Udānavarga ini dikompilasikan oleh Dharmatrāta. Diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet oleh Pandita dari India bernama Vidyaprabhakara dan Lotsāva Bande-rin-tchen-mtchog; direvisi dan diatur oleh editor, Lotsāva Bande-dpal-brtsegs. Versi terjemahan ini berasal dari terjemahan Inggris edisi Suttacentral yang telah diedit dan dimodernisasi oleh Yasoj dan Ayya Vimala. Teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Woodville Rockhill pada tahun 1883 yang dipublikasikan oleh Trübner & CO. Teks aslinya (berikut teks original berbahasa Tibetnya) dapat dilihat di sini dan di sini. Saya (Arya Karniawan) yang menerjemahkan Udānavarga ini. Udānavarga ini tidak pernah dipublikasikan kemanapun selain di sini. Jika terdapat kesalahan dalam terjemahan ini, jangan sungkan komen di kolom komentar. Copyright Udānavarga ini adalah:
Translated by Arya Karniawan, 2024.
Diterjemahkan
dari teks milik Woodville Rockhill.
Anda
dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan
mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak
diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya
ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3)
menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari
karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Prepared
by Arya Karniawan.
Tibetan Udānavarga
ཆེད་དུ་བརྗོད་པའི་ཚོམས་
Buku Pertama
1. Anityavarga (Ketidak-kekalan)
Terpujilah
Ia Yang Tahu Segalanya, Biarlah terdapat kebahagiaan!
Sang Pemenang mengucapkan syair-syair
(udāna) ini; Dengarkanlah aku ketika aku memberi tahu mereka; apa yang
kukatakan adalah untuk menghalau kemalasan dan kantuk, serta memberikan
kegembiraan pada pikiran.
Yang Maha Bijaksana, Sang Pelindung,
Yang Maha Agung, Yang Maha Berbelas-kasih, Ia yang telah mengakhiri kehidupan
jasmani, Bhagavat, bersabda (atau telah bersabda) demikian:
Sial! ketidakkekalan dari segala
sesuatu yang terkondisi (samkāra); apa yang terbentuk pasti akan mengalami
kehancuran. Seperti halnya apa yang telah dilahirkan pasti akan mengalami
kehancuran, berbahagialah mereka yang telah padam!
Bagi mereka yang sedang terbakar,
sukacita apakah yang dapat diperoleh, hal apakah yang membahagiakan? O engkau
yang berdiam di tengah-tengah kegelapan, mengapa engkau tidak mencari terang?
Tulang-tulang itu yang berwarna
merpati, dibuang dan tersebar ke segala arah; kesenangan apakah yang ada saat
melihatnya?
Ia yang sampai sekarang telah
mengalami kesedihan kelahiran sejak dari rahim, dapat pergi ke tempat yang
tertinggi dan tidak kembali lagi (ke dunia).
Ia melihat banyak orang di pagi
hari, beberapa di antaranya tidak akan dilihatnya di siang hari; ia melihat
banyak orang di siang hari, beberapa di antaranya tidak akan dilihatnya di pagi
hari (selanjutnya).
Banyak pria dan wanita meninggal
bahkan di masa puncaknya; meskipun kemudian seseorang disebut muda, kepercayaan
apa yang dapat mereka taruh di dalam kehidupan?
Beberapa mati dalam kandungan,
beberapa mati saat kelahiran, beberapa secara bertahap menua, beberapa
meninggal dalam masa puncak mereka.
Beberapa tua, beberapa muda,
beberapa sudah dewasa; lambat laun mereka semua (akan) menghilang, seperti buah
matang yang (akan) jatuh.
Seperti halnya buah yang matang
selalu diliputi oleh ketakutan akan jatuh, demikianlah ia yang terlahir
diliputi rasa takut akan kematian.
Demikian pula dengan kehidupan
manusia yang tidak kekal, seperti halnya pot-pot (bunga) berkilau yang dibuat
dari tanah liat oleh pengrajin tembikar—semuanya (akan) berakhir dengan
dihancurkan.
Demikian pula dengan kehidupan
manusia yang tidak kekal, seperti halnya laba-laba, yang, merentangkan
jaringnya ke sana kemari, terkurung di dalamnya.
Demikian pula kehidupan manusia yang
tidak kekal, seperti halnya (laba-laba), yang, meskipun ia dapat melepaskan
diri dari perangkapnya, menemukan, ke mana pun arah langkah yang ia ambil,
kediaman kematian di hadapannya.
Seperti halnya sebuah sungai yang
selalu mengalir deras dan tidak pernah kembali, demikianlah hari demi hari
kehidupan manusia—mereka pergi dan tidak kembali lagi.
Kegembiraan dengan cepat berlalu dan
bercampur dengan kesakitan; kegembiraan dengan cepat menghilang, seperti sosok
yang terlihat di atas air dengan sebilah tongkat.
Seperti halnya seorang penggembala
sapi dengan tongkatnya mengumpulkan ternaknya ke dalam kandang, demikian pula
penyakit dan usia tua membawa umat manusia kepada penguasa kematian.
Seperti halnya air dari anak sungai,
demikian pula kehidupan manusia yang mengalir siang dan malam, jam demi jam;
kehidupan semakin dekat dan semakin dekat pada akhirnya.
Panjang adalah malam bagi ia yang
terjaga, panjang adalah jarak bagi ia yang kelelahan, dan panjang adalah
lingkaran kelahiran kembali bagi orang bodoh yang tidak mengetahui Dharma nan
suci.
“Anak-anak ini milikku, kekayaan ini
milikku;” dengan (pikiran-pikiran) ini si dungu terganggu. Apakah artinya
anak-anak dan kekayaan bagi ia yang tidak (memiliki) bahkan dirinya sendiri di
dunia lain?
Sudah menjadi dharmitā bahwa,
walaupun seseorang memperoleh ratusan dan ribuan benda-benda duniawi, ia (akan)
tetap jatuh ke dalam kuasa penguasa kematian.
Akhir dari semua yang telah
dikumpulkan adalah dihabiskan; akhir dari apa yang diunggulkan adalah
dicampakkan; akhir dari pertemuan adalah perpisahan; akhir dari kehidupan
adalah kematian.
Karena akhir kehidupan adalah
kematian, dan semua makhluk (akan) mati, demikian pula kebajikan dan keburukan
menghasilkan buah yang mengikuti setelah perbuatan.
Mereka yang melakukan keburukan
pergi ke neraka; mereka yang bajik pergi menuju kebahagiaan; mereka yang
menjalankan jalan yang benar dan tanpa cela memperoleh Nirvāṇa.
Para Buddha, para Pratyeka Buddha,
dan para siswa dari para Buddha membuang tubuh ini; apalah gunanya berbicara
tentang kumpulan orang bodoh?
Tiada tempat di mana tidak terdapat
kesakitan akan kematian, baik di langit maupun di tengah laut, bahkan jika
seseorang masuk ke jurang di pegunungan.
Semua yang pernah hidup dan yang
akan hidup, meninggalkan tubuh ini dan pergi; orang bijaksana yang memahami
bahwa (tubuh) ini adalah untuk ditakuti, menjalani kehidupan suci sesuai dengan
Dharma.
Melihat usia tua, kesakitan
penyakit, dan kematian orang yang lengah, ia yang tekun meninggalkan rumah yang
seperti penjara; namun bagaimana manusia biasa dapat menyingkirkan nafsu
keinginan?
Bahkan kereta raja yang berkilau pun
hancur, tubuh pun juga mendekati usia tua; tetapi orang yang terbaik, yang
mengajarkan Dharma terbaik kepada orang lain, tidak akan mengenal usia tua.
Engkau dungu dan tercela, dan tidak
melakukan apa yang benar; karena tubuh (rūpa) yang engkau senangi akan menjadi
penyebab kehancuranmu.
Seseorang dapat hidup seratus tahun,
namun ia tunduk pada penguasa kematian; seseorang dapat mencapai usia tua, atau
ia terjangkit penyakit.
Ia yang (selalu) berubah tanpa
henti, membusuk siang dan malam, diliputi dengan penderitaan kelahiran dan
kematian, seperti halnya ikan yang dilemparkan ke air panas.
Kehidupan ini berlalu dengan cepat
siang dan malam; kehidupan tidak stabil seperti aliran sungai besar; ia yang
pergi tidak akan kembali lagi.
Manusia itu seperti seekor ikan di
kolam air yang dangkal; siang dan malam kehidupan ini berlalu; kegembiraan
apakah yang terdapat di dalam sesuatu yang begitu singkat?
Akhir kehidupan adalah kematian;
tubuh yang bungkuk karena usia tua, wadah penyakit ini, dengan cepat terbuang;
kerusakan besar (tubuh) ini akan segera dihancurkan.
Sial! tubuh ini akan segera
terbaring di tanah tanpa disadari, kosong, tanpa kesadaran, dibuang ke
pemakaman seperti sepotong kayu.
Terus-menerus menderita penyakit,
selalu mengeluarkan ketidakmurnian, tubuh ini, yang dirusak oleh usia tua dan
kematian, apalah gunanya tubuh ini?
"(Kediaman) ini akan cukup
untuk musim dingin dan (kediaman ini) untuk musim panas;" demikianlah
pemikiran orang bodoh yang membusuk dengan cepat, yang belum melihat bahaya.
Engkau yang dikelilingi dengan
anak-anak dan kumpulan, anak-anak bukanlah perlindungan, begitu pula ayah, ibu,
dan kerabat; engkau adalah tanpa pelindung!
“Perbuatan ini dan itu adalah sumber
kebahagiaan, yang akan aku peroleh setelah melakukannya.” Ia yang mempersiapkan
dirinya dengan cara ini akan mengalahkan usia tua, penyakit, dan kematian.
Arahkanlah dirimu pada kegembiraan
yang tiada henti pada meditasi (samādhi); lihatlah akhir kelahiran dan usia tua
dalam kelahiran dengan ketekunan; kalahkan bala tentara Māra dan para Bhiksu
akan melampaui kelahiran dan kematian.
Bab
tentang Ketidak-kekalan, Yang Pertama.
2. Kāmavarga (Nafsu Indria)
Semua kebimbangan menghasilkan nafsu
indria; kebimbangan disebut akar nafsu indria; tekanlah kebimbangan dan (nafsu
indria), (mereka) tidak akan muncul lagi dalam dirimu.
Dari nafsu indria muncul kesedihan,
dari nafsu indria muncul ketakutan; ia yang terbebas dari nafsu indria tidak
mengenal kesedihan atau ketakutan.
Dari kenikmatan indria muncul
kesedihan, dari kenikmatan indria muncul ketakutan; ia yang terbebas dari kenikmatan
indria tidak mengetahui kesedihan atau ketakutan.
Buah dari nafsu indria dan
kenikmatan indria matang menjadi dukacita; Buah yang awalnya menyenangkan kini
terbakar, seperti obor yang tidak disingkirkan pada akhirnya akan membakar
orang dungu.
Lihatlah mereka yang terikat dengan
perhiasan, anting-anting, dan kepada anak-anaknya (hal-hal demikian adalah
belenggu); namun besi, kayu, dan tali bukanlah belenggu yang kuat, sabda Sang
Bhagavānt.
Sulit bagi ia yang terikat oleh
belenggu nafsu indria untuk membebaskan dirinya dari belenggu tersebut, kata
Sang Bhagavānt. Ia yang teguh, yang tidak mementingkan kebahagiaan nafsu
indria, membuangnya, dan segera menuju (ke Nirvāna).
Tidak ada makhluk di dunia ini yang
tidak terpengaruh oleh nafsu indria karena kebimbangannya, namun mereka yang
teguh berusaha untuk membebaskan dirinya dari nafsu indria, walaupun nafsu
indria itu melingkupi dunia.
Manusia tidak memiliki nafsu indria
yang kekal; nafsu indria bersifat tidak kekal pada diri mereka yang
mengalaminya: bebaskanlah dirimu dari apa yang tidak kekal, dan janganlah
berdiam di wilayah kematian.
Pikiran yang tanpa cela dan
reflektif di mana (ketika) suatu nafsu indria muncul, tidak mengalami penderitaan
karenanya; berbagai nafsu indria tidak mengganggunya: Ia yang (memiliki pikiran
seperti itu) berada di luar kematian, Aku katakan.
Seperti halnya yang dilakukan pandai
besi terhadap perak, demikian pula seseorang yang cerdas, secara bertahap dan
sedikit demi sedikit, membersihkan dirinya dari segala ketidak-murnian.
Seperti halnya yang dilakukan
pembuat sepatu, ketika ia telah mempersiapkan kulitnya dengan baik, (ia) dapat
menggunakannya untuk membuat sepatu, demikian pula ketika seseorang telah membuang
nafsu indria, ia mempunyai kebahagiaan tertinggi.
Jika seseorang mendambakan
kebahagiaan, biarlah ia menyingkirkan segala nafsu indrianya; ia yang telah
menyingkirkan segala nafsu keinginannya, (ia) akan menemukan kebahagiaan yang
terbaik.
Selama seseorang mengikuti nafsu
indria, ia tidak akan menemukan kepuasan; mereka yang dengan kebijaksanaan
telah meninggalkannya, akan menemukan kepuasan.
Nafsu indria tidak akan pernah
terpuaskan; kebijaksanaan memberikan kepuasan: ia yang memiliki kepuasan kebijaksanaan
tidak akan jatuh ke dalam kuasa nafsu.
Mereka yang menggemari kenikmatan
indria, dan hanya bersenang pada apa yang salah, tidak akan menyadari bahaya
yang mereka hadapi, bahkan jika kehidupan mereka hampir berakhir.
Orang dengan pikiran jahat ditaklukkan
oleh kekayaan dan tidak mencari dunia lain; pikirannya tunduk oleh kegemarannya
terhadap nafsu indria; ia membawa kehancuran pada dirinya sendiri dan orang
lain.
Bahkan hujan Karśapana tidak akan
memuaskan orang yang serakah; orang bijaksana tahu betul bahwa nafsu indria
hanya membawa sedikit kepuasan dan (banyak) penderitaan.
Bahkan dalam kenikmatan para dewa
dan siswa Buddha yang sempurna tidak menemukan kenikmatan; mereka bergembira
hanya dalam hancurnya nafsu indria.
Bahkan segunung harta seperti
Himavat tidak akan cukup untuk kekayaan seseorang; ia yang memiliki pemahaman
(ini) mengetahui hal ini seutuhnya.
Mereka yang mengetahui bahwa hal ini
(yaitu nafsu indria) adalah asal mula dukacita, bagaimana mereka dapat
bergembira dalam kenikmatan? Setelah mengetahui bahwa inilah penyebab
penderitaan di dunia, mereka memperoleh keteguhan yang membantu dalam mengendalikan
diri mereka sendiri.
Bab
tentang Nafsu Indria, Yang Kedua.
3. Trichnāvarga (Nafsu Keinginan)
Orang-orang ditaklukkan oleh
kebimbangannya; ia yang menganggap keinginan jahat sebagai murni, ia akan
meningkatkan dan melipat-gandakan keinginannya serta memperkuat ikatannya.
Ia yang terus-menerus mengingat
dalam pikirannya bahwa menenangkan kebimbangan adalah kedamaian, dan bahwa
kebimbangan itu tidak menyenangkan, (ia) membebaskan dirinya dari segala nafsu
keinginan dan menghancurkan ikatan-ikatannya.
Nafsu indria melingkupi seseorang
seolah-olah berada dalam kegelapan; seseorang hancur berkeping-keping karena
bersenang dalam nafsu keinginan; mereka yang lengah terikat kuat dengan ikatan
mereka, seperti halnya ikan di rumah berair mereka.
Makhluk-makhluk yang menyerahkan
diri pada kelengahan mereka, nafsu keinginan mereka meningkat seperti halnya
tanaman menjalar; mereka mengejar usia tua dan kematian seperti halnya anak
sapi yang mengejar induknya ketika menginginkan susu.
Ia yang pikirannya tidak murni, yang
bernafsu, dan yang mencari kebahagiaan, berlari kesana kemari dalam lingkaran
(kelahiran), bagaikan monyet di hutan yang mencari buah.
Terus menerus mendambakan
kebahagiaan dan berjalan pada jalan kelahiran dan kematian, orang-orang
dipimpin oleh nafsunya, dan berlarian seperti seekor kelinci di sebuah jaring.
Mereka yang terkurung di dalam
nafsu, yang hanya peduli pada hal-hal sehubungan dengan kemenjadian (lit:
menjadi dan bukan menjadi), orang-orang bodoh yang hanya bersenang dalam
kenikmatan kemelekatan (yoga), akan mengalami penderitaan lagi dan lagi.
Makhluk yang tidak memiliki
kebijaksanaan (pandangan agama yang benar) dan ketenangan pikiran, yang
memiliki semua kemelekatan Māra (kemelekatan kekotoran batin), mengejar usia
tua dan kematian seperti halnya anak sapi yang mengejar induknya ketika
menginginkan susu.
Ia yang membuang nafsu keinginan dan
sejenisnya, yang tidak memiliki kepedulian terhadap apa yang ada atau tidak
ada, seorang Bhiksu, telah menaklukkan kemenjadian dan akan mencapai Nirvāṇa
yang sempurna dan tak terkalahkan.
Ia yang telah meninggalkan
keduniawian, yang sulit dilakukan, harus tidak memiliki kepedulian pada cinta
terhadap wanita (atau cinta seorang wanita), karena hal itu meningkatkan
dukacita seperti halnya menyirami rumput (Birana).
Ia yang telah meninggalkan
keduniawian yang sulit dilakukan, dan tidak lagi peduli pada cinta terhadap
wanita, maka dukacita akan terlepas darinya seperti halnya air yang jatuh dari
bunga teratai.
(337, bagian pertama). Oleh karena
itulah, (kepada) semua orang yang berkumpul di sini; kata-kata yang baik ini
kuberitahukan kepada kalian: Cabutlah rumput nafsu keinginan hingga ke
akar-akarnya seperti yang dilakukan seseorang kepada rumput (Birana) demi Uśira
(akarnya).
(337, bagian ke-2). Mereka yang
bersekutu dengan nafsu keinginan berkelana dalam waktu yang lama; karena itu
cabutlah nafsu keinginan sampai ke akar-akarnya, dan dukacita dan ketakutan
tidak ada lagi.
Lagi dan lagi mencari untuk (kemenjadian),
mereka lagi dan lagi masuk ke dalam rahim; makhluk-makhluk datang dan pergi;
pada satu keadaan yang menggantikan keadaan lainnya.
Sulit untuk menyingkirkan
(kemenjadian) di dunia ini; ia yang telah menyingkirkan nafsu keinginan, yang
telah mencabut benih (kemenjadian), tidak akan lagi mengalami transmigrasi,
karena ia telah mengakhiri nafsu keinginan.
Janganlah memikirkan untuk berdiam
dalam kondisi keduniawian, yang menjadikan seseorang tahanan di antara para
dewa dan manusia, tetapi menyeberanglah dari wilayah nafsu keinginan. Jika
seseorang terlahir di neraka, kondisi manusianya (dal-hbyor) telah berakhir,
dan ia menyesali (kesalahannya).
Saluran nafsu keinginan itulah yang
menjadi sumber (transmigrasi). Nafsu keinginan di dunia (ini) adalah akar
rambat, yang menjalar dan melilit seseorang seperti jaring. Jika seseorang
tidak menghancurkan penyiksa ini, ia akan terus menerus menderita, dan tidak
akan pernah meninggalkan penderitaan itu sepenuhnya.
Selama sebatang pohon hidup belum
tercabut sampai ke akar-akarnya, melainkan hanya ditebang, pohon itu akan
tumbuh kembali; begitu juga jika bahkan setitik nafsu terkecil sekalipun belum
dilenyapkan, seseorang tidak akan meninggalkan penderitaan yang terus menerus
ini (yaitu, kemenjadian).
Seperti halnya seseorang yang
membuat senjata akan terbunuh oleh (senjata)nya ketika berada di tangan
perampok, demikian pula makhluk yang nafsu keinginan telah muncul di dalam
batinnya akan terbunuh olehnya.
Mengetahui penderitaan yang datang
dari nafsu keinginan dan hukumannya, setelah menyingkirkan nafsu keinginan,
tanpa hasrat terhadap apapun, Bhiksu yang penuh perhatian telah sepenuhnya
pergi (dari dunia ini).
Bab
tentang Nafsu Keinginan, Yang Ketiga.
4. Apramādavarga (Kewaspadaan)
Orang yang waspada tidak mengenal
kematian; ia yang lengah berdiam bersama kematian; ia yang waspada tidak akan
mati; ia yang lengah akan mati berulang kali.
Orang bijaksana yang mengetahui
perbedaan ini bersenang dalam kesederhanaan dan kewaspadaan; kesenangan mereka
adalah kesenangan khusus.
Dengan (gagasan) yang tak
henti-hentinya muncul di pikiran mereka, dan selalu teguh dalam tekad mereka
untuk mendapatkan pantai seberang, mereka (akhirnya) menikmati Nirvāṇa,
kebahagiaan yang tak tertandingi.
Ketika orang bijaksana dengan
ketekunan telah mengatasi kelalaian, kemudian, dengan teguh melalui
kebijaksanaan, mereka pergi ke tempat tinggal para dewa, dan, bebas dari
dukacita dan kesakitan, mereka melihat ke bawah seperti dari puncak suatu
gunung, menatap wajah orang-orang dungu di bumi.
Orang bijaksana melalui ketekunan,
kebajikan, dan kewaspadaan menjadikan dirinya sebuah pulau yang tidak dapat
ditenggelamkan oleh banjir.
Inilah (mereka) yang tekun, yang
menjadi terkenal karena ketekunan mereka, perhatian, kewaspadaan hidup mereka,
penilaian mereka, pelaksanaan mereka yang sempurna (terhadap Sila), dengan
seluruh hidup mereka yang sesuai dengan Dharma.
Seseorang harus mengerahkan dirinya
untuk memperoleh pandangan terang yang adiduniawi dan landasan kondisi Muni. Ia
yang terliputi dalam pikiran damainya yang tanpa gangguan, tidak akan merasakan
dukacita (ṇibbuta).
Janganlah mengikuti ajaran-ajaran
palsu, janganlah mengikuti orang-orang yang lengah; ia yang tidak bersenang
dalam ajaran-ajaran palsu tidak akan terlahir (di) dunia.
Ia yang mempunyai gagasan yang benar
tentang dunia akan memperoleh keagungan yang sedemikian rupa, sehingga meskipun
ia mengalami seribu kelahiran kembali, ia tidak akan terjatuh ke jalan yang
jahat.
(Pikiran orang) bodoh yang menyerah
pada kelalaian adalah tersesat; orang bijaksana harus berhati-hati, seperti
halnya kepala sebuah karavan yang mengawasi harta karunnya.
Ia yang tidak menyerah pada
kelalaian, yang tidak bersenang dalam kenikmatan, yang pikirannya selalu penuh
perhatian, akan mengakhiri dukacita.
Ia yang telah mengakhiri dukacita,
dan tidak menyerah pada kelalaian di dunia ini, tidak dapat disakiti oleh orang
lalai seperti halnya singa oleh kijang.
Laki-laki yang tidak tahu malu dan
mengingini isteri tetangganya akan mengalami empat keadaan ini: Ia mendapat
reputasi (buruk), gangguan tidur, yang ketiga dicemooh, dan yang keempat pergi
ke neraka.
Ia yang, berperilaku secara tidak
bermoral, berbuat jahat, memanjakan (dirinya) bahkan untuk satu momen, di
tengah ketakutan dan kegentaran, nafsu indrianya yang berkobar-kobar, dan
kemudian ia harus menanggung hukuman berat dari raja, dan ia terbakar di
neraka.
Ia yang mencari kebahagiaan, biarlah
ia bertindak dengan penuh semangat; mereka yang teguh tidak melakukan upaya
yang bermalas-malasan seperti yang dilakukan oleh para kusir kereta yang bodoh.
Ketika orang bodoh dengan keretanya
telah meninggalkan jalan besar dan memasuki suatu jalan yang buruk, mereka
sangat berduka atas kesalahan mereka.
Demikian pula, orang bodoh yang
meninggalkan Dharma dan mengikuti apa yang bukan Dharma akan jatuh ke dalam
kuasa penguasa kematian; ia juga hancur karena kurangnya penglihatan.
Mereka yang tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan, dan yang melakukan apa yang tidak boleh dilakukan, yang
berjaya di atas kelalaian mereka, menambah jangkauan kesulitan mereka, dan ia
yang menambah kotoran batinnya, maka penghentiannya masih jauh.
Ia yang memahami hakikat tubuh, yang
penuh perhatian, dan yang upayanya tanpa henti, tidak melakukan apa yang tidak
boleh dilakukan, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Karena itulah, ia, dengan ingatan
dan pemahamannya akan mengakhiri kekotoran batinnya, dan ketika ia telah
mengakhiri kekotoran batinnya (asrava), ia akan menemukan keadaan tanpa
gangguan.
Sebanyak apapun engkau menjadi, aku
menyatakan kepadamu bahwa mereka yang, meskipun hanya sedikit mendengar tentang
Dharma, namun mengikuti instruksinya, telah memahami Dharma; mereka yang
mengikuti Dharma telah memahami Dharma.
Sekalipun seorang yang lalai dapat
membaca sebagian besar (Dharma), ia tidak mengikutinya; ia seperti seorang
penggembala sapi yang menghitung ternak orang lain; ia tidak mempunyai bagian
dalam kehidupan suci.
Ia yang, walaupun hanya mampu
melafalkan beberapa baris (Dharma), berjalan di Jalan Dharma, dan telah
meninggalkan nafsu keinginan, kemarahan, dan ketidak-tahuan, maka ia mempunyai
bagian dalam kehidupan suci.
Ia yang ucapannya mengagung-agungkan
ketekunan dan selalu meremehkan kelalaian, maka ia lebih mulia di antara para
dewa daripada ia yang melakukan seratus pengorbanan.
Orang bijaksana yang memuji
ketekunan dalam ucapannya mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; orang
bijaksana berpegang teguh pada ketekunan karena dua alasan: karena berkah yang
dihasilkannya dalam kehidupan ini, dan juga karena masa depan; orang yang
teguh, yang memahami hal demikian disebut para bijaksana.
Bhiksu yang menyenangi kewaspadaan
dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan menarik dirinya keluar
dari jalan yang jahat seperti gajah menarik dirinya sendiri keluar dari lumpur.
Bhiksu yang bersenang dalam
kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan, akan
menghilangkan keburukan seperti halnya angin pada dedaunan pohon.
Bhiksu yang bersenang dalam
kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan mengakhiri
segala kemelekatan dan perlahan-lahan mencapai kebahagiaan.
Bhiksu yang bersenang dalam
kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan akan mencapai
pemahaman sempurna akan ketenangan dari sanskāra, kesempurnaan kedamaian.
Bhiksu yang bersenang dalam
kewaspadaan dan yang melihat dengan rasa takut pada kelengahan sudah sangat
dekat dengan Nirvāṇa sehingga ia tidak akan gagal (untuk mencapainya).
Ia yang tekun dan bermoral, yang
hidup sesuai dengan Dharma, menemukan, dengan mengikuti Dharma, kebahagiaan di
dunia ini dan di dunia lain.
Engkau yang bersungguh-sungguh dalam
pembelajaran demi penghentian (Nirvāṇa), berusaha keras dan penuh dengan
praktek, mempertimbangkan dengan baik kehidupan mereka yang tidak penuh
perhatian, lalai, ceroboh, tidak terkendali, dan orang malas yang berpaling
dari pembelajaran, dan tidak menyimaknya demi tidak memperhatikan
Bhiksu yang benar-benar bermoral dan
bersenang dalam ketekunan akan mengendalikan seluruh pikirannya dengan baik,
dan pikirannya menjadi aman.
Bangkitlah, mulailah suatu hidup
baru, beralihlah ke Ajaran Buddha; gilaslah bala tentara penguasa kematian seperti
yang seekor gajah lakukan pada rumah dari lumpur.
Siapapun yang hidup sesuai dengan
Dharma Vinaya ini, dalam kelembutan dan kewaspadaan, setelah menyingkirkan
transmigrasi, akan mengakhiri dukacitanya.
Bab
tentang Kewaspadaan, Yang Keempat.
5. Priyadavarga (Yang Dicintai)
Dari hal-hal yang dicintai munculah
dukacita; dari hal-hal yang dicintai munculah ketakutan: jika seseorang
meninggalkan hal-hal yang dicintai, ia tidak akan berduka, tanpa ketakutan.
Dari apa yang menyenangkan munculah
ketakutan; dari apa yang dicintai datanglah kesengsaraan, dari yang dicintai,
ketakutan: Jika apa yang indah berubah, yang dituai seseorang hanyalah
keputusasaan.
Kesengsaraan dunia ini banyak
sekali—dukacita, ratapan, tangisan, dan sebagainya; Semuanya muncul dari
berpegang pada hal-hal yang dicintai: Jika seseorang meninggalkan apa yang
dicintai, maka semua itu akan lenyap.
Mereka yang tidak memiliki apa pun
yang dicintai di dunia ini, berbahagia dan tanpa dukacita; Oleh karena itulah,
mereka tidak akan menderita, terbebas dari nafsu manusia, seharusnya tidak
melakukan apa pun yang dicintai.
Tidak melihat apa yang dicintai
sebagai menyakitkan, demikian pula penglihatan pada apa yang tidak dicintai;
seseorang seharusnya tidak mencari apa yang dicintai; ia (juga) tidak boleh
mencari apa yang tidak dicintai.
Dengan kehilangan apa yang dicintai
dan menemukan apa yang tidak dicintai, seseorang menciptakan (bagi diri mereka
sendiri) dukacita usia tua yang tak terelakkan.
Ketika sesuatu yang di mana
seseorang bersenang meninggal, misalnya sanak saudara atau sahabat seseorang,
hal ini membawa dukacita yang besar dan bertahan lama bagi seseorang, karena
berpisah dari apa yang memberikan kesenangan adalah menyakitkan.
Ia yang mengetahui baik hal yang
dicintai maupun yang tidak dicintai adalah tanpa ikatan; Oleh karena itu, ia,
yang menganggap hal-hal yang dicintai sebagai keburukan akan meninggalkan apa
yang dicintai.
Ia yang, setelah berhenti memikirkan
pada apa yang dicintai, tidak lagi melekat pada kebahagiaan (duniawi), yang
memiliki kemelekatan pada kebahagiaan yang bukan milik diri, mencari objek dari
keinginan yang disukainya (Nirvāṇa).
Ia yang di antara para dewa dan
manusia, yang menyukai apa yang menyenangkan di dalam jasmani (rūpa), melakukan
keburukan dan menderita dukacita, ia jatuh ke dalam kuasa usia tua dan
kematian.
Ia yang teguh baik siang dan malam,
yang menyingkirkan apa yang menyenangkan di dalam jasmani (rūpa), yang sulit
dilakukan, akan mencabut keburukan hingga ke akar-akarnya, yang adalah makanan
Māra.
Orang bodoh yang menganggap apa yang
tidak baik sebagai baik, yang tidak dicintai sebagai dicintai, dan dukacita
sebagai kebahagiaan, tentu akan menuju kehancuran.
Ia yang melakukan kejahatan lalu
ingin berbahagia karenanya, tidak menemukan kepuasan, biarlah ia tidak
melakukan kejahatan.
Ia yang, melakukan apa yang bajik,
akan berbahagia karenanya, menemukan kepuasan, biarlah ia tidak melakukan
kejahatan.
Seperti halnya kota perbatasan
dilindungi oleh pertahanan yang kuat, maka biarlah ia yang dengan bahagia
melindungi dirinya sendiri dengan pertahanan yang kuat.
Orang bijaksana yang dengan senang
hati penuh perhatian selama ketiga jaga malam tersebut; kewaspadaannya membuat
ia aman.
Ketika kota perbatasan dijaga dengan
baik di dalam maupun di luar, kedamaiannya tidak akan terganggu: Buatlah hal
yang sama dan perhatikanlah dirimu sendiri; karena ketika seseorang dilahirkan
di neraka, kedamaiannya hilang dan ia menyesalinya (atas apa yang belum dilakukannya).
Lihatlah ke mana pun engkau mau,
tidak ada yang lebih dicintai seseorang selain dirinya sendiri; karena itulah,
sebagaimana hal itu adalah sama seperti yang engkau dan orang lain cintai,
janganlah menyakiti orang lain dengan apa yang menyakitkan bagi diri sendiri.
Bagi semua orang kehidupan ini
dicintai; semua orang takut akan hukuman; engkau, yang seperti mereka,
janganlah memukul, janganlah membunuh.
Ia yang telah menempuh perjalanan
jauh dan yang kembali dari jauh tanpa mengalami kemalangan, sanak saudara dan
teman-temannya yang berkumpul menerimanya dengan tangisan gembira “Alala!”
Demikian pula ia yang telah
bermoral, ketika tiba dari dunia ini ke dunia lain, perbuatan baiknya akan
menerimanya seperti sanak saudara dan menyambutnya.
Karena itulah, simpanlah perbuatan
baik demi tujuan dunia lain; karena perbuatan baik itulah yang diterima
makhluk-makhluk di dunia lain.
Ia yang selama hidupnya adalah
seseorang yang bermoral dipuji oleh para dewa; ia yang padanya tidak terdapat
hal tercela akan menemukan kebahagiaan terbaik di surga.
Ia yang melaksanakan Dharma, yang
sungguh bermoral, sederhana, mengatakan kebenaran, melakukan apa yang
seharusnya ia lakukan, menyenangkan seluruh masyarakat.
Ia yang melakukan apa yang
seharusnya ia lakukan, dan yang memuji Dharma Sejati memberikan kebahagiaan
pada orang lain, Ia akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.
Ucapannya membangun, dan ia telah
meninggalkan semua perbuatan salah, dalam hal ini yang bajik bersenang, dan
yang jahat tidak bersenang.
Karena itulah siapapun yang bajik
dan yang jahat dipisahkan saat kematian; yang jahat pergi ke neraka, yang bajik
pergi ke surga.
Bab
tentang Yang Dicintai, Yang Kelima.
6. Śīlavarga (Moralitas)
Orang bijaksana, demi memperoleh
tiga jenis kebahagiaan, layak dipuji, harta kekayaan, dan untuk pergi ke alam
bahagia di dunia lain, memperhatikan dengan baik perilakunya.
Orang bijaksana, selain hal-hal
tersebut, memperhatikan dengan baik perilakunya demi memperoleh kesucian,
pandangan terang yang terbaik, dan kedamaian duniawi.
Moralitas membawa kebahagiaan;
jasmani terbebas dari kesakitan; pada malam hari seseorang tidur dengan tenang,
dan ketika terjaga ia tetap berbahagia.
Orang bijaksana, yang dermawan, dan
yang mempraktekkan Śīla (yang lain), memperoleh kebahagiaan yang tanpa akhir
atas jasa kebajikannya di dunia ini dan di dunia lain.
Adalah baik bagi ia yang
mempraktekkan, bahkan hingga usia tua, moralitas dan kebajikan, dan ia yang
berkeyakinan: Kebijaksanaan adalah harta terbesar seseorang; 'Sungguh sulit
bagi seorang perampok untuk mencuri jasa kebajikan (dari perbuatan bajik seseorang).
Bhiksu yang mempraktekkan aturan
moralitas, yang indera-inderanya terkendali, yang (bersikap) madya terhadap
makanannya, yang tidak membiarkan dirinya tertidur; ia yang tekun demikian,
yang tidak pernah malas siang dan malam, telah begitu dekat dengan Nirvāṇa
sehingga ia tidak mungkin gagal (untuk mencapainya).
Mempraktekkan aturan moralitas,
pikiran dan pandangannya tekun dalam meditasi, dengan kehidupan demikian,
Bhiksu (itu) akan sampai pada hancurnya dukacita.
Ia yang berhati-hati dalam mempraktekkan
aturan moralitas dan meditasi, sebagai konsekuensinya, akan memperoleh
pandangan terang adiduniawi dan (dapat) membedakan berdasarkan pengetahuan.
Kemudian ia akan, setelah
menghancurkan semua kemelekatannya, membebaskan pikirannya, terpisah dari segala
sesuatu, dan, dengan memiliki pengetahuan, ia melampaui dukacita yang tak
terhitung jumlahnya.
Ia yang mengabdikan dirinya pada
tiga hal ini, moralitas, meditasi, dan pengetahuan, pada akhirnya akan mencapai
kemurnian yang sempurna, dan mengakhiri kesakitan dan juga kemenjadian.
Ia yang terbebas dari belenggu nafsu
keinginan, yang telah membuang jasmani dan yang memiliki kebijaksanaan, telah
pergi melampaui kerajaan Māra, dan bersinar dalam keagungan seperti halnya
matahari.
Seorang Bhiksu yang secara internal
dan eksternal tidak murni dan arogan tidak akan mencapai kesempurnaan
moralitas, meditasi, dan kebijaksanaan.
Hujan turun dari langit yang
tertutup awan, bukan turun dari langit yang cerah; hilangkanlah apa yang
menghalangi (pikiran) dan hujan tidak akan turun.
Ia yang selalu memperhatikan dan
menjaga aturan moralitas seorang Bhiksu, akan dengan cepat tiba di jalan menuju
Nirvāṇa dengan kemurnian yang sempurna.
Aroma bunga tidak menyebar melawan
arah angin, begitu pula aroma kayu gaharu, dupa, atau tchandana. Aroma kesucian
menyebar bahkan melawan arah angin; seluruh penjuru dipenuhi dengan harumnya
manusia sempurna.
Dupa, tchandana, utpala, dan
mallika, di antara wewangian harum ini, aroma harum moralitas (atau kebajikan)
adalah tak tertandingi.
Betapa buruknya aroma harum yang
berasal dari dupa (tagara) dan tchandana; aroma harum dari mereka yang memiliki
moralitas menembus bahkan (ke alam) surga.
Karena itulah, mereka yang berdiam
dalam perhatian, yang telah sempurna dimurnikan melalui perilaku moralnya, dan
yang telah terbebas melalui kesempurnaan pengetahuannya, tidak akan menemui
jalan Māra.
Inilah Sang Jalan menuju
kebahagiaan; ia yang telah memasuki Jalan kesempurnaan pemurnian ini, dengan
berpegang padanya, akan melepaskan belenggu Māra.
Bab
tentang Moralitas, Yang Keenam.
7. Sucaritavarga (Perilaku Bajik)
Ia yang menyingkirkan kejahatan di
dalam jasmaninya demi menjalani perilaku jasmani yang bajik, jasmaninya akan
terlindungi jika ia menjaganya dari keburukan-keburukan besar dari jasmani.
Ia yang menyingkirkan kejahatan
dalam ucapan demi ucapan bajik, ucapannya akan terlindungi jika ia menjaganya
dari keburukan-keburukan besar dari ucapan.
Ia yang menyingkirkan kejahatan
dalam pikiran demi pikiran bajik, pikirannya akan terlindungi jika ia
menjaganya dari keburukan-keburukan besar dari pikiran.
Ia yang menyingkirkan kejahatan
dalam jasmani, yang menyingkirkan kejahatan dalam ucapan, yang menyingkirkan
kejahatan dalam pikiran (nya), (ia) telah menyingkirkannya seperti segala
noda-noda lainnya.
Ia yang melakukan apa yang bajik
dalam jasmani, ia yang bajik dalam ucapannya, ia yang bajik dalam pikirannya,
ia akan memiliki empat hal yang tak terukur (Catvāro Brāhmavihārāḥ).
Ia yang bajik dalam jasmani, ucapan,
dan pikiran, memperoleh kebahagiaan yang tanpa henti di sini dan di dunia lain.
Orang bijaksana yang jasamaninya
terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman
yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.
Orang bijaksana yang ucapannya
terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman
yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.
Orang bijaksana yang pikirannya
terkendali dengan baik, tidak dapat disakiti oleh apa pun; ia pergi ke kediaman
yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat dukacita.
Orang yang tekun mengendalikan
jasmaninya, orang yang tekun mengendalikan ucapannya, orang yang tekun
mengendalikan pikirannya; ketika orang yang tekun mengendalikan segalanya
dengan baik, mereka pergi ke kediaman yang tidak terkondisi, di mana tidak terdapat
dukacita.
Adalah baik mengendalikan jasmani,
adalah baik mengendalikan lidah (ucapan), adalah baik mengendalikan pikiran;
mengendalikan segalanya adalah baik: Bhiksu yang sepenuhnya terkendali,
terbebas dari segala dukacita.
Mengawasi ucapannya, pikirannya
terkendali dengan baik, tidak melakukan apa yang jahat dengan jasmaninya,
dengan mengamati tiga jalur perbuatan ini seseorang menemukan Jalan yang
diucapkan oleh Sang Rischi.
Bab
tentang Perilaku Bajik, Yang Ketujuh.
8. Vācavarga (Ucapan)
Ia yang mengatakan bahwa ia tidak
melakukan apa yang telah ia lakukan, dan ia yang adalah seorang pendusta, akan
pergi ke neraka; demikian kedua orang ini, setelah pergi ke dunia lain, akan
berada dalam kondisi yang hina.
Setiap manusia yang terlahir, dan
yang mengucapkan kata-kata jahat, akan memotong dirinya sendiri dengan kapak
ucapan yang telah lahir (bersamanya).
Ia yang memuji seseorang yang patut
dicela, dan ia yang mencela seseorang yang layak dipuji, (ia) mendatangkan
keburukan (pada dirinya sendiri) dengan mulutnya; ia yang jahat tidak akan
menemukan kebahagiaan.
Ia yang di dunia ini kehilangan
kekayaannya dalam (permainan) dadu, adalah suatu keburukan kecil; Ia yang
pikirannya cenderung jahat terhadap Sang Tathāgata adalah orang yang sangat
(penuh dengan) keburukan..
Ia yang di dunia ini menggunakan
ucapan dan pikirannya untuk mencaci-maki seorang Ārya akan pergi untuk sepuluh
juta (usia kehidupan) ke neraka Nirabbuda, dan untuk seribu empat puluh satu ke
Abbuda.
Ia yang dalam kejahatan (atas)
pikirannya menuduh seseorang yang tidak melakukan kesalahan, menambah
hukumannya sendiri di neraka. Ia yang mempunyai kekuatan (kebijaksanaan) tidak
salah dalam menggunakan ucapannya; bahkan dalam pikirannya pun ia tidak
membayangkan perselisihan.
Mereka yang pikirannya rusak oleh
doktrin-doktrin palsu (pandangan salah), dan yang meninggalkan Ajaran dan jalan
hidup kaum terpilih (Ārya) dan Arahat, akan hancur akibat perbuatan jahat
mereka seperti halnya buluh (yang hancur) dengan benihnya.
Seseorang seharusnya hanya
mengatakan apa yang benar, dan tidak seharusnya berbicara jahat; dari perkataan
yang jahat timbullah kejahatan, karena itulah seseorang harus menggunakan
bahasa yang sesuai.
Orang bodoh mengucapkan kejahatan,
dan melalui ucapannya ia terbelenggu dalam ikatan; ketika seseorang menggunakan
bahasa semacam ini dan menolak yang lain, ia tidak kusebut seorang bijaksana.
Para Bhiksu, yang menjaga ucapan
mereka, yang berbicara dengan tenang dan tanpa kesombongan, yang memiliki
Dharma, mengajarkan nilai-nilainya, ucapan mereka itu menyenangkan.
Bahasa yang diucapkan dengan baik
adalah hal yang utama, sabda Sang Ārya; berbicara dengan baik dan tidak kasar
adalah (yang terbaik) kedua; mengatakan kebenaran dan bukan kebohongan adalah
yang ketiga; mengatakan apa yang benar dan bukan apa yang sia-sia adalah yang
keempat.
Ia yang mengucapkan kata-kata yang
tidak menimbulkan dukacita baginya dan tidak menyakiti orang sekitarnya, (maka
ia) berbicara baik.
Biarlah seseorang mengucapkan
kata-kata yang menyenangkan, yang, ketika ia mengucapkannya, membawa
kegembiraan pada orang sekitarnya, dan, (ia) menerima (akibatnya) dengan
bahagia, karena ia tidak melakukan kejahatan apapun.
Mengatakan kebenaran adalah
(seperti) amrita; kebenaran tidak bisa dilampaui. Kebenaran adalah berpegang
teguh pada apa yang baik dan pada apa yang benar, sabda para suciwan.
Kata-kata yang diucapkan Sang Buddha
dan (mereka) yang melenyapkan segala dukacita adalah perkataan kebenaran;
hal-hal itu yang mengarah pada Nirvāṇa yang tidak dapat dilampaui.
Bab
tentang Ucapan, Yang Kedelapan.
9. Karmavarga (Perbuatan)
Seseorang yang meninggalkan suatu
Dharma (yang besar, yakni kebenaran), demi memperoleh (kebahagiaan di) dunia
lain, dan yang mengucapkan kebohongan, tidak ada kejahatan yang tidak akan
dilakukannya.
Adalah lebih baik seseorang yang
memakan sebongkah besi yang membara daripada seseorang yang tidak terkendali
dan melanggar Śīla-nya, yang harus hidup dengan sumbangan (dari suatu) wilayah.
Jika engkau diliputi rasa takut akan
penderitaan, jika tidak terdapat hal yang menyenangkan bagimu di dalam
penderitaan, maka janganlah melakukan perbuatan jahat secara terang-terangan,
atau bahkan secara sembunyi-sembunyi.
Jika engkau telah melakukan
perbuatan jahat, atau jika engkau ingin melakukannya, engkau mungkin akan
bangkit dan berlari ke mana pun engkau mau, tetapi engkau tidak dapat
membebaskan dirimu sendiri dari penderitaanmu.
Tidak ada suatu tempat pun di bumi,
atau di langit, atau di laut, tidak juga di celah-celah gunung, di mana suatu
perbuatan (jahat) tidak membawa masalah (bagi pelakunya).
Ketika seseorang telah melihat orang
lain disekitarnya dan melihat perbuatan jahat mereka, janganlah ia melakukan
hal yang sama; janganlah berjalan di jalan keburukan.
Ia yang melakukan kejahatan, yang
menggunakan ukuran palsu, yang menyakiti seseorang, atau yang melakukan
perbuatan serupa lainnya, dengan menempuh jalan ini ia akan terjatuh ke dalam
jurang yang dalam.
Apa pun yang telah dilakukan
seseorang, baik perbuatan bajik maupun perbuatan jahat, tidak ada satupun yang
berdampak kecil; semuanya menghasilkan beberapa jenis buah.
Selama orang-orang bersatu, selama
itu pula mereka menjadi pemenang; namun jika mereka menang dengan cara lain,
mereka akan mengetahui bahwa mereka akan ditaklukkan.
Orang bodoh yang tidak melihat hal
ini, berjalan pada jalan kejahatannya, namun ia yang berbuat jahat akan
mengetahui (kesalahannya) di dunia lain.
Orang bodoh tidak melihat bahwa
perbuatan jahatnya, ketika sudah matang, akan tetap membakar. Setelahnya
perbuatannya akan menyiksanya seperti terbakar oleh api.
Orang bodoh yang kurang pengetahuan
memperlakukan dirinya sendiri seperti ia memperlakukan musuh; ia melakukan
perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang membakar.
Perbuatan yang merugikan, dan yang
akibatnya diterima dengan air mata dan wajah tertunduk, maka perbuatan itu
tidak baik dilakukan.
Perbuatan yang tidak merugikan, dan
yang akibatnya diterima dengan sukacita dan kebahagiaan, maka perbuatan itu
baik dilakukan.
Ketika seseorang mengejar
kesenangannya, melakukan perbuatan jahat, hal itu membuatnya tersenyum; namun
ketika perbuatan jahatnya telah matang, hal itu membawa dukacita baginya.
Sesungguhnya perbuatan jahat tidak
terjadi secara tiba-tiba seperti susu; perbuatan jahat seperti api yang muncul
dari bara di dalam abu, yang membakar orang bodoh.
Suatu perbuatan jahat tidak membunuh
seketika, seperti halnya sebilah pedang, namun ia mengikuti si pelaku kejahatan
(bahkan) ke alam nanti.
Betapa membakarnya (perbuatan jahat)
ketika telah sampai pada kematangan, pelaku kejahatan akan mengetahuinya di
dunia lain.
Bagaikan besi, ketika karat
meliputinya, termakan olehnya, demikian pula seorang yang lengah terbawa ke
jalan kejahatan karena perbuatannya sendiri.
Bab
tentang Perbuatan, Yang Kesembilan
10. Śraddhāvarga (Keyakinan)
.
Keyakinan, kesederhanaan, moralitas,
kedermawanan, kebajikan-kebajikan ini dipuji oleh orang-orang suci; dengan
hal-hal ini seseorang pergi ke alam para dewa; jalan ini, Aku katakan, mengarah
ke tanah para dewa.
Orang pelit tidak pergi ke alam para
dewa, karena orang bodoh tidak memuji kedermawanan: mereka yang teguh sangat
bergembira dalam kedemawanan, mereka juga menikmati kebahagiaan di (dunia)
lain.
Keyakinan adalah harta terbesar
seseorang di (dunia) ini, bagi ia di (dunia) ini menjalankan Dharma ini, (ia
akan) menemukan kebahagiaan: kebenaran adalah yang paling manis dari segala
rasa, dan hidup berdasarkan pengetahuan, Aku katakan, adalah kehidupan yang
terbaik. .
Jika orang bijaksana mempunyai
keyakinan terhadap ajaran para Arhat yang menuntun pada Nirvāṇa, dan jika ia
mendengarkannya dengan penuh hormat, ia akan memperoleh pengetahuan tersebut.
Dengan ketekunan seseorang selamat
dari lautan, dan dengan keyakinan dari seberang sungai; dengan ketekunan
penderitaan dihapuskan; dengan kebijaksanaan seseorang dimurnikan.
Bhiksu yang berteman dengan yang
berkeyakinan dan yang penuh kebijaksanaan akan memotong semua belenggunya demi
mencapai Nirvāṇa.
Orang bijaksana yang memiliki
keyakinan sejati, moralitas, kebijaksanaan, dan yang selalu menjaganya di dalam
pikirannya, menyingkirkan segala keburukan; ia, Aku katakan, dalam keadaan yang
baik.
Ia yang memiliki keyakinan dan
moralitas yang sempurna, yang menyingkirkan segala keserakahan, dan telah
terbebas, kemanapun ia pergi, ia akan dihormati.
Orang bijaksana di dunia ini
berpegang teguh pada keyakinan dan kebijaksanaan; hal-hal ini adalah harta
terbesarnya; ia menyingkirkan semua kekayaan lainnya.
Ia yang senang melihat para suciwan,
yang senang mendengarkan Dharma, yang telah menyingkirkan noda-noda kekikiran,
ia harus disebut “berkeyakinan”.
Seseorang harus menyiapkan bekal
keyakinan; karena tidaklah mungkin mengambil jasa kebajikan seseorang, dan
seseorang tidak perlu takut dirampok oleh para pencuri. Berbahagialah para
Śramana yang memperolehnya, dan berbahagialah orang bijaksana ketika bertemu
dengan seorang Śramana (demikian).
Orang-orang memberi berdasarkan
kecenderungannya atau berdasarkan keyakinannya. Ia yang pikirannya tidak
bahagia dengan apa yang orang lain makan dan minum, tidak akan menemukan
ketenangan baik siang maupun malam.
Ia yang telah mengakhiri (perasaan)
ini, seperti ia memotong pucuk pohon Tala, (akan) menemukan ketenangan baik di
siang dan di malam hari.
Janganlah seseorang bergaul dengan
ia yang tanpa keyakinan, karena ia bagaikan suatu sumur yang kering, yang, jika
digali, hanya akan menghasilkan air yang keruh dan kotor.
Biarlah orang bijaksana bergaul
dengan orang yang berkeyakinan, yang bagaikan sungai yang besar dan jernih,
bagaikan danau yang sejuk dan tenang.
Sang Muni terpengaruh dengan mereka
yang memiliki perasaan baik, atau dengan mereka yang tidak memiliki perasaan
baik; maka janganlah berbuat apapun dengan yang tanpa keyakinan, dan bergaulah
dengan yang berkeyakinan.
Bab
tentang Keyakinan, Yang Kesepuluh.
11. Śramanavarga (Pertapa)
Singkirkanlah nafsu, O Brāhmana,
hentikanlah arus (kelahiran) dengan ketekunanmu; ia yang tidak dapat
menyingkirkan segala nafsu, tidak dapat menemukan suatu (keadaan sempurna).
Parivrādjaka yang memiliki keraguan
dan kelengahan hanya akan menimbun keburukan lagi dan lagi; ia yang rajin dan
tekun mengetahui bagaimana caranya melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Suatu tindakan dengan keraguan,
penebusan kesalahan yang dilakukan dengan buruk, suatu kehidupan yang tidak
benar, tidak membawa manfaat yang besar.
Jika sebuah anak panah digenggam
dengan buruk, anak panah itu akan memotong tangan; Śramana yang melakukan
tugasnya dengan buruk, sedang menuju ke neraka.
Jika sebuah anak panah digenggam
dengan benar, anak panah itu tidak akan memotong tangan; demikian pula, Śramana
yang benar-benar melakukan tugasnya, sedang menuju ke Nirvāṇa.
Śramana yang bodoh, yang sulit
menyeberangi (arus), yang sulit bersabar, yang diliputi dengan banyaknya
dukacita yang timbul akibat batinnya yang lemah:
Śramana yang kehidupannya seperti
demikian, akan terus menerus mengalami kesedihan, ia yang tidak dapat
membebaskan dirinya sendiri, ia yang dipenuhi dengan keragu-raguan.
Ia yang adalah seorang Pravrāja yang
buruk, yang bersenang dalam keburukan, dan yang, sebagai umat awam, melakukan
perbuatan-perbuatan buruk, kecanduan terhadap segala sesuatu yang buruk, ia
menyiapkan untuk dirinya sendiri kelahiran kembali yang buruk.
Banyak di antara mereka yang
mengenakan jubah perca berwarna safron, yang tidak terkendali dan bersenang
dalam kejahatan; orang-orang jahat ini menuju kemusnahan.
Ia yang, melanggar semua Śīla-nya,
(yang diambil) seperti sebatang pohon Sāla dengan tanaman merambat, membawa
dirinya sendiri kepada kondisi yang ingin dibawa oleh musuhnya.
Walaupun rambut seseorang menjadi
putih, bukan karena alasan itu seseorang diterima di antara para sesepuh
(Sthavira); ia telah berusia tua, namun ia disebut “Tua dengan sia-sia.”
Ia yang bermoral, yang telah
menyingkirkan keburukan, yang adalah seorang Bramachārin, dan terbebas dari
segala (kekotoran), ia disebut “seorang Sthavira.”
Ia yang berperilaku buruk dan
mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana.
Mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan dan nafsu, bagaimana mereka dapat
menjadi Śramana?
a yang berperilaku buruk dan
mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana;
ia yang telah “menenangkan” keburukan, ia yang bijaksana mengetahui bagaimana
menjadi seorang Śramana.
a yang berperilaku buruk dan
mengucapkan kebohongan, meskipun kepalanya dicukur, bukanlah seorang Śramana;
namun ia yang, setelah membedakan segala keburukan, besar dan kecil, tetap
menjauhinya dan melakukan "penenangan' keburukan, ia disebut “seorang
Śramana.”
Ia yang telah “menyingkirkan
keburukan” adalah seorang Brāhmana; ia yang melakukan "penenangan"
keburukan adalah seorang Śramana; ia yang telah menyingkirkan segala keburukan,
karena hal itulah disebut seorang Pravrāja.
Bab
tentang Pertapa, Yang Kesebelas.
12. Mārgavarga (Sang Jalan)
Ketika kebijaksanaan seseorang telah
membawanya untuk melihat Empat Kebenaran Mulia, pengetahuan tentang Sang Jalan
ini akan menghancurkan semua cinta terhadap kemenjadian.
Bagaikan debu yang terhempas oleh
angin dan hanyut oleh hujan, demikian pula ia yang memiliki mata kebijaksanaan,
seluruh pikirannya menjadi tenang.
Pengetahuan itu yang memungkinkan
seseorang untuk mengakhiri kelahiran dan kematian, dan yang dengannya seseorang
terbebas dari dunia, hal itu adalah (jenis pengetahuan) yang terbaik.
Di antara kebenaran-kebenaran, Empat
Kebenaran Mulia (adalah yang terbaik); Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah
Jalan yang terbaik; Yang terbaik dari makhluk berkaki dua adalah ia yang
melihat; Kebajikan (Dharma) yang terbesar, (adalah) tanpa nafsu.
“Segala sesuatu yang terkondisi
adalah tidak kekal;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia
tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang
sempurna.
“Segala sesuatu yang terkondisi
adalah penderitaan;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia
tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang
sempurna.
“Segala sesuatu yang terkondisi
adalah kosong (śunyata);” ketika seseorang telah melihatnya melalui
pengetahuan, ia tidak lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju
kesucian yang sempurna.
“Segala sesuatu yang terkondisi
adalah maya;” ketika seseorang telah melihatnya melalui pengetahuan, ia tidak
lagi menderita akibat kesakitan: Inilah Jalan menuju kesucian yang sempurna.
Aku telah mengajarkanmu bahwa Jalan
ini menghilangkan penderitaan akibat kemenjadian. Sang Tathāgata adalah seorang
Guru; kalian sendirilah yang harus berusaha mengejar (Nirvāṇa).
Aku telah mengajarkanmu bahwa Jalan
ini menghilangkan penderitaan akibat nafsu. Sang Tathāgata adalah seorang Guru;
kalian sendirilah yang harus berusaha mengejar (Nirvāṇa).
Tidak ada jalan lain selain Jalan
ini yang menuju Pencerahan Sempurna; dengan memusatkan pikiranmu padanya,
engkau akan melepaskan belenggu Māra.
Jalan ini lurus: Jalan ini membawa
seseorang menuju dunia lain; Jalan ini adalah satu-satunya Jalan menuju lautan
kemurnian, Śakyamuni, Yang Tenang dan Bijaksana, membabarkan Jalan ini lagi dan
lagi kepada banyak orang.
Setelah menemukan akhir dari
kelahiran dan kematian, melalui kebaikan dan belas kasihan Aku akan mengajarkan
Sang Jalan, satu-satunya Jalan. Setelah melewati arus (kekotoran), Aku akan
mengajari orang lain untuk menyeberang seperti yang telah Aku seberangi.
Sang Jalan untuk mencapai
Penghentian penuh (dari kemenjadian), pengendalian, kemurnian; Sang Jalan untuk
mengakhiri munculnya kelahiran dan kematian yang berulang; Jalan untuk
membedakan semua dhātu: * dengan cara ini, itulah yang diajarkan oleh Ia yang
memiliki mata (kebijaksanaan).
Seperti halnya air di Sungai Gangga
mengalir deras dan bermuara di lautan, demikian pula ia yang berjalan di Jalan
pengetahuan sempurna yang lurus, akan sampai pada penghentian kematian.
Ia yang, melalui belas kasihan
terhadap semua makhluk, memutar roda Dharma, yang sampai saat ini belum pernah
terdengar, Sang Pelindung, Guru para dewa dan manusia, Ia yang telah sampai
pada akhir kemenjadian jasmani, pada-Nya (aku) melakukan penghormatan.
Dengan memperoleh persepsi tiga
kebahagiaan, dan dengan melepaskan tiga hal yang tidak menyenangkan, seseorang
akan melalui persepsi-persepsi ini, dan dengan memperhatikan ketiga kebahagiaan
tersebut, sampai pada kedamaian: (seperti halnya) debu (rāga) yang hanyut oleh
hujan, ketika pikiran dan perilaku menjadi damai, maka seseorang menikmati
kebahagiaan Bodhi yang tak tertandingi.
Pikirannya melekat pada tiga jenis
Samādhi, ia bermeditasi dalam keterasingan pada (Empat) hal yang tak terukur
(Brahmavihara); demikianlah seseorang yang reflektif dan bijaksana melepaskan
belenggu-belenggunya, dan melepaskan (dirinya sendiri) dari tiga wilayah
(keinginan) melalui ketiga jenis Samādhi.
Ia yang mempunyai kebijaksanaan
sebagai senjata, ketekunan sebagai kekuatannya, yang reflektif, tenang, dan
yang bersenang dalam meditasi (Samādhi), setelah memahami asal mula dan
kehancuran (kemenjadian) duniawi, akan memperoleh pembebasan sempurna: Ia yang
telah memahami akhir dari (kemenjadian) duniawi, meletakkan (beban), Aku
nyatakan, disebut “Ia yang telah mengakhiri (kemenjadian) duniawi dan telah
tiba di (pantai) seberang.”
Ia yang pikirannya terkonsentrasi
pada Jalan Suci Berunsur Delapan, Jalan yang lurus, telah menemukan yang tanpa
kematian; dengan mengikutinya ia menemukan kebahagiaan yang sangat
diidam-idamkan, dan dengan menemukan apa yang terpuji, ia meningkatkan reputasi
(nya).
Bab
tentang Sang Jalan, Yang Kedua Belas.
Buku Kedua
13. Satkāravarga (Kehormatan)
Seperti bagal betina yang mati
karena keturunannya, seperti buluh dan pohon pisang yang membusuk ketika
menghasilkan buah, demikian pula orang bodoh dihancurkan dengan kehormatan.
Tidak peduli berapa lama orang bodoh
berkorban, ia tidak akan berhenti kegandrungan; kegemilangan orang bodoh terus
meredup hingga membawa pada dukacita bahkan hingga ke mahkota di kepalanya.
Orang bodoh menginginkan kekayaan,
agar para Bhiksu tunduk (pada perintahnya), demi kekuasaan di tempat tinggal
(milik Sangha), dan memperoleh penghormatan dari orang lain.
“Biarlah baik para Pravrāja maupun
perumah tangga, siapapun mereka, membayangkan bahwa Akulah (yang telah
melakukannya); dalam hal apa pun yang harus dilakukan atau tidak dilakukan,
biarlah semuanya tunduk kepadaku;” demikianlah pikiran orang bodoh, dan
nafsunya semakin meningkat.
Satu hal adalah jalan menuju
kekayaan, hal yang lain adalah jalan menuju Nirvāṇa; jika seorang Bhiksu, siswa
Sang Buddha, telah mempelajari hal ini, ia tidak akan menemukan kesenangan
dalam kehormatan, namun mencari keterasingan sempurna (dari dunia).
Janganlah menyimpan kesukaan pada
apa pun; janganlah menipu siapa pun; tinggalkanlah kedudukan apa pun; dalam
(mengikuti) Dharma seseorang tidak boleh terlibat dalam perdagangan.
Jagalah apa yang bermanfaat bagi
dirimu sendiri dan janganlah iri pada perolehan orang lain, karena Bhiksu yang
iri pada orang lain tidak dapat menemukan ketenangan (Samādhi).
Jika seorang Śramana ingin menjalani
kehidupan yang bahagia, biarlah ia mengenakan jubah (Sanghāti) kebhiksuan dan
menerima derma makanan dan minuman.
Jika seorang Śramana ingin menjalani
kehidupan yang bahagia, biarlah ia tetap tinggal di suatu kediaman
(kebhiksuan), seperti halnya yang dilakukan reptil terhadap lubang tikus.
Jika seorang Śramana ingin menjalani
kehidupan yang bahagia, biarlah ia merasa puas dengan hal-hal yang paling
kejam, dan hanya memikirkan Dharma yang teragung.
Walaupun seseorang tidak mengetahui
banyak hal, jika seseorang menjaga dengan baik peraturan moralitas, menjalani
kehidupan sesuai dengan pengetahuannya, orang-orang akan memujinya (dengan
pujian) “ia tidak lalai.”
Jika seseorang memiliki tiga
pengetahuan yang sempurna yang mengalahkan penguasa kematian, orang bodoh
mengira ia tidak tahu apa-apa, dan ia dapat menyalahkannya.
Ia yang berada di bawah kekuasaan
dukacita dan keburukan, jika ia hanya mempunyai makanan, minuman, dan kekayaan,
ia akan dipuji oleh orang bodoh.
Ia yang rambutnya dicukur, dan yang
mengenakan jubah kuning, namun ia hanya mencari makanan, minuman, pakaian, dan
tempat tinggal, adalah musuh terbesarnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang
mengetahui keburukan dan bahayanya dari kehormatan, dengan hanya sedikit
keinginan, dan telah membuang segala kegelisahan dalam pikiran, seorang Bhiksu
yang reflektif mengembara ke sana kemari.
Pikiran tidak bisa menjadi bosan
hanya dengan sebongkah makanan, karena seseorang harus makan untuk
mempertahankan kehidupan ini; Oleh karena itu, ia yang mengetahui bahwa tubuh
ini hanya ada melalui makan, pergi mengumpulkan derma makanan.
Inilah yang dipuja dan dihormati
oleh orang bijaksana: Penghapusan setiap titik kesedihan dan dukacita, yang
merupakan tugas yang sulit, dan orang-orang menghormati ia yang sabar dan
saksama; Oleh karena itu, pelajarilah cara mengenali rawa (dan menjauhinya).
Bab
tentang Kehormatan, Yang Ketiga Belas.
14. Droharavarga (Kebencian)
Kebencian terhadap mereka yang tidak
melakukan kejahatan dan tidak membenci, itulah tanda (terjemahan harfiah:
pakaian) orang yang melakukan keburukan di dunia ini dan di dunia lain.
Setelah mendatangkan dukacita pada
dirinya sendiri, setelahnya ia akan mendatangkan kesulitan pada orang lain,
seperti elang pemburu, (?), yang, ketika dirinya menahan dirinya sendiri,
melukai binatang lain.
Ia yang memukul akan dipukul; ia
yang menunjukkan dendam akan mendapatkan dendam; demikian juga dari cercaan
mendatangkan cercaan, dan ia yang marah mendatangkan kemarahan.
Para Śramana bodoh yang tidak
mengetahui Dharma yang suci, walaupun hidup ini singkat, namun dalam kebodohan
batin mereka, mereka menyerah pada pertengkaran.
“Inilah (orang) yang terbaik,” pikir
mereka, karena berbeda dengan kesepakatan bersama demikian: “Mengapa para
Bhiksu memilih orang ini? Ia itu tanpa kekuatan dan tanpa pikiran.”
Jika suatu tulang patah, (mereka
menyarankan) membunuh, merampas kuda, sapi, dan kekayaan, menaklukkan kerajaan,
dan setelahnya akan berteman lagi.
Namun orang bijaksana, yang
mengetahui apa yang (benar), mengatakan: “Mengapa engkau tidak mempelajari
Dharma ini, yang mengajarkan jalan hidup yang sebenarnya?” (terjemahan harfiah:
bidang kegiatan). Engkau yang tidak memiliki perilaku para bijaksanawan,
berhati-hatilah terhadap kata-kata dari mulutmu; jagalah tetanggamu yang tidak
mengetahui (bahaya yang mungkin mereka hadapi); mereka yang mengetahui (Dharma
ini), mengucapkan kata-kata yang lembut dan menyenangkan.”
“Ia menyakitiku, ia memakiku, ia
memukulku, ia menaklukkanku;” ia yang terus mengingat hal ini, dan yang merasa
kesal, tidak akan menemukan kedamaian.
“Ia menyakitiku, ia memakiku, ia
memukulku, ia menaklukkanku;” ia yang tidak mengingat hal ini, dan tidak merasa
kesal, akan menemukan kedamaian.
Ia yang menunjukkan kebencian kepada
orang yang membenci tidak akan pernah menemukan kedamaian; ia yang bersabar
terhadap orang yang membenci akan menemukan kedamaian; inilah hakikat kebenaran
abadi.
Ia yang menggenggam kebencian
terhadap mereka yang menggenggam kebencian, tidak akan pernah bisa menjadi
murni; tetapi ia yang tidak merasakan kebencian, menenangkan mereka yang
membenci: demikianlah kebencian mendatangkan kesengsaraan bagi orang-orang,
orang bijaksana tidak mengenal kebencian.
Jika seseorang menemukan seorang
teman yang bijaksana, yang teguh dan murni, biarlah ia, setelah mengatasi
segala keburukan, bergaul dengannya, penuh perhatian dan gembira.
Jika seseorang tidak menemukan teman
yang bijaksana, teguh dan murni, seperti halnya seorang raja yang meninggalkan
kerajaannya yang luas, biarlah ia hidup sendiri dan tidak berbuat keburukan.
Jika seseorang tidak menemukan teman
baik yang menjalani kehidupan seperti dirinya, biarlah ia dengan kebulatan
tekad menjalani kehidupan yang terasing, dan tidak bergaul dengan orang bodoh.
Lebih baik hidup sendirian daripada
berteman dengan orang bodoh; dengan melepaskan semua beban pikiran, seseorang
hidup sendirian, bagaikan gajah di hutan Mātanga.
Bab
tentang Kebencian, Yang Keempat Belas.
15. Smṛtivarga (Perhatian)
Inilah Ajaran Buddha, bahwa siapapun
(yang memulai dengan) perhatian terhadap nafas bekerja, dan yang melanjutkan
melalui berbagai tahapan (meditasi), pikirannya terkendali dengan baik, akan mencapai kesempurnaan,
seperti matahari dan rembulan, ketika bebas dari awan, menerangi seluruh dunia.
Ia yang, ketika berdiri, duduk, dan
berbaring, mengendalikan tubuh dan pikirannya, Bhiksu yang bijaksana dan
terkendali dengan baik demikian akan mendapatkan berkah yang disebutkan di atas
dan berkah-berkah lainnya; dan jika ia telah memperoleh berkah yang disebutkan
di atas dan berkah-berkah lainnya, ia tidak akan pergi ke tempat di mana
penguasa kematian berada.
Ia yang terus-menerus penuh
perhatian sehubungan dengan jasmani, dan menguasai enam landasan indera
(āyatana), dan selalu tenang dengan baik, mengetahui lenyapnya dukacita.
Ia yang terus-menerus penuh
perhatian sehubungan dengan jasmani dalam segala bentuknya, pada keadaan tanpa
diri, tanpa kemelekatan pada “milikku”, tidak akan memperdulikan 'diri'; ia
tidak akan memiliki kemelekatan terhadap “milikku:” dengan cara ini Bhiksu itu
akan dengan cepat menyeberang dari wilayah nafsu.
Ia yang penuh perhatian, bijaksana,
tenang, bahagia, dan murni, serta selalu mempraktekkan Dharma, Aku nyatakan,
akan menyebrangi kelahiran dan usia tua.
Dengan belajar demikian agar selalu
waspada, Bhiksu yang bijaksana, penuh perhatian, dan rajin, setelah melepaskan
semua ikatan, dengan cara ini menemukan hancurnya dukacita (Nirvāṇa).
Mereka yang terjaga dapat melihat
lebih baik daripada mereka yang tertidur, Aku katakan kepadamu; adalah lebih
baik terjaga dari pada tidur, karena ia yang terjaga tidak mempunyai rasa
takut.
Ia yang waspada dan tekun akan
terjaga siang dan malam, dan ia akan menemukan akhir dari kesakitan (kleśā)
dalam lenyapnya kematian (nirvāṇa) yang didambakan.
Mereka yang siang dan malam penuh
perhatian pada Sang Buddha, dan yang pergi berlindung kepada Sang Buddha,
orang-orang ini mendapatkan keuntungan manusia.
Mereka yang siang dan malam penuh
perhatian pada Dharma, dan yang pergi berlindung kepada Dharma, orang-orang ini
mendapatkan keuntungan manusia.
Mereka yang siang dan malam penuh
perhatian pada Sangha, dan yang pergi berlindung kepada Sangha, orang-orang ini
mendapatkan keuntungan manusia.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada Sang Buddha.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada Dharma.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada Sangha.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada Dharma moralitas (Śīla).
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada pelepasan keduniawian.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian pada Sang Jalan.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam penuh perhatian sehubungan dengan jasmani.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam selalu memperhatikan empat jenis meditasi (samādhi).
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam penghentian kematian.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam kebaikan hati.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam meditasi.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam keadaan tanpa kondisi.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam keadaan tanpa ciri.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam keterasingan.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam apa yang membawa pada keselamatan.
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam tidak memiliki (keduniawian?).
Siswa Sang Gautama selalu terjaga,
siang dan malam bersenang dalam Nirvāṇa.
Bab
tentang Perhatian, Yang Kelima Belas.
16. Prakīrṇakavarga (Berbagai Hal)
Ketika engkau merasa ingin melakukan
sesuatu, mulailah dengan merenungkannya: “Jika aku hanya melakukan hal tersebut
pada awalnya, seseorang akan berharap ketika hal itu sudah terlambat.
“Aku akan melihat hakikat sebenarnya
dari nafsu, dan (bagaimana nafsu) itu menjadi sebuah belenggu;” biarlah
seseorang memperhatikan apa yang ia lakukan selama ia berusaha mencapai
kesempurnaan.
Dengan praktek dan ketekunan
seseorang akan menjadikan dirinya sendiri sebuah pulau. Buanglah kekotoranmu
seperti yang dilakukan pandai besi pada perak: kekotoranmu telah dibersihkan
dan terbebas dari keburukan, maka engkau tidak akan mengalami kelahiran dan
usia tua lagi.
Ia yang malu terhadap apa yang tidak
memalukan, dan tidak malu terhadap apa yang memalukan, yang takut terhadap apa
yang tidak menakutkan, dan yang tidak takut terhadap apa yang menakutkan, orang
itu memiliki pandangan salah dan akan tersesat.
Ia yang awalnya lalai dan kemudian
ia menjadi penuh perhatian, bagaikan rembulan yang terbebas dari awan, ia
menerangi seluruh dunia.
Ia yang awalnya lalai dan kemudian
ia menjadi penuh perhatian akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan
perhatian penuh.
Ia yang telah meninggalkan
keduniawian ketika masih muda dan mengikuti Buddha Dharma, seperti rembulan
yang terbebas dari awan, dia menerangi seluruh dunia.
Ia yang adalah seorang Bhiksu muda
dan mengikuti Buddha Dharma akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan
perhatian penuh.
Ia yang menutupi kejahatannya dengan
perbuatan bajik menerangi seluruh dunia ini seperti rembulan yang terbebas dari
awan.
Ia yang menutupi kejahatannya dengan
perbuatan bajik akan meninggalkan nafsu terhadap dunia ini dengan perhatian
penuh.
Ia yang tidak bersenang dalam
kehidupan, tidak akan menemukan dukacita dalam kematian; ia mengetahui manfaat
dari ketekunan, dan tanpa kesakitan bahkan di tengah dukacita.
Ia yang tidak bersenang dalam
kehidupan, tidak akan menemukan dukacita dalam kematian; ia mengetahui manfaat
dari ketekunan, dan ia adalah sinar cahaya bagi kerabat-kerabatnya.
Bhiksu yang dengan merenungkan pada
manfaat (pelepasan keduniawian) telah membuang keburukan, meninggalkan rumahnya
untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, yang merupakan bidang aktivitas
sebenarnya, dan kemudian, setelah mempelajari apa itu kebahagiaan sejati, ia
membuang segala nafsu.
Ia yang batinnya selalu suci, suci
dengan selalu mengakui keburukannya, dalam setiap perbuatannya manaati jalan
kesucian, akan mencapai kesempurnaan.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, keserakahan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang
memberi kepada mereka yang tanpa keserakahan, akan memperoleh hasil yang besar.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, kebencian inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang
memberi kepada mereka yang tanpa kebencian, akan memperoleh hasil yang besar.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, kebodohan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang
memberi kepada mereka yang tanpa kebodohan, akan memperoleh hasil yang besar.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, keakuan inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang memberi
kepada mereka yang tanpa keakuan, akan memperoleh hasil yang besar.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, nafsu indera inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang
memberi kepada mereka yang tanpa nafsu indera, akan memperoleh hasil yang
besar.
Rumput inilah yang merusak suatu
ladang, nafsu (trīchnā) inilah yang merusak orang-orang; Karena itulah ia yang
memberi kepada mereka yang tanpa nafsu, akan memperoleh hasil yang besar.
Enam (hal ini) adalah tuan dan
penguasa. Jika seseorang terikat pada nafsu ragawi (rāga), ia memiliki (segala)
nafsu; jika seseorang tidak memiliki nafsu ragawi (rāga), maka ia tidak
memiliki (salah satu pun) nafsu. Ia yang bernafsu disebut orang bodoh.
Ketika suatu benteng terbuat dari
tulang, diplester dengan daging dan darah, nafsu, kebencian, dan keakuan
tinggal bersama di dalamnya.
Mereka yang tidak mempersepsikan
darimana munculnya semua dukacita mereka, mereka terikat dalam belenggu; mereka
yang telah menemukannya meninggalkan perairan (kekotoran batin) dan menyeberang
ke (pantai) seberang, di mana mereka terbebas dari nafsu.
Bab
tentang Berbagai Hal, Yang Keenam Belas.
17. Udakavarga (Air)
Mereka yang, dengan seluruh daya
upayanya dicurahkan pada perhatian, tidak menemukan kesenangan didalam rumah,
seperti seekor angsa yang meninggalkan suatu danau yang tercemar, mereka
meninggalkan rumahnya dan menyeberangi arus.
Mereka yang tekun pergi meninggalkan
dunia, setelah mengalahkan pasukan Māra; mereka seperti angsa di jalan
matahari, terbang di udara melalui kekuatan batinnya (irddhi).
Mereka yang tidak hidup seperti
Brahmatchāri, dan tidak memperoleh kekayaan di masa mudanya, (mereka) menjadi
seperti bangau tua di tepi kolam yang tercemar dengan sedikit ikan.
Mereka yang tidak hidup seperti
Brahmatchāri, dan yang tidak memperoleh kekayaan di masa mudanya, mengingat apa
yang telah mereka lakukan sebelumnya, mereka berbaring, haus akan masa lalu.
Janganlah berpikir, “Kejahatan tidak
begitu penting; kejahatan tidak akan mengikutiku;” karena seperti halnya sebuah
bejana besar terisi penuh dengan tetes-tetes air yang jatuh, demikian pula
orang bodoh akan menjadi penuh kejahatan, bahkan jika ia mengumpulkannya
sedikit demi sedikit.
Janganlah berpikir, “Kebajikan tidak
begitu penting; kebajikan tidak akan mengikutiku;” karena seperti halnya sebuah
bejana besar terisi penuh dengan tetes-tetes air yang jatuh, demikian pula
orang yang tekun akan menjadi penuh kebajikan, bahkan jika ia mengumpulkannya
sedikit demi sedikit.
Karena berkeinginan untuk
meninggalkan danau yang luas dan keruh, dan untuk menyeberangi lautan samudera,
orang bijaksana pergi menyeberang dengan rakit yang telah disiapkannya.
Ketika ia telah menyeberang, ia akan
mendiami "tanah perjanjian" Sang Buddha, Sang Bhagavā, Sang Brāhmana;
oleh karena itu biarlah para Bhiksu, dan mereka yang mendengarkan (Dharma-Ku),
membersihkan diri mereka sendiri (dari keburukan), menyiapkan sebuah rakit.
Orang bijaksana dan terunggul yang
mendengarkan Dharma menjadi seperti sebuah danau yang dalam, jernih, dan murni.
Jika terdapat air di segala penjuru,
siapakah yang akan berlarian mencari air suatu sumur? Apalah gunanya air suatu
sumur? Maka hancurkanlah nafsu dari akar-akar terdalamnya.
Tukang cuci mencuci dengan air,
pengrajin panah meluruskan (anak panahnya) dengan api, tukang kayu memotong
kayu-kayunya, orang bijaksana membentuk dirinya sendiri.
Tanpa nafsu bagaikan cakrawala,
teguh bagaikan ambang pintu, orang bijaksana tidak bersenang dalam
transmigrasi, yang bagaikan sebuah danau yang bergejolak.
Bab
tentang Air, Yang Ketujuh Belas.
18. Puṣpavarga (Bunga)
Siapakah yang dapat menaklukkan
dunia para dewa, penguasa kematian (Yama) dan manusia, yang mengetahui
bagaimana mengungkapkan Dharma yang paling menyenangkan, seperti seseorang
terhadap bunga-bunga?
Adalah para murid (sekha) yang dapat
menaklukkan dunia para dewa, penguasa kematian (Yama) dan manusia, yang
mengetahui bagaimana mengungkapkan Dharma yang paling menyenangkan, seperti
seseorang terhadap bunga-bunga.
Ketakutan lahir dari hutan
(ketidaktahuan); karena itu tebanglah, bukan (hanya) pohon-pohon di hutan,
namun semua yang berhubungan dengan hutan (yaitu, akar-akarnya), dan setelahnya
Sang Śramana akan menemukan Nirvāṇa.
Jika seseorang tidak menghancurkan
semua yang berhubungan dengan hutan sampai ke bagian terkecilnya, pikirannya
akan terikat belenggu, seperti anak sapi yang menginginkan susu berada di sisi
induknya.
Singkirkanlah cinta terhadap diri
sendiri seperti yang engkau lakukan terhadap teratai musim gugur;
pertahankanlah Jalan Kedamaian demi Nirvāṇa yang telah dijelaskan oleh Sang
Pemenang.
Bagaikan sekuntum bunga yang cantik,
warnanya menyenangkan namun tidak harum, demikianlah kata-kata yang
menyenangkan namun tidak berdampak yang diucapkan oleh seseorang yang tidak
bertindak (sesuai ucapannya).
Bagaikan seekor lebah yang tidak
merusak baik warna maupun aroma suatu bunga, tetapi setelah menghisap
(nektar)nya, ia terbang menjauh, maka biarlah Sang Muni berjalan melintasi
suatu desa.
Dengan tidak memperhatikan
keburukan-keburukan orang lain, serta apa yang telah ataupun yang belum mereka
lakukan, seseorang harus memperhatikan apa yang dilakukannya sendiri benar atau
salah.
Seperti halnya tumbuh di tumpukan
kotoran dan air kotor, tidak terpengaruh dengan mereka, Padma, murni, berbau
harum, dan indah.
Demikianlah para siswa
Samyaksaṁbuddha bersinar karena kebijaksanaannya di antara manusia lain, yang
buta dan (seperti) sebuah tumpukan kotoran.
Seperti halnya dari setumpuk bunga
banyak karangan bunga terbuat, demikianlah ketika seseorang dilahirkan, ia
dapat melakukan banyak perbuatan bajik.
Seperti halnya tanaman Vakula di
musim panas merontokkan semua bunganya, maka biarlah seorang Bhiksu membuang
nafsu, kebencian, dan ketidaktahuan.
Seseorang yang pikirannya kacau,
seperti seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, penguasa kematian membawanya
seperti banjir yang melanda suatu desa yang tertidur.
Orang yang pikirannya kacau, seperti
seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, jatuh ke dalam pengaruh penguasa
kematian tanpa memuaskan nafsunya.
Orang yang pikirannya kacau, seperti
seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, ia jatuh ke dalam pengaruh penguasa
kematian tanpa memperoleh harta (yang cukup untuk memuaskannya).
Orang yang pikirannya kacau, seperti
seseorang yang sedang mengumpulkan bunga, ia jatuh ke dalam pengaruh penguasa
kematian tanpa sampai pada hal yang diperjuangkannya.
Ia yang menyadari bahwa tubuh ini
(kosong) bagaikan sebuah vas, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu (dharma/
fenomena) hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin
bunga-bunga Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.
Ia yang menyadari bahwa dunia ini
bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu hanyalah sebuah
ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan
terlihat lagi oleh raja kematian.
Ia yang menyadari bahwa tubuh ini
bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala sesuatu hanyalah sebuah
ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga Māra, dan tidak akan
terlihat lagi oleh raja kematian.
(Pengulangan syair 18.18) Ia yang
menyadari bahwa dunia ini bagaikan gelembung, dan yang mengetahui bahwa segala
sesuatu hanyalah sebuah ilusi, maka ia akan menghancurkan pemimpin bunga-bunga
Māra, dan tidak akan terlihat lagi oleh raja kematian.
Seorang Bhiksu yang mengetahui bahwa
kemenjadian adalah tanpa kenyataan, seperti sekuntum bunga Udumbāra,
menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti
seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian keserakahan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai)
yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa
yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang
melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian kebencian, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai)
yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa
yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang
melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian ketidak-tahuan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari
(teratai) yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki,
menyingkirkan apa yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti
seekor ular yang melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian ke-aku-an, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai)
yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa
yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang
melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian kecintaan, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai)
yang lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa
yang terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang
melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Seorang Bhiksu yang memotong setiap
bagian nafsu, seperti yang seseorang lakukan kepada bunga dari (teratai) yang
lahir di dalam air, yang tumbuh di dalam suatu tangki, menyingkirkan apa yang
terdapat dan tidak terdapat di pantai seberang, seperti seekor ular yang
melepaskan kulit lamanya yang sudah kering.
Bab
tentang Bunga, Yang Kedelapan Belas.
19. Aśvavarga (Kuda)
Jika seekor kuda yang baik dipukul
dengan cambuk, ia menjadi takut dan mengerahkan seluruh kekuatannya; demikian
pula ketika seseorang penuh dengan keyakinan, moralitas, dan meditasi
(samādhi), tidak pernah berbuat apapun terhadap fenomena dunia (dharma), dengan
indera-inderanya yang ditenangkan dengan baik, sabar, dan gembira, dengan
terdorong demikian ia sepenuhnya meninggalkan dunia. .
Jika seekor kuda yang baik dipukul
dengan cambuk, ia menjadi takut dan mengerahkan seluruh kekuatannya; demikian
pula ketika seseorang penuh dengan keyakinan, moralitas, dan meditasi, tidak
pernah berbuat apapun terhadap fenomena dunia, memiliki pengetahuan dan
(menaati) (peraturan-peraturan) yang mendasar, dengan terdorong demikian ia
menyingkirkan setiap bagian dukacita.
Mereka yang dijinakkan dengan baik,
bagaikan kuda-kuda yang dirusak (dijinakkan) dengan baik, yang indera-inderanya
dikendalikan dengan baik untuk meredam amarah, sehingga mengakhiri dukacita,
para Muni ini akan segera bersenang di antara para dewa.
Orang yang murni tidak berhubungan
dengan orang yang lalai, orang yang waspada (tidak berhubungan) dengan orang
yang malas, seperti halnya kuda baik yang bijaksana meninggalkan kuda liar dan
mengembara (sendirian).
Ia yang memikirkan kesederhanaan dan
pengetahuan seperti seekor kuda yang baik memikirkan cambuk, dan ia yang
ditenangkan dengan baik oleh kebijaksanaan, membersihkan dirinya dari
keburukan.
(Kuda) yang dijinakkan digiring
pergi ke tempat berkumpul; Sang Raja mengendarai (kuda) yang jinak; Orang yang
terbaik di antara orang-orang yang dijinakkan adalah ia yang dengan sabar
menahankan ucapan kasar.
Lebih baik dari pada gajah yang
terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang
dirusak (dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.
Dengan dirinya sendiri yang telah
dijinakkan dengan baik, seseorang dapat mencapai kedamaian, namun dengan
pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan tersebut.
Lebih baik dari pada gajah yang
terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang
(dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.
Dengan dirinya sendiri yang telah
dijinakkan dengan baik, seseorang dapat mencapai akhir penderitaan, namun
dengan pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan
tersebut.
Lebih baik dari pada gajah yang
terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang
(dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.
Dengan dirinya sendiri yang telah
dijinakkan dengan baik seseorang dapat menyingkirkan kondisi manusia, namun
dengan pendekatan-pendekatan yang lain, tidak mungkin mencapai keadaan
tersebut.
Lebih baik dari pada gajah yang
terbesar, dari pada kuda-kuda Sindhu berdarah murni, dari pada bagal yang
(dijinakkan) dengan baik, adalah ia yang menjinakkan dirinya sendiri.
Dengan dirinya sendiri yang telah
dijinakkan dengan baik seseorang akan pergi, setelah memotong belenggu-belenggu
seseorang, namun dengan pendekatan-pendekatan yang lain tidak mungkin mencapai
keadaan tersebut.
Ia yang ingin dijinakkan seperti
seekor kuda yang baik seharusnya menjinakkan dirinya sendiri; dengan diri
sendiri yang dijinakkan dengan baik, seseorang mencapai akhir penderitaan.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri: karena itulah
hancurkan (jinakkan) diri sendiri seperti yang engkau lakukan pada seekor kuda
yang baik.
Bab
tentang Kuda, Yang Kesembilan Belas.
20. Krodhavarga (Kemarahan)
Ketika seseorang telah menyingkirkan
kemarahan, membuang keegoisan, meninggalkan segala bentuk belenggu, tanpa
kemelekatan pada batin dan jasmani, terbebas dari segala sesuatu, ia tidak
dapat terjerumus ke dalam nafsu.
Menyingkirkan kemarahan yang muncul,
menyingkirkan nafsu keinginan begitu ia muncul, orang yang tekun menyingkirkan
segala ketidaktahuan, akan menemukan kebahagiaan dalam persepsi kebenaran.
Jika seseorang telah menyingkirkan
kemarahannya, tidurnya menjadi tenang; jika seseorang telah menyingkirkan
kemarahannya, ia tidak merasakan dukacita. Para Bhiksu, hancurkanlah kemarahan,
yang adalah akar beracun; para Āryāḥ menyatakan bahwa mereka yang telah
mengatasinya, tidak memiliki dukacita.
“Tidak ada yang lebih baik daripada
mengendalikan kemarahan seseorang.” Ini adalah ucapan yang bagus, karena rasa
sakit datang setelah kemarahan, seperti halnya ketika seseorang terbakar dengan
api.
Ia yang tidak suci, tanpa kesopanan,
yang mudah marah, yang tidak bisa menahan diri, ia yang ditundukkan oleh nafsu
keinginan demikian, siapakah yang peduli kepadanya?
Ia yang hanya memiliki
"kekuatan orang bodoh" memiliki suatu kekuatan (yang disebut) tidak
ada kekuatan sama sekali. Tidaklah mungkin bahwa orang bodoh yang tidak tahu
apa-apa tentang Dharma dapat mencapai kesempurnaan.
Ia yang memiliki kekuatan, ia
bersabar terhadap mereka yang lemah, maka Aku menyebutnya sebagai orang yang
paling sabar, selalu tunduk pada pendapat orang yang lemah.
Ia yang, meskipun berkuasa atas
orang lain, (namun) sabar terhadap orang yang lemah, Aku menyebutnya sebagai
orang yang paling sabar, selalu tunduk pada pendapat orang yang lemah.
Ia yang, setelah dimarahi, tetap
sabar walaupun ia kuat, Aku menyebutnya sebagai orang yang paling sabar, selalu
tunduk pada pendapat orang yang lemah.
Ia yang, mengetahui bahwa musuhnya
sedang marah, melindungi kedamaiannya sendiri, menjaga dirinya dan orang lain
dari bahaya besar.
Ia yang, mengetahui bahwa musuhnya
sedang marah, melindungi kedamaiannya sendiri, melakukan apa yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Ia yang berbuat demikian demi
manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, mereka yang tidak mengetahui
Dharma, akan menganggap enteng, “Ia adalah orang bodoh!”
Perkataan orang yang lebih tinggi
adalah sabar karena takut akan (akibatnya); kesabaran yang menahankan makian
dan provokasi, yang menahankan kata-kata yang menghina, adalah kesabaran yang
terbaik, kata orang bijaksana.
Orang bodoh yang marah dan berpikir
untuk menang dengan menggunakan bahasa kasar, selalu dikalahkan oleh orang yang
sabar dalam perkataannya.
Mengucapkan kebenaran; janganlah
menyerah pada kemarahan; berikanlah kepada orang yang meminta, meskipun hanya
sedikit: dengan menjalankan ketiga (aturan perilaku) ini engkau akan pergi ke
alam para dewa.
Ia yang dikuasai kemarahan tidak
melihat apa yang baik bagi dirinya sendiri; jika engkau ingin membebaskan diri
dari transmigrasi, janganlah mengucapkan kata-kata kemarahan.
Ia yang, setelah marah, lalu kembali
marah lagi, adalah orang jahat; tetapi ia yang, setelah marah, tidak lagi
kembali marah, telah memenangkan kemenangan besar.
Atasilah kemarahan dengan tidak
marah; Atasilah kejahatan dengan kebaikan; Atasilah keserakahan dengan
kedermawanan; Atasilah kebohongan dengan kebenaran.
Ia yang terkendali dan menjalani
kehidupan yang benar, dengan apa ia dapat marah? Orang bijaksana, yang memiliki
kebijaksanaan terbaik dan yang terbebaskan, tidak memiliki kemarahan.
Para Āryāḥ selalu bergaul dengan ia
yang tanpa kemarahan, tanpa kejahatan; mereka yang jahat dan menyerah pada
kemarahan (hidup sendirian), terbebani seperti halnya suatu gunung.
Ia yang menahan kemarahan yang
muncul, seperti ia memandu suatu kereta di jalan, Aku menyebutnya sebagai kusir
yang ulung; Orang-orang kasar hanya memegang kendali.
Bab
tentang Kemarahan, Yang Kedua Puluh.
21. Tathāgatavarga (Tathāgata)
Di dunia ini Aku mengetahui
segalanya, Aku telah menaklukkan segalanya, Aku terbebas dari segala kondisi
(dharma), Aku telah melepaskan segalanya; setelah mengakhiri segala keinginan,
terbebaskan sempurna, manifestasi kebijaksanaan, oleh siapakah Aku dapat
diajarkan?
Akulah Sang Tathāgata, Guru
Tertinggi; Akulah Yang Mahakuasa, Mahatahu, dan telah memperoleh kebijaksanaan
sempurna (Bodhi), yang Aku realisasi sendiri; tiada bandingannya dan tiada
tandingannya, oleh siapakah Aku dapat diajarkan?
Akulah Sang Arhat dunia; di dunia
ini Aku tiada bandingannya; di antara para dewa dan manusia Aku (sendiri) telah
menaklukkan pasukan Māra. Karena tidak ada seseorang seperti-Ku, tidak ada
seorang pun yang dapat menjadi guru-Ku; Di dunia ini dengan usaha sendiri Aku
telah menemukan kebijaksanaan yang sempurna dan tak tertandingi
(Samyaksambodhi).
Aku telah menemukan lenyapnya
āsrava; seperti Aku, adalah (semua) Djina (penakluk), yang telah mengetahui hal
ini. Aku telah mengatasi segala keadaan keburukan, oleh karena itu Aku adalah
seorang Djina.
Karena Aku adalah Penakluk segala
sesuatu yang seperti (keburukan), Akulah Yang Maha Bijaksana, Tercerahkan
Sempurna, Yang telah Melampaui Wilayah Nafsu, Aku Yang telah Mencapai Nirvāṇa,
maka Aku tidak dapat diajarkan oleh siapa pun di dunia.
Aku akan pergi ke Vāraṇasi untuk
memukul Genderang Dharma bagi mereka yang sampai saat ini belum mengetahui apa
pun tentangnya, untuk memutar Roda Dharma yang belum pernah diputar oleh siapa
pun di dunia.
Para Tathāgata yang perkasa
memberikan instruksi di sini melalui Dharma; mereka yang telah mempelajari
Dharma, tidak ada seorang pun yang dapat memandang rendah mereka.
Baik para dewa maupun manusia
bersenang terhadap orang yang tekun, yang giat bermeditasi, bersenang dalam
kedamaian dari keamanan, yang telah mencapai akhir kehidupan jasmani, yang
Tercerahkan Sempurna, mulia, dan yang dalam kenikmatan Kebijaksanaan (pradjnā).
Mereka yang adalah para Buddha di
masa lampau, Buddha di masa depan, dan Sambuddha saat ini, benar-benar
membebaskan (umat manusia) dari banyak dukacita. Untuk menghormati Dharma, bagi
semua orang yang telah, sedang, dan akan terlahir, ini adalah Dharma Agung dari
semua Sambuddha. Oleh karena itu, ia, yang di dunia ini peduli terhadap dirinya
sendiri, dan yang ingin mencapai keagungan, biarlah ia mengingat perintah para
Buddha dan menghormati Dharma.
Orang yang tidak memiliki keyakinan
terhadap Ajaran Buddha adalah orang bodoh; pada akhirnya ia akan mengalami
kesedihan, seperti halnya para pedagang dengan para Rākshasī (raksasa wanita).
Orang yang memiliki keyakinan
terhadap Ajaran Buddha, dan yang bijaksana, akan mencapai kebahagiaan di alam
lain, seperti para pedagang (yang dibawa) oleh “Kekuatan Awan”.
Melalui pemahaman sempurna akan
kebahagiaan dan nilai keterasingan, dan dengan hidup sesuai dengan kedua hal
ini, maka para Tathāgata Yang Tiada Taranya dan Tiada Bandingannya, Yang Telah
Mencapai Penerangan Sempurna, menghalau kegelapan, menyeberang ke pantai lain,
dan memperoleh kemuliaan (di antara para manusia).
Pikiran Mereka sepenuhnya kuat
karena telah memperoleh apa yang harus diperoleh, terbebas sempurna, telah
mengakhiri āsrava, sepenuhnya terbebaskan, penuh hasrat welas asih untuk
menyelamatkan (umat manusia), tanpa kejahatan atau āsrava, Mereka menunjukkan
kepada makhluk-makhluk di alam semesta apa yang bermanfaat bagi mereka.
Mereka yang berada di puncak sebuah
gunung dapat melihat semua manusia; dengan cara yang sama mereka yang cerdas
dan terbebas dari dukacita adalah mampu untuk melampaui surga para dewa; dan
ketika mereka di sana telah melihat tunduknya manusia terhadap kelahiran dan
kematian serta dukacita yang dengannya mereka menderita, mereka membuka pintu
tanpa kematian. Biarlah mereka yang ingin mendengarkan membebaskan diri mereka
sendiri dari segala ketidak-yakinan.
Bab
tentang Tathāgata, Yang Kedua Puluh Satu.
22. Srutavarga (Pendengar)
Mendengarkan dengan penuh perhatian,
hidup dengan benar, meninggalkan rumah demi kebahagiaan, bersedia meninggalkan
segalanya, semua (kualitas) ini patut dipuji dalam seorang Śramana.
Orang bodoh, yang tidak mengetahui,
bertindak seolah-olah ia abadi; orang bijaksana siang dan malam mempraktekkan
Dharma suci.
Jika seseorang masuk ke dalam suatu
rumah yang gelap gulita, walaupun ia mempunyai mata, ia tidak dapat melihat
benda-benda yang ada (di dalamnya); demikian pula walaupun seseorang terlahir
dengan baik dan mempunyai kecerdasan, jika ia tidak mendengarkan Dharma
keburukan dan kebajikan, ia tidak dapat memiliki kebijaksanaan.
Bagaikan seseorang yang, mempunyai
mata dan juga membawa sebuah pelita, dapat melihat segala benda, adalah ia yang
telah mendengar Dharma keburukan dan kebajikan; ia akan mencapai kebijaksanaan
terbaik.
Mereka yang mendengarkan memperoleh
pengetahuan tentang Dharma; mereka yang mendengarkan berpaling dari keburukan;
mereka yang mendengarkan meninggalkan semua pelaku kejahatan; mereka yang
mendengarkan (akan) menemukan Nirvāṇa.
Jika seseorang telah banyak
mendengar tetapi tidak menaati Dharma moralitas (Śīla), ia, karena meremehkan
Dharma moralitas, bukanlah pendengar yang terbaik.
Jika seseorang hanya mendengar
sedikit tetapi dengan berhati-hati menaati Dharma moralitas, ia, karena
menjunjung Dharma moralitas, adalah pendengar yang terbaik.
Ia yang hanya mendengarkan sedikit
dan ia yang tidak menaati Dharma moralitas, kedua hal ini, karena tidak
menghormatinya, tidak mengarah pada kehidupan yang terbaik.
Ia yang telah mendengar dan ia yang
dengan berhati-hati menaati Dharma moralitas, kedua hal ini, karena rasa
hormatnya, mengarah pada kehidupan yang terbaik.
Mereka yang telah banyak mendengar
dan memahami Dharma, yang bijaksana dan memiliki ketenangan, tidak seorang pun
dapat menghina mereka, karena mereka bagaikan sebuah perhiasan emas
Djambudvipa.
Ia yang menggambarkan-Ku dalam
ucapannya, setelah menilai-Ku (hanya) dari penampilan luar (lit. jasmani),
orang itu dikuasai oleh nafsu dan tidak mengetahui-Ku.
Jika seseorang memiliki suatu
pengetahuan internal yang menyeluruh (kualitas-kualitas Sang Buddha), namun
belum melihat (hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan pribadi-Ku),
biarlah ia, setelah merealisasikan buah internal, berterus terang dalam
bahasanya.
Jika seseorang telah melihat
(hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan Sang Buddha), namun tidak
memiliki suatu pengetahuan internal (kualitas-kualitas Ajaran-Ku), biarlah ia,
setelah merealisasikan buah penampilan luar, berterus terang dalam bahasanya.
Jika seseorang tidak mempunyai
pengetahuan tentang (kualitas-kualitas) internal, dan belum merealisasikan
(hal-hal) eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan pribadi-Ku), seorang bodoh yang
berada dalam kegelapan total, biarlah ia berterus terang dalam bahasanya.
Jika seseorang mempunyai pengetahuan
internal (kualitas-kualitas) yang menyeluruh, dan telah melihat (hal-hal)
eksternal (kesempurnaan-kesempurnaan), seorang bijaksana yang mengetahui jalan
menuju keamanan, biarlah ia berterus terang dalam bahasanya.
Walaupun telinga (telah) banyak
mendengar dan mata (telah) melihat banyak hal, semua orang yang mendengar dan
melihat Dharma, tidak memiliki keyakinan.
Walaupun seseorang telah mencerna
kata-kata yang diucapkan dengan baik di dalam batin, dan telah memperoleh
intisari dari meditasi, jika perilakunya rusak pendengarannya dan pemahamannya
tidak akan berguna baginya.
Mereka yang bersenang dalam Dharma
yang diajarkan oleh para Ārya, yang mengikutinya dalam jasmani dan ucapan, yang
bersenang dalam pergaulan dengan mereka yang sabar, yang mengendalikan indera
mereka, mereka akan memperoleh hasil pendengaran dan pemahaman.
Bab
tentang Pendengar, Yang Kedua Puluh Dua.
23. Ātmavarga (Diri)
Pelajarilah apa yang telah
dijelaskan dengan baik, bergaullah hanya dengan para Śramana, (hiduplah) dalam
keterasingan dan hanya dengan satu tikar, dan pikiranmu akan tenang.
Ia yang hanya mempunyai satu tikar,
satu tempat peristirahatan (bumi?), yang tanpa kemalasan, yang berdiam
sendirian di dalam suatu hutan, ia akan belajar untuk mengendalikan dirinya
sendiri.
Ia yang menaklukkan seribu kali
pertempuran dengan seribu orang di dalam pertempuran, seorang penakluk yang
lebih hebat darinya adalah ia yang menaklukkan dirinya sendiri.
Ia yang dengan mengendalikan secara
terus-menerus telah menaklukkan dirinya sendiri, dengan satu penaklukan ini, ia
memperoleh kemenangan yang begitu besar sehingga seluruh manusia tidak dapat
menambah kemenangannya.
Bhiksu yang telah menaklukkan
melalui pengetahuan, Māra dan Brahmā tidak dapat mengalahkannya, begitu pula
suatu Deva atau suatu Gandharva.
Jika seseorang sebelumnya telah
melakukan apa yang benar, setelahnya ia dapat mendisiplin orang lain untuk
menjadi seperti dirinya; Jika seseorang sebelumnya telah melakukan apa yang
benar, setelahnya orang bijaksana dan orang-orang yang didisiplinkannya akan
terbebas dari penderitaan.
Jika seseorang menjadikan orang lain
seperti ia menjadikan dirinya sendiri, kemudian, dengan ditundukkan dan tenang,
ia dapat mendidik orang lain untuk berbahagia.
Jika seseorang menjadikan orang lain
seperti ia menjadikan dirinya sendiri, ah! Biarlah dirimu ditundukkan dengan
baik, karena adalah sulit untuk menundukkan diri sendiri.
Seseorang harus meninggalkan apa
yang bermanfaat bagi orang banyak demi kebaikannya sendiri; ketika seseorang
telah menemukan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri, biarlah ia
menjadikan kesejahteraannya sendiri sebagai perhatian utamanya.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan keuntungan besar.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan Dharma.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan apa yang mulia.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan kebahagiaan.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan cara mencapai kebahagiaan tertinggi.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri menemukan kebahagiaan untuk waktu yang lama di (alam)
surga.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Orang bijaksana yang telah
menguasai dirinya sendiri adalah mercusuar bagi kerabatnya.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai
dirinya sendiri tidak akan menemukan kesakitan di tengah dukacita.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai
dirinya sendiri memotong semua belenggu.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai
dirinya sendiri membuang semua kelahiran jahat.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai
dirinya sendiri menemukan seorang penyokong dalam dirinya.
Diri sendiri adalah penguasa dari
diri sendiri; Penguasa apa lagi yang ada di sana? Ia yang telah menguasai
dirinya sendiri mendekati Nirvāṇa itu sendiri (atau pada kehancuran dukacita
yang sesungguhnya).
Bab
tentang Diri, Yang Kedua Puluh Tiga.
24. Peyālavarga (Perbandingan)
Adalah lebih baik mengucapkan satu
kata yang bermakna, yang mendekatkan seseorang pada kedamaian, daripada
melafalkan seratus gāthā yang tidak bermakna.
Adalah lebih baik mengucapkan satu
kata yang adalah Dharma, yang mendekatkan seseorang pada kedamaian, daripada
melafalkan seratus gāthā yang adalah bukan Dharma.
Ia yang hidup seratus tahun dengan
melanggar semua Śīla-nya, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang
menaati semua Śīla-nya.
Ia yang hidup seratus tahun dalam
kemalasan dan kelambanan, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika seseorang
berusaha dengan tekun untuk menerapkannya.
Ia yang hidup seratus tahun,
pikirannya tanpa target atau tujuan, kehidupan satu hari adalah lebih baik jika
seseorang bijaksana dan sangat tenang.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan kelahiran dan kehancuran, kehidupan satu hari adalah lebih baik
jika seseorang merealisasikan kelahiran dan kehancuran.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan akhir dari perasaan (vedanā), kehidupan satu hari adalah lebih
baik jika seseorang merealisasikan akhir dari perasaan.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan akhir dari kekotoran (āsrava), kehidupan satu hari adalah lebih
baik jika seseorang merealisasikan akhir dari kekotoran.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan kondisi yang tidak berubah, kehidupan satu hari adalah lebih
baik jika seseorang merealisasikan kondisi yang tidak berubah (Nirvāṇa).
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
mengetahui pengetahuan ideal yang sulit (dicapai), kehidupan satu hari adalah
lebih baik jika seseorang mengetahui pengetahuan ideal yang sulit (dicapai).
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan apa yang paling mulia, kehidupan satu hari adalah lebih baik
jika seseorang merealisasikan apa yang paling mulia.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan kesempurnaan (Dharma) yang suci, kehidupan satu hari adalah
lebih baik jika seseorang merealisasikan kesempurnaan (Dharma) yang suci,
(yaitu Nirvāṇa).
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan penghentian kematian dengan sempurna, kehidupan satu hari adalah
lebih baik jika seseorang merealisasikan penghentian kematian dengan sempurna.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan amrita (tanpa kematian) yang paling sempurna, kehidupan satu
hari adalah lebih baik jika seseorang merealisasikan amrita (tanpa kematian)
yang paling sempurna.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan tanpa keinginan yang sempurna, kehidupan satu hari adalah lebih
baik jika seseorang merealisasikan tanpa keinginan yang sempurna.
Ia yang hidup seratus tahun tanpa
merealisasikan ketiadaan nafsu dengan sempurna, kehidupan satu hari adalah
lebih baik jika seseorang merealisasikan ketiadaan nafsu (raga) dengan
sempurna.
Jika seseorang hidup selama seratus
tahun di dalam suatu hutan, sepenuhnya bergantung pada api (Agni), dan jika ia
hanya satu kali memberi penghormatan kepada seseorang yang bermeditasi pada
diri sendiri, (maka) penghormatan ini lebih besar daripada pengorbanan selama
seratus tahun.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Sang Buddha.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Dharma suci.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berkeyakinan kepada monastik (Sangha).
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang hidup.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang memiliki
kehidupan.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berbelas kasih kepada para makhluk (bhuta).
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang berusaha menunjukkan kebajikan.
Ia yang dari bulan ke bulan memakan
makanannya dengan ujung (sebilah) rumput kuśa, tidak sebanding dengan seperenam
belas bagian dari ia yang menjelaskan dengan baik Dharma suci.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Sang Buddha.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berkeyakinan kepada Dharma suci.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berkeyakinan kepada monastik (Sangha).
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang hidup.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berbelas kasih kepada makhluk yang memiliki kehidupan.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berbelas kasih kepada para makhluk (bhuta).
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang berusaha menunjukkan kebajikan.
Ia yang selama seratus tahun membuat
seribu pengorbanan setiap bulannya, tidak sebanding dengan seperenam belas
bagian dari ia yang menjelaskan dengan baik Dharma suci.
Tidak peduli pengorbanan apa pun
yang dapat seseorang lakukan di dunia ini untuk memperoleh jasa kebajikan,
tidak sebanding dengan seperempat dari memberikan penghormatan kepada seseorang
yang telah memiliki pikiran yang tenang dan lurus.
Bab
tentang Perbandingan, Yang Kedua Puluh Empat.
Buku
Ketiga
25. Mitravarga
(Persahabatan)
Orang bijaksana sepatutnya tidak
mengenal ia yang tidak berkeyakinan, yang tamak, yang membesarkan perselisihan,
dan yang memfitnah; ia sepatutnya tidak bergaul dengan orang jahat.
Orang bijaksana sepatutnya berteman
dengan orang-orang yang berkeyakinan, yang ucapan(nya) menyenangkan, yang
memperhatikan, bermoral, dan bijaksana; ia sepatutnya bergaul dengan
orang-orang terbaik.
Janganlah berteman dengan
orang-orang yang buruk, janganlah tinggal bersama orang jahat; jagalah teman
yang bermoral, tetaplah bersama teman-teman yang baik. Jika seseorang bergaul
dengan orang-orang demikian, ia tidak menjadi buruk, tetapi (menjadi orang
yang) baik.
Bergaullah dengan mereka yang telah
banyak mendengar, banyak mengingat, yang merefleksikan, yang memiliki keyakinan
dan kebijaksanaan; jika seseorang mendengarkan kata-kata yang menyenangkan
(dari orang-orang ini), ia akan mencapai apa yang melampaui segalanya.
Ia yang bergaul dengan apa yang
rendah, ia tercemar oleh keburukan (mereka); ia yang bergaul dengan apa yang sepenuhnya
terjatuh akan tersungkur ke bumi; bergaul dengan apa yang terbaik akan membawa
seseorang kepada kebaikan. Tetaplah pada mereka yang akan mengangkatmu menuju
kesempurnaan.
Jika seseorang bergaul dengan
mereka, orang-orang terbaik yang bermoral, tanpa keinginan, yang mempunyai
pengetahuan terbaik, walaupun ia baik, ia akan mencapai keunggulan yang lebih
besar lagi.
Ia yang bergaul dengan orang buruk
adalah seperti halnya rumput kuśa manis yang dengannya seseorang membungkus
ikan yang busuk; rumput kuśa juga menjadi busuk.
Ia yang bergaul dengan orang-orang
yang bermoral seperti halnya daun palāśa yang dengannya seseorang membungkus
dupa (tagara); daunnya juga menjadi harum.
Jika mereka yang tidak jahat bergaul
dengan orang jahat, di sana timbullah kecenderungan untuk berbuat jahat, yang
akan berkembang menjadi perbuatan jahat secara terbuka: dengan bergaul bersama
mereka yang dengannya seseorang tidak boleh bergaul, seseorang menjadi buruk
karena keburukannya.
Seperti halnya anak panah yang dicelupkan
ke dalam racun, bahkan di mana racun tidak bersentuhan dengan panah tersebut,
panah itu tetap beracun, demikian pula mereka yang terlingkupi oleh keburukan,
yang adalah sumber teror: janganlah berteman dengan teman yang jahat.
Seperti halnya dengan pergaulan
seseorang, seperti itulah apa yang dipegang erat oleh seseorang, demikianlah
(kepribadian) seseorang akan terbentuk dalam waktu dekat: maka, periksalah
dengan baik, dengan siapakah engkau bergaul, seperti halnya engkau memeriksa
sekeranjang buah-buahan.
Tidak bergaul dengan yang tidak
baik, orang bijaksana bergaul dengan orang yang baik; dengan mengikuti jalan
ini, seorang Bhiksu akan menemukan akhir dari dukacita.
Jika orang bodoh seumur hidupnya
bergaul dengan orang bijaksana, ia tidak akan memahami Dharma seperti halnya
sendok (merasakan) rasa sup.
Jika orang cerdas bergaul selama
sesaat dengan orang bijaksana, ia akan memahami Dharma seperti halnya lidah
merasakan rasa sup.
Jika orang bodoh seumur hidupnya
bergaul dengan orang bijaksana, karena ia tidak mempunyai mata (kebijaksanaan),
ia tidak akan memahami Dharma.
Jika orang cerdas bergaul selama
sesaat dengan orang bijaksana, ia, memiliki mata (kebijaksanaan), akan memahami
Dharma.
Jika orang bodoh seumur hidupnya
bergaul dengan orang bijaksana, ia tidak akan memahami Dharma yang diajarkan
oleh Sambuddha Yang Sempurna.
Jika orang cerdas bergaul selama
sesaat dengan orang bijaksana, ia akan memahami Dharma yang diajarkan oleh
Sambuddha Yang Sempurna.
Sebuah kata yang bermakna sudah
cukup bagi ia yang bijaksana; seluruh ajaran Buddha tidak akan cukup bagi orang
bodoh.
Ia yang cerdas, dengan satu kata ia
akan mengetahui seratus; orang bodoh dengan seribu kata tidak akan tahu satu
katapun.
Orang bijaksana tidak mempedulikan
orang bodoh, ia tidak berteman dengan orang bodoh; karena ia yang senang
terhadap kumpulan orang bodoh akan jatuh menuju ke neraka.
Jika orang bodoh berkata, “Aku orang
bodoh,” ia bijaksana dalam pengetahuan itu; tetapi orang bodoh yang menganggap
dirinya orang bijaksana, ia disebut (memang) “orang bodoh”.
Ketika orang bodoh memuji dan ketika
orang bijaksana mencela; celaan orang bijak adalah adil, tetapi pujian orang
bodoh adalah tidak sesuai.
Ia yang bergaul dengan orang bodoh
berada dalam dukacita, seolah-olah ia bersama seorang musuh; seseorang tidak
seharusnya bergaul dengan orang bodoh, juga tidak seharusnya mendengarkan atau
melihat mereka; bergaul dengan orang yang tekun adalah kebahagiaan, seperti
bertemu kembali dengan sanak keluarga.
Karena itulah, seperti halnya bulan
tetap berada di jalur rasi bintang, demikian pula tetaplah (hanya) bersama
mereka yang tekun, terpelajar, yang mengetahui apa yang terbaik, bermoral,
dengan perilaku para Ārya, unggul, baik, dan cerdas.
Bab
tentang Persahabatan, Yang Kedua Puluh Lima.
26.
Nirvāṇavarga (Nirvāṇa)
Bhiksu yang mengkonsentrasikan di
dalam dirinya seluruh indriya pikirannya seperti kura-kura yang menarik
tubuhnya ke dalam tempurungnya, tidak melekat pada apa pun, tidak melukai siapa
pun, tidak melakukan apa pun untuk menghalangi (pencapaian) Nirvāṇa.
Kesabaran adalah pertapaan terbesar;
kesabaran(?), sabda Sang Buddha, adalah Nirvāṇa yang terbesar: ia yang menjadi
Śramana dan melukai orang lain, yang menyakiti orang lain, bukanlah seorang
Śramana (lit. orang yang mempraktikkan kebajikan).
Janganlah memakai kata-kata kasar,
seperti halnya seseorang diucapkan dengan demikian, ia juga akan menjawab
demikian; kata-kata pertikaian menimbulkan dukacita, mereka menerima
hukumannya.
Ia yang mengeluarkan (kata-kata yang
terdengar jahat) seperti sebuah vas perunggu yang dipukul, akan menderita untuk
waktu yang lama, mengembara dari kelahiran hingga usia tua.
Ia yang tidak mengeluarkan
(kata-kata yang terdengar jahat) seperti sebuah vas perunggu yang tidak
dipukul, tidak menimbulkan pertikaian, ia akan menemukan Nirvāṇa.
Tanpa penyakit adalah kepemilikan
terbaik, berpuas hati adalah kekayaan terbaik, seorang sahabat sejati adalah
sahabat terbaik, Nirvāṇa adalah kebahagiaan terbesar.
Segala sesuatu yang berkondisi
(sanskāra) adalah kesakitan terbesar, kelaparan adalah penyakit yang terburuk;
jika seseorang telah menemukan hal ini, ia telah menemukan Nirvāṇa yang
tertinggi.
Biarlah seseorang mempertimbangkan
jalan untuk mencapai kebahagiaan dan jalan menuju kematian, dan ketika ia telah
membentuk gagasan tentang keburukan, tidak lama lagi ia akan mencapai Nirvāṇa.
Jalan untuk mencapai kebahagiaan
berasal dari suatu sebab; jalan menuju kematian mempunyai penyebabnya; jalan
menuju Nirvāṇa mempunyai penyebabnya; mereka semua punya suatu sebab.
Rusa kebanyakan pergi ke hutan,
burung terbang ke udara; ia yang membaktikan dirinya pada Dharma akan menuju
Nirvāṇa para Arhat.
Ia yang berjuang namun lemah, yang
memiliki sedikit kecerdasan dan tanpa pembelajaran, tidak akan menemukan
Nirvāṇa, yaitu hancurnya segala ikatan.
Nahkoda kapal ini membuat (kapal
ini) ringan; sehingga jika engkau membuang kebencian dan nafsu, engkau akan
mencapai Nirvāṇa.
Jika apa yang sebelumnya telah
dilahirkan menjadi tidak dilahirkan, maka akan mengkondisikan (elemen) apa yang
tidak dilahirkan; apa yang tidak dilahirkan (elemen) tidak mengkondisikan
(sesuatu yang berkondisi), maka pengkondisian itu sendiri akan berakhir.
Ia yang melihat apa yang sulit
dilihat (penderitaan), dan yang tidak memperhatikan kebahagiaan yang tidak
menentu, yang memahami kebenaran dan mempunyai pengetahuan, yang melihat
ketiadaan nafsu keinginan (trichnā) dan kebahagiaan (duniawi), maka ia yang
seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.
Setelah membuang nafsu keinginan
(trichnā), setelah membuang keserakahan, (aku) bagaikan suatu danau kering yang
tidak mengalir lagi; ia yang seperti demikian telah mengakhiri penderitaan.
Ia yang perasaannya (vedana) telah
menjadi dingin, yang persepsinya (sandjā) ditekan, yang kondisinya (sanskāra)
dipadamkan, yang kesadarannya (viññaṇa) telah lenyap; ia yang seperti demikian
telah mengakhiri penderitaan.
Ia yang telah merealisasikan apa
yang seharusnya dilihat, yang telah mendengar apa yang seharusnya didengar,
yang telah memahami apa yang seharusnya dipahami, yang mengetahui dengan
sempurna apa yang seharusnya diketahui dengan sempurna; ia yang seperti
demikian telah mengakhiri penderitaan: ia yang hanya merindukan hal yang
seharusnya dirindukan (yaitu, pemadaman), ia yang seperti demikian telah
mengakhiri penderitaan.
Ia yang tidak bersenang dalam apa
yang berwujud, yang damai, yang membuang segala nafsu; ia yang seperti demikian
telah mengakhiri penderitaan.
Dari sebabnya (ketidaktahuan) timbul
perbuatan (keburukan); dari perbuatan itu timbul ikatan (pada
akibat-akibatnya); dari ikatan timbullah apa yang tidak dihapuskan
(transmigrasi); dari apa yang tidak dihapuskan muncullah datang dan pergi; dari
datang dan pergi muncullah penderitaan dari kematian lagi; dari mengalami
penderitaan akibat kematian lagi maka muncullah kelahiran lagi, dan usia tua,
penyakit, kematian, kesedihan, dukacita, penderitaan, ketidakbahagiaan,
ketidaksetujuan terbentuk; dan dengan cara ini seseorang mendatangkan banyak
penderitaan pada dirinya sendiri.
Karena tanpa sebabnya
(ketidaktahuan) tidak timbul perbuatan (keburukan); tidak timbul ikatan (pada
akibat-akibatnya); tidak ada ikatan; tidak ada ikatan, tidak timbul apa yang tidak
dihapuskan; tidak timbul apa yang tidak dihapuskan, tidak ada datang dan pergi;
tidak ada datang dan pergi, tidak ada penderitaan dari kematian lagi; tidak
mengalami penderitaan akibat kematian lagi, tidak ada kelahiran lagi, dan usia
tua, penyakit, kematian, kesedihan, dukacita, penderitaan, ketidakbahagiaan,
ketidaksetujuan terhenti; dan dengan cara ini seseorang mengakhiri banyak
penderitaan.
Para Bhiksu, (apa) yang tidak
terbentuk, yang tak terlihat, yang tak terwujud, elemen, yang tak berkondisi,
adalah ada (seperti halnya) yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang
dapat dibayangkan, yang tersusun, yang berkondisi; dan ada hubungan yang tidak
terputus di antara keduanya.
Para Bhiksu, jika yang tidak
terbentuk, yang tak terlihat, yang tak terwujud, elemen, yang tak berkondisi
adalah tidak ada, maka Aku tidak mengatakan bahwa hasil dari hubungan dari
sebab ke akibat dengan yang terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang
tersusun, yang dapat dibayangkan, adalah kebebasan akhir.
Para Bhiksu, adalah karena adanya
yang tidak terbentuk, yang tak terlihat, elemen, yang tak berkondisi maka Aku
mengatakan bahwa hasil dari hubungan dari sebab ke akibat dengan yang
terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang tersusun, yang dapat dibayangkan,
adalah kebebasan akhir.
Ketidakkekalan dari apa yang
terbentuk, yang terlihat, yang terwujud, yang terkondisi, yang dapat
dibayangkan, yang adalah siksaan berat karena tunduk pada usia tua, kematian,
dan ketidaktahuan, yang timbul dari penyebab makanan; (semua ini) dihancurkan,
dan tidak ada kesenangan di dalamnya; inilah ciri penting dari kebebasan akhir.
Maka tidak akan ada keraguan dan gangguan; segala sumber penderitaan akan
dihentikan, dan seseorang akan memperoleh kebahagiaan dari penenangan sanskāra
(bentukan).
Para Bhiksu, hal itu (Nirvāṇa)
bukanlah di tanah, atau di air, api, atau angin.
Hal itu (Nirvāṇa) bukanlah di dalam
suatu keadaan spiritual (āyatana) dalam ruang tanpa batas, tidak juga dalam
keadaan spiritual dengan kesadaran tanpa batas, tidak juga dalam keadaan
spiritual di wilayah kekosongan, tidak juga dalam keadaan spiritual di wilayah
bukan persepsi (dan) bukan tiada (persepsi); hal itu tidak ada di dunia ini
atau di dunia lain; hal itu tidak ada di matahari atau bulan: (Gagasan-gagasan)
ini, Aku nyatakan, bukanlah persepsi yang benar (tentangnya).
Para Bhiksu, seperti yang Aku
nyatakan, hal itu tidak ada dengan datang dan pergi, hal itu bukanlah
kemenjadian; karena Aku tidak mengatakan bahwa ia ada di mana terdapat
kematian, hal itu tidak dilahirkan: maka inilah akhir dari penderitaan.
Hal itu (Nirvāṇa) tidak ada baik di
tanah, air, api, atau angin; di dalamnya warna putih (dan warna-warna lainnya)
tidak terlihat; bahkan tidak ada kegelapan di dalamnya; di dalamnya bulan tidak
bersinar, dan juga matahari tidak memancarkan sinarnya.
Ia yang adalah seorang Muni dan
seorang Brāhmana, dan yang adalah bijaksana, terbebas dari materi (rūpa) dan
tanpa materi (arūpa), dan dari segala jenis penderitaan.
Ia yang telah mencapai akhir dan
tanpa ketakutan, adalah tanpa kesombongan tanpa keburukan; setelah meninggalkan
penderitaan dari kelahiran, ia memiliki suatu tubuh untuk yang terakhir
kalinya.
Inilah puncak (kebahagiaan) dari ia
yang telah mencapai akhir, kedamaian yang terbaik dan tak tertandingi (amatam
padam), hancurnya segala karakteristik, kesempurnaan kesucian yang terbaik,
kemusnahan kematian.
Sang Muni telah menyingkirkan
sanskāra (hal-hal) pengkondisian (dan juga) yang disukai dan tidak disukai,
dengan bersenang dalam ketenangan sempurna, ia telah memecahkan cangkang telur
pengkondisian dan keluar (dari dunia).
Pemberian yang terbesar adalah
pemberian Dharma; kesenangan terbesar adalah kesenangan pada Dharma; kekuatan
terbesar adalah kekuatan kesabaran; kebahagiaan terbesar adalah hancurnya nafsu
keinginan (trichnā).
Bab
tentang Nirvāṇa, Yang Kedua Puluh Enam.
27.
Paśyavarga (Penglihatan)
Adalah lebih mudah untuk melihat
kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri; kesalahan orang lain
adalah mudah terlihat, karena kesalahan orang lain terayak seperti sekam,
tetapi kesalahan diri sendiri sulit terlihat. Seperti halnya penipu yang
memperlihatkan dadu (lawannya) dan menyembunyikan dadu miliknya, menarik
perhatian pada kekurangan-kekurangan lawannya, dan terus-menerus berpikir untuk
menuduhnya; ia jauh dari melihat apa yang benar (Dharma), dan semakin
meningkatkan ketidak-bahagiaannya.
Hidup itu mudah bagi seseorang yang
kurang ajar, pencuri, suka membual, dengan (naluri?) kotor seperti seekor
gagak, yang menjalani kehidupan penuh keburukan dan tata krama.
Hidup itu sulit bagi seseorang yang
selalu mencari apa yang murni, yang tidak mementingkan diri sendiri, tenang,
suci, dan bermoral.
Dunia ini berada dalam kegelapan;
hanya sedikit yang memiliki wawasan spiritual, dan yang, seperti burung yang
lolos dari jaring, pergi menikmati surga.
Orang bodoh yang terikat dalam
belenggu oleh tubuhnya terbungkus dalam kegelapan; mereka yang mendambakan
benda-benda duniawi menganggap segala hal lain dengan cara (buruk) yang sama.
Beberapa berpendapat bahwa makhluk
hidup adalah penciptanya sendiri, beberapa berpendapat bahwa makhluk lain
(Isvara, dll.) yang menciptakan mereka; mereka yang menganggap apa yang bukan
kebenaran sebagai kebenaran tidak dapat melihat apa pun; tidak melihat bahwa
mereka bahkan tidak sepakat dalam hal itu, mereka tidak dapat merasakan
dukacita.
Tidak terpikirkan oleh
makhluk-makhluk yang mencari kesenangan indera bahwa dukacita yang mereka
miliki sampai mereka melihat (mengalaminya sendiri) adalah akibat mereka
sendiri; mereka tidak mengerti bahwa perbuatan serupa lainnya akan mendatangkan
(dukacita yang juga menyertai perbuatan tersebut).
Makhluk-makhluk yang egois, gemar mementingkan
diri sendiri, terikat dalam belenggu egoisme, yang menganut pendapat-pendapat
kontroversial, tidak akan terlepas dari lingkaran transmigrasi.
Ketahuilah bahwa (kelahiran) yang
pernah dialami seseorang, dan mereka yang akan mengalaminya, semua itu
terbungkus dalam nafsu ragawi (rāga); mereka rentan terhadap pembusukan.
Terdapat mereka yang mempraktekkan
moralitas, Śīla, perilaku baik, menjalani kehidupan suci (Brahmachariya), dan
terdapat (mereka) yang ekstrim yaitu mengabdikan diri pada pertapaan.
Dan terdapat ekstrem lain yang
mengatakan: “Nafsu keinginan itu adalah murni; walaupun seseorang memiliki
nafsu keinginan, ia berrmoral; nafsu keinginan harus dituruti; nafsu keinginan
tidak mengandung keburukan.” Orang-orang ini tertelan oleh nafsu keinginan
mereka. (Pengikut) kedua (teori) ekstrim ini, yang sebagian besar mengunjungi
tempat pemakaman, disebut “mereka yang sering mengunjungi tempat pemakaman”
(sosāniko).
Tak satupun dari ekstrem ini yang
melihat (penyebab penderitaan), sehingga sebagian dari mereka dipenuhi nafsu
keinginan, dan sebagian lagi berlarian dengan liar; mereka yang dapat melihat,
merasakan betapa diri mereka penuh dengan nafsu keinginan, dan bagaimana mereka
berlarian.
Mereka yang dapat melihat, merasakan
bahwa jika kedua ekstrem ini tidak dapat melihat, mereka akan melepaskan nafsu
keinginan dan berhenti berlari (mengejarnya); maka mereka tidak mempunyai nafsu
keinginan dan tidak berlari (mengejarnya). Karena mereka tidak melakukan
demikian, karena mereka tidak berpikir demikian (yaitu, sebagai dua ekstrem),
karena mereka tidak menganut cara ini, maka mereka telah menemukan akhir dari
penderitaan.
Ia yang melihat dunia seperti sebuah
gelembung, yang menganggapnya sebagai sebuah fatamorgana, raja kematian tidak
akan melihatnya.
Ia yang melihat tubuh seperti sebuah
gelembung, yang menganggapnya sebagai sebuah fatamorgana, raja kematian tidak
akan melihatnya.
Lihatlah selalu tubuh ini seperti
melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh bersenang didalamnya,
orang bijaksana tidak menyukainya.
Lihatlah selalu tubuh ini seperti
melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh tertipu olehnya, orang
bijaksana tidak tertipu olehnya.
Lihatlah selalu tubuh ini seperti
melihat suatu kereta kerajaan yang indah; orang bodoh direndahkan melaluinya,
seperti seekor gajah tua yang tenggelam di dalam lumpur.
Lihatlah selalu tubuh ini sebagai
sakit dan mudah membusuk, sebagai orang yang terluka, sebagai berubah dan tidak
kekal.
Lihatlah tubuh ini, yang dihiasi
dengan permata, gelang, dan anting-anting, sebagai sakit dan mudah membusuk,
tergantung dan tidak kekal.
Orang bodoh dalam kebodohannya
menghiasi rambut ikalnya, mewarnai matanya dengan pewarna mata, dan tidak
mencari dunia lain.
Orang bodoh dalam kebodohannya
mewarnai (tubuhnya) dengan berbagai warna, menutupi tubuh yang rusak ini dengan
permata, dan tidak mencari dunia lain.
Orang bodoh dalam kebodohannya
meminyaki tubuh ini dengan parfum, menggosok kakinya dengan Gerika, dan tidak
mencari dunia lain.
Ia yang sepenuhnya mengabdi kepada
nafsu keinginan, dan tidak melihat keburukan pada pengabdiannya, tidaklah mampu
melalui pengabdiannya pada nafsu keinginan untuk menyeberangi arus yang luas
dan abadi.
Ia yang memulai dengan membuang
nafsu-nafsu keinginan utama, dan pada akhirnya seluruhnya, yang tidak melihat
kepada 'aku' atau kepada 'milikku', menyeberangi arus yang sampai saat itu
tidak dapat diseberangi, dan mengakhirinya melalui penjelmaan (terakhirnya?).
Ia yang telah membebaskan dirinya
dari hutan, dengan berada di luar hutan, berlari (kembali) ke hutan, walaupun
ia telah membebaskan dirinya dari hutan; lihatlah orang yang menyedihkan itu,
yang meninggalkan kebebasannya demi belenggu!
Lihatlah makhluk tanpa keburukan
itu, menyenangkan (untuk dilihat) setiap anggota tubuhnya, dengan kereta yang
dibuat dengan baik (hingga) jerujinya, (lihatlah ia) mengenakan jubah putih,
dan bebaskanlah dirimu dari arus belenggu.
Kebanyakan manusia, didorong oleh
ketakutan, mencari perlindungan di gunung, hutan, hutan kecil, tempat
pengorbanan, dan di pohon-pohon besar.
Ini semua bukanlah tempat
perlindungan yang terbaik, ini semua bukanlah tempat perlindungan yang utama,
karena seseorang yang pergi ke sana untuk pelepasan tidak akan terbebas dari
segala penderitaan.
Ia yang berlindung kepada Buddha,
Dharma, dan Sangha, (ia yang melihat) penderitaan (dengan pandangan benar),
munculnya penderitaan, hancurnya penderitaan:
Ia yang melihat dengan pandangan
benar kebahagiaan, Sang Jalan menuju Nirvāṇa, Jalan Mulia Berunsur Delapan dan
Empat Kebenaran Mulia:
Inilah perlindungan yang utama,
inilah perlindungan yang suci; ia yang pergi ke perlindungan ini, terbebas dari
segala penderitaan.
Ia yang melihat (secara batin) apa
yang ia lihat, juga dapat melihat apa yang tidak terlihat dengan
penglihatannya; ia yang tidak melihat apa yang tidak terlihat, tidak melihat
apa yang seharusnya ia lihat; penglihatan biasa dan pandangan terang spiritual (vipassanā)
pada dasarnya berbeda seperti halnya siang dan malam, yang tidak pernah terjadi
pada waktu yang sama.
Dengan penglihatan biasa seseorang
tidak dapat melihat (penderitaan, dan sebagainya); jika seseorang melihat, ia
kehilangan penglihatan terhadap bentuk (rūpa); dengan penglihatan ini (yaitu,
vipassanā) seseorang tidak melihat bentuk; dengan penglihatan biasa seseorang
tidak melihat apa pun.
Ia yang tidak melihat apa pun,
(hanya) melihat bentuk; ia yang melihat tidak melihat bentuk; demikianlah
mereka yang tidak melihat bentuk telah membebaskan diri mereka sendiri dari
penglihatan biasa (yaitu, telah memperoleh vipassanā).
Ketika seseorang tidak melihat
penderitaan, maka ia hanya mempertimbangkan 'diri' (yaitu, ia memiliki
penglihatan biasa); namun ketika seseorang membedakan penderitaan, maka ia
tidak melihat bentuk.
Ia yang berada di tengah-tengah
kegelapan tumimbal lahir yang berulang tidak melihat penderitaan sanskāra
(bentukan), akibatnya ia hanya memiliki penglihatan biasa, dan tidak melihat
cara mengakhiri bentuk.
Bab
tentang Penglihatan, Yang Kedua Puluh Tujuh.
28.
Pāpavarga (Keburukan)
Menghindari pelaksanaan segala
perbuatan jahat, mempraktekkan kebajikan yang terbaik, sepenuhnya menjinakkan
pikiranmu; inilah Ajaran Sang Buddha.
Dengan kedermawanan jasa kebajikan
seseorang meningkat, dengan terkendali baik seseorang tidak mempunyai musuh:
orang yang bermoral, setelah membuang keburukan, mengakhiri kekotoran (kleśa)
dan memperoleh Nirvāṇa.
Jika orang bijaksana bercampur
dengan orang bodoh dan hidup di tengah-tengah mereka, ia tetap terpisah;
Seperti halnya seseorang secara alami meminum susu dibandingkan (meminum) air,
demikian pula orang bijaksana menyingkirkan para pelaku kejahatan.
Melihat segala kejahatan di dunia,
setelah melihat cara untuk mengakhirinya, seorang Ārya tidak bersenang dalam
keburukan; orang jahat tidak dapat menyenangkan orang bermoral.
Ia (seorang Ārya) mengetahui
manisnya kedamaian yang sempurna, manisnya keterasingan; bebas dari penyakit,
tanpa keburukan, ia meminum manisnya bersenang dalam Dharma.
Pikirannya telah melenyapkan
kekotoran (āsrava), dan tidak terbelenggu oleh belenggu, telah menyingkirkan
kebajikan dan keburukan, maka ia (seorang Ārya) tidak takut akan jalan yang
jahat.
Setelah meninggalkan rumah, berucap
baik, mengajarkan apa yang buruk, orang bijaksana menceritakan apa yang
mengakhiri (kehidupan); dengan orang sepertinya orang-orang seharusnya bergaul.
Jika seseorang bergaul dengan orang sepertinya, ia tidak menjadi jahat namun
bermoral.
Ia yang tenang dan tanpa nafsu,
berucap dengan kesopanan dan tidak sombong, ia merobek segala kejahatan seperti
halnya angin pada dedaunan suatu pohon.
Orang bodoh yang marah terhadap
seseorang yang suci dan tidak jahat, yang tidak memiliki kebencian, maka
kejahatannya akan kembali kepadanya seperti debu yang dilemparkan melawan arah
angin.
Melalui perbuatan bajik seseorang
menjadi bermoral, melalui perbuatan jahat seseorang menjadi jahat; seseorang
akan melihat (dengan) dirinya sendiri (akibat) dari perbuatan yang berulang
kali dilakukannya.
Jika kejahatan telah dilakukan oleh
diri sendiri, maka dirinyalah yang menanggung seluruh penderitaan: jika
kejahatan telah ditinggalkan oleh dirinya sendiri, maka dirinya menjadi murni:
seseorang tidak dapat membersihkan orang lain; kemurnian dan kekotoran adalah
(akibat) perbuatannya sendiri.
Keburukan-keburukan yang dilakukan
seseorang akan terkumpul hingga keburukan itu menghancurkan orang bodoh,
seperti suatu berlian yang menembus suatu batu permata.
Seperti halnya pengembara yang dapat
melihat (menghindari) mara bahaya, demikian pula orang bijaksana menghindari
keburukan-keburukan dari kehidupan di dunia.
Seperti halnya pedagang yang
mempunyai banyak harta dan sedikit teman menghindari jalan-jalan yang
berbahaya, seperti halnya ia yang mencintai kehidupan menghindari racun, maka
biarlah orang bijaksana menghindari keburukan.
Ia yang tidak memiliki luka di
tangannya dapat mengambil racun di tangannya, karena racun tidak akan berdampak
pada ia yang tidak memiliki luka; demikian pula tidak ada keburukan bagi ia
yang tidak berbuat keburukan.
Perbuatan yang merugikan diri
sendiri dan perbuatan yang salah adalah mudah untuk dilakukan; perbuatan yang
bermanfaat dan membawa kebahagiaan, perbuatan itu sulit untuk dilakukan.
Adalah mudah bagi orang bajik untuk
berbuat bajik, adalah sulit bagi orang bajik untuk berbuat jahat; adalah mudah
bagi orang jahat untuk berbuat jahat, adalah sulit bagi seorang Ārya untuk
berbuat jahat.
Selama suatu perbuatan jahat belum
matang, orang bodoh berpikir bahwa perbuatan jahat itu manis; ketika suatu
perbuatan jahat telah matang, maka ia melihat bahwa perbuatan jahat itu
membara.
Selama suatu perbuatan jahat belum
matang, seseorang berpikir bahwa perbuatan itu benar; ketika suatu perbuatan
jahat telah matang, maka seseorang melihat bahwa perbuatan itu jahat.
Selama suatu perbuatan bajik belum
matang, kebaikan tampak seperti kejahatan; ketika suatu perbuatan bajik telah
matang, maka seseorang melihat bahwa perbuatan itu bajik.
Ia yang telah mengumpulkan bagi
dirinya sendiri dukacita dari keburukan tidak akan memperoleh kebahagiaan;
Bahkan jika seseorang telah berbuat jahat ratusan kali, biarlah ia tidak
mengulanginya lagi.
Dia yang telah mengumpulkan bagi
dirinya sendiri kebahagiaan dari kebajikan akan menemukan kebahagiaan; jika
seseorang telah melakukan apa yang bajik, biarlah ia melakukannya lagi.
Pikiran (orang itu) bersenang dalam
kejahatan yang melakukan apa yang benar dengan malas; menjaga pikirannya dari
kejahatan, ia harus bergegas terhadap apa yang bajik.
Ia yang melakukan bahkan suatu
kejahatan kecil sekalipun mengalami kehancuran besar dan penderitaan yang besar
di dunia ini dan dunia lain; seperti halnya racun yang masuk ke organ internal.
Ia yang melakukan bahkan suatu
kebajikan kecil sekalipun mendapatkan kebahagiaan dan keuntungan besar di dunia
ini dan dunia lain; seperti halnya suatu benih yang telah berakar dengan baik.
Ia yang menyakiti ia yang tanpa
keburukan, yang marah kepada ia yang tanpa kemarahan, akan dengan cepat sampai
pada salah satu dari sepuluh keadaan ini.
Ia akan merasakan kesakitan (vedana)
yang tiada habisnya, atau lengan-lengannya akan terpotong, atau ia akan
merasakan kesakitan yang hebat, atau pikirannya akan menjadi gila:
Atau ia akan berpisah dari
kerabatnya, atau ia akan kehilangan kekayaannya, atau ia akan mendapatkan
masalah dengan raja, atau hal-hal tidak menyenangkan yang tiada habisnya:
Atau belum lagi, rumahnya akan
hancur oleh suatu api besar; dan ketika orang tak berakal itu telah selesai
dengan tubuh ini, ia akan pergi ke neraka.
Ia yang telah melakukan apa yang
jahat tidak dapat membebaskan dirinya dari kejahatan itu; ia mungkin telah
melakukannya sejak lama atau jauh sebelumnya, ia mungkin melakukannya dalam
kesendirian, tetapi ia tidak dapat menyingkirkannya, dan ketika kejahatannya
sudah matang ia tidak dapat menyingkirkannya.
Ia yang telah melakukan apa yang
benar terbebas dari ketakutan; ia mungkin telah melakukannya sejak lama atau
jauh sebelumnya, ia mungkin melakukannya dalam kesendirian; ia tanpa ketakutan,
dan ketika kebajikannya telah matang ia tanpa ketakutan.
Ia yang telah melakukan apa yang
jahat membawa kesedihan (bagi dirinya sendiri); walaupun ia telah melakukannya
sejak lama atau jauh sebelumnya, perbuatan itu membawa dukacita, ia mungkin
melakukannya dalam kesendirian, perbuatan itu membawa dukacita, dan ketika
perbuatannya sudah matang perbuatan itu mendatangkan dukacita baginya.
Ketika seseorang telah melihat
perbuatan buruknya sendiri, ia berduka di sini dan ia akan berduka di dunia
lain; pelaku keburukan mempunyai dukacita di kedua tempat; ia bersedih dan akan
sangat berduka.
Ia yang telah melakukan apa yang
benar akan berbahagia; (walaupun) ia telah melakukannya sejak lama dan jauh
sebelumnya, ia berbahagia; ia mungkin melakukannya dalam kesendirian, (tetapi)
ia berbahagia; dan ketika perbuatannya sudah matang perbuatan itu membawa
kebahagiaan bagainya.
Ketika seseorang telah melihat
perbuatan bajiknya sendiri, ia bergembira di sini dan juga akan bergembira di
dunia lain; ia yang telah melakukan apa yang benar bergembira di kedua tempat;
ia bergembira, ia akan sangat bersukacita.
Ia yang telah melakukan apa yang
jahat akan menderita; walaupun ia telah melakukannya sejak lama, walaupun ia
telah melakukannya jauh sebelumnya, ia menderita; walaupun ia melakukannya
dalam kesendirian, ia menderita; dan ketika perbuatannya sudah matang perbuatan
itu membawa penderitaan baginya.
Ketika seseorang telah melihat
perbuatan buruknya sendiri, ia berduka di (dunia) ini; ia akan berduka di
(dunia) lain; pelaku keburukan menderita di keduanya; ia menderita dan akan
sangat menderita.
Ia yang telah melakukan apa yang
benar akan berbahagia; (walaupun) ia telah melakukannya sejak lama, (walaupun)
ia telah melakukannya jauh sebelumnya, ia berbahagia; walaupun ia mungkin
melakukannya dalam kesendirian ia berbahagia; dan ketika perbuatannya sudah matang
ia berbahagia.
Ketika seseorang telah melihat
perbuatan benarnya sendiri ia bergembira di sini dan akan bergembira di dunia
lain; ia yang telah melakukan apa yang benar bergembira di kedua tempat; ia
bergembira, ia akan sangat bersukacita.
Ia yang telah berbuat jahat dan
tidak berbuat apa yang benar, ia yang menyimpang dari Dharma, yang adalah
seorang tanpa keyakinan, orang jahat dalam ketakutan akan kematian, seperti
seseorang yang berada di suatu sungai yang besar dengan perahu yang bocor (lit.
buruk).
Ia yang telah bermoral dan telah
melakukan apa yang benar, yang mengikuti Dharma orang-orang suci terdahulu, ia
tidak memiliki ketakutan apapun akan kematian, seperti seseorang yang berada
dalam suatu perahu kuat yang dapat mencapai pantai seberang.
Bab
tentang Keburukan, Yang Kedua Puluh Delapan.
29.
Yugavarga (Siang dan Malam)
Selama; matahari belum terbit,
cacing neon bercahaya; ketika matahari telah terbit ia menjadi tidak bercahaya,
dan menjadi seperti sebelumnya.
Selama Sang Tathāgata belum muncul,
kaum tārkita (filsuf) tetap bersinar; ketika Sambuddha muncul di dunia, para
guru dan murid-muridnya tidak lagi bersinar.
Ia yang menganggap bahwa apa yang
tidak berharga sebagai berharga, dan yang berpikir bahwa apa yang berharga
sebagai tidak berharga, seluruh pandangannya telah dibalikkan sepenuhnya, ia
tidak akan menemukan apa yang berharga.
Ia yang memahami bahwa apa yang
tidak berharga adalah tidak berharga, dan bahwa apa yang berharga adalah
berharga, seluruh pandangannya tersusun dengan baik, ia akan menemukan apa yang
berharga.
Mereka yang terus-menerus menambah
belenggu mereka karena kemelekatan mereka terhadap (teori-teori) ini, dan
mendengarkannya, melayang-layang di lingkaran transmigrasi, mereka bagaikan
ngengat yang jatuh ke dalam api.
Ketika seseorang di dunia ini
mempunyai keraguan apapun tentang kenikmatan di sini (akibat matangnya
perbuatannya) atau kenikmatan di alam nanti, jika ia menjalani kehidupan suci
(Brahmacariya), ketika ia memikirkannya, (keraguannya) akan terhapus
seluruhnya.
Ia yang (pikirannya) bagaikan air
yang keruh, dan ia yang memakai jubah berwarna saffron, karena tidak
terkendali, ia tidak layak memakai jubah berwarna saffron.
Ia yang telah menyingkirkan segala
kekotoran, yang pikirannya penuh perhatian pada aturan-aturan moral, dengan
terkendali demikian, ia layak memakai jubah berwarna saffron.
Orang yang licik, penuh tipu daya,
dan tamak, tidak peduli warna (jubahnya), penampilannya, dan apa pun yang ia
katakan, ia belum menjadi manusia terbaik.
Ia yang telah menebang ketiga sifat
ini (karakteristik orang jahat) seperti yang dilakukannya pada pucuk pohon
tāla, cerdas dan bersih dari keburukan, maka ia disebut manusia terbaik.
Ia yang di dunia ini, karena tidak
terkendali dengan baik, penuh tipu daya, karena suatu motif tertentu,
menghasilkan gagasan salah bahwa ia terkendali dengan baik dengan penampilan
umum dari pakaiannya (lit. warna dan orang), tidak ada keyakinan yang harus
ditetapkan kepadanya.
Menipu seperti warna kuningan,
seperti besi yang dilapisi emas adalah ia yang di dalamnya beracun, dan yang
penampilan luarnya seperti para Ārya, dan yang hidup di dunia ini bersama suatu
Sangha yang besar.
Ia yang gemar memakan makanan,
tidur, berkelana siang dan malam mencari tempat untuk berbaring, seperti seekor
babi besar (berkubang) di lumpur, orang ini akan terlahir kembali lagi dan
lagi.
Orang yang selalu berkesadaran, yang
tahu bagaimana untuk makan secukupnya, ia hanya mengalami sedikit penderitaan,
dan pencernaannya yang lambat memperpanjang umurnya.
Ia yang indera-indera(nya) tidak
terkendali, yang tidak tahu bagaimana untuk makan secukupnya, yang tidak
berkesadaran dan malas, yang hidup mencari apa yang menyenangkan (untuk mata),
akan dirobohkan oleh nafsu keinginannya seperti halnya sebatang pohon lemah dengan
angin.
Ia yang indera-inderanya terkendali
dengan baik, yang tahu bagaimana caranya untuk makan secukupnya, yang mengingat
segalanya dan rajin, yang tidak mencari apa yang menyenangkan (untuk mata),
tidak terganggu oleh nafsu keinginan, bagaikan sebuah gunung yang tak
tergoyahkan dengan angin.
Hutan itu menyenangkan, di mana
orang-orang tidak menemukan kesenangan; di sana mereka yang tanpa nafsu
menemukan kesenangan, karena ia tidak mencari kesenangan.
Di hutan atau di desa, di puncak
gunung atau di lembah, di bagian bumi mana pun seorang Ariya berdiam, (tempat)
itu menyenangkan.
Yang suci bersinar dari jauh,
bagaikan pegunungan bersalju; yang jahat tidak bersinar, walaupun dekat,
seperti anak panah yang ditembakkan dalam kegelapan nan pekat.
Jika seseorang bergaul dengan orang
bijaksana, dengan orang suci yang pikirannya berfokus pada moralitas, ia
mendapatkan keuntungan besar, dan memperoleh kebijaksanaan yang mendalam.
Seperti halnya gajah dalam pertempuran
(bersabar walaupun) tertusuk dengan anak panah yang ditembakkan dari busurnya,
demikian pula bersabarlah dalam kata-kata jahat dari orang banyak.
Ia yang menjadikan suatu gua sebagai
tempat tinggalnya, yang tidak berhubungan dengan ketidak-benaran, yang menekan
segala masa depan, dan yang hidup pada pelepasan (?), maka orang itu adalah
suci.
Setelah membunuh ayah dan ibu serta
dua raja suci, setelah menaklukkan kerajaan mereka beserta penduduknya,
seseorang akan menjadi suci.
Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang
selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa
karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk dilihat, seperti
burung-burung di angkasa.
Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang
selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa
karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk dilihat seperti jejak
burung-burung di angkasa.
Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang
selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa
karakteristik, and selalu bermeditasi (dhyāna), jalannya sulit untuk dilihat
seperti jejak burung-burung di angkasa.
Ia yang tanpa nafsu ragawi, yang
selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam kekosongan, tanpa
karakteristik, and selalu bermeditasi (dhyāna), jejaknya sulit untuk dilihat
seperti jejak burung-burung di angkasa.
(Pengulangan syair 29.24) Ia yang
tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam
kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk dilihat,
seperti burung-burung di angkasa.
(Pengulangan syair 29.25) Ia yang
tanpa nafsu ragawi, yang selalu moderat dalam makanannya, yang berdiam dalam
kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk dilihat
seperti jejak burung-burung di angkasa.
Ia yang tidak tertahan di pantai
ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam
dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jalannya sulit untuk
dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.
Ia yang tidak tertahan di pantai
ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam
dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan menyendiri, jejaknya sulit untuk
dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.
Ia yang tidak tertahan di pantai
ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam
dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jalannya sulit
untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.
Ia yang tidak tertahan di pantai
ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam
dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu bermeditasi, jejaknya sulit
untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di angkasa.
(Pengulangan syair 29.32) Ia yang tidak
tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya kekotoran-kekotoran
(asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa karakteristik, dan selalu
bermeditasi, jalannya sulit untuk dilihat, seperti jejak burung-burung di
angkasa.
(Pengulangan syair 29.33) Ia yang
tidak tertahan di pantai ini, yang telah mengetahui lenyapnya
kekotoran-kekotoran (asrava), yang berdiam dalam kekosongan, tanpa
karakteristik, dan selalu bermeditasi, jejaknya sulit untuk dilihat, seperti
jejak burung-burung di angkasa.
Orang-orang awam berlarian di pantai
ini; hanya sedikit di antara orang-orang yang pergi ke pantai seberang.
Makhluk-makhluk itu yang berjalan di
jalan Dharma yang telah diajarkan dengan baik, mencapai pantai seberang dari
lautan besar kelahiran dan kematian, yang sulit untuk diseberangi.
Ia yang membebaskan dirinya melalui
kewaspadaan, yang meninggalkan semua dukacita di masa lalu, ia yang melepaskan
dirinya dari semua belenggu, tidak akan mengalami penderitaan apa pun.
Ketika seseorang melampaui jalan teror
dan apa yang menyertainya, dan keluar dari jurang terjal (yaitu terjatuh ke
jalan kejahatan), terbebas dari segala belenggu dan ikatan, di sana (?) telah
dihancurkan racun dari keinginan.
Tidak ada rawa yang seperti nafsu
keinginan (trichnā); tidak ada yang lebih berbahaya seperti kebencian; tidak
ada jaring seperti ketidaktahuan; tidak ada arus yang kuat seperti ketamakan.
Śramana yang telah mencapai pantai
seberang seperti cakrawala yang tanpa jejak; orang bodoh bersenang dalam
pekerjaannya, dan Tathāgata bukanlah pekerjaannya. Orang bodoh dituntun melalui
(kemelekatan); orang bijaksana menghancurkan segala kemelekatan.
Orang bijaksana menghancurkan segala
kemelekatan para dewa dan manusia, dan dengan terbebas dari segala kemelekatan
ia menjadi terbebas dari segala penderitaan.
Dari kemelekatan timbullah
kemenjadian; tanpa kemelekatan tidak ada kemenjadian: untuk memperoleh
pengetahuan tentang dua jalan kemenjadian dan bukan kemenjadian dan jalan untuk
secara sempurna melepaskan kemelekatan, biarlah orang bijaksana mengerahkan
dirinya.
Ia yang melakukan apa yang salah,
menderita karenanya, dan ketika setelahnya ia akan berada di jalan kejahatan,
ia akan menderita; ia yang melakukan apa yang benar, ia berbahagia, dan ketika
setelahnya ia akan berada di jalan bahagia, ia akan bahagia.
Lebih baik di keduanya (dunia ini
dan dunia lain) jika seseorang tidak berbuat kejahatan, karena ia yang
melakukannya akan menderita; Adalah baik bagi seseorang untuk melakukan apa
yang benar, karena ia tidak akan mendapat penderitaan.
Orang bijaksana dan orang bodoh
ketika berbaur bersama, tidaklah mungkin membedakan mereka jika mereka tidak
berbicara; tetapi biarlah salah satu dari mereka memberikan (jalan) menuju
kesempurnaan kedamaian (Nirvāṇa), maka kebohongan diketahui dari ucapannya
(dalam menjadi orang bijaksana).
Pembabaran (Dharma) adalah standar
para Rischi (yaitu Bhagavat); Dharma menjadi standar para Rischi, dan Dharma
dengan penjelasannya dibuat cemerlang, biarlah Sang Rischi menaikkan dengan
tinggi standarnya.
Jika seseorang tidak berbicara ia
dicela; jika seseorang banyak bicara ia dicela; ia yang berbicara dengan lambat
dicela: tidak ada satupun di dunia ini yang tidak dicela.
Seseorang yang hanya patut dicela,
atau seseorang yang hanya patut dipuji, tidak ada yang seperti demikian; tidak
pernah ada, tidak akan pernah ada.
Mereka yang tidak mengkhawatirkan
eksistensinya sendiri, yang telah mengakhiri semua penderitaan yang kembali
karena kemelekatan, dan terbebas dari kemenjadian, para dewa dan manusia tidak
dapat memahami tujuan mereka.
(229, 230). Ia yang dipuji oleh
mereka yang mempunyai pengetahuan tentang pembedaan, sebagai orang yang
berkeyakinan, bermoral, dan berkebijaksanaan besar, tidak ada seorang pun yang
dapat mencelanya; ia bagaikan sebuah permata emas Djambudvipa.
Seperti halnya gunung dan batu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula orang bijaksana tidak tergoyahkan
oleh pujian atau celaan.
Orang yang tekun tanpa akar apapun
di dunia, tanpa sehelai daun (dari keburukan) di dahan apa pun, terlepas dari
belenggu, tidak ada seorang pun yang dapat mencelanya.
Ia yang tidak menderita karena
penaklukan, yang mana dunia tidak dapat menaklukkannya sedikit pun, Sang
Buddha, yang berdiam dalam tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan
langkahnya Ia dibimbing.
Yang tidak menderita karena
penaklukan, yang mana dunia tidak dapat menaklukkannya sedikit pun, Sang
Buddha, yang kekuatan-Nya tanpa batas, tidak ada makhluk yang dengan langkahnya
Ia dibimbing.
Ia yang tidak bersenang dalam daya
pikat nafsu dan wilayah nafsu, Sang Buddha, yang berdiam dalam tanpa batas,
tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.
Ia yang tidak bersenang dalam daya
pikat nafsu dan wilayah nafsu, Sang Buddha, yang kekuatan-Nya tanpa batas,
tidak ada makhluk yang dengan langkahnya Ia dibimbing.
Ia yang diterangi oleh pemahaman
terbaik, yang telah memahami segala sesuatu berdiam dalam kekosongan, yang
terbebas dari segala kemelekatan, dari bentuk, dan kesadaran (sandjā), yang
telah menyingkirkan empat yoga, ia telah mengakhiri kelahiran.
Setelah menyingkirkan apa yang
lampau, setelah menyingkirkan apa yang ditinggalkan, setelah menyingkirkan apa
yang ada di tengah, seseorang pergi ke pantai seberang dari kemenjadian; ketika
pikiran terbebas dari segalanya, seseorang tidak akan mengalami kelahiran dan
kematian.
Bab
tentang Siang dan Malam, Yang Kedua Puluh Sembilan.
30.
Sukhavarga (Kebahagiaan)
Dari kemenangan muncullah kebencian;
musuh yang kalah berdukacita: Jika seseorang menyingkirkan kemenangan dan
kekalahan ia akan menemukan kebahagiaan dari kedamaian.
Ia yang menyebabkan dukacita pada
orang lain dalam mencari kesejahteraannya sendiri, ia membawa kesedihan kepada
teman dan musuh tanpa perbedaan.
Ia yang mencari kebahagiaan (dengan)
menganiaya dan menghukum makhluk lain yang juga mencari kebahagiaan, tidak akan
menemukan kebahagiaan di dunia lain.
Ia yang mencari kebahagiaan dengan
tidak menganiaya dan menghukum makhluk-makhluk yang mencari kebahagiaan, akan
menemukan kebahagiaan di dunia lain.
Laksanakanlah dengan kehati-hatian
Dharma Śīla; menghindari segala perbuatan jahat : ia yang menaati Dharma akan
menemukan kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lain.
Pelaksanaan Dharma mendatangkan
kebahagiaan; ia yang melaksanakan Dharma terjaga oleh Dharma; ia yang
melaksanakan Dharma tidak berada di jalan kejahatan; karena itulah pelaksanaan
Dharma adalah bermanfaat.
Ia yang melaksanakan Dharma
terlindungi oleh Dharma, seperti halnya seseorang di musim panas dengan sebuah
payung besar; ia yang melaksanakan Dharma tidak berada di jalan kejahatan;
karena itulah pelaksanaan Dharma adalah bermanfaat.
Orang yang lalai dan tidak
melaksanakan Dharma, tidak peduli siapapun ia, akan diadili; ia yang tidak
melaksanakan Dharma pasti (akan) hancur seperti halnya ular hitam yang
ditangkap seseorang di tengahnya.
Hasil dari orang baik dan orang
jahat tidaklah sama; orang jahat pergi ke neraka, orang baik menemukan jalan
menuju kebahagiaan.
Ketika seseorang berdana dan ketika
seseorang berperang, jika (operasi) ini dipahami dengan baik, pada dasarnya adalah
sama; seperti yang Aku katakan (atau telah dikatakan) bahwa ketika berdana dan
berperang adalah sama, berhati-hatilah dalam kedua kasus tersebut dan jangan
bergantung pada apa yang buruk. Seseorang yang memiliki perlengkapan lengkap
dapat menaklukkan (suatu pasukan) rakyat jelata yang perlengkapannya buruk (?),
demikian pula jika seseorang memberi dengan keyakinan, walaupun sedikit, ia
akan menemukan kebahagiaan di dunia lain.
Ia yang telah menang dalam seratus
pertempuran, dan yang telah menaklukkan semua musuhnya, bukanlah seorang
penakluk yang besar, Aku katakan, seperti ia yang memberi dengan hati yang
murni.
Hasil dari kebajikan adalah
kebahagiaan; ia yang menjadikan hal ini sebagai tujuannya akan segera menemukan
pemadaman sempurna dan Nirvāṇa.
Tidak ada satupun orang yang dapat
mencelakakan mereka yang bajik; mereka dari alam para dewa dan Māra tidak dapat
menyakiti mereka.
Ia yang, untuk mengakhiri dukacita,
mengerahkan dirinya dengan tekun untuk perolehan kebenaran dan pengetahuan,
akan menikmatinya melalui pandangan terang (vipaśyana).
Ia yang bersenang dalam Dharma
dengan pikiran yang benar-benar berkeyakinan, menemukan kebahagiaan; orang
bijaksana selalu bersenang dalam Dharma yang telah diajarkan oleh Para Āryāḥ.
Mereka yang pikirannya bersenang
dalam meditasi (dhyana), yang bersenang dalam tidak menciptakan apapun, yang
bersenang pada empat perhatian, dalam tujuh faktor Bodhi, dalam empat landasan
kemampuan batin, dalam delapan jalan mulia, mereka memakai jubah Dharma dan
berbahagia dalam hidup dari derma makanan.
Mereka berjalan dengan damai di
pegunungan dan di hutan; mereka berbahagia dalam menemukan kebahagiaan, dan
meninggalkan dukacita dalam persepsi Dharma (nirvāṇa). Ia telah meninggalkan
kebencian dan ketakutan, dan telah meninggalkan kehidupan duniawi.
Untuk mendengarkan Dharma, untuk
memahami Dharma, dan untuk bergembira dalam keterasingan, adalah kebahagiaan;
bagi semua makhluk di dunia untuk memahami lenyapnya kematian sepenuhnya adalah
kebahagiaan.
Untuk meninggalkan nafsu, terbebas
dari keinginan dunia, adalah kebahagiaan; untuk menundukkan pikiran egois
tentang “aku” adalah kebahagiaan terbesar.
Untuk bermoral hingga usia tua
adalah kebahagiaan; untuk hidup dengan keyakinan yang sempurna adalah
kebahagiaan; untuk bersenang dalam kata-kata yang logis adalah kebahagiaan;
untuk tidak melakukan kejahatan adalah kebahagiaan.
Berbahagialah di dunia ini ia yang
menghormati ayahnya, demikian pula ia yang menghormati ibunya akan berbahagia;
Berbahagialah di dunia ini ia yang menghormati para Śramana, demikian pula ia
yang menghormati Brāhmana akan berbahagia.
Kemunculan seorang Buddha adalah
kebahagiaan, pembabaran Dharma adalah kebahagiaan, kerukunan Saṃgha adalah
kebahagiaan, pertapaan (tapas) mereka yang bersatu adalah kebahagiaan.
Adalah kebahagiaan melihat seorang
yang bermoral; untuk melihat ia yang telah banyak mendengar adalah kebahagiaan;
untuk melihat para Arhat yang terbebas dari kemenjadian adalah kebahagiaan.
Adalah kebahagiaan untuk mencapai
tepi sungai kebahagiaan; berbahagialah makhluk yang memiliki kemenangan Dharma
(yaitu, yang telah mencapai kesucian); untuk memperoleh kebijaksanaan adalah
kebahagiaan; untuk mengakhiri keegoisan adalah kebahagiaan.
Untuk melihat para Āryāḥ adalah
kebahagiaan; untuk bergaul dengan orang baik adalah kebahagiaan; tidak melihat
orang bodoh selalu merupakan kebahagiaan.
Penderitaan bersama orang bodoh yang
sama sama seperti penderitaan bersama musuh; ia yang bergaul dengan orang bodoh
akan menyesalinya untuk waktu yang lama.
Orang yang mengetahui segalanya
sulit ditemukan; ia tidak muncul di mana saja: adalah kebahagiaan bergaul
dengan mereka yang tekun, seperti halnya bertemu dengan sanak saudara;
dimanapun orang yang tekun itu dilahirkan, disitulah orang-orang menemukan
kebahagiaan.
Para Brahmana yang telah
meninggalkan dukacita, menemukan kebahagiaan yang terbaik; ia yang telah
melepaskan dirinya dari nafsu keinginan, yang tidak memiliki āsrava, adalah
sepenuhnya terbebas.
Mereka yang telah menghancurkan
segala nafsu keinginan, yang telah membersihkan batin mereka dari segala
kekotoran, pikirannya membawa kedamaian, dan dalam kedamaian terdapat
kebahagiaan.
Jika orang yang tekun mencari
kebahagiaan besar, dan akan melepaskan kebahagiaan kecil, biarlah ia melepaskan
kebahagiaan kecil itu dan berfokus pada kebahagiaan besar.
“Kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan
di alam para dewa tidaklah sebanding dengan seperenam-belas bagian kebahagiaan
(akibat) dari hancurnya nafsu keinginan.
Jika seseorang telah menderita
karena beban yang ditanggungnya, adalah kebahagiaan untuk meletakkannya; jika
ia telah melepaskan bebannya yang berat, di masa depan ia tidak akan memikul
beban yang lain.
Ia yang telah mengakhiri semua
kemelekatan, yang telah melepaskan semua kasih sayang, yang dengan sempurna
memahami semua skandha, tidak akan mengalami kemenjadian setelahnya.
Untuk bergaul dengan mereka yang
mendatangkan keuntungan besar adalah kebahagiaan; untuk menjadi bermoral dalam
berbagai kesempatan dalam hidup adalah kebahagiaan; untuk merasa puas, tidak
peduli betapa sedikitnya (yang dimiliki) adalah kebahagiaan; untuk mengakhiri
segala penderitaan adalah kebahagiaan.
Dengan memukul menggunakan palu,
besi yang telah dibakar dengan api itu akhirnya hancur; dengan cara yang sama
orang bodoh disingkirkan.
Ia yang, setelah mengarungi arus
berlumpur nafsu keinginan, telah menemukan tempat yang tidak berubah (amatam
padam, Nirvāṇa), tidak ada apa pun yang dapat menghalangi makhluk itu yang
telah (menemukan) pembebasan sempurna.
Ia yang tanpa kegelisahan, yang
telah meninggalkan keadaan dan bukan keadaan, terbebas dari teror, bahagia dan
tanpa dukacita, bahkan para dewa yang melihat (kebahagiaannya) tidak dapat
memahami (batasannya).
Di dunia ini mendengar banyak Dharma
dan memahaminya, tidak ada kebahagiaan yang begitu besar! Manusia dipenuhi
dengan cinta terhadap tubuhnya, dan lihatlah betapa sedikit yang diperlukan
untuk menghancurkannya!
Ia yang memahami bahwa tidak ada
satupun yang layak dipuji dalam kondisi manusia, akan memiliki kebahagiaan
karena tidak (akan) pernah mengalami kelahiran; Manusia dipenuhi dengan cinta
terhadap tubuhnya, dan lihatlah betapa sedikit yang diperlukan untuk menghancurkannya!
Walaupun tunduk pada orang lain
adalah suatu dukacita, menjadi tuan bagi dirinya sendiri adalah kebahagiaan
yang luar biasa; Adalah sulit untuk melepaskan kemelekatan, dan mengakhiri asal
mula segala masalah.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah, tanpa
keserakahan di tengah-tengah mereka yang serakah.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, hidup tanpa penyakit di antara orang-orang yang menderita penyakit,
tanpa penyakit di tengah-tengah penyakit.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, hidup tanpa permusuhan di antara orang-orang yang bermusuhan, tanpa
permusuhan di tengah-tengah mereka yang bermusuhan.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, hidup tanpa kekejaman di antara orang-orang yang berpikiran kejam,
tanpa kekejaman di tengah-tengah mereka yang kejam.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, hidup tanpa kebencian di antara orang-orang yang membenci, tanpa
kebencian di tengah-tengah mereka yang membenci.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia; walaupun Mithilā terbakar, tidak ada milikku yang terbakar, karena
aku tidak memiliki apapun.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia; walaupun tidak ada yang disebut milik kita, kita akan memakan
kebahagiaan seperti para dewa bercahaya.
Ah! Biarlah kita hidup sangat
berbahagia, tidak bergantung pada segala yang tidak kekal; dan walaupun tidak
ada yang disebut milik kita, kita akan makan kebahagiaan.
Ketika seseorang menghadapi akibat
dari kemelekatan (upadana), ia harus menderita; ketika tidak ada kemelekatan,
tidak ada hal yang perlu dihadapi yang dapat menyebabkan penderitaan; ia yang
telah selesai dengan kedua hal tersebut (kemelekatan dan akibatnya) dan ia
berbahagia, tidak akan harus menanggung penderitaan baik di hutan maupun di
desa.
Di dunia ini seorang suciwan tidak
merasa sangat senang atau depresi oleh sukacita atau dukacita; mereka yang
tekun tidak (akan) menjadi gagal karena obyek-obyek nafsu keinginan; seorang
suciwan meninggalkan segalanya.
Bab tentang
Kebahagiaan, Yang Ketiga Puluh.
Buku
Keempat
31.
Cittavarga (Pikiran)
Adalah baik untuk mengendalikan
pikiran, yang mana sulit untuk dipertahankan, tidak stabil, dan mengembara
kemanapun yang ia suka: dengan pikiran yang terkendali, seseorang memperoleh
kebahagiaan.
Untuk terlepas dari kediaman Mara,
seseorang dipenuhi dengan rasa gemetar, bagaikan seekor ikan yang diambil dari
kediamannya yang berair dan dilemparkan ke tanah kering.
Bagaikan seseorang kehilangan cahaya
matahari, pikirannya mengembara kemana-mana; mereka yang benar-benar bijaksana
menahannya, seperti yang dilakukan seseorang terhadap seekor gajah dengan suatu
kait besi.
Hal ini bukanlah “melakukan sesuatu
yang tidak bermanfaat bagi diri sendiri, yang tidak ada gunanya dipikirkan,
yang tidak ada gunanya; tetapi untuk mengendalikan pikiranmu secara terus menerus”—itulah
yang Aku katakan.
Sebelumnya pikiran (milikku) ini
mengembara sesuai keinginannya, sesuai kemauannya; sekarang pikiranku telah
terkendali, dan aku menahannya seperti halnya seseorang yang memegang kail,
(menundukkan) seekor gajah gila.
Pembuat rumah, sampai sekarang aku
telah berusaha untuk menemukanmu, melalui kelahiran kembali yang tak terhitung
jumlahnya, dan tunduk pada penderitaan karena kelahiran yang berulang.
Pembuat rumah, setelah menemukanmu,
dan balok-balok besar rumah (kleśa) telah dihancurkan, dan semua kasau
(trichnā) telah dirobohkan, setelahnya engkau tidak dapat membuatkan sebuah
rumah (untukku).
Ketika seseorang, setelah
membebaskan pikiran dari sanskāra, ingin mengakhiri (kelahiran)nya,
pikiran(nya) diliputi keragu-raguan, berubah-ubah, berterbangan, dan sulit
dikendalikan, ia harus meluruskannya dengan usaha seperti pembuat panah
meluruskan (panahnya) dengan api.
Ia yang, tidak memikirkan tubuh,
tinggal di dalam gua, dan mengembara sendirian, dapat menaklukkan pikiran yang
tidak menentu ini, dan terbebas dari teror yang terbesar.
Ia yang pikirannya condong ke arah
kejahatan akan mendatangkan penderitaan pada dirinya sendiri, lebih besar dari
seorang pembenci dengan yang dibenci, lebih besar dari musuh terhadap lawannya.
Ia yang pikirannya condong ke arah
kebajikan akan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri, yang tidak dapat
didatangkan oleh ayah, ibu, dan kerabat lainnya.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh hasrat.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh nafsu.
Seperti halnya air hujan tidak
merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang
bermeditasi menghalau munculnya nafsu.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh ketidak-tahuan (tamas).
Seperti halnya air hujan tidak
merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang
bermeditasi menghalau munculnya ketidak-tahuan.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh keegoisan.
Seperti halnya air hujan tidak
merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang
bermeditasi menghalau munculnya keegoisan.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh rasa sayang.
Seperti halnya air hujan tidak
merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang
bermeditasi menghalau munculnya rasa sayang.
Seperti halnya air hujan merembes ke
dalam rumah beratap buruk, demikian pula pikiran mereka yang tidak bermeditasi
diliputi oleh keinginan.
Seperti halnya air hujan tidak
merembes ke dalam rumah beratap baik, demikian pula pikiran mereka yang
bermeditasi menghalau munculnya keinginan.
Pikiran adalah pemimpin dari
indriyanya (dharma); pikiran itu cepat; pikiran adalah penguasa: jika seseorang
berbicara atau bertindak dengan kehendak jahat, ia akan mengalami penderitaan,
seperti ia yang kepalanya dipenggal oleh roda.
Pikiran adalah pemimpin dari
indriyanya; pikiran itu cepat; pikiran adalah penguasa: jika seseorang
berbicara atau bertindak dengan kehendak murni, ia akan mengalami kebahagiaan
(yang pasti) seperti bayangan seseorang mengikuti jejaknya.
Ia yang mudah menyerah pada
pertengkaran, yang pikirannya jahat, walaupun ia mencari cara untuk
melakukannya, tidak dapat memahami dengan baik apa yang dijelaskan dengan baik.
Mereka yang sedang marah atau suka
bertengkar, atau yang pikirannya tanpa keyakinan, tidak dapat memahami Dharma
Bhagvan yang diajarkan oleh Sambuddha.
Mereka yang, pikirannya tanpa
kekotoran dan dengan kemarahan yang ditundukkan secara sempurna, telah menyingkirkan
segala pikiran jahat, dengan cara ini mereka dapat memahami apa yang dijelaskan
dengan baik.
Ia yang pikirannya tidak tekun tidak
dapat memahami Dharma suci; ia yang keyakinannya berubah-ubah tidak dapat
memperoleh kebijaksanaan yang sempurna.
Ia yang, menyerah pada menuruti
kesenangan (indera), terjebak dalam arus tiga puluh enam gagasan jahat, akan
hanyut oleh banjir nafsunya.
Pikiran-pikiran yang menyenangkan
dan tunduk pada indera-indera mengejar pikiran, menghancurkan nasib baik orang
yang lemah, seperti burung-burung lakukan terhadap buah-buahan di pohon.
Jangan menyenangkan pikiranmu dalam
mencari apa yang mempesona; jagalah pikiranmu dengan tekun dan murni, sehingga
engkau tidak mungkin (melakukan) perbuatan jahatmu, terlahir di neraka,
menangis (karena) harus menelan bola besi.
Ia yang tetap duduk ketika tiba
waktunya untuk berdiri, yang, walaupun kuat dan muda, duduk dengan malas di
rumah, yang selalu lalai dalam pikirannya, tidak akan menemukan jalan menuju
kebijaksanaan.
Mereka yang, walaupun memahami apa
yang remeh (yaitu nafsu keinginan), dan memahami (pentingnya) tanpa nafsu,
(namun) pikiran terdalamnya masih terganggu, belum memiliki pemahaman yang
menyeluruh; pikiran mereka tertipu, dan mereka mengembara (di alam transmigrasi)
lagi dan lagi.
Mereka yang ingatannya terkembang
sempurna, yang rajin, yang dapat membedakan, yang bijaksana, mereka mempunyai
pemahaman, dan melalui kecerdasan mereka membuang semua kesalahan di dalam
batin.
Ia yang telah menyelidiki bahwa
tubuh ini seperti sebuah vas, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan)
ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan
sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi
tanpa rumah.
Ia yang telah menyelidiki bahwa
dunia ini seperti sebuah vas (yaitu kosong), setelah melalui pikirannya
menjadikan (gagasan) ini bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra
dengan kebijaksanaan sebagai senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap
berada dalam kondisi tanpa rumah.
Ia yang telah menyelidiki bahwa
tubuh ini seperti buih, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini
bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai
senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa
rumah.
Ia yang telah menyelidiki bahwa
dunia ini seperti buih, setelah melalui pikirannya menjadikan (gagasan) ini
bertahan lama seperti sebuah benteng, melawan Māra dengan kebijaksanaan sebagai
senjatanya; dan setelah mengalahkannya, ia tetap berada dalam kondisi tanpa
rumah.
Ia yang pikirannya dicurahkan untuk
bermeditasi pada tujuh faktor pencerahan, yang terbebas dari segala kemelekatan
(upadana), yang telah menyingkirkan kemelekatan, terbersihkan dari noda
kesedihan, dan melampaui dukacita (parinibbuta) di dunia ini.
Ia yang menjaga pikirannya seperti
seekor yak dengan ujung ekornya, (ia) adalah penyayang terhadap semua makhluk,
dan kebahagiaannya tidak akan berkurang (di dunia).
Ia yang pikirannya tenang (tidak
menyerah pada kemarahan), bersenang dalam hidup sendiri (seperti) gajah
terbesar, gajah dengan gading yang bagus.
Ia yang pikirannya tidak menyakiti,
yang baik terhadap semua makhluk (bhuta), yang penyayang terhadap makhluk-makhluk,
tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.
Ia yang tidak mengenal pikiran
jahat, yang baik terhadap semua makhluk, yang penyayang terhadap semua makhluk
hidup, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam dirinya.
Ia yang tidak mengenal pikiran
jahat, yang baik terhadap makhluk-makhluk, yang menunjukkan belas kasihan
terhadap semua makhluk hidup, tidak akan pernah timbul niat buruk dalam
dirinya.
(Pengulangan syair 31.44) Ia yang
tidak mengenal pikiran jahat, yang baik terhadap makhluk-makhluk, yang
menunjukkan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup, tidak akan pernah
timbul niat buruk dalam dirinya.
Ia yang baik kepada semua
kenalannya, kepada semua temannya, dan kepada semua makhluk, dan yang mempunyai
semangat belas kasihan, kebahagiaannya akan sangat meningkat.
Jika seseorang hanya mempunyai
pikiran yang tanpa kekejaman terhadap makhluk hidup, dan menunjukkan belas
kasihan, maka ia bajik berdasarkan fakta ini; jika seseorang menunjukkan batin
yang berbelas kasihan kepada semua makhluk, ia akan memperoleh jasa seperti
yang diperoleh oleh para Ārya.
Seseorang yang dengan pikiran
gembira, tanpa kegentaran, mempraktekkan Dharma kebajikan, akan mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan.
Terbebas melalui pengetahuan
sempurna, ia aman dan tenteram; pikirannya tenang, tindakan tubuhnya dan
ucapannya tenang.
Demikianlah, dengan memusatkan
pikiran pada satu titik, seseorang memperoleh pemahaman sempurna terhadap
Dharma, namun bukan dengan memiliki simbal pada kelima anggota badan seseorang
akan menemukan kebahagiaan.
Mereka yang pikirannya bersenang
dalam meditasi tidak menemukan kesenangan di dalam nafsu keinginan; ia yang
terlindung dari penderitaan terkecil pun akan menikmati tidur yang
menyenangkan.
Mereka yang pikirannya bersenang
dalam meditasi tidak menemukan kesenangan di dalam nafsu keinginan; ia yang
tidak dirundung penderitaan apa pun akan menemukan kebahagiaan yang besar.
Ia yang pikirannya, seperti batu
karang, tetap diam tanpa bergerak, ia yang di tengah-tengah nafsu (adalah) tanpa
nafsu, di tengah-tengah kemarahan (adalah) tanpa kemarahan, dengan pikiran
seperti demikian tidaklah mungkin mengalami penderitaan.
Janganlah mengucapkan kata-kata yang
kasar, janganlah menyakiti, teguhlah dalam menjalankan Pratimoksha, ketahuilah
bagaimana bersikap madya dalam makananmu, tinggallah di hutan terpencil, dan
engkau akan menemukan kedamaian pikiran dalam pandangan terang (vipaśyana); ini
adalah Ajaran Sang Buddha.
Ia yang mempunyai penilaian pikiran
yang benar, yang menghargai cita rasa dari keterasingan yang sempurna,
dilindungi oleh kesungguhan pikiran meditatifnya, ia menikmati kenikmatan tanpa
memiliki apa pun (yang menyebabkan penderitaan).
Ia yang pikirannya penuh perhatian
bersenang dalam kebenaran dan berpegang teguh pada (empat) kebenaran, yang
selalu berjalan di Sang Jalan dengan tubuhnya, ia terjaga dalam ucapan dan
pikirannya, dan, menyingkirkan dukacita, ia tidak akan mengalami penderitaan
lagi.
Ia yang pikirannya tidak terjaga,
yang berada di bawah pengaruh teori-teori palsu, yang ditundukkan oleh tidur
dan kemalasan, ia akan jatuh ke dalam kekuasaan Māra.
Oleh karena itu pikirannya terjaga,
dipimpin oleh pendapat-pendapat ortodoks (pandangan benar), dengan pemahaman
sempurna dalam cara berperilaku, memahami dengan baik kelahiran dan pembusukan,
Bhiksu itu, menundukkan tidur dan kemalasan, telah menemukan cara untuk
mengakhiri penderitaan.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan pergi ke
neraka.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan terlahir (di
alam nanti) diantara binatang buas.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang disesatkan oleh naluri kasar akan terlahir (di
alam nanti) diantara binatang preta.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan
kebahagiaan di antara manusia.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan
kebahagiaan di surga.
Ia yang murni adalah dalam
perlindungan; ia yang pikirannya ditundukkan dan terkendali sempurna
berbahagia; mereka semua yang terjaga dari naluri kasar akan menemukan Nirvāṇa.
Bab
tentang Pikiran, Yang Ketiga Puluh Satu.
32.
Bhiksuvarga (Bhiksu)
Seorang Bhiksu yang puas dengan
derma makanan yang diberikan kepadanya, dan yang tidak resah dengan apa yang
diberikan kepada orang lain, yang terlindungi oleh tanpa nafsu dan refleksi
terus-menerus, padanya para dewa bersenang.
Seorang Bhiksu yang puas dengan
derma makanan yang diberikan kepadanya, dan yang tidak resah dengan apa yang
diberikan kepada orang lain, yang terlindungi (oleh tanpa nafsu dan refleksi),
dan yang padanya para dewa bersenang, pada orang seperti demikian tidak ada
keinginan untuk mendapat kehormatan, kekayaan, dan reputasi.
Seorang Bhiksu yang telah
menyingkirkan segala keinginan, terbebas dari nafsu, walaupun di hadapannya
terdapat (obyek-obyek keinginan); ia yang tekun, yang tanpa ego dan terkendali,
seharusnya tidak menjalin hubungan dengan orang lain.
Tersakiti oleh kata-kata orang yang
tidak terkendali, dan mendengarkan kata-kata orang yang bersifat jahat, Bhiksu
itu tanpa kemarahan sebelum hal itu terjadi, bagaikan gajah yang tertusuk anak
panah di medan perang.
Tersakiti oleh kata-kata orang yang
tidak terkendali, dan mendengarkan kata-kata orang yang bersifat jahat, Bhiksu
itu tenang seimbang sebelum hal itu terjadi, bagaikan gajah yang tertusuk anak
panah di medan perang.
Tidak mengerjakan kerajinan apa pun
untuk kepuasan diri sendiri, indria-indrianya terkendali, terbebaskan secara
sempurna, tanpa kesukaan terhadap rumah, tanpa ego, telah menyingkirkan
keinginan dan hidup sendirian, maka orang itu adalah seorang Bhiksu.
Bergaul hanya dengan orang-orang
yang hidup murni dan yang tanpa kemalasan, melaksanakan instruksi yang berbeda,
seseorang akan belajar tentang aturan-aturan yang perlu diikuti dalam hidup
(untuk mencapai Nirvāṇa).
Ia yang mengendalikan tangannya,
yang mengendalikan kakinya, yang mengendalikan ucapannya, yang mengendalikan
indera-inderanya, yang menemukan semua kesenangannya dalam keterasingan, yang
berpuas diri, ia Kusebut seorang Bhiksu.
Bhiksu yang menemukan kebahagiaan
terbaik dalam Dharma, yang bersenang dalam Dharma, yang bermeditasi pada
Dharma, yang mengingat Dharma, tidak akan pernah berpaling dari Dharma.
Bhiku yang telah memasuki suatu
kediaman kosong dan melihat yang internal (bagian dari Dharma), akan merasakan
kegembiraan adiduniawi dalam memahami Dharma dengan benar.
Segera setelah ia memahami dengan
benar pembentukkan dan penghancuran skandha-skandha, ia akan menemukan
kegembiraan dan sukacita; Bhiksu yang dipenuhi dengan kegembiraan akan
menemukan Sang Jalan untuk mengakhiri penderitaan.
Seperti halnya gunung berbatu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah
mengakhiri keinginan tidak tergoyahkan.
Seperti halnya gunung berbatu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah
mengakhiri ketidak-tahuan tidak tergoyahkan.
Seperti halnya gunung berbatu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah
mengakhiri egoisme tidak tergoyahkan.
Seperti halnya gunung berbatu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah
mengakhiri nafsu indera tidak tergoyahkan.
Seperti halnya gunung berbatu yang
tidak tergoyahkan oleh angin, demikian pula seorang Bhiksu yang telah mengakhiri
kecintaan tidak tergoyahkan.
Ia yang tanpa harta duniawi, yang
tidak peduli terhadap diri sendiri, baginya tidak ada penderitaan dalam apapun,
ia disebut seorang Bhiksu.
Mereka yang hanya mengemis kepada
orang lain tidak boleh dianggap sebagai Bhiksu; mereka yang melekat pada jalan
duniawi tidak boleh dianggap sebagai Bhiksu.
Ia yang telah menyingkirkan
kebajikan dan keburukan, yang menjalani kehidupan suci, yang tinggal jauh dari
masyarakat sosial, ia disebut seorang Bhiksu.
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menemukan kesempurnaan
kedamaian (amatam padam), yang tidak akan pernah membuat seseorang jemu.
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menemukan kesempurnaan
kedamaian, kedamaian dari sanskāra (tubuh).
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, secara bertahap akan mencapai
penghancuran seluruh kemelekatan.
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menarik dirinya keluar
dari jalan yang jahat, seperti halnya seekor gajah keluar dari lumpur.
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, akan menyingkirkan segala
kejahatan, seperti halnya angin yang menerpa dedaunan suatu pohon.
Seorang Bhiksu yang baik, yang
memiliki keyakinan sempurna dalam Ajaran Buddha, telah sangat dekat dengan
Nirvāṇa sehingga ia tidak mungkin terjatuh darinya.
Seorang Bhiksu yang telah
menaklukkan apa yang memikat batin, apa yang menyenangkan pikiran, apa yang
menyenangkan dan apa yang tidak menyenangkan (yaitu nafsu), penuh dengan
kesenangan, dan akan menemukan akhir dari penderitaan.
Tubuhnya tenang dan tanpa nafsu,
pikirannya tenang sempurna, setelah menyingkirkan segala urusan duniawi, Bhiksu
itu (kemudian) dalam kedamaian, Aku nyatakan.
Tanpa meditasi (samādhi) tidak ada
pengetahuan; tanpa pengetahuan tidak ada meditasi: ia yang memiliki pengetahuan
dan meditasi, ia harus disebut seorang Bhiksu.
Mereka yang bijaksana mendedikasikan
dirinya pada meditasi dan pengetahuan; Oleh karena itu hal pertama bagi seorang
Bhiksu yang terpelajar adalah memperoleh hal-hal ini.
Pelajarilah kepuasan dan
kendalikanlah indera-indera; mempertimbangkan dengan baik apa yang diperlukan
untuk keselamatan, belajarlah untuk bersikap madya dalam makananmu, tinggallah
di tempat terasing, dan carilah ketenangan pikiran dalam pandangan terang
(vipaśyana); ini adalah Ajaran Buddha.
Ia yang tidak melakukan keburukan
baik melalui jasmani, ucapan, ataupun pikiran, perilakunya bajik, pikirannya
suci, ia adalah seorang Bhiksu.
Ia yang bermeditasi pada tujuh
faktor pencerahan, mempunyai kebajikan terbesar, kesabaran sempurna, ia adalah
seorang Bhiksu.
Ia yang di dunia ini telah belajar
bagaimana mengakhiri penderitaannya, yang murni dan bijaksana serta tanpa
kotoran (āsrava), ia disebut seorang Bhiksu.
Ia yang, melalui kebajikan, atau
seorang petapa, atau ia yang telah banyak mendengar, belum mampu mengakhiri
keburukan meskipun ia hidup dalam keterasingan, jika ia bosan dalam upaya
memperoleh samadhi, dan meninggalkannya karena kurangnya keyakinan diri, ia
bukanlah seorang Bhiksu.
Gugus-gugus kehidupan (skandha),
itulah yang disebut diri, adalah penderitaan di dunia ini; penerangan sempurna
(samyak sambodhi) adalah kebahagiaan; untuk itu para Ārya harus mendedikasikan
dirinya sendiri.
Berdasarkan cara berpikir seseorang,
maka ia akan menjadi seperti itu di (kehidupan) lain; mereka akan kembali lagi
ke dunia ini, mereka yang mencintai kemenjadian, yang bersenang dalam
kemenjadian, yang mendambakan benda-benda duniawi, yang hanya menganggap
kemenjadian (dalam teori mereka), yang bersenang dalam kemenjadian itu sendiri.
Kegembiraan mereka tidak lain
hanyalah penderitaan, kebahagiaan mereka tidak lain hanyalah gemetar dengan
ketakutan; mereka yang ingin membebaskan dirinya dari kemenjadian,
mendedikasikan dirinya pada kehidupan yang murni (brahmacharya).
Śramana dan Brahmana semuanya
mengajarkan bahwa kemenjadian adalah pembebasan dari kemenjadian; tidak seorang
pun di antara mereka yang mengetahui pembebasan dari kemenjadian, Aku nyatakan.
Śramana dan Brahmana semuanya
mengajarkan bahwa kemenjadian adalah pembebasan dari kemenjadian; tidak seorang
pun di antara mereka yang mengetahui kemerdekaan sebenarnya dari kemenjadian,
Aku nyatakan.
Penderitaan adalah hasil dari
kemelekatan terhadap kemenjadian (upādāna), dan dari penderitaan muncullah
kemelekatan: jika semua kemelekatan dihancurkan maka penderitaan tidak akan
muncul lagi.
“Pada apapun bentuk kemenjadian yang
dilekati seseorang, hal itu tidaklah kekal, menyedihkan, dan tunduk pada
perubahan;” ia yang dengan pengetahuan sempurna memandang semuanya dalam
(pandangan) terang ini, akan menyingkirkan semua kesukaan terhadap kemenjadian,
dan akan menemukan kesenangan dalam kehancuran kemenjadian.
Kemudian seorang Bhiksu yang telah
meninggalkan dukacita (nibbuta) telah aman, (karena) tanpa kemelekatan pada
(kemenjadian) yang lain, ia akan mengakhiri kemenjadian; menaklukkan Māra,
memenangkan pertempuran, ia kemudian akan terbebas dari segala kemenjadian:
inilah akhir dari penderitaan.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian (bhava), yang tanpa nafsu, yang pikirannya
damai, tidak akan mengalami kemenjadian lagi, setelah terjatuh dari lingkaran
kelahiran kembali.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian, yang tanpa nafsu, yang pikirannya damai,
terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran kelahiran kembali.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian, yang pikirannya telah menjadi tanpa kekotoran
(āsrava), tidak akan mengalami kemenjadian lagi, setelah terjatuh dari
lingkaran kelahiran kembali.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian, yang pikirannya telah menjadi tanpa
kekotoran, terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran
kelahiran kembali.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian, yang telah menghancurkan kecintaan terhadap
kemenjadian, tidak akan mengalami kemenjadian lagi, dan telah terjatuh dari
lingkaran kelahiran kembali.
Seorang Bhiksu yang telah memutus
dirinya sendiri dari kemenjadian, yang telah menghancurkan kecintaan terhadap
kemenjadian, terbebas dari belenggu Māra, setelah terjatuh dari lingkaran
kelahiran kembali.
Ia yang, setelah melintasi rawa
(keinginan), dan (tidak lagi) tertusuk duri-duri keduniawian, telah menemukan
cara untuk mengakhiri nafsu, ia (sesungguhnya) disebut seorang Bhiksu.
Ia yang, setelah melintasi rawa, dan
(tidak lagi) tertusuk duri-duri keduniawian, telah menemukan cara untuk
mengakhiri kebencian, ia (sesungguhnya) disebut seorang Bhiksu.
Ia yang telah mengakhiri* caci-maki,
membunuh, menyakiti, dan duri-duri keduniawian, yang tak tergoyahkan seperti
sebuah gunung, yang tak terganggu oleh kesenangan, ia adalah seorang Bhiksu.
Seorang Bhiksu yang tidak
mencaci-maki atau melebih-lebihkan, yang melihat dunia ini seperti fatamorgana,
menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor
ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.
Bagaikan tabib menyembuhkan racun
ular, demikian pula seorang Bhiksu yang menaklukkan nafsu keinginan yang
meningkat, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang, seperti
seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.
Seorang Bhiksu yang melenyapkan
setiap nafsu yang terkecil seperti halnya sungai besar (memecahkan) tanggul
yang lemah, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai seberang,
seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.
Seorang Bhiksu yang menyingkirkan
segala kualitas nafsu, yang membebaskan dirinya dari segala belenggu yang
mengikat pada nafsu, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di pantai
seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.
Seorang Bhiksu yang, setelah
menyingkirkan segala belenggu batin, tanpa keburukan, yang pikirannya terputus
dari kesedihan karena dukacita, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada di
pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah usang.
Seorang Bhiksu yang penilaiannya
jelas, yang melihat dengan jelas segala sesuatu, menyingkirkan apa yang ada dan
tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang
sudah usang.
Seorang Bhiksu yang telah
melenyapkan seluruh hutan keburukan, menyingkirkan apa yang ada dan tidak ada
di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang sudah
usang.
Seorang Bhiksu yang telah
melenyapkan segala penyakit, dll. dari keburukan, menyingkirkan apa yang ada
dan tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya
yang sudah usang.
Seorang Bhiksu yang telah
melenyapkan segala kecenderungan yang buruk, menyingkirkan apa yang ada dan
tidak ada di pantai seberang, seperti seekor ular yang melepaskan kulitnya yang
sudah usang.
Seorang Bhiksu yang mempraktekkan
Dharma, yang tercerap dalam perenungan (dhyana) pada kekosongan (seluruh
substansi), yang mempunyai ketenangan pikiran yang terus-menerus, yang telah
meninggalkan dukacita (nibbuta), (ia) berbahagia.
Seorang Bhiksu yang, tidak berbicara
baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, tinggal di tempat terpencil,
hidup dalam kemurnian, sepenuhnya menyingkirkan cinta atas kemenjadian dan
kecenderungan (yang buruk).
Bab
tentang Bhiksu, Yang Ketiga Puluh Dua.
33.
Brāhmaṇavarga (Brāhmaṇa)
Ia yang, walaupun mempunyai jubah
berornamen, adalah orang bermoral, terkendali, tenang, terkekang, menjalani
kehidupan suci (brahmacharya), yang tidak menyakiti atau membunuh makhluk hidup
apa pun, ia adalah seorang Brāhmana, seorang Śramana, ia adalah seorang Bhiksu.
Bukan dengan telanjang, dengan
rambut panjang, dengan kotoran, dengan berpuasa, atau dengan tidur di tanah
kosong, bukan dengan debu dan tanah, atau dengan mendedikasikan diri untuk
duduk tanpa bergerak, orang iru menjadi murni dan meninggalkan
keragu-raguannya.
Śramana dan Brāhmana apapun yang
mempunyai nafsu, mereka tidak akan mengakhiri kekotoran (āsrava), dan akan
mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan
(transmigrasi).
Śramana dan Brāhmana apapun yang
mempunyai nafsu, mereka tidak akan mengakhiri perasaan (vedanā), dan akan
mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.
Śramana dan Brāhmana apapun yang
mempunyai nafsu, dan yang hanya memperhatikan objek yang bodoh, mereka akan
mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.
Śramana dan Brāhmana apapun yang
mempunyai nafsu, orang bodoh, dan dungu itu akan mengalami penderitaan karena
berpindah dari kehidupan ke kehidupan.
Śramana dan Brāhmana apapun yang
mempunyai nafsu, mereka tidak akan menemukan berkah ideal (Nirvāṇa), dan akan
mengalami penderitaan karena berpindah dari kehidupan ke kehidupan.
O orang bodoh! apa gunanya rambut
panjangmu? apa gunanya jubah kulitmu? Di dalam dirimu bersemayam kegelapan;
bagian luarnya engkau buat bersih.
Seseorang tidak menjadi Brāhmana
karena keluarganya, karena rambutnya yang panjang, karena silsilah keluarganya;
ia yang memiliki Dharma kebenaran dan yang murni, ia adalah seorang Brāhmana.
Seseorang tidak menjadi Brāhmana
karena keluarganya, karena rambutnya yang panjang, karena silsilah keluarganya;
ia yang menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia
telah menyingkirkan keburukan, Aku menyebutnya seorang Brāhmana.
Seseorang bukanlah Śramana karena
kepalanya dicukur, seseorang bukanlah Brāhmana karena ia mengucapkan “Om!” Ia
yang mengetahui apa yang bajik, dan ia yang murni, ia adalah seorang Brāhmana.
Seseorang bukanlah Śramana karena
kepalanya dicukur, seseorang bukanlah Brāhmana karena ia mengucapkan “Om!” Ia
yang menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia
telah menyingkirkan keburukan, adalah seorang Śramana, seorang Brāhmana.
Seseorang tidak menjadi murni dengan
mencuci, seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya di dunia ini; Ia yang
menyingkirkan segala keburukan baik besar ataupun kecil, ia, karena ia telah
menyingkirkan keburukan, adalah seorang Śramana, seorang Brāhmana.
Ia yang telah menyingkirkan segala
keburukan, yang mendedikasikan dirinya pada refleksi secara terus-menerus, yang
memperoleh pencerahan sempurna dari hancurnya segala kemelekatan, ia di (tiga)
alam adalah seorang Brāhmana.
Seorang Brāhmana yang telah
menyingkirkan segala keburukan, yang tidak munafik, dan yang menjalani
kehidupan suci, telah mencapai kesempurnaan (yang tertuang dalam) Veda;
hidupnya adalah kehidupan suci (brahmacharya), dan ketika ia berbicara,
ucapannya suci.
Ia yang tidak menyerah pada tindakan
menipu, yang tanpa ego, yang tanpa nafsu, tanpa pengharapan, yang telah
menaklukkan kebencian, yang sedang dalam Jalan menuju Nirvāṇa (padamnya
dukacita), ia adalah seorang Brāhmana, seorang Śramana, ia adalah seorang
Bhiksu.
Ia yang terlahir dari seorang
wanita, jika ia mempunyai banyak harta, ia dapat disebut “Bhovadi,” namun Aku
tidak menyebutnya seorang Brāhmana; ia yang tidak memiliki apapun, yang tidak
menerima apapun, ia Kusebut seorang Brāhmana.
Ia yang tidak melakukan keburukan
apapun dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, yang terkendali dengan baik di tiga
bagian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak mengucapkan kata-kata
kasar, yang mengatakan apa yang benar (jujur) dan menyenangkan, yang tanpa
keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang dengan sabar menahankan
sayatan, ikatan, dan kekejaman, yang sikapnya sabar, yang memberikan kekuatan
kepada banyak orang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tanpa kemarahan, yang
menjalankan Śīla, berperilaku baik, tanpa nafsu, yang saat ini memiliki tubuh
untuk terakhir kalinya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak lagi berdiam di antara
para pertapa atau umat awam, yang mempunyai sedikit keinginan, yang tidak
sering mengunjungi rumah-rumah, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang baginya tidak terdapat
kesenangan di masa depan, yang tidak merasakan kesakitan akibat mereka yang
ditinggalkannya, yang telah melepaskan belenggu nafsu ragawi, yang telah menang
dalam pertarungan (melawan Māra), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
a yang baginya tidak terdapat
kesenangan di masa depan, yang tidak merasakan kesakitan akibat mereka yang
ditinggalkannya, yang tanpa noda, tanpa nafsu, tanpa dukacita, ia, Aku
nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak memupuk nafsu keinginan
sekecil apapun, yang dijinakkan, yang berdedikasi untuk (memperoleh) hal yang
utama (Nirvāṇa), yang telah menghancurkan kekotoran (āsrava), yang dibersihkan
dari noda-noda, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang baginya tidak berada di sisi
ini maupun sisi itu, yang telah mencapai akhir segala kondisi, ia, Aku
nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang baginya tidak berada di sisi
ini atau sisi itu, yang tanpa kecintaan terhadap tiga objek, ia, Aku nyatakan,
adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak mengambil apapun di
dunia ini, baik pendek maupun panjang, tipis atau tebal, baik atau buruk, ia,
Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Maka ia yang, dengan memiliki
kebijaksanaan, mengakhiri penderitaannya, menjadi tanpa nafsu, terbebas dari segalanya,
ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang telah menyingkirkan baik
kebajikan dan keburukan, yang telah melepaskan segalanya, yang tanpa nafsu
(rāga), damai, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang telah meninggalkan segala kecintaan
terhadap kebajikan dan keburukan, yang telah meninggalkan kecintaan, yang
terbebaskan dengan sempurna, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang baginya tidak ada di
belakang, di depan, dan di antaranya, yang tanpa nafsu (rāga), terbebas dari
belenggu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, seperti air di daun
teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, tidak melekat pada
keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, seperti air di daun
teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, tidak melekat pada
kenikmatan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, seperti air di daun
teratai, bagaikan biji moster di ujung suatu buluh, telah melepaskan kesenangan
dalam kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, seperti rembulan, suci,
murni, tanpa noda, jernih sempurna, yang telah menghilangkan keburukan, ia, Aku
nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, seperti rembulan, suci, murni,
tanpa noda, jernih sempurna, yang telah menyingkirkan segala kesenangan dalam
kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang terbebas dari keburukan,
seperti halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan (yang terbebas dari)
debu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang terbebas dari nafsu, seperti
halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan (yang terbebas dari) debu,
ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang melepaskan segala kesenangan
dalam kemenjadian, seperti halnya surga (yang terbebas dari) lumpur dan bulan
(yang terbebas dari) debu, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang berdiam (dalam
keterasingan), terbebas dari nafsu ragawi (rāga), bermeditasi, tanpa kekotoran
(āsrava), telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, jinak, memiliki tubuh
terakhirnya, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang pengetahuannya mendalam,
yang pikirannya terarah dengan baik, yang mengetahui jalan yang benar dan yang
salah, yang telah menemukan berkah terbesar (Sang Jalan menuju Nirvāṇa), ia,
Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Orang-orang, siapapun mereka, yang
hidup hanya pada derma makan, yang tidak memiliki apapun, yang tidak melakukan
kejahatan, yang tekun, yang menjalani kehidupan suci (brahmatcharya), yang,
(diri mereka sendiri) menjadi sangat bijaksana, mengajar Dharma
(nidāna-nidāna), mereka, Aku nyatakan, adalah para Brāhmana.
Ia yang menyingkirkan nafsu
keinginan, yang meninggalkan rumah saat memasuki kebhiksuan, yang mengakhiri keburukan
nafsu keinginan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia tidak menyakiti makhluk hidup
apapun, yang tidak membunuh atau ikut serta dalam pembunuhan, ia, Aku nyatakan,
adalah seorang Brāhmana.
Ia yang toleran terhadap mereka yang
intoleran, yang sabar menahankan hukuman, yang berbelas kasihan terhadap semua
makhluk, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Bagaikan biji moster (yang terjatuh)
dari ujung suatu buluh, demikian pula ia yang menjaga nafsu, kebencian, dan ego
dalam kendali, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang melampaui benteng rasa cinta
dan sungai transmigrasi ini, yang telah menyeberang (yaitu, setelah menemukan
Sang Jalan menuju Nirvāṇa), tidak memiliki baik pikiran dan objek-objek pikiran
yang memikirkan tentang pergi ke pantai seberang, yang telah meninggalkan
kemelekatan (upādāna), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak mempunyai keinginan
pada dunia ini atau pada dunia lain, yang telah mengakhiri segala kecintaan
untuk kemenjadian, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tanpa cinta pada dunia ini
atau pada dunia lain, yang tidak memiliki cinta, yang telah melepaskannya sama
sekali, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, setelah melepaskan apa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan, menjadi sejuk (yaitu, telah menemukan
kepuasan), yang tanpa keburukan, yang telah mengatasi seluruh dunia, yang
tekun, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, setelah melepaskan
kemelekatan manusia, telah meninggalkan kemelekatan para dewa, ia yang terbebas
dari segala kemelekatan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang jalannya tidak dipahami oleh
para Deva, Gandharva, dan manusia, ia yang kepasifannya tidak dipahami oleh
orang-orang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang baginya tidak ada Dharma
yang tidak diketahui dan dipahami, ia yang melihat hingga ke bagian pengetahuan
yang terjauh, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang, mengetahui kediaman
(kemenjadian) sebelumnya, melihat surga (svarga) dan neraka, Sang Muni yang telah
menemukan cara untuk mengakhiri kelahiran, yang sempurna dalam pengetahuan,
yang mengetahui lenyapnya penderitaan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang
Brāhmana.
Ia yang pikirannya terbebaskan
secara sempurna, yang bijaksana, yang terbebas dari segala nafsu, yang memiliki
tiga pengetahuan (trividyā), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang memahami kematian,
perubahan, dan kelahiran semua makhluk hidup, yang memiliki mata yang menembus
segalanya (sammanta chakkhu), yang telah mencapai pencerahan sempurna (Buddha),
ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang telah meninggalkan segala
kemelekatan, yang tanpa penderitaan, tanpa kegembiraan, yang merefleksikan, dan
yang mengajarkan (orang lain), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang adalah seorang Muni, seorang
penakluk (djina), Rischi terbesar, pemimpin di antara para pemimpin, lembu
jantan (usabham) terbesar, yang tidak mencari apa pun, yang telah dibersihkan,
yang telah mencapai pencerahan sempurna (Buddha), ia, Aku nyatakan, adalah
seorang Brāhmana.
Ia yang telah meninggalkan
kemenjadian, yang telah menaklukkan segalanya, yang telah menyeberangi arus,
yang menjauh (dari dunia), yang telah melepaskan segalanya, dan telah mencapai
pantai seberang, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak memikirkan apa yang
buruk, yang tidak berbicara sembarangan, yang hidup, pikirannya terbebas dari
nafsu ragawi, (rāga), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang jubahnya berasal dari
tumpukan sampah, yang belajar untuk berkecukupan, yang tanpa nafsu keinginan,
yang tinggal di dekat sebatang pohon, ia, Aku nyatakan, adalah seorang
Brāhmana.
Ia yang, setelah menyingkirkan
segala penderitaan, menjadi tenang, dan mendedikasikan dirinya untuk
bermeditasi pada Jalan Mulia Berunsur Delapan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang
Brāhmana.
Ia yang telah meninggalkan segalanya
(keduniawian), yang tercerahkan, tanpa keraguan dan dukacita, yang melihat
keadaan sempurna yang bebas dari kematian (akkhara?—yakni, Nirvāṇa), ia, Aku
nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang tidak memiliki tubuh, yang
tinggal di dalam gua, yang mengembara sendirian, yang mengendalikan lompatan
pikiran yang sulit dikendalikan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang memahami yang tidak berwujud
(arūpa) yang tidak dapat dilihat, yang tanpa terbatas (ananta) yang tidak
mungkin dapat dilihat, yang halus, yang mendasar, yang selalu merefleksikan,
yang telah mengakhiri segala kemelekatan (yoga), yang sempurna tercerahkan
(Buddha), ia, Aku nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang telah menghancurkan pengikat
(?) dan senar-senarnya, yang dengan memotong senar-senar dan tali-tali tersebut
telah membuang segala penderitaan serta tercerahkan, ia, Aku nyatakan, adalah
seorang Brāhmana.
Ia yang telah menghancurkan nafsu
keinginan terhadap harta benda (duniawi), keburukan, belenggu mata daging, yang
telah mencabut nafsu keinginan sampai ke akar-akarnya, ia, Aku nyatakan, adalah
seorang Brāhmana.
Ia yang dengan ketekunan telah
memotong arus, yang telah mengatasi segala nafsu keinginan, yang mengetahui
akhir dari sanskāra, yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah seorang
Brāhmana.
Ia yang telah membunuh ayah dan ibu
serta dua orang raja murni (śuxi), dan yang telah menaklukkan kerajaan-kerajaan
mereka beserta penduduknya, yang tanpa keburukan, ia, Aku nyatakan, adalah
seorang Brāhmana.
Ia yang telah membunuh ayah dan ibu
serta dua orang raja murni (śuxi), dan yang telah membunuh seekor macan yang
tak tertahankan (veyyaggha, yakni, kekejaman), yang tanpa keburukan, ia, Aku
nyatakan, adalah seorang Brāhmana.
Ia yang dengan bodohnya mengusir
seorang Brahmana yang bermoral, adalah orang jahat; seseorang tidak seharusnya
menyerang para Brāhmana; seseorang tidak seharusnya mengusir para Brāhmana.
Ia yang memahami Dharma dengan
sempurna seharusnya dihormati dan disegani baik oleh yang muda maupun yang tua,
seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci (aggihuttam).
Ia yang memahami Dharma dengan
sempurna seharusnya dihormati dan didekati dengan hormat baik oleh yang muda
maupun yang tua, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.
Ia yang memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha
Yang
Sempurna, seharusnya dihormati dan
disegani, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.
Ia yang memahami Dharma yang diajarkan oleh Sambuddha
Yang
Sempurna, seharusnya dihormati dan
didekati dengan hormat, seperti yang Brāhmana lakukan terhadap api suci.
Ketika seorang Brāhmana telah
mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia berdiri sendiri, meninggalkan
jauh di belakang (semua ketakutan) terhadap para Piśātcha (dan para Rākcha
seperti) Vakula.
Ketika seorang Brāhmana telah
mencapai pantai seberang kemenjadian (lit. Dharma), maka ia melihat, dan semua
perasaan (vedanā) lenyap dari pandangannya.
Ketika seorang Brāhmana telah
mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia melihat, dan segala sebab (hetu)
lenyap.
Ketika seorang Brāhmana telah
mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia melihat, dan segala kemelekatan
(yoga) lenyap.
Ketika seorang Brāhmana telah
mencapai pantai seberang kemenjadian, maka ia meninggalkan kelahiran, usia tua,
dan kematiannya.
(33.82, bagian ke-1). Matahari
bersinar di siang hari, rembulan bersinar di malam hari, baju zirah sang raja
bersinar, seorang Brāhmana bersinar dalam meditasinya.
(33.83, bagian ke-2). Matahari
bersinar di siang hari, rembulan bersinar di malam hari, secara terus menerus,
siang dan malam, cahaya (yang berasal dari Sang) Buddha bersinar.
Sebagaimana para Brāhmana dan
sejenisnya telah meninggalkan segala yang tidak menyenangkan, sebagaimana
pikiranku telah meninggalkan (segala nafsu), Aku telah benar-benar telah
mengakhiri segala hal yang remeh.
Ketika seorang Brāhmana yang tekun
dan meditatif telah memahami dengan sempurna kondisi-kondisi (dharma) (yang
berbeda) dan penyebab-penyebabnya (dua belas nidāna), dan ketika
gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan
setiap bagian dari kebingungan.
Ketika seorang Brāhmana yang tekun
dan meditatif telah memahami dengan sempurna penderitaan dan penyebabnya, dan
ketika gagasan (dharma) ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia
menyingkirkan setiap bagian dari kebingungan.
Ketika seorang Brāhmana yang tekun
dan meditatif telah menemukan hancurnya perasaan (vedanā), dan ketika gagasan
ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian
dari kebingungan.
Ketika seorang Brāhmana yang tekun
dan meditatif telah menemukan lenyapnya segala penyebab (hetu), dan (ketika)
gagasan ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap
bagian dari kebingungan.
Ketika seorang Brāhmana yang tekun
dan meditatif telah menemukan lenyapnya kekotoran (āsrava), dan ketika gagasan
ini telah menjadi sangat jelas baginya, maka ia menyingkirkan setiap bagian
dari kebingungan.
Ketika bagi seorang Brāhmana yang
tekun dan meditatif, semua gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas, ia
berdiri menerangi segala dunia (atau segenap dunia) seperti matahari yang
menyinari langit.
Ketika bagi seorang Brāhmana yang tekun dan meditatif, yang
melalui pengetahuan telah terbebas dari segala kemelekatan (yoga), semua
gagasan-gagasan ini telah menjadi sangat jelas, ia berdiri, setelah mengusir
kumpulan Māra (seperti matahari yang menerangi langit?).
Bab
tentang Brāhmaṇa, Yang Ketiga Puluh Tiga.
UDĀNAVARGA
YANG DIKOMPILASIKAN OLEH DHARMATRĀTA TELAH SELESAI.