjadi para Rahat.

 

###

 

Buku Ketiga Selesai.

 

###

 

Buku Keempat – Bab 30 – 39.

 

###

 

◎法句譬喻經地獄品第三十 [Fǎ jù pì yù jīng dì yù pǐn dì sān shí] - 30. Neraka (Nirayavaggo).

[1] Dahulu kala di negeri Śrāvastī terdapat seorang guru Brahmana tertentu bernama Purāna Kāśyapa (Pou-lan-ka-ye), yang memiliki lima ratus pengikut, yang mengembara di negeri bersama guru mereka, dan sangat dihormati oleh Raja dan masyarakat. Saat itu, setelah Sang Buddha mencapai Kebijaksanaan Tertinggi, dan ketika bersama para pengikut-Nya Beliau datang ke Śrāvastī, bahwa, karena martabat Dirinya, dan karakteristik Dharma-Nya, Raja dan masyarakat sangat menghormatinya. Sehubungan dengan hal ini Kāśyapa penuh dengan kecemburuan, dan ia bertekad untuk menghancurkan (mengalahkan) Sang Bhagavant dalam argumen, dan menyebabkan kematian-Nya. Karena hal itu ia pergi, bersama dengan para pengikutnya, untuk menemui Raja, dan setelah menemukannya, ia berkata demikian: “Pada masa lalu, Mahārāja, Engkau dan masyarakat biasa melayaniku sebagai seorang guru, dan memenuhi kebutuhanku; Namun sejak Sramana Gōtama telah tiba di sini, yang dengan salah mengatakan bahwa Beliau telah menjadi tercerahkan (Buddha), Engkau telah meninggalkanku, untuk melayani-Nya. Oleh karena itu, aku menginginkan agar engkau mengizinkan suatu perdebatan di antara kita, dan siapa pun yang kalah dalam argumen biarlah ia dihukum mati.” Raja merasa senang dengan usulan tersebut, menyampaikan hal itu kepada Sang Bhagavant, yang setuju untuk bertemu dengan Kāśyapa, seperti yang diinginkannya, setelah berakhirnya tujuh hari. Sehubungan dengan hal itu, Raja menyiapkan tempat perdebatan di sebelah timur kota, datar dan lebar, di mana ia mendirikan dua singgasana yang tinggi, dan menghiasinya dengan segala macam bendera dan dekorasi. Di atas singgasana ini kedua pihak yang berdebat akan duduk, dengan para pengikut mereka di bawah, dan Raja dan rakyatnya di antara keduanya. Ketika harinya telah tiba, Kāśyapa dan para pengikutnya tiba terlebih dahulu, dan setelah naik ke singgasananya, lihatlah! Sesosok hantu jahat, mengetahui rasa iri yang membakar batin sang Brahmana, menyebabkan sebuah badai yang muncul secara tiba-tiba, menyapu kursi yang ia duduki, dan memenuhi seluruh arena dengan debu dan pasir terbang. Tetapi sekarang Sang Buddha tiba, dan setelah duduk di tempat-Nya, Raja datang dan memohon kepada-Nya dengan kekuatan-Nya untuk meyakinkan orang-orang kepada Dharma-Nya, dan membantah pandangan sesat lawan-Nya. Pada saat ini Sang Bhagavant naik ke udara, dan menunjukkan kemuliaan-Nya dengan menyebabkan api dan air keluar dari tubuh-Nya; Dan setelah berbagai perubahan ajaib dalam penampilan-Nya, Beliau kembali lagi ke tempat duduk-Nya. Kemudian para Nāga dan Deva angin menyebabkan bunga dan aroma yang menyenangkan jatuh, sementara nyanyian merdu terdengar di langit, serta bumi dan alam surga berguncang. Kemudian Purāna Kāśyapa, mengetahui bahwa ia tidak memiliki fakta untuk mengklaim atas karakteristik seorang guru tertinggi, menundukkan kepalanya karena malu, dan tidak berani mengangkat matanya. Atas hal ini, seorang -berlian-Litchavi (pahlawan dari Vaiśālī) mengangkat tongkatnya yang dari kepalanya keluar percikan api ke arah Kāśyapa dan bertanya kepadanya mengapa ia tidak memperlihatkan perubahan-perubahan yang luar biasa seperti yang baru saja ditampilkan? Kemudian Kāśyapa dan para pengikutnya melarikan diri ke segala arah, dan Sang Buddha beserta murid-murid-Nya kembali ke Vihāra Jetavana, di Śrāvastī. Setelah (kejadian) ini Kāśyapa, setelah bertemu dengan seorang murid wanita tua, yang mengejeknya karena mencoba berdebat dengan Sang Buddha, ia datang ke tepi sungai, dan memberi tahu murid-muridnya bahwa ia sekarang akan naik ke alam Brahmā, dan jika setelah menceburkan diri ke sungai ia tidak kembali, maka mereka mungkin mengetahui bahwa ia telah naik ke alam itu. Sehubungan dengan hal itu ia menceburkan diri, dan tidak kembali, murid-muridnya menyimpulkan bahwa ia telah pergi ke alam Brahma; Dan mereka juga, yang ingin bergabung dengannya di sana, menceburkan diri satu per satu ke sungai dan menjadi tersesat—Pergi ke neraka. Kemudian Sang Buddha menjelaskan bahwa dua kejahatan besar Kāśyapa yang menyebabkan kehancurannya adalah sebagai berikut—Pertama, berpura-pura telah mencapai kebijaksanaan tertinggi; Kedua, telah dengan jahat memfitnah Sang Buddha. Dan karena dua keburukan ini ia dan para pengikutnya telah menuju kehancuran; Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair berikut:—

 

[30.1] “Ia yang, dengan tuduhan palsu, mencari keuntungan; Ia yang, setelah melakukan sesuatu, tidak bertindak dengan benar ketika melakukannya; Ia yang dengan jahat memfitnah orang yang tidak bersalah, dan ingin menguasai dunia dengan kepura-puraan palsu (demikian)—Orang itu, yang terjerumus oleh kesalahannya, pasti jatuh ke neraka; Seperti seseorang yang dikurung di suatu benteng di luar kota, dijaga dari dalam dan luar, tidak dapat melarikan diri, begitulah nasibnya. Dengan penuh perhatian seseorang menjaga batin(nya), tidak akan muncul pikiran yang tidak suci; Namun jika (ia) gagal dalam hal ini, dukacita akan muncul, dan pada akhirnya orang itu akan binasa.”

 

Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha menceritakan sebuah kisah tentang lima ratus monyet dengan raja mereka, yang bertengkar dengan raja lain dan para pengikutnya, dan yang, karena tidak mampu mempertahankan konflik tersebut, mengakhiri hidup mereka seperti yang telah dilakukan oleh Kāśyapa dan para pengikutnya (yaitu, dengan melompat ke laut untuk mencari gunung yang indah, yang penuh dengan buah-buahan lezat, dll., dan ketika raja tidak kembali, semua pengikutnya mengikuti perilakunya, dan binasa). Sang Buddha menjelaskan bahwa kelima ratus monyet ini adalah Kāśyapa dan para pengikutnya. Raja yang mendengar kata-kata ini, dipenuhi dengan kegembiraan, dan (ia pun) pergi.

 

###

 

法句譬喻經象品第三十一 [Fǎ jù pì yù jīng xiàng pǐn dì sān shí yī] - 31. Gajah (Nāgavaggo).

[1] Dahulu kala, sebelum Rahula mencapai kebijaksanaan tertinggi, watak perilakunya agak rendah dan tidak patuh, kata-katanya tidak selalu bercirikan dengan cinta akan kebenaran. Pada suatu kesempatan Sang Buddha memerintahkannya untuk pergi ke Vihāra Kien-tai (Ghanda atau Ghanta?), dan tetap menjaga mulut (lidah)nya, dan mengendalikan pikirannya, pada saat yang sama dengan tekun mempelajari (atau menjalankan) aturan Pratimoksa Sutra, Rahula, setelah mendengar perintah tersebut, memberikan penghormatan dan pergi. Selama sembilan puluh hari ia merasa sangat malu dan menyesal. Pada akhirnya Sang Buddha kembali ke tempat itu, dan menampakkan Dirinya; Saat melihat-Nya, Rahula dipenuhi dengan kegembiraan, dan dengan penuh hormat membungkuk dan memuja-Nya. Setelah itu, Sang Buddha menduduki tempat duduk yang disediakan untuk-Nya, Beliau meminta Rahula mengisi seember baskom dengan air dan membawanya kepada-Nya, lalu membasuh kaki-Nya. Setelah melakukannya, dan telah selesai mencuci, Sang Buddha bertanya kepada Rahula apakah air yang digunakan sekarang sudah layak untuk keperluan rumah tangga apa pun (minum, dll.); Dan atas hal ini Rahula menjawab tidak, karena airnya terkotori oleh debu dan tanah, Sang Buddha kemudian menambahkan: “Dan demikianlah kasusmu, meskipun engkau adalah putera-Ku dan cucu dari Raja, meskipun engkau dengan sukarela telah meninggalkan segalanya untuk menjadi seorang Bhiksu, namun engkau tidak mampu menjaga lidahmu dari kebohongan dan kekotoran dari percakapan yang tidak jelas, sehingga engkau bagaikan air yang kotor ini—Tidak berguna untuk tujuan lainnya.” Dan sekali lagi Beliau bertanya kepadanya, setelah airnya dibuang, apakah baskom itu sekarang layak untuk menampung air untuk diminum; Atas pertanyaan itu Rahula menjawab, “Tidak,” karena baskom itu masih kotor, dan dianggap tidak bersih, dan karena itulah tidak digunakan untuk tujuan apa pun seperti yang dikatakan; Atas hal ini Sang Buddha kembali menjawab, “Dan demikianlah kasusmu, dengan tidak menjaga lidahmu, dll., engkau dikenal dan diketahui sebagai tidak layak untuk tujuan mulia apa pun, meskipun engkau mengaku sebagai seorang Bhiksu." Dan kemudian sekali lagi (Beliau) mengangkat baskom kosong itu ke atas kaki-Nya, dan berputar-putar mengaduknya, Beliau bertanya kepada Rahula apakah ia tidak takut jika baskom itu jatuh dan pecah; Dan Rahula menjawab bahwa ia tidak memiliki ketakutan seperti itu, karena baskom itu hanyalah baskom yang murah dan biasa saja, dan karena itulah kehilangannya hanya akan menjadi satu masalah dalam waktu yang singkat. “Dan begitulah kasusmu,” kata Sang Buddha lagi, “Karena meskipun engkau adalah seorang Bhiksu, namun engkau tidak mampu menjaga mulutmu atau lidahmu, engkau ditakdirkan, sebagai makhluk yang kecil dan tidak berarti, untuk berputar-putar dalam pusaran transmigrasi yang tanpa akhir—Sebuah objek yang menjijikan bagi semua orang Bijaksana." (Saat itu) Rahula dipenuhi dengan rasa malu, Sang Buddha berkata kepadanya sekali lagi: "Dengarkanlah, dan Aku akan berbicara kepadamu dalam sebuah perumpamaan. Di masa lalu, terdapat seorang raja dari suatu negeri yang memiliki seekor gajah yang besar dan sangat kuat, yang mampu mengalahkan lima ratus gajah yang lebih kecil dengan kekuatannya sendiri. Raja ini, ketika akan berperang dengan sekutu yang memberontak, mengeluarkan baju besi milik gajah, dan memerintahkan pawang binatang itu untuk memakaikannya, yaitu, dua pedang berujung tajam di gadingnya, dua arit besi (sabit) di kupingnya, sebuah tombak bengkok di masing-masing kakinya, pemukul (atau bola) besi yang dipasang di ekornya; Dan untuk menemaninya ditunjuk sembilan prajurit sebagai pengawal. Kemudian pawang gajah itu bergembira ketika melihat gajah itu didandani demikian, dan (mengutamakan untuk) melatihnya diatas segalanya untuk menjaga agar belalainya tetap melingkar dengan baik, mengetahui bahwa sebuah anak panah yang menusuk di tengah-tengah pertempuran pasti berakibat fatal. Tetapi lihatlah! Di tengah-tengah pertempuran gajah itu, sambil mengulurkan belalainya, berusaha untuk mengambil sebuah pedang dengan belalainya. Atas hal tersebut pawang itu merasa ketakutan, dan, setelah berkonsultasi dengan raja dan para menterinya, disepakati bahwa ia tidak boleh lagi dibawa ke medan perang.” Selanjutnya, Sang Buddha berkata: “Rahula! Jika seseorang yang melakukan sembilan kesalahan hanya menjaga lidah mereka seperti halnya gajah ini yang dilatih untuk menjaga belalainya, maka semuanya akan baik-baik saja. Biarlah mereka berjaga-jaga terhadap anak panah yang ditembakkan di tengah (pertempuran)! Biarlah mereka menjaga mulutnya, agar mereka tidak mati, dan jatuh ke dalam dukacita kelahiran kembali di masa depan dalam tiga jalan jahat!" Dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini :—

 

[31.1] “Aku bagaikan gajah petarung, yang tanpa ketakutan apapun di tengah anak panah (anak panah yang melukai bagian tengah). Dengan kejujuran dan kebenaran Aku keluar dari (keadaan) orang tak bermoral (orang tanpa Dharma). Seperti halnya gajah, yang tenang dan dijinakkan dengan baik, mengizinkan raja untuk menaiki belalainya (menawarkan belalainya kepada raja untuk naik), demikianlah jinaknya Ia Yang Terhormat, ia juga menahankan kejujuran dan berkeyakinan.”

 

Rahula, setelah mendengarkan syair-syair ini, dipenuhi dengan dukacita karena kelalaiannya dalam mengabaikan ucapan-Nya dan mengabdikan dirinya untuk kembali berusaha, dan demikianlah (ia) menjadi seorang Rahat.

 

[2]  Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di (Vihara) Jetavana, di Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat para Deva dan manusia, saat itu terdapat seorang bangsawan tertentu, seorang perumah tangga (grihapati), yang bernama Atidharma (ho-ti-wan), yang, setelah datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, setelah memberikan penghormatan, berdiri di satu sisi dan berkata: “Sang Bhagavant! Setiap kali aku mempraktekkan Dharma Bhakti apa pun, seperti memberikan persembahan atau pelayanan lainnya, aku merasa dilecehkan dan ditekan oleh beberapa perasaan keakuan atau yang lainnya, yang menghancurkan kedamaian pikiranku. Alangkah baiknya jika dengan cinta kasih-Mu yang besar Engkau berkenan menjelaskan hal ini.” Kemudian Sang Bhagavant menyuruhnya untuk duduk, dan segera menanyakan namanya, dan dari mana ia datang. Mendengar hal itu, sambil bersujud lagi, ia menyebutkan namanya, dan mengatakaan bahwa pada masa raja sebelumnya ia adalah seorang penjinak gajah. Sang Buddha kemudian bertanya kepadanya apakah aturan untuk menjinakkan gajah, dan apa saja alat yang digunakan? Sehubungan dengan hal itu ia menjawab, “Ada tiga hal yang kami gunakan dalam pekerjaan ini—Pertama, kait besi, untuk menahan mulut dan menundukkannya; Kedua, alat untuk merampas makanan makhluk itu, dan menjaganya tetap sedikit; Ketiga, tongkat besar, untuk tujuan memukulnya. Dengan cara ini kami menguasainya, dan menjinakkannya.” Sang Buddha bertanya lagi, “Dan dari ketiga hal ini, manakah yang paling berguna (atau penting)?” Atas hal ini ia menjawab, “Kait besi yang menahan mulut; Ini yang paling efektif, karena dengan disiplin ini makhluk itu dijinakkan sehingga memungkinkan Raja untuk menunggangi punggungnya, dan dibimbing dan diarahkan tanpa kesulitan dalam pertempuran.” Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Apakah ini adalah metode yang diterima secara umum untuk menjinakkan gajah, dan apakah terdapat (metode) yang lain?” Dan kemudian penjinak gajah menjawab 'tidak', Sang Buddha menambahkan, “Seperti halnya engkau menjinakkan gajah, maka engkau dapat menjinakkan dirimu sendiri;” Dan ketika ia bertanya lebih jauh tentang makna ini, Sang Buddha melanjutkan: “O penjinak gajah! Aku juga memiliki tiga hal yang dengannya Aku menjinakkan semua orang, dan yang dengannya setiap orang dapat menjinakkan dirinya sendiri, dan dengan demikian mencapai kondisi tertinggi tanpa keakuan (wou-wei). Dan apakah tiga hal ini? Pertama, dengan pengendalian diri atas lidah, yang menuntun seseorang untuk selalu menaati kebenaran; Kedua, dengan cinta kasih, untuk membujuk yang sulit diatur dan keras kepala; Ketiga, dengan kebijaksanaan, untuk menghancurkan pengaruh ketidak-tahuan dan keragu-raguan. Dengan ketiga hal ini Aku menjinakkan semua orang, dan memungkinkan mereka untuk keluar dari jalan kehancuran, dan mencapai kondisi yang terbebas dari dukacita dan segala belenggu lingkaran kelahiran dan kematian—Sepenuhnya tanpa keakuan dan tanpa kemelekatan (wou-wei).” Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:—

 

[31.2] “Bagaikan gajah yang disebut “U-ts'ai" (Dhammapālaka?) yang sulit untuk dikendalikan dan dijinakkan, dan ketika terikat tidak mau makan sedikitpun, dan hanya berkeinginan untuk bebas; Demikianlah pikiranmu, dalam keadaan normalnya, pergi mengembara dengan bebas, dan selalu mencari tempat bersandar, namun sekarang Aku telah menjinakkannya, dan Aku telah mengendalikannya, seperti halnya pawang dengan kait mengendalikan gajah. Bersenang dalam Pencerahan (Bōdhi), dan tidak membiarkannya kabur, agar dapat setiap waktu menahan dan mengendalikan pikiran, hal itu untuk menjaga(nya) dari penderitaan jasmani, seperti halnya gajah yang keluar dari dalam parit di mana ia telah terjatuh.”

 

Sang Grihapati, setelah mendengarkan syair-syair ini, mengarahkannya pada perenungan dengan saksama, dan pada akhirnya mencapai suatu kondisi pencerahan, sementara orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya menjadi berkeyakinan pada Dharma.

 

###

 

法句譬喻經愛欲品第三十二 [Fǎ jù pì yù jīng ài yù pǐn dì sān shí èr] - 32. Nafsu (Tanhāvaggo).

[1] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, mengajarkan Dharma yang tak ternilai demi manfaat bagi para Deva dan manusia, terdapat seorang pemuda tertentu yang, setelah memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan menjadi seorang pertapa, datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan meminta izin untuk memasuki Samgha. Atas permintaannya itu, Sang Buddha memintanya (setelah mengizinkannya menjadi seorang murid) untuk duduk di bawah sebatang pohon dalam keterasingan, dan bermeditasi. Atas permintaan itu, Bhiksu itu pun pergi ke belantara pegunungan, lebih dari seratus Li dari Vihāra, dan di sana ia menjalani kehidupan yang terasing. Setelah tiga tahun mengasingkan diri, batinnya masih belum tenang, ia berniat untuk meninggalkan pekerjaannya dan kembali lagi ke rumahnya, sambil berkata demikian kepada dirinya sendiri, “Kehidupan pertapaan ini menyusahkan dan menyakitkan, dan tidak sebanding dengan kebahagiaan yang diperoleh dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, aku akan kembali kepada istri dan keluargaku dan menikmati diriku sendiri.” Atas hal ini, ia bersikap seolah-olah akan meninggalkan gunung dan pulang ke rumah. Kemudian Sang Buddha, dengan mata dewa-Nya, melihat kondisi murid ini, dan mengetahui bahwa ia memiliki kapasitas untuk pembebasan, mengubah Dirinya menjadi bentuk seorang Bhiksu, dan pergi menemuinya di jalan. Ketika bertemu satu sama lain, Bhiksu yang telah berubah itu menyapa yang lain dan bertanya dari mana ia datang dan apakah ia akan pergi? Sehubungan dengan hal ini, mereka sepakat untuk beristirahat sejenak dan duduk bersama di tempat yang nyaman (tanah yang datar). Ketika duduk, Bhiksu yang kecewa itu menjelaskan kepada Yang Lain kondisinya, dan mengakui bahwa ia akan pulang ke rumah karena merasa gagal dalam kehidupan sucinya. Saat itu, terjadilah ketika ia sedang berbicara, seekor monyet tua meninggalkan pohon tempat di mana ia tinggal, turun ke tempat terbuka dan bersenang-senang; Kemudian Bhiksu yang berpura-pura itu bertanya kepada yang lain, mengapa terjadi demikian? Kemudian ia menjawab: "Aku sering mengamati monyet yang sama ini turun dan berperilaku seperti demikian, dan alasan untuk melakukan hal tersebut ada dua,—Pertama, ia bergembira karena terbebas dari kekhawatiran untuk menyediakan bagi istrinya dan kebutuhannya sendiri; Dan kedua, ia lelah dan terluka karena terus-menerus memanjat pohon di mana keluarganya tinggal, dan dengan senang hati kabur dari kerja kerasnya: Karena dua alasan inilah ia meninggalkan pohon dan bersenang-senang di tanah terbuka. Namun sementara itu, ketika keduanya sedang berbincang, monyet itu mundur dari tempat terbuka, dan kembali memanjat pohon, sehubungan dengan hal itu Bhiksu Asing itu memberitahu kepada yang lain, dan bertanya apakah ia mengetahui hal ini, dan bagaimana ia menjelaskannya? Atas hal itu Bhiksu itu berkata bahwa hal tersebut akibat ketakutan dan ketidak-pastian sehingga monyet tersebut kembali ke rumahnya; Atas jawaban tersebut, Bhiksu yang Asing menimpali: "Demikian pula halnya dengan dirimu sendiri; Hal tersebut adalah kecemasan yang disebabkan oleh istri dan keluargamulah yang pertama kali mendorongmu untuk menemukan kebebasan di belantara pegunungan ini, namun sekarang karena keraguan dan ketidak-pastian, engkau akan kembali ke dunia, dan dengan melakukan hal tersebut engkau membuka dirimu sendiri pada semua konsekuensi buruk dari kelahiran kembali dan kematian berikutnya. Kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini:

 

[32.1] “Seperti halnya sebatang pohon, selama akarnya kokoh dan terjaga, walaupun ditebang, masih (dapat) bertahan dan menghasilkan buah; Demikianlah, kecuali sisa-sisa nafsu dihancurkan dan dicabut, (seseorang) harus kembali lagi dan lagi untuk menerima dukacita. Monyet itu, yang jauh dari pohon, pertama-tama menikmati kebebasan, dan kemudian kembali lagi (ke ikatannya), seperti halnya manusia, mereka keluar dari neraka dan kemudian kembali ke sana. Pikiran yang penuh kerinduan adalah bagaikan air sungai yang terus mengalir; Memberi jalan bagi kenikmatan bebas dari kemalasan dan kemewahan, pikiran seperti seekor anjing buas yang mencari kesenangan terus-menerus, dan manusia itu sendiri menjadi terdelusi dan tidak dapat melihat kebenaran. Setiap pikiran mengalir di saluran yang sama, maka nafsu mengikat seseorang seperti dengan ikatan rotan yang kuat. Hanya orang bijaksana yang mampu membedakan kebenaran dengan benar, ia mampu memotong akar terdalam dan sumber dari (nafsu) pikirannya. Seorang yang menyenangkan dirinya akan menjadi rapih dan berkilau, pikirannya akan berkembang seperti sulur yang berkecambah, dan kedalaman dari nafsu(nya) tidak dapat diukur; Dari sini munculah kelangsungan penuaan dan kematian yang terus-menerus.

 

Bhiksu itu melihat penampilan agung Sang Buddha, dan mendengar syair-syair yang telah diserukan-Nya, bersujud di tanah dengan penghormatan yang paling rendah hati di hadapan-Nya, dan menyesali kemalasannya, ia tekun mempraktikkan aturan Samatha dan Vipassinā, sampai pada kondisi seorang Rahat. Dan semua Deva yang telah mendengar syair-syair itu, dengan pikiran gembira menaburkan bunga di hadapan sosok Sang Buddha, sebagai persembahan Puja, dan pergi dengan "Sādhu" yang tak terhitung jumlahnya.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Śrāvastī, dan di sana Beliau membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia, di sana tinggallah seorang Brahmana kaya tertentu yang sangat tamak dan kikir, yang, karena ingin menghemat derma, ia biasa memerintahkan pembantunya untuk menutup pintu dan mengunci jendelanya setiap kali ia makan, sehingga tidak ada pengemis yang mengganggunya dengan permintaannya. Dan karena itulah tidak ada orang Brahmacarin (Bhiksu) yang dapat masuk, atau berdiri di hadapan Brahmana ini. Suatu hari, setelah meminta istrinya untuk membunuh seekor unggas dan membuat hidangan yang sangat lezat dari unggas itu, mereka berdua duduk bersama untuk memakannya, pintu dan jendela telah ditutup terlebih dahulu—Dan diantara mereka terdapat anak kecil mereka, yang padanya mereka berdua dengan sesekali memasukan ke dalam mulutnya sisa-sisa hidangan lezat itu. Sekarang Sang Buddha, mengetahui bahwa terdapat kapasitas untuk berkeyakinan dalam kasus orang ini, mengubah Dirinya menjadi seorang Bhiksu, dan menunggu hingga tuan rumah selesai makan, Beliau menempatkan Dirinya di depan kursi-Nya, atau tempat duduk-Nya, dan melafalkan syair yang biasanya (dilafalkan). "Ia yang memberi sedikit atau banyak (atau ia yang memberi sedikit dari kelimpahannya) dalam bentuk derma, menyimpan untuk dirinya sendiri sebuah hasil yang besar." Brahmana itu, mengangkat kepalanya dan melihat Bhiksu itu (seperti yang terlihat), mulai memaki-makinya dan berkata, "Engkau menyebut Dirimu seorang Bhiksu-Brahmacarin, ya kan? Namun tidak memiliki sopan santun yang lebih baik dari ini, memaksakan Dirimu untuk hadir di hadapanku saat aku makan bersama keluargaku?" Kepadanya Beliau menjawab, "Adalah engkau, tuanku, yang seharusnya malu—Aku tidak perlu merasa malu karena mengemis sebagai seorang Bhiksu." Brahmana itu kemudian menjawab—"Dan apakah rasa malu yang harus aku rasakan karena makan seperti ini bersama istriku dalam kenyamanan?" “Engkau, tuanku, yang telah membunuh ayahmu, dan menikahi ibumu, dan dengan demikian melibatkan dirimu dalam aib keluarga, dan tidak merasa malu, namun engkau mencela-Ku dan ingin membuat-Ku malu karena mengemis sedikit makanan,” dan kemudian Beliau membacakan syair-syair berikut:

 

[32.2] “Seperti tanaman merambat yang berkecambah dan tidak terpotong (pada akarnya), demikianlah kasus seseorang yang, dengan keinginan yang tamak, memakan makanan; Selalu memelihara pikiran-pikiran jahat dan memperbanyak perselisihan keluarga (makam), demikianlah pekerjaan yang terus-menerus dilakukan oleh orang yang bodoh. Neraka, tentu saja, memiliki pengekang dan belenggu, tetapi orang bijaksana tidak menganggap hal ini sebagai tawanan; Orang bodoh yang tenggelam dalam kekhawatiran tentang istri dan anak serta merias diri mereka, ialah yang benar-benar tawanan. Orang bijaksana menganggap nafsu sebagai penjara neraka, sebagai belenggu yang mengikat keras yang sulit dilepaskan, dan karena itu ia ingin memisahkan ini dan memotongnya selamanya, sehingga dengan terbebas dari kekhawatiran (atau keinginan) demikian, ia dapat menemukan ketenangan dan kedamaian.”

 

Brahmana yang mendengar syair-syair itu bertanya tentang maknanya, dan Sang Bhisku menjelaskan bahwa di masa lalu unggas (ayam jantan) yang baru saja dimakannya adalah ayahnya, bahwa anak laki-laki kecilnya sebelumnya adalah sesosok Raksha, dan telah memakan ayahnya, dan bahwa istrinya di masa lalu adalah ibunya—Dan demikianlah ia terlibat dalam aib yang paling besar. Mendengar kata-kata ini Brahmana itu, dipenuhi dengan ketakutan memohon kepada Sang Buddha, yang sekarang telah menjelma menjadi wujud-Nya yang mulia, untuk mengajarinya tentang Sila dalam Dharma-Nya, dan akhirnya memperoleh pembebasan dan memasuki Jalan Pertama (Srotapanna).

 

[3] Dahulu kala, ketika Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana di dekat Śrāvastī, terdapat seorang Bhiksu muda, yang, berjalan di jalan-jalan kota untuk berpindapatta, melihat seorang gadis yang sangat cantik, dan (ia) sangat menyukainya. Karena tidak mampu menaklukkan keinginannya, ia jatuh sakit, tidak dapat makan ataupun tidur, dan setiap harinya menjadi merana. Atas hal itu seorang murid lainnya mendatanginya, dan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa menderita demikian, atas hal ini murid pertama pun menceritakan segalanya kepada murid lainnya, dan pada akhirnya mereka berdua pergi ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan menjelaskan kejadian itu kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha berjanji untuk mencari obat bagi penyakit Bhiksu tersebut, dan segera meminta agar ia menemani-Nya bersama para pengikut-Nya ke kota. Ketika pergi ke rumah di mana gadis itu berdiam, mereka menemukan bahwa gadis itu telah meninggal tiga hari yang lalu. Rumah itu dipenuhi oleh mereka yang berduka, yang meratap dan menangis tanpa henti. Kemudian sambil menunjuk mayat yang menjijikkan itu, Sang Buddha bertanya kepada Bhiksu itu, apakah mayat itu yang telah membakar nafsunya? Dan kemudian Beliau menjelaskan bagaimana segala hal yang muncul semuanya akan dapat hancur dan tidak kekal, dan bahwa hanya melalui ketidak-tahuan akan hal ini orang-orang menaruh cinta mereka pada hal-hal tersebut, dan kemudian Beliau menyatakan syair-syair ini:—

 

[32.3] “Saat melihat keindahan batin langsung terjerat, karena tidak mempertimbangkan ketidak-kekalan semua penampilan tersebut. Orang bodoh yang menganggap bentuk luar sebagai satu keunggulan, bagaimana ia dapat mengetahui kepalsuan atas hal tersebut, karena bagaikan ulat sutra yang terbungkus jaringnya sendiri (kepompong), demikian pula ia terjerat dalam kecintaannya sendiri terhadap nafsu inderawi. Namun orang bijaksana, yang mampu memisahkan dirinya dan menyingkirkan semua ini, tidak lagi terbelenggu, tetapi menyingkirkan segala dukacita. Orang yang ceroboh dan malas menganggap bahwa pemanjaan indera seperti demikian tidak bertentangan dengan kemurnian, dan demikianlah dengan terus menuruti pikiran-pikiran seperti itu, ia terbelenggu sebagai seorang yang terperangkap di neraka; Tetapi orang bijaksana, yang menghancurkan semua pikiran tentang hal-hal tersebut, dan selalu mengingat ketidak-murnian dari pemanjaan tersebut, dengan cara ini keluar dari perangkap, dan dengan demikian mampu keluar dari kesedihan akibat usia tua dan kematian yang berulang.”

 

Bhiksu muda itu, melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya, dan setelah mendengarkan syair yang baru saja dibacakan, berbalik dengan penuh penyesalan dan bersujud di hadapan Sang Buddha, setelah itu, dengan tekun dalam Jalan Pemurnian, ia segera menjadi seorang Rahat.

 

[4] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia (Nāga dan Yaksa), saat itu terdapat seorang perumah tangga kaya tertentu yang hanya memiliki seorang putera, seorang pemuda berusia sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Ayah dan ibu anak laki-laki ini telah meninggal, dan (karena) ia tidak mengetahui aturan-aturan untuk berhemat dalam pengeluarannya, (ia) mulai menghabiskan uangnya untuk dirinya sendiri dan orang lain, sehingga dalam waktu singkat ia menjadi pengemis dan hidup berkekurangan. Saat itu ayah putera itu memiliki seorang kerabat yang juga sangat kaya; Suatu hari kerabatnya tersebut melihat kondisi menyedihkan anak muda itu, ia merasa kasihan padanya, dan membawanya ke rumahnya, dan akhirnya memberinya tempat tinggal sendiri, dengan seorang istri, budak-budak, kuda-kuda, dan kereta-kereta. Namun terlepas dari pengalaman sebelumnya, pemuda itu kembali berfoya-foya, dan kembali lagi jatuh miskin, dan meskipun telah berulang kali dibantu oleh kerabat dan penyokongnya, ia tetap seperti itu. Pada akhirnya, kerabatnya yang lelah itu memanggil istri pemuda itu, dan mengatakan kepadanya bahwa sebaiknya ia mencari rumah lain, dan menemukan seseorang yang dapat melindungi dan memenuhi kebutuhannya dengan cara yang terhormat. Mendengar hal ini, ia kembali kepada suaminya dan berkata, "Suamiku, engkau nampaknya tidak mampu  untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku bertanya kepadamu, apa yang ingin engkau lakukan? Aku harus mencari rumah lain, jika tidak ada nafkah di sini untukku." Mendengar hal ini, pria itu merasa malu dan kecewa, dan ia berpikir di dalam batin—"Aku benar-benar orang yang menyedihkan dan tidak bahagia. Aku tidak tahu bagaimana mengelola urusanku; Dan sekarang aku akan kehilangan istriku, dan harus pergi mengemis lagi." Berpikir demikian, dan tersulut oleh kenangan akan kenikmatan dan nafsu di masa lampau, ia memutuskan dengan niat jahat untuk mengakhiri hidup istrinya, dan setelah itu membunuh dirinya sendiri. Karena itulah, ia membawa wanita itu ke kamar dalam kediamannya, ia segera mengatakan niatnya untuk mati bersamanya di sana, lalu ia menikam istrinya, dan setelah itu mengakhiri hidupnya. Para pelayan(nya), mengetahui bagaimana kejadiannya, dengan bergegas pergi menemui kerabat kaya dari pria tersebut dan menceritakan semua kejadiannya; Atas hal ini ia datang bersama semua orang di sekitarnya, dan melihat pemandangan yang menyedihkan itu, ia dipenuhi dengan kesedihan, dan pada akhirnya menguburkan mereka sesuai dengan aturan di negeri itu. Setelah mendengar tentang Sang Buddha, dan kenyamanan yang dapat Beliau berikan melalui khotbah Dharma-Nya, ia datang bersama semua pelayannya ke tempat di mana Sang Guru berada, dan menceritakan kepada-Nya tentang semua hal yang telah menimpanya. Atas hal ini Sang Buddha memulai diskusi berikut:—"Nafsu dan keinginan (keinginan pada amarah) adalah dukacita yang selalu ada di dunia. Inilah yang menyebabkan segala ketidak-bahagiaan yang menimpa orang bodoh. Inilah jalan yang dengannya kelahiran kembali yang terus-menerus dalam kemenjadian di berbagai kondisi yang berbeda (lima jalan) berlangsung di seluruh tiga dunia. Jika penderitaan atas penuaan tidak dapat membawa manusia pada penyesalan dan perbaikan, betapa lebih sedikit lagi yang dapat kita harapkan sekarang dari orang bodoh untuk menjadi orang bijaksana, dan menyingkirkan racun dari nafsu dan hasrat ketamakan, yang menghancurkan tubuhnya dan menghancurkan keluarganya (klan), bahkan, yang menghancurkan dan memporak-porandakan seluruh dunia—Dan jika memang demikian, bagaimana kita dapat bertanya-tanya tentang apa yang telah menimpa pria ini dan istrinya. Kemudian Sang Guru menyatakan syair-syair ini:

 

[32.4] “Orang bodoh dengan sendirinya terikat oleh ketamakannya, tidak berusaha keluar ke pantai itu. (Karena) tamak akan kekayaan dan pemanjaan nafsu, ia menghancurkan orang lain dan ia menghancurkan dirinya sendiri. Pikiran yang penuh nafsu adalah ladangnya, kecintaan berlebih, kemarahan, delusi, adalah buahnya. Oleh karena itu ia yang memberikan pemberian kepada orang yang meninggalkan keduniawian, memperoleh kebahagiaan (jasa) yang tak terbatas. Sedikit teman dan banyak barang, pedagang (itu), (menjadi) penakut dan cemas, yang memiliki pikiran tamak, perampok mengambil hidupnya (atau, 'Hal ini, seperti seorang perampok, yang mengambil hidupnya'). Oleh karena itu, orang bijaksana, menyingkirkan semua keinginan akan ketamakan.”

 

Perumah tangga yang mendengar kata-kata ini dipenuhi dengan kegembiraan; Ia melupakan kesedihannya, dan bangkit dari tempat duduknya, ia dan rekan-rekannya seluruhnya memperoleh buah dari Jalan Pertama (Srotapanna).

 

[5] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia, dsb., saat itu terdapat dua orang pengembara yang merupakan sahabat sesumpah, dan seakan-akan sehati, (sehingga) yang berada di lingkungan itu mengira mereka akan menjadi Bhiksu. Mereka pun datang ke tempat di mana Sang Guru berada, dan setelah memberikan penghormatan, mereka menjelaskan keinginan mereka. Setelah menerima mereka dalam Samgha-Nya, Beliau mengirim mereka ke satu tempat untuk bermeditasi. Akan tetapi, terlepas dari semua upaya mereka, mereka tidak dapat melupakan kesenangan dari kehidupan mereka sebelumnya, dan diperbudak oleh keinginan untuk pemanjaan indera. Sang Buddha dengan mata dewa-Nya memahami kondisi mereka, dan ingin menyelamatkan mereka, memanggil seorang Bhiksu untuk pergi ke kediaman mereka, dan berkata kepada mereka, "Bagaimana menurutmu jika kita bertiga pergi ke lokalisasi pelacuran, dan tanpa basa-basi lagi, melihat tubuh salah satu wanita cantik yang sangat engkau kagumi?" Maka mereka semua pergi ke lokalisasi pelacuran itu, dan setelah bertemu dengan seorang Wanita (yang sebenarnya hanyalah Sang Buddha sendiri yang telah berubah wujud), mereka meminta Wanita itu untuk memperlihatkan pesona-Nya, tanpa benar-benar melakukan pelanggaran yang nyata. Maka Wanita itu mulai melepaskan karangan bunga dan perhiasan-Nya, dan perlahan-lahan melepaskan pakaian-Nya, lihatlah! Pemandangan yang mengerikan dari perubahan tubuh itu memenuhi mata mereka, dan bau busuk itu menyerang indera mereka, sehingga mereka tidak dapat mendekati tempat di mana Wanita itu berada. Kemudian Bhiksu itu berbalik dan berbicara kepada keduanya: “Apa yang di dunia disebut kecantikan hanyalah kombinasi dari bunga-bunga dan hiasan-hiasan, salep dan pakaian; Dengan menyingkirkan semua itu, dan apalah yang ada di sana selain ketidak-menarikan dan penampilan yang menjijikkan? Apakah dengan tubuh seperti ini, kulit keriput seperti kulit bahan pakaian, tubuh yang mengeluarkan bau busuk, yang membuatmu begitu tergila-gila, dan kemudian ia menyatakan syair-syair ini:

 

[32.5] “O nafsu! Aku telah menemukan sumber dan asalmu. Lahir dari penyibukan akan kenangan-kenangan yang menghantui pikiran. Sekarang aku tidak akan lagi memikirkanmu atau hal-hal ini; Maka kau tidak akan ada lagi bagiku. Hanya dari pikiranlah nafsu muncul; Dari diri sendiri muncul lima keinginan indera. Maka, bergegaslah untuk mengikat kelima keinginan ini, dan buktikan dirimu sebagai pahlawan sejati! Di mana tidak ada nafsu, tidak ada ketakutan yang mencemaskan; Damai, dan tenang, tidak ada lagi kekhawatiran yang mengerikan bagi orang seperti itu—Keinginan telah diusir, belenggu-belenggunya telah disingkirkan selamanya. Hal ini memang untuk menemukan pembebasan sejati (lit., "Untuk waktu yang lama keluar dari jurang (dukacita))" [Mungkin sama dengan "Ogha-tinna," lihat M.M. 370].

 

Kemudian Sang Buddha, setelah menampakkan Dirinya dalam wujud yang mulia, kedua Bhiksu itu dipenuhi dengan rasa malu, dan dengan penyesalan yang mendalam, mereka bersujud di kaki Sang Buddha dan memberi hormat. Dan setelah mendengarkan lebih lanjut instruksi-Nya mereka menjadi Rahat. Sekarang ketika mereka kembali ke kediaman mereka, salah seorang Bhiksu melihat wajah yang bahagia dan puas dari Bhiksu yang lain, bertanya kepada temannya tentang alasannya, yang kemudian ia mengulang lagi dan lagi syair berikut:—

 

[32.6] "Siang dan malam aku telah diperbudak oleh nafsu ragawi, pikiranku terus-menerus memikirkan hal-hal ini; Tetapi sekarang aku telah melihat wanita yang sangat kurindukan itu dengan begitu banyak penyakit pada tubuhnya yang telanjang, pemikiran-pemikiranku telah musnah, aku tidak lagi berduka."

 

Mendengar syair-syair ini, temannya mampu melepaskan diri dari belenggu nafsu ragawi, dan segera menerima Mata Dewa [Mata Dharma?].

 

###

 

法句譬喻經利養品第三十三  [Fǎ jù pì yù jīng lì yǎng pǐn dì sān shí sān] - 33. Pengabdian yang Menguntungkan.

[1] Dahulu kala Sang Buddha bersama dengan para pengikut-Nya, setelah pergi ke kerajaan Kausāmbī (Ku-tan-mi), Beliau berdiam di (suatu) Vihāra yang disebut Mi-yin (suara merdu), dan di sana (Beliau) membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva dan manusia. Pada saat itu raja negeri tersebut bernama Yau-tien (Udāyana), yang memiliki ratu dengan karakter yang sangat murni. Setelah mendengar bahwa Sang Buddha telah datang ke kerajaannya, Raja dan Ratu, bersama para pelayannya, pergi untuk mengunjungi-Nya, dan setelah memberi penghormatan seperti biasanya, mereka duduk. Kemudian Sang Buddha, demi kebaikan mereka, mulai membabarkan Dharma dan menunjukkan ketidak-kekalan, dukacita, dan kesia-siaan atas hal-hal di sekitar kita, yang menjadi sumber segala kesengsaraan kita berasal. Dan kemudian Beliau membuktikan bahwa surga adalah buah dari kebajikan Dharma, dan neraka adalah akibat dari keburukan (kejahatan). Sebagai akibat dari khotbah ini, baik Raja maupun Ratu menerima lima aturan seorang Upasaka, dan kemudian (mereka) kembali ke istana. Pada saat itu terdapat seorang Brahmana tertentu bernama Kih-sing (bintang keberuntungan), yang memiliki seorang puteri yang kecantikannya tak tertandingi, yang baru berusia enam belas tahun. Karenanya Brahmana itu, selama sembilan puluh hari, mempertunjukkan setumpuk seribu emas masuran (butiran beras?), dan menantang siapa pun untuk menemukan satu kecacatan pun pada diri (puteri)nya, dan siapa pun yang dapat melakukannya dapat memiliki emas tersebut. (Karena) tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya, dan karena ingin menemukan seseorang yang cocok untuk dinikahi puterinya, ia kembali menantang siapa pun untuk memberikan seorang pria yang setara dengan putrinya dalam hal keanggunan, dan kepadanya ia akan memberikan puterinya sebagai seorang istri. Saat itu, setelah mendengar bahwa keluarga Bhiksu Gōtama, yang dikenal sebagai para Śākya, terkenal luar biasa karena keindahan mereka, dan oleh karena Beliau [Sang Buddha] (dirasa) cocok untuk memiliki puterinya, ia datang ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan membawa puterinya bersamanya, setelah memberi penghormatan seperti biasanya, ia berkata demikian:—"Puteriku sungguh cantik, dan tiada bandingnya dalam hal keanggunan feminimnya; Dan Engkau juga, Gōtama, luar biasa karena keindahan-Mu. Oleh karena itu, Engkau dapat memiliki puteriku, dan menjadikannya teman (istri)-Mu." Kepadanya Sang Buddha menjawab, "Kecantikan puterimu, tuan, adalah menurut penilaianmu sendiri; Keindahan-Ku adalah berdasarkan (penilaian) Para Buddha; Keindahan-Ku dan kecantikan seorang wanita adalah berbeda sama sekali. Kecantikkan puterimu, tuan, adalah seperti gambar di toples (atau bejana), yang di tengahnya hanya terdapat kotoran dan tinja. Bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai keindahan yang sehubungan hanya pada mata, telinga, hidung, mulut, tubuh? Inilah keindahan tubuh luar yang menyebabkan dukacita, menjungkir-balikkan keluarga, menghancurkan kekerabatan, mengorbankan hubungan, membunuh anak-anak; Semua ini datang dari (kecintaan pada) kecantikan wanita. Tetapi Aku seorang Bhiksu—Aku berdiri sendiri—Dan lebih memilih menanggung bencana apa pun daripada menuruti permintaanmu, tuan, engkau boleh pergi; Aku menolak tawaranmu."

 

Mendengar hal ini Brahmana itu pergi dengan perasaan sangat marah; Dan kemudian, ketika ia datang ke hadapan Raja, ia memuji kecantikan puterinya, dan menawarkan puterinya kepadanya. Sang Raja, yang sangat senang dengan penampilannya, menerima puterinya, dan mengangkatnya menjadi ratu kedua. Setelah (Raja) memberikan ratu kedua itu hadiah dan perhiasan, dengan segera ia (sang ratu kedua) mulai memenuhi pikirannya dengan pikiran cemburu dan ketidak-sukaan terhadap Ratu pertama, dan pada akhirnya membujuk Raja untuk mengirim Ratu pertama pada suatu kesempatan tertentu untuk menuruti keinginannya (mengetahui bahwa Ratu pertama tidak akan datang). Akibatnya Raja memanggil Ratu pertama, namun Ratu pertama menolak untuk hadir, dengan alasan bahwa ia sedang melakukan beberapa ritual keagamaan (puasa), dan demikianlah selama beberapa kesempatan. Sang Raja, yang marah saat itu, mengirim seseorang dengan seikat tali untuk menyeret sang Ratu kehadapannya; Dan ketika ia dibawa masuk, ia mengambil busurnya dan bermaksud untuk memanahnya hingga menembus tubuhnya. Namun lihatlah! Anak panah yang ia tembakkan kembali lagi kepada Raja, dan tidak melukai Ratu pertama; Dan begitulah (hal ini terjadi) lagi dan lagi. Atas hal ini Sang Raja, yang dipenuhi dengan keheranan (ketakutan), berkata kepadanya, “Dengan kekuatan gaib apa engkau mampu mewujudkan hal ini?” Dan Ratu pertama menjawab, “Aku pergi berlindung kepada tiga permata, dan sepanjang hari telah menjalankan pelatihan keagamaan (puasa), dan karena hal ini Sang Bhagavant telah melindungiku." Mendengar hal ini Sang Raja berseru, "Luar biasa!" dan, (setelahnya) mengusir Ratu kedua, ia mengirim Ratu kedua kembali ke orang tuanya, dan mengembalikan kekuasaan Ratu pertama yang tak terbantahkan. Kemudian, bersama para pelayan Ratu, Raja pergi ke tempat di mana Sang Buddha berada, dan setelah memberi hormat, ia menjelaskan kepada-Nya apa yang telah terjadi, sehubungan dengan hal ini Sang Buddha (setelah sebuah pembabaran Dharma singkat) menyatakan syair-syair ini :—

 

[33.1] “Walaupun Surga menurunkan tujuh materi berharga, namun orang yang tamak tidak akan puas; Kenikmatannya hanya sedikit, dukacitanya banyak. Orang bijaksana, yang memiliki moralitas, walaupun ia memiliki kenikmatan surgawi, akan dengan bijaksana membiarkannya pergi, dan tidak menginginkannya. Ia yang menemukan kebahagiaannya dalam melenyapkan pikiran-pikiran pemuasan nafsu, orang ini adalah murid Sang Buddha.”

 

Kemudian Sang Buddha menjelaskan lebih jauh kepada Raja akibat yang tak terelakkan dari kehidupan ia yang jahat, bahwa hal itu akan berakibat sepuluh ribu kali lebih menyedihkan bagi orang yang bersalah, sedangkan buah dari praktek Dharma dan meninggalkan keduniawian tentu saja adalah kenikmatan surgawi. Setelah berkotbah demikian, Raja dan para pelayan Ratu, serta yang lainnya, menerima pembebasan sempurna, dan memasuki Sang Jalan.

 

###

 

法句譬喻經沙門品第三十四 [Fǎ jù pì yù jīng shā mén pǐn dì sān shí sì] - 34. Bhiksu (Bhikkhuvaggo).

[1] Di masa lalu, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia, terdapat seorang Bhiksu tertentu, yang masih muda dalam usia, yang setiap paginya selalu mengenakan jubahnya, dan mengambil tongkat pertapa dan mangkuk derma, dan berjalan melalui jalan-jalan kota untuk berpindapatta. Di tengah perjalanan terdapat sebuah taman milik seorang bangsawan tertentu, di bagian luarnya ditanami tanaman talas tertentu, dan tanahnya dijaga oleh sebuah alat untuk menembakkan anak panah pada binatang apapun, ataupun pencuri, yang datang ke sana untuk masuk atau mencuri. Selain itu, sebagai penjaga tanah, terdapat seorang gadis yang masih sangat muda, yang pergi, biasanya memperingatkan para pengembara untuk menjauh dari tempat itu jika mereka tersesat, atau kemungkinan besar akan memasuki taman itu tanpa mengetahui bahayanya, paling tidak mereka harus ditembak.

 

Pada suatu ketika, Bhiksu itu dalam suatu kesempatan, setelah berkeliling kota, hendak pulang ke rumah, ketika melewati tempat itu, ia mendengar teriakan sedih dari gadis itu yang berteriak kepadanya untuk berhati-hati; Dan nafsunya dibangkitkan oleh hal tersebut, ia berpikir untuk pergi ke dalam dan berbincang dengannya, dan menghibur dirinya sendiri. Ketika hendak melakukan hal ini, tiba-tiba ia diliputi oleh ketakutan, ia membiarkan tongkatnya jatuh, dan jubahnya berantakan, dan mangkuk dermanya pun berantakan; Ketika itu Sang Buddha, melalui mata dewa-Nya, melihat bagaimana permasalahannya, dan bahwa dalam satu atau dua langkah Bhiksu itu akan tertusuk anak panah, dan binasa dalam keburukannya, mengubah Dirinya menjadi seorang Upasaka berjubah putih, dan berdiri di samping Bhiksu, menyatakan syair-syair penolakan berikut:—

 

[34.1] "Bhiksu! kemanakah engkau pergi? Tak terjaga dalam cara kerja pikiran. Langkah demi langkah semakin tenggelam dalam lumpur, seiring engkau mengikuti tujuan jahatmu. Jangan mempermalukan jubahmu dengan perbuatan jahat demikian yang engkau inginkan! Kematian menatap wajahmu ketika engkau melangkah maju! Bendunglah arus (kecenderungan), berhentilah sejenak dan renungkan, injaklah nafsu inderawi. Seseorang yang tidak menghancurkan nafsu inderawi dipimpin oleh satu pikiran saja (untuk melakukan hal ini dan itu, hingga ia menghancurkan dan mengacaukan dirinya sendiri). Maka bangunlah, dan lakukan dengan tegas! Ikatlah dirimu dengan erat. Orang yang telah meninggalkan rumah (untuk menjadi seorang Bhiksu), namun tetap tumpul dan lamban—Yang pikirannya masih mendambakan pemanjaan diri yang tidak murni—Adalah seperti pohon busuk yang dihempaskan oleh angin, yang sulit menahan kekuatannya, dan segera terhempaskan."

 

Kemudian Sang Buddha, setelah kembali ke wujud-Nya Yang Agung, Bhiksu itu, yang merasa malu karena kelemahannya, bersujud di kaki Sang Guru, dan, dengan sangat menyesal, segera menjadi seorang Rahat; Dan tak terhitung banyaknya orang lain yang mendengar kasus tersebut, yang tergabung dalam Vihāra, menerima Mata Dharma.

 

###

 

法句譬喻經梵志品第三十五 [Fǎ jù pì yù jīng fàn zhì pǐn dì sān shí wǔ] - 35. Brahmachārin.

[1] Dahulu kala, di suatu gunung tertentu (yang disebut Sse-yau-chu-to) di negeri Saketa (Sse-ho-teh), di sana terdapat sekitar 500 Brahmana yang berpura-pura telah mencapai pembebasan akhir (Nirvāna), dengan mempertimbangkan kekuatan batin mereka (irrdhi). Pada saat itu, Sang Buddha, yang baru saja mencapai pencerahan sempurna, dan mulai membunyikan genderang Dharma, serta membuka pintu menuju tanpa kematian, karena para Brahmachārin ini, merasa terdorong untuk datang ke lingkungan mereka, dan duduk di bawah sebatang pohon, untuk memperlihatkan kemegahan Dirinya. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, Beliau menyatakan syair-syair ini:

 

[35.1] “Bendunglah arus dan melewatinya, tanpa keinginan sebagai seorang Brahmana! Memahami akhir dari segala yang terbentuk (atau, dari semua cara berperilaku), inilah yang benar-benar disebut (kehidupan seorang) Brahmachārin. Dalam (atau, melalui) dua Dharma kekosongan, murni dan tanpa noda menyeberangi jurang, membuang semua ikatan keinginan, inilah (sesungguhnya) bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Bukan karena klannya, atau rambutnya yang dikepang, orang itu disebut seorang Brahmana, tetapi ia yang berjalan dengan kejujuran ​​dan kebenaran, ia memang pantas disebut seorang yang baik (Bhadra). Apalah gunanya rambut yang dikepang, O orang dungu! Pakaian dari rumput, apalah gunanya? Di batinnya tidak terdapat pelepasan keinginan, lalu apalah gunanya secara jasmani meninggalkan keduniawian? Singkirkanlah nafsu, kebencian, delusi, kelambanan dan semua akibat buruknya, seperti ular menanggalkan kulitnya, inilah sesungguhnya bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Pisahkan dirimu dari segala pergaulan duniawi—Janganlah membiarkan mulutmu mengucapkan kata-kata busuk—Selidikilah Delapan Jalan (Ashtānga mārga) secara menyeluruh, inilah sesungguhnya bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Telah menyingkirkan segala pikiran tentang kecintaan terhadap keluarga, telah melepaskan segala keinginan terhadap rumah, dan melepaskan segala ikatan akan pilihan pribadi, inilah sesungguhnya bagaimana menjadi seorang Brahmachārin. Ia yang telah melepaskan segala pikiran tentang dunia ini atau dunia selanjutnya, dan tidak bergantung pada keduanya—Orang ini sesungguhnya adalah seorang Brahmachārin. Ia yang memahami kehidupan lampaunya sendiri, dan telah mengakhiri segala kemungkinan kelahiran atau kematian di masa depan, ia yang Kusebut seorang Brahmachārin. Ia yang sempurna dalam pengetahuan, adalah seorang Brahmachārin.”

 

Setelah bersabda demikian, Sang Buddha menegur para Brahmachārin dengan kata-kata ini:

 

[35.2] “Kalian yang mengaku telah mencapai Nirvāna, hanyalah seperti ikan di kolam air yang dangkal! Kenikmatan atau kepuasan apakah yang dapat kalian harapkan?”

 

Setelah mendengar kata-kata ini dan merenungkannya, para Brahmachārin bersujud di hadapan Sang Buddha, dan setelah diterima ke dalam Samgha, mereka segera menjadi para Rahat. Para pendengar lainnya, juga dipenuhi dengan kegembiraan, mampu memasuki Sang Jalan.

 

###

 

法句譬喻經泥洹品第三十六 [Fǎ jù pì yù jīng ní huán pǐn dì sān shí liù] - 36. Nirvāna.

[1] Dahulu kala ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, bersama seluruh Samgha Bhiksu, yang berjumlah 1250 orang, Raja Magadha, yang bernama Ajātaśatru, yang saat itu menjadi penguasa 100 kerajaan, merasa bingung karena salah satu kerajaan bernama Yuechi (Getae?), menolak membayar upeti kepadanya, meskipun negara itu berkelimpahan harta, dan sangat makmur. Atas hal ini Raja mengirim perdana menterinya yang bernama Yu-she, untuk bertanya kepada Sang Buddha tentang apa yang harus dilakukannya, dan apakah ia akan berhasil menggunakan kekuatan melawan kerajaan yang memberontak. Setelah datang ke hadapan Sang Buddha dan mengajukan pertanyaan, Sang Bhagavant menjawab: "Selama Raja Yue-chi mematuhi tujuh aturan, mereka tidak akan mudah dikalahkan." Atas hal ini sang menteri menanyakan tentang karakteristik dari tujuh peraturan tersebut, dan Sang Guru menjawab: (1.) “Selama rakyat Yue-chi menaati peraturan yang benar dalam pemerintahan sendiri, di desa-desa dan komunitas mereka masing-masing, selama itulah mereka akan mampu melindungi diri mereka sendiri. (2.) Selama para menteri dan penguasa bersatu, dan sepakat, dan memerintah dengan adil, selama itulah mereka akan mampu melindungi diri mereka sendiri, dst. (3.) Selama mereka dalam satu prinsip nasional, menaati Dharma, dan tunduk pada arahan mereka tanpa pandang bulu ataupun keberpihakan, selama itulah mereka tidak akan terkalahkan. (4.) Selama (rakyat) Yue-chi menaati aturan kesopanan antara pria dan wanita, dan tidak menyimpang dari aturan kepatutan ini, selama itulah, dst. (5.) Selama (rakyat) Yue-chi menaati aturan penghormatan kepada ayah dan ibu serta kerabat lainnya, dan dengan patuh memenuhi kebutuhan mereka, selama itulah, dst. (6.) Selama (rakyat) Yue-chi berkeyakinan dengan taat menjalankan upacara empat musim, dalam melakukan penghormatan kepada langit dan bumi, selama itulah, dst. (7.) Selama (rakyat) Yue-chi menghormati semua guru agama mereka (para Bhiksu), dan terutama orang-orang yang datang kepada mereka dari jauh (pengembara atau tamu keagamaan), dan menyediakan mereka dengan kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, tempat tidur, obat-obatan, dst., selama itulah, dst.

 

Inilah ketujuh aturan itu, jika (rakyat) Yue-chi hanya menaati satu di antaranya, akan sulit untuk mengalahkannya, apalagi jika mereka menghormati ketujuh aturan tersebut, dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini:—

 

[36.1] “Jangan terlalu bergantung sepenuhnya pada keuntungan atas kemenangan (penaklukan), karena meskipun engkau mungkin menang dalam pertempuran, namun masih terdapat dukacita yang menanti; Sebaliknya seseorang mencari Sila penaklukan diri, setelah menaklukkan dirinya sendiri, maka tidak akan ada lagi dasar untuk kelahiran (atau, kehidupan yang berlanjut).”

 

Sang menteri yang mendengar syair-syair ini, dengan segera berkeyakinan (memperoleh dasar-dasar kebenaran (kebijaksanaan atau Bōdhi)), dan mereka yang ada dalam Samgha yang belum memasuki Sang Jalan, mampu melakukannya. Menteri itu kemudian bangkit dari tempat duduknya, memohon izin untuk pergi, dan setelah diizinkan oleh Sang Buddha, ia kembali kepada Raja dan memberi tahu apa yang dikatakan oleh Sang Guru. Atas hal ini Raja melepaskan semua niatnya untuk berperang, dan akibatnya Yue-chi kembali patuh dan tunduk kepada Raja.

 

###

 

法句譬喻經生死品第三十七 [Fǎ jù pì yù jīng shēng sǐ pǐn dì sān shí qī] - 37. Kelahiran dan Kematian.

[1] Dahulu kala ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia, terdapat seorang perumah tangga kaya tertentu, seorang Brahmana, yang memiliki seorang putera yang baru berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikahi seorang istri. Dan sekarang tujuh hari telah berlalu sejak pernikahan, ketika pasangan muda itu sepakat untuk pergi bersama ke taman pahlawan untuk melihat pepohonan dan bunga-bunga yang indah. Saat itu baru bulan ketiga musim semi ketika mereka berangkat. Di antara pohon-pohon lain terdapat sebatang pohon Plum indah yang sedang mekar, yang bunganya berada di luar jangkauan mereka, namun pengantin wanita sangat ingin memilikinya. Oleh karena itu pemuda tersebut memutuskan untuk memanjat pohon tersebut untuk mendapatkan bunga yang dicintai istrinya. Setelah mencapai dahan yang paling atas, lihatlah! Dahan itu tak mampu menahan beratnya, dan ia terjatuh ke tanah dan meninggal dunia. Kemudian terdengarlah ratapan yang sangat keras di antara anggota keluarganya. Ratapan dan tangisan dari teman-temannya terdengar di segala sisi—Dan sekembalinya dari upacara pemakamannya–Yang dilakukan sesuai dengan aturan agama–Rumah itu kembali dipenuhi dengan suara kesedihan dan ratapan. Mendengar hal ini Sang Bhagavant, yang mengetahui keadaan atas kasus tersebut, segera datang ke tempat tinggalnya. Saat melihat-Nya, ayah dan ibu serta anggota keluarga yang lainnya berjalan dan memberikan penghormatan kepada-Nya; Dan ketika menjelaskan penyebab kesedihan mereka, Sang Guru berkata kepada perumah tangga, “Hentikanlah ratapan kalian, dan dengarkanlah Aku! Segala sesuatu di sekitar kalian tidaklah kekal dan ditakdirkan untuk berubah! Begitu terlahir, maka di sana terdapat kematian. Keburukan dan akibat-akibatnya pasti terikat bersama. Dan siapakah pemuda ini, dan siapakah sanak saudaranya yang padanya kalian tangisi dengan sangat menyedihkan dan tanpa henti?" Dan kemudian Sang Guru menyatakan syair-syair ini :—

 

[37.1] “Apa yang disebut kehidupan hanyalah (bagaikan) bunga atau buah yang gugur, ketika matang, namun kemudian (apakah) mereka pernah merasakan ketakutan akan salju yang diluar musimnya? Begitu dilahirkan yang ada tidak lain hanyalah dukacita; Karena siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian? Sejak saat pertama pembuahan di dalam rahim, hasil dari keinginan dan cinta yang menggebu-gebu, tidak lain hanyalah bentuk jasmani, yang fana seperti kilatan petir. Adalah sulit membendung aliran air kehidupan sehari-hari. Tubuh ini hanyalah sesuatu yang ditakdirkan untuk hancur. Tidak ada bentuk tertentu yang dimiliki oleh 'diri' yang tersembunyi bersama tubuh. Setelah mati ia dilahirkan kembali—Hubungan antara keburukan dan kebajikan tidak dapat dilampaui. Hal ini bukanlah masalah kehidupan seseorang, ataupun kematian seseorang, tetapi dari tindakan pembuahan yang baru menyebabkan segala konsekuensi dari perbuatan-perbuatan sebelumnya, menghasilkan sukacita atau dukacita; Tubuhnya mati tetapi batin tidak terkubur!”

 

Setelah syair-syair ini dinyatakan, Sang Buddha menjelaskan bahwa penyebab kematian diluar waktunya dari pengantin lelaki muda adalah, bahwa di masa lalu ia dengan kejam memanah seekor burung pipit muda menggunakan tubuhnya, saat ia berjalan-jalan di taman rumahnya bersama tiga temannya; Kemudian setelah menjelaskan konsekuensi yang berlangsung dalam setiap kasusnya, Sang Bhagavant menambahkan syair-syair berikut:

 

[37.2] “Hanyalah pikiran (diri) yang menentukan karakter (kehidupan di) tiga dunia. Seperti halnya kehidupan yang bermoral atau sebaliknya, kehidupan selanjutnya dari suatu individu. Hidup dalam kegelapan, kegelapan akan menyusul; Akibat dari kelahiran adalah bagaikan gema dari gua yang besar, tenggelam dalam nafsu ragawi, tidak ada yang lain selain hasrat ragawi; Segala sesuatu merupakan hasil dari perbuatan sebelumnya, bagaikan jejak kaki yang mengikuti langkah gajah, atau bayangan pada hakikatnya.”

 

Setelah mendengar syair-syair ini, perumah tangga dan orang-orang yang mendampinginya dipenuhi dengan kegembiraan, dan menerima Trisarana dan Pancasila, dan pada akhirnya memasuki Sang Jalan.

 

###

 

法句譬喻經道利品第三十八 [Fǎ jù pì yù jīng dào lì pǐn dì sān shí bā] - 38. Manfaat Perilaku Suci.

[1] Dahulu kala terdapat seorang Raja tertentu yang memerintah rakyatnya dengan adil, dan dengan sepenuh hati bersungguh-sungguh demi kebaikan mereka; Namun ia tidak memiliki putera untuk menggantikannya. Sang Buddha, telah datang ke kerajaannya. Raja pergi untuk mendengarkan pembabaran Dharma-Nya, dan menjadi berkeyakinan pada Dharma, ia menjadi seorang murid. Setelah itu, ia tidak lagi berdoa dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan seorang putera. Sekarang ia memiliki seorang anak pelayan kecil (keih-shi?) berusia sekitar sebelas tahun, yang juga mengabdikan dirinya pada tugas suci dan pelafalan Dharma. .Anak laki-laki ini telah meninggal, ia terlahir kembali sebagai anak Raja, tuannya sendiri, dan ketika ia telah mencapai usia lima belas tahun, ia secara terbuka diakui sebagai Pangeran Kerajaan (Kumāra). Setelah suatu waktu, Raja telah mangkat, Pangeran naik tahta, dan ia segera menyerah kepada kebiasaan buruk berupa pemanjaan diri, dan rakyat serta kerajaan(nya) menderita sebagai akibatnya. Atas hal ini, Sang Buddha, mengetahui semua keadaan dari kasus tersebut, sekali lagi mengunjungi kerajaan (tersebut), dan Rāja setelah pergi menemuinya, memberikan penghormatan seperti biasa. Sang Buddha kemudian mulai menjelaskan kepada Raja bagaimana ia bisa sampai pada martabat kerajaannya saat ini—Yaitu, melalui perhatiannya pada kelahiran-kelahiran sebelumnya terhadap lima tugas suci seorang Bhiksu, yaitu:—Pertama, kedermawanan; Kedua, mendirikan bangunan suci; Ketiga, penghormatan dalam pemujaan; Keempat, kesabaran dan pengendalian diri; Kelima, tekun dalam mencari kebenaran. Dengan melaksanakan hal-hal ini ia telah mencapai gelarnya saat ini; Dan kemudian Sang Bhagavant menyatakan syair-syair ini, dan berkata:—

 

[38.1] “Seseorang yang tahu bagaimana menghormati kekuatan yang lebih tinggi, orang tuanya, dan guru suci—Yang penuh dengan keyakinan, dan moralitas, dan kedermawanan, dan kebijaksanaan—Pada akhirnya pasti akan mencapai kondisi kelahiran kembali yang beruntung. Demikianlah takdirnya menjadi seorang yang sangat beruntung, jika terlahir di dunia, ia akan menjadi penguasa manusia ("pangeran," atau "yang terhormat," di antara manusia), dan dengan kebijaksanaannya akan mampu mengendalikan kerajaan. Dengan menghormati Dharma, tidak mungkin ia tidak akan menjadi penguasa manusia. Dan demikianlah ia akan terus berada di jalan kebajikan, dan tidak akan pernah meninggalkannya, ia akan terus terlahir demikian, dan tanpa henti menikmati kebahagiaan yang terus bertambah.”

 

Setelah Sang Buddha berkata demikian, (Beliau) menjelaskan bagaimana Raja mencapai martabatnya saat ini, dan mendesaknya untuk tidak meninggalkan (perilaku bajik)nya, sekarang ia telah mencapai suatu posisi demikian, pada godaan indera, dan kemudian (Beliau) menambahkan syair-syair berikut:—

 

[38.2] “Seseorang yang memiliki otoritas di dunia, mempraktikkan bagi dirinya sendiri dalam perilaku yang benar, dan tidak menggunakan kekerasan, mengatur pikirannya, dan mengatasi segala keinginan jahat, demikianlah (ia) menjadi seorang Raja Dharma (atau Raja yang baik). Melihat apa yang benar, ia mampu melakukan kebaikan; Mencintai kebajikan, ia mampu memberi manfaat kepada manusia; Dan demikianlah, dengan perilaku yang tidak memihak, ia memperlakukan semua orang dan menjadikan semua orang, seolah-olah, setara dan menjadi rekannya.”

 

Sang Raja setelah mendengar syair-syair ini, dipenuhi dengan penyesalan, dan bersujud di kaki Sang Buddha, ia menerima lima aturan seorang Upasaka, dan memasuki Jalan Pertama.

 

[2] Dahulu kala, ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vihāra Jetavana, di dekat Śrāvastī, membabarkan Dharma-Nya demi manfaat bagi para Deva dan manusia, pada saat itu di suatu negeri di sebelah selatan terdapat seekor gajah yang sangat besar dengan tiga warna, putih, biru, dan hitam, yang sangat ingin ditangkap dan dijinakkan oleh Raja, sehingga dapat dijadikan salah satu gajah petarungnya. Karena itulah, setelah mengutus pemburu utamanya untuk tujuan itu, ia menunggu dengan harapan perintahnya dipatuhi. Saat itu, di pegunungan terdapat seekor gajah suci, tubuhnya seputih salju, ekornya merah seperti merah delima, dan gadingnya kuning seperti emas. Setelah melihat makhluk ini, pemburu itu kembali ke Raja, dan bertanya kepadanya apakah gajah yang karenanya ia telah dikirim untuk menangkapnya adalah jenis ini. Sang Raja dengan segera memerintahkan binatang itu untuk ditangkap dan dibawa kepadanya. Mendengar hal tersebut pemburu itu, dengan tiga puluh orang, pergi mengejarnya. Setelah sampai di tempat itu, dan mengepung tempat itu, gajah itu, yang mengetahui tujuan mereka, membiarkan orang-orang itu mendekatinya, dan kemudian, dengan penuh amarah, ia menyerbu mereka dan menginjak-injak pemburu didekatnya hingga mati, dan membuat yang lainnya melarikan diri. Saat itu di sisi gunung terdapat seorang petapa (yang masih) muda dan penuh nafsu, yang telah lama mempraktikkan kehidupan sucinya tanpa mencapai tingkat kesucian apa pun. Melihat dari kejauhan keadaan yang menyedihkan dari para pemburu ini, dan merasa kasihan dengan kondisi mereka, mengandalkan kekuatannya, ia bergegas ke tempat itu, berharap dapat menyelamatkan mereka. Sementara itu, Sang Buddha, melihat bahaya atas Bhiksu ini, dan takut jika gajah suci itu akan membunuhnya, dengan cepat memindahkan Dirinya ke tempat itu, dan berdiri di samping gajah itu, menyebabkan keagungan Dirinya keluar dengan sendirinya. Gajah itu, melihat kecemerlangan tubuh Sang Buddha, meredakan amarahnya, dan berhenti mengejar orang-orang itu. Bhiksu itu juga melihat cahaya indah yang bersinar, menghormat di kaki Sang Buddha, Beliau segera menyatakan syair-syair ini:—

 

[38.3] “Janganlah begitu bodohnya marah dengan gajah suci seperti demikian sehingga harus melibatkan dirimu dalam malapetaka yang pasti akan mengikuti tindakanmu; Pikiran jahat menghasilkan penghancuran diri sendiri, dan pada akhirnya tidak menghasilkan kebaikan.”

 

Bhiksu itu, setelah mendengar syair-syair ini, menjadi yakin bahwa ia telah salah karena melonggarkan pikiran-pikirannya, dan dalam penyesalan yang mendalam, bersujud di kaki Sang Buddha, memperoleh kebijaksanaan.

 

[3] [Kisah berikutnya adalah tentang Sang Buddha, dengan cara yang mirip dengan yang terakhir, menyakinkan seorang Raksha, yang telah menyerang sebuah kota di selatan Rājagriha, dan melahap banyak penduduknya; Pada kesempatan itu Sang Guru menyatakan syair-syair ini:—

 

[38.4] “Orang yang mampu mengandalkan kekuatan penyelamatan dari kebajikan (perilaku berbudi luhur, atau moralitas), satu takdir bahagia akan selalu mengikuti orang itu, dan melalui persepsi kebenaran Dharma ia menjadi menonjol di antara manusia. Dan demikianlah ia akhirnya keluar dari tiga cara kelahiran yang jahat; Menyingkirkan kemarahan melalui pengendalian moral yang ketat, ia juga mengusir dukacita dan ketakutan; Ia bangkit menjadi pemimpin tiga dunia (Buddha); Maka baik para Nāga atau Yaksa, atau ular berbisa, yang berbahaya, tidak dapat menyakitinya, orang yang tidak melanggar Dharma perilaku bajik."]

 

[4] [Kisah berikutnya menceritakan tentang Sang Buddha ketika Beliau pada kehidupan lampau-Nya menjadi seorang Chakravarttin (Raja dunia), dan membuat suatu aturan bahwa Beliau dan keturunan-Nya harus meninggalkan kerajaan mereka dan menjadi Bhiksu saat rambut putih pertama muncul di kepala mereka (suatu kisah serupa ditemukan dalam "kelahiran lampau" Sang Buddha, dalam buku "Romantic Legend of Sakya Buddha," hlm. 18, 19)].

 

###

 

法句譬喻經吉祥品第三十九 [Fǎ jù pì yù jīng jíxiáng pǐn dì sān shí jiǔ] - 39. Nasib Baik (Mahāmangala).

[1] Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Gunung Gridhrakūta, di dekat Rājagriha, membabarkan Dharma demi manfaat bagi para Deva dan manusia, di tepi Sungai Gangga tinggalah seorang Brahmachārin tertentu, yang termasuk dalam sekte Nirgrantha, yang sangat tua dan berkebijaksanaan luas. Orang ini, bersama dengan 500 pengikutnya, mengabdikan dirinya untuk mempelajari bintang-bintang dan benda-benda langit, dengan tujuan untuk memprediksi kejadian-kejadian yang baik dan buruk. Pada suatu kesempatan, tepat sebelum Sang Buddha memulai khotbah Dharma-Nya, orang ini, bersama dengan para pengikutnya, sedang mendiskusikan pertanyaan tentang "nasib baik," saat mereka duduk di tepi sungai; Dan setelah menjelaskan apa saja yang dimaksud dengan nasib baik, sejauh menyangkut kebahagiaan seorang pangeran di kerajaan duniawinya, muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "nasib baik" jika dikaitkan dengan masa depan. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka memutuskan untuk pergi ke Pohon Bōdhi, di mana Sang Bhagavant baru saja menaklukkan Māra, dan mengajukan pertanyaan ini kepada-Nya. Apakah rahasia dari "nasib baik" yang sesungguhnya? Yang kemudian membuat Sang Guru membuka mulut-Nya dan menyatakan syair-syair ini:

 

[39.1] “Sang Buddha, Bhagavant di atas segala Deva, Tathāgata, Vidyācaraṇa, sedang ditanya oleh para bijaksanawan terpelajar dari sekte Brahmachārin tentang apa yang dimaksud dengan menikmati nasib baik. Atas hal ini Sang Buddha, Yang penuh kasih, demi manfaat bagi mereka mengucapkan Kebijaksanaan Sejati. Ia yang memiliki keyakinan, dan bersenang dalam Dharma Sejati (Saddharma), orang ini bernasib baik di atas segala yang lainnya. Ia yang mencari nasib baik bukan dari para Deva atau pengorbanan-pengorbanan untuk Yaksa (tetapi dari dirinya sendiri) adalah benar-benar bernasib baik. Seorang teman yang berbudi luhur, dan bergaul dengan yang benar, selalu menjadikan pertimbangan kebajikan sebagai tujuan utamanya, menjaga tubuhnya dalam pelatihan ketat pada Sila kesopanan, orang ini sungguh bernasib baik! Menghindari orang jahat dan mengikuti yang baik, meninggalkan anggur, dan menggunakan sikap madya yang ketat dalam segala pemuasan pribadi, tidak bernafsu pada kecantikan wanita, orang ini sungguh bernasib baik. Selalu ingin mendengarkan Sila perilaku yang benar, tekun dalam mempelajari Dharma dan Vinaya, menahan diri dan tanpa pelanggaran, orang ini bernasib baik di atas segalanya. Jika seorang perumah tangga, maka peduli; Kepada ayah dan ibunya, dan menjaga kesejahteraan rumahnya, dan merawat istri dan anaknya dengan benar, tidak menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang sia-sia dan tidak berguna, orang ini sungguh bernasib baik. Tidak menyerah pada kemalasan atau harga diri, mengetahui karakteristik sifat madya (seperti kepada dirinya sendiri), dan memikirkan teman-temannya, pada waktu yang tepat membaca Dharma dan mempraktekkannya, orang ini benar-benar bernasib baik. Dengan sabar melanjutkan jalannya tugas (dari apa yang ia dengar, yang harus ia lakukan), bersukacita melihat orang yang suci (Bhiksu), dan selalu mengundang orang-orang demikian untuk mengajarinya dalam Dharma, orang ini berbahagia. Dengan menjalankan musim-musim suci (berpuasa), dan selama musim-musim tersebut menjalankan pantangan diri dengan ketat, selalu ingin melihat orang yang bajik dan suci, menaruh kepercayaannya pada instruksi Yang Tercerahkan, orang ini bernasib baik. Setelah yakin akan kebahagiaan suci (Bōdhi), kemudian dengan pikiran yang lurus tidak pernah menyimpang dari keyakinannya, menginginkan di atas segalanya untuk terbebas dari tiga jalan (kelahiran yang) jahat, orang ini benar-benar berbahagia. Dengan pikiran yang seimbang, mengabdikan dirinya untuk kedermawanan, menghormati semua orang bijaksana, dan memberikan penghormatan kepada para Makhluk Suci (Deva, leluhur, dsb), orang ini sungguh berbahagia. Selalu ingin menyingkirkan nafsu indera dan ketamakan, untuk terbebas dari pikiran yang terdelusi, ketidak-tahuan, dan kemarahan, selalu terus menerus mengejar Kebijaksanaan Sejati, orang ini sungguh bernasib baik. Bahkan dalam membuang kejahatan tanpa menggunakan upaya yang tampak luar biasa, namun tekun dalam berusaha mempraktekkan apa yang benar, selalu bertindak sebagaimana mestinya, orang ini sungguh bernasib baik. Penuh cinta kasih terhadap semua hal (makhluk?) di dunia, mempraktekkan kebajikan demi memberi manfaat kepada orang lain, hanya orang inilah yang berbahagia. Orang bijaksana yang berdiam di dunia, yang terus menerus berupaya dalam jalan nasib baik ini, terus berusaha untuk menyempurnakan pengetahuan yang telah diperolehnya, sesungguhnya adalah orang yang berbahagia.”

 

Sang Brahmachārin, setelah mendengar instruksi Sang Buddha, batinnya dipenuhi dengan kegembiraan; Ia segera bangkit dan memuja, serta berlindung kepada Sang Buddha, Dharma, dan Samgha.

 

Sang Nirgrantha dan para pengikutnya, setelah mendengar syair-syair ini, menjadi sangat gembira, dan setelah memuja dengan semestinya, mereka memperoleh izin untuk menjadi Bhiksu, dan segera memperoleh pencerahan batin (Mata Dharma).

 

###

法句譬喻經 [Fǎ jù pì yù jīng] (T 211) Chinese Dharmapada Atthakatha Bahasa Indonesia

  法句譬喻經 [F ǎ j ù p ì  y ù j ī ng] (T 211) Dharmapada ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin Kuno ...