Translated by 2020.
,
Diterjemahkan dari teks milik TC.
Anda dipersilahkan menyalin, merubah bentuk, mencetak, mempublikasi, dan mendistribusikan karya ini dalam media apapun, dengan syarat: (1) tidak diperjualbelikan; (2) Dinyatakan dengan jelas bahwa segala turunan dari karya ini (termasuk terjemahan) diturunkan dari dokumen sumber ini; dan (3) menyertakan teks lisensi ini lengkap dalam semua salinan atau turunan dari karya ini. Jika tidak, maka hak penggunaan tidak diberikan.
Prepared by Arya Karniawan.
Dharmaguptaka Bhikṣu Pratimokṣa Sūtra
Diterjemahkan oleh Tripiṭakadhara Buddhayaśas dari Kashmir pada akhir Dinasti Qin
Aku bersujud dan memberi hormat kepada semua Buddha, Dharma, dan Saṅgha. Sekarang aku akan menyatakan Śīla dari Vinaya sehingga Dharma Sejati akan bertahan selamanya.
Śīla adalah tak terbatas layaknya samudera, seperti permata yang dapat dicari tanpa lelah. Untuk melindungi harta karun Dharma yang suci, Saṅgha telah berkumpul untuk mendengarkanku. Untuk mengeliminasi 4 Pārājika, untuk menghancurkan Saṃghāvaśeṣa, dan untuk mencegah 30 Naiḥsargika Pāyattika, kalian berkumpul untuk mendengarkanku.
Vipaśyin, Śikhin, Viśvabhū, Krakucchanda, Kanakamuni, Kāśyapa, dan Śākyamuni—semua Bhagava dengan kebajikan agung itu mengajarkan Prātimokṣa Sūtra ini kepadaku. Aku sekarang ingin menyatakannya dengan baik. Kalian semua para Āyuṣmant dengarkanlah bersama-sama.
Sama seperti seseorang yang kakinya terluka tidak dapat berjalan, demikian pula orang yang telah melanggar Śīla tidak dapat terlahirkan sebagai seorang Deva atau seorang manusia. Mereka yang ingin terlahirkan di alam surgawi atau alam manusia harus selalu melindungi semua Śīla dan tidak melanggarnya dengan cara apapun.
Sama seperti seorang kusir yang berkendara di suatu jalan berbahaya menjadi khawatir karena baut-baut rodanya telah hilang dan porosnya rusak, demikianlah seseorang yang telah merusak Śīla menjadi takut pada saat kematian.
Sama seperti ketika melihat pada sebuah cermin. yang cantik merasa senang sementara yang jelek merasa sedih, demikian pula selama pembacaan Prātimokṣa, mereka yang menjaga Śīla merasa senang, sementara para pelanggar merasa sedih.
Sama seperti dalam pertempuran antara dua pasukan, yang pemberani maju sementara yang pengecut mundur, demikian pula selama pembacaan Prātimokṣa yang murni merasa tenang, sedangkan yang tercemar merasa takut.
Seorang raja adalah yang terbesar di dunia, samudera adalah tubuh terbesar dari air, bulan adalah bintang terbesar, dan Buddha adalah bijaksanawan terbesar.
Di antara semua peraturan, yang tertinggi adalah Prātimokṣa Sūtra. Sang Tathāgata menyatakan Śīla ini dibacakan setiap setengah bulan.
Pendahuluan
Pembaca Prātimokṣa: Apakah saṅgha telah berkumpul?
Pemimpin: Telah berkumpul.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah dalam harmoni?
Pemimpin: Dalam harmoni.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah semua yang belum ditahbiskan sepenuhnya telah pergi?
Pemimpin: (Jika terdapat mereka yang
belum ditahbiskan penuh, keluarkan mereka dan katakan:) Mereka telah
dikeluarkan. (Atau jika tidak ada katakan:) Semuanya di sini telah ditahbiskan sepenuhnya.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah ada para Bhikṣu yang tidak hadir yang tidak dapat berpartisipasi dan telah memberikan perkenan mereka dan menyatakan kemurnian mereka?
Pemimpin: (Jika ada, katakan) Mereka
telah memberikan persetujuan. (Atau jika tidak ada, katakan:) Tidak, tidak ada.
Pembaca Prātimokṣa: Siapakah
yang mengutus para Bhikṣuṇī datang untuk memohon bimbingan dalam Śīla?
Pemimpin: (Jika ada yang menerima para Bhikṣuṇī itu, ia harus menyebutkannya dan menjawab:) Para Bhikṣuṇī datang memohon bimbingan dalam Śīla. (Atau jika tidak ada:) Tidak ada para Bhikṣuṇī yang datang
untuk memohon bimbingan dalam Śīla.
Pembaca Prātimokṣa: Apakah tujuan Saṅgha yang harmonis ini pada hari ini?
Pemimpin: Untuk membacakan Prātimokṣa.
Kata Pengantar
Pembaca Prātimokṣa: Āyuṣmant Saṅgha, mohon perhatian. Hari ini adalah tanggal 15 (atau 14) dalam penanggalan bulan, hari di mana Saṅgha membacakan Prātimokṣa. Jika Saṅgha sudah siap, semoga Saṅgha setuju untuk membacakan Prātimokṣa dengan harmonis. Ini adalah mosinya. Apakah mosi ini dapat diterima?
Pemimpin: Ya.
Pembaca Prātimokṣa: Para Āyuṣmant, sekarang aku akan melafalkan Prātimokṣa Śīla. Dengarkanlah dengan saksama dan renungkanlah dengan baik. Mereka yang belum melanggarnya harus tetap diam. Dengan kalian diam, kami akan tahu bahwa kalian murni. Jika seseorang bertanya kepada kalian, jawablah dengan cara yang sama. Setiap Bhikṣu di perkumpulan yang mengingat pelanggarannya tetapi tidak mengakui dan menyesalinya setelah ditanya tiga kali melakukan pelanggaran berupa kebohongan yang disengaja. Sang Buddha menyatakan bahwa kebohongan yang disengaja adalah sebuah penghalang untuk Sang Jalan. Jika seorang Bhikṣu mengingat pelanggarannya dan ingin untuk mencari kemurnian, ia harus mengakui dan menyesalinya. Pengakuan dan penyesalan akan membawa kedamaian dan kebahagiaan.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan kata pengantar Prātimokṣa Sūtra. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Empat Pārājika
Para Āyuṣmant, empat Pārājika berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu, yang berbagi pelatihan yang sama dengan para Bhikṣu lainnya, yang belum menyerah pada pelatihan(nya), yang belum menyatakan kelemahannya, terlibat dalam hubungan seksual, bahkan dengan seekor binatang, ia melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
2. Jika seorang Bhikṣu, dengan niat untuk mengambil apa yang tidak diberikan, mengambil sesuatu di suatu tempat yang berpenduduk atau di suatu tempat kosong, sehingga ia dapat ditangkap oleh raja atau seorang pejabat tinggi, diikat, dieksekusi, atau dideportasi [dengan kata-kata ini], "Engkau adalah seorang pencuri, engkau orang bodoh, engkau orang dungu." Jika seorang Bhikṣu mengambil apa yang tidak diberikan dengan cara ini, ia melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
3. Jika seorang Bhikṣu membunuh seorang manusia, memberikan sebuah senjata kepada seseorang [untuk tujuan itu], memuji kematian, memuliakan kematian, atau mendukung kematian, Bhikṣu ini melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
4. Jika seorang Bhikṣu yang tidak memiliki pencapaian spiritual memuji dirinya sendiri, dengan mengatakan, "Aku telah mencapai kemampuan batin luar biasa," "Aku telah menembus tingkatan-tingkatan kesucian' kebijaksanaan dan Dharma tertinggi," "Aku mengetahui hal ini. Aku melihatnya." Kemudian, berharap untuk menyucikan dirinya sendiri, ia mengatakan, apakah setelah ditanya atau atas kemauannya sendiri, "Para Āyuṣmant, aku benar-benar tidak mengetahui atau melihat apa yang aku katakan sebelumnya." Karena ia memuji dirinya sendiri dengan tujuan untuk menipu, bukan karena kesombongan dalam pencapaian luhurnya, Bhikṣu ini melakukan sebuah Pārājika dan tidak lagi dalam kumpulan.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan empat Pārājika. Seorang Bhikṣu yang telah melakukan salah satu dari Pārājika ini tidak lagi dalam kumpulan dengan para Bhikṣu lainnya seperti sebelumnya. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tiga Belas Saṃghāvaśeṣa
Para Āyuṣmant, tiga belas Saṃghāvaśeṣa berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu dengan sengaja melakukan masturbasi dan mengeluarkan air mani, kecuali dalam sebuah mimpi, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
2. Jika seorang Bhikṣu dengan pikiran penuh nafsu melakukan kontak fisik dengan seorang wanita dengan memegang tangannya, memegang rambutnya, atau menyentuh bagian lain dari tubuhnya, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
3. Jika seorang Bhikṣu dengan pikiran penuh nafsu mengucapkan kata-kata cabul yang merujuk pada hubungan seksual kepada seorang wanita, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
4. Jika seorang Bhikṣu dengan pikiran penuh nafsu memuji tubuhnya di hadapan seorang wanita, dengan berkata, “Saudari, aku mempraktikkan kehidupan suci dan menegakkan Śīla. Aku berupaya dengan sepenuh hati dalam melakukan perbuatan baik. Engkau dapat mempersembahkan hubungan seksual kepadaku. Persembahan demikian adalah yang tertinggi dari semua persembahan,” seorang Bhikṣu yang berbicara dengan cara ini melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
5. Jika seorang Bhikṣu bertindak sebagai seorang perantara, membawa pesan dari seorang pria ke seorang wanita atau dari seorang wanita ke seorang pria, dan dengan melakukan bantuan demikian untuk mewujudkan pernikahan atau hubungan mereka, bahkan dalam waktu singkat, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
6. Jika seorang Bhikṣu tanpa seorang penyokong membangun sebuah gubuk untuk dirinya sendiri dengan derma yang telah ia dapatkan, gubuk itu harus dibangun sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan—panjang 12 bentang jari tangan Buddha dan lebar tujuh bentang jari tangan Buddha. Ia harus membawa para Bhikṣu lain untuk memeriksa tempat tersebut, dan para Bhikṣu itu harus membuktikan bahwa tempat tersebut bebas dari hambatan dan bahaya. Jika seorang Bhikṣu tanpa seorang penyokong membangun sebuah gubuk untuk dirinya sendiri dengan derma yang telah ia dapatkan di suatu tempat dengan rintangan dan bahaya, tanpa membawa para Bhikṣu lain untuk memeriksa tempat tersebut, atau melebihi ukuran yang telah ditetapkan, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
7. Jika seorang Bhikṣu dengan seorang penyokong ingin membangun sebuah tempat tinggal yang besar untuk dirinya sendiri, ia harus membawa para Bhikṣu lain untuk memeriksa tempat tersebut, dan para Bhikṣu itu harus melihat bahwa tempat tersebut bebas dari hambatan dan bahaya. Jika seorang Bhikṣu dengan seorang penyokong membangun sebuah tempat tinggal yang besar untuk dirinya sendiri di suatu tempat dengan rintangan dan bahaya, tanpa membawa para Bhikṣu lain untuk memeriksa tempat tersebut, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
8. Jika seorang Bhikṣu, karena marah atau dendam, memfitnah Bhikṣu lain dengan tuduhan tidak berdasar suatu tindakan Pārājika dengan harapan merusak kemurnian prilakunya dan kemudian, apakah ditanyai atau tidak, ia mengakui, “Tuduhanku adalah tidak berdasar. Aku membuat tuduhan itu karena kebencian,” ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
9. Jika seorang Bhikṣu, karena marah atau dendam, mengutip informasi yang tidak relevan dan memfitnah Bhikṣu lain dengan tuduhan tidak berdasar suatu tindakan Pārājika dengan harapan merusak kemurnian prilakunya dan kemudian, apakah ditanyai atau tidak, diketahui bahwa Bhikṣu tersebut membuat tuduhan karena marah dan dendam dan mengutip informasi yang tidak relevan, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa.
10. Jika seorang Bhikṣu berniat untuk menghancurkan Saṅgha yang harmonis, bertahan dalam tindakan demikian dan mengambil metode-metode untuk menciptakan sebuah perpecahan dalam Saṅgha, bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya, Bhikṣu lain harus menegurnya, dengan mengatakan, “Āyuṣmant, janganlah menghancurkan Saṅgha yang harmonis. Jangan bertindak untuk menghancurkan Saṅgha yang harmonis atau mengambil metode-metode untuk menciptakan sebuah perpecahan dalam Saṅgha, bertahan dalam tindakan salahmu dan menolak untuk menyesalinya. Āyuṣmant, jadilah harmonis dengan Saṅgha. Dengan menjadi harmonis dengan Saṅgha, engkau akan bahagia dan tidak bertentangan. Engkau akan belajar dengan yang lain di bawah guru yang sama dan tergabung secara benar dengan mereka, seperti susu dan air. Dengan demikian engkau akan mendapatkan manfaat dari Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan kebahagiaan." Jika Bhikṣu itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣu [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
11. Jika seorang Bhikṣu bergabung dengan satu, dua, tiga, atau bahkan para Bhikṣu yang tak terhitung jumlahnya dan berkata kepada seorang Bhikṣu [yang bajik], “Āyuṣmant, janganlah menasihati Bhikṣu ini. Bhikṣu ini berbicara sesuai dengan Dharma dan Vinaya. Kami senang dengan apa yang ia katakan. Kami setuju dengan apa yang ia katakan." Bhikṣu [yang bajik] itu menjawab, “Para Āyuṣmant, janganlah mengatakan, 'Bhikṣu ini berbicara sesuai dengan Dharma dan Vinaya. Kami senang dengan apa yang ia katakan. Kami setuju dengan apa yang ia katakan.' Mengapa? Karena apa yang dikatakan oleh Bhikṣu ini bertentangan dengan Dharma dan Vinaya. Para Āyuṣmant, janganlah berniat untuk menciptakan sebuah perpecahan dan menghancurkan Saṅgha yang harmonis. Kalian harus bersenang di dalamnya dan berniat untuk Saṅgha yang harmonis. Para Āyuṣmant, dengan menjadi harmonis dengan Saṅgha, kalian akan bahagia dan tidak bertentangan. Kalian akan belajar dengan yang lain di bawah guru yang sama dan tergabung secara benar dengan mereka, seperti susu dan air. Dengan demikian kalian akan mendapatkan manfaat dari Buddha Dharma dan berdiam dalam kedamaian dan kebahagiaan." Jika (para) Bhikṣu itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣu [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika mereka menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, mereka melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
12. Jika seorang Bhikṣu, yang tinggal di suatu kota atau desa, berperilaku buruk dan merusak para anggota perumah tangga. Perilaku buruknya telah terlihat dan terdengar, demikian pula pengrusakannya terhadap para perumah tangga. Seorang Bhikṣu [yang bajik] menasihatinya, dengan mengatakan, “Āyuṣmant, engkau berperilaku buruk dan merusak para perumah tangga. Perilaku burukmmu telah terlihat dan terdengar, demikian pula pengrusakanmu terhadap para perumah tangga. Āyuṣmant, karena engkau berperilaku buruk dan merusak perumah tangga, tinggalkan desa ini sekarang dan jangan tinggal di sini lagi.” Jika Bhikṣu itu menjawab, “Āyuṣmant, para Bhikṣu memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan. Beberapa Bhikṣu sama bersalahnya denganku, namun aku diusir, sementara mereka tidak," Bhikṣu [yang bajik] harus mengatakan, "Āyuṣmant, janganlah mengatakan, 'Para Bhikṣu memiliki keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan. Beberapa Bhikṣu sama bersalahnya denganku, namun aku diusir, sementara mereka tidak,' Mengapa? Karena para Bhikṣu ini bebas dari keberpihakan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan. [Tidak ada alasan bagimu untuk mengatakan] ‘Beberapa Bhikṣu sama bersalahnya denganku, namun aku diusir, sementara mereka tidak. Āyuṣmant, engkau berprilaku buruk dan merusak perumah tangga. Perilaku burukmmu telah terlihat dan terdengar, demikian pula pengrusakanmu terhadap para perumah tangga.” Jika Bhikṣu itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣu [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
13. Jika seorang Bhikṣu, yang pada dasarnya tidak menyenangkan, tidak mau mendengarkan nasihat. Setelah para Bhikṣu menasihatinya sesuai dengan Dharma dan Vinaya, ia menolak untuk menerima nasihat, dengan mengatakan, “Para Āyuṣmant, janganlah mengatakan padaku apa yang baik atau buruk, dan aku juga tidak akan mengatakan kepada kalian apa yang baik atau buruk. Para Āyuṣmant, berhentilah menasihatiku!" Para Bhikṣu harus berkata kepada Bhikṣu itu, “Āyuṣmant, janganlah menolak untuk menerima nasihat. Āyuṣmant, terimalah nasehat. Āyuṣmant, engkau harus menasihati Bhikṣu lain sesuai dengan Dharma. Begitu juga Bhikṣu lainnya menasehatimu sesuai dengan Dharma. Dengan demikian para siswa Buddha akan mendapat manfaat dengan menasihati, mengajar, mengaku, dan menyesali satu sama lain.” Jika Bhikṣu itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh para Bhikṣu, mereka harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa pada peringatan ketiga.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan tiga belas Saṃghāvaśeṣa. Sembilan yang pertama menjadi pelanggaran saat melakukannya; empat yang berikutnya menjadi pelanggaran pada peringatan ketiga. Jika seorang Bhikṣu melakukan salah satu dari pelanggaran ini dan dengan sengaja menyembunyikannya, ia harus ditempatkan dalam masa percobaan (Parivāsa). Setelah masa percobaan selesai, ia harus berlatih penebusan kesalahan (Mānatva) selama enam malam di dalam Saṅgha. Setelah latihan penebusan kesalahan, melakukan rehabilitasi (Abhyāyana). Bhikṣu itu harus direhabilitasi dihadapan 20 Bhikṣu. Jika terdapat bahkan kurang seorang dari 20 dan rehabilitasi dilakukan, Bhikṣu ini tidak direhabilitasi, dan para Bhikṣu bersalah. Ini adalah prosedur [untuk penebusan kesalahan]. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Dua Aniyata
Para Āyuṣmant, dua Aniyata berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu duduk sendirian dengan seorang wanita di tempat terasing dan tertutup di mana mereka dapat melakukan hubungan seksual, dan berbicara sehubungan dengan hal-hal yang bertentangan dengan Dharma. Seorang Upāsikā yang dapat dipercaya melaporkan situasi tersebut, yang bisa merupakan salah satu dari tiga jenis pelanggaran—Pārājika, Saṃghāvaśeṣa, atau Pāyattika. [Jika] Bhikṣu itu sendiri mengakui, “Aku telah melakukan pelanggaran seperti itu,” maka tanganilah ia sesuai dengan salah satu dari tiga jenis pelanggaran itu—Pārājika, Saṃghāvaśeṣa, atau Pāyattika. [Jika ia tidak sepenuhnya mengakui pelanggarannya, tangani ia] sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Upāsikā yang dapat dipercaya. Bhikṣu ini harus ditangani sesuai dengan peraturan. Ini disebut sebuah Aniyata.
2. Misalkan seorang Bhikṣu duduk bersama seorang wanita di tempat yang tidak tertutup, di mana mereka tidak dapat melakukan hubungan seksual, dan mengucapkan kata-kata cabul yang merujuk pada hubungan seksual. Seorang Upāsikā yang dapat dipercaya melaporkan situasi tersebut, yang bisa merupakan salah satu dari dua jenis pelanggaran—Saṃghāvaśeṣa, atau Pāyattika. [Jika] Bhikṣu itu sendiri mengakui, “Aku telah melakukan pelanggaran seperti itu,” maka tanganilah ia sesuai dengan salah satu dari dua jenis pelanggaran itu—Saṃghāvaśeṣa, atau Pāyattika. [Jika ia tidak sepenuhnya mengakui pelanggarannya, tangani ia] sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Upāsikā yang dapat dipercaya. Bhikṣu ini harus ditangani sesuai dengan peraturan. Ini disebut sebuah Aniyata.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan dua Aniyata. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tiga Puluh Naiḥsargika Pāyattika
Para Āyuṣmant, tiga puluh Naiḥsargika Pāyattika berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu telah memiliki [tiga] jubah dan periode Kaṭhina berakhir, ia dapat menyimpan jubah ekstra selama sepuluh hari tanpa pemberian murni. Jika ia menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
2. Jika seorang Bhikṣu telah memiliki [tiga] jubah dan periode Kaṭhina telah berakhir, dan ia berdiam terpisah dari salah satu dari tiga jubahnya bahkan untuk satu malam, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika kecuali [diizinkan oleh seorang] Saṅghakarman.
3. Jika seorang Bhikṣu telah memiliki jubah [tiga] dan periode Kaṭhina telah berakhir, dan ia ditawarkan sepotong kain di luar periode waktu yang ditentukan, ia dapat menerimanya jika dibutuhkan dan harus dengan cepat membuatnya menjadi sebuah jubah. Jika bahan itu cukup, itu bagus; jika tidak, ia dapat menyimpannya sampai satu bulan, menunggu hingga cukup kain untuk membuat jubah. Jika ia menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
4. Jika seorang Bhikṣu memperoleh sebuah jubah dari seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, kecuali dalam pertukaran untuk salah satu dari jubahnya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
5. Jika seorang Bhikṣu membuat seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, mencuci jubahnya, mewarnainya, atau memukulinya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
6. Jika seorang Bhikṣu meminta jubah dari seorang perumah tangga yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika kecuali pada waktu-waktu tertentu—ketika jubahnya telah dicuri, hilang, terbakar, atau hanyut oleh air. Ini adalah waktu-waktu tertentu.
7. Jika jubah seorang Bhikṣu telah dicuri, hilang, terbakar, atau hanyut oleh air dan seorang perumah tangga yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya menawarkan ia lebih banyak jubah, ia harus puas dengan hanya menerima apa yang ia butuhkan. Jika ia menerima lebih banyak, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
8. Jika sebuah pasangan perumah tangga menyiapkan uang untuk membeli sebuah jubah untuk seorang Bhikṣu dan memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu untuk tujuan itu. Tanpa diminta untuk memilih, Bhikṣu itu pergi ke rumah pasangan perumah tangga dan berkata, “Itu akan baik, perumah tangga, jika kalian menyiapkan sejumlah ini dan itu untuk membeli sebuah jubah untukku sehingga itu akan menjadi sesuatu yang baik." Jika Bhikṣu itu mendapatkan sebuah jubah dengan cara ini, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
9. Jika dua pasangan perumah tangga menyiapkan uang untuk membeli sebuah jubah untuk seorang Bhikṣu dan memutuskan untuk memberikan sejumlah tertentu untuk tujuan itu. Tanpa diminta untuk memilih, Bhikṣu itu pergi ke setiap rumah kedua pasangan dan berkata, “Itu akan baik, perumah tangga, jika kalian menyiapkan sejumlah ini dan itu untuk membeli sebuah jubah untukku sehingga itu akan menjadi sesuatu yang baik.” Jika Bhikṣu itu mendapatkan sebuah jubah dengan cara ini, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
10. Jika seorang raja, pejabat, atau umat awam mengirim utusan dengan uang untuk membeli sebuah jubah untuk seorang Bhikṣu. Ketika utusan telah tiba di tempat di mana Bhikṣu itu berada, ia berkata, “Āyuṣmant, aku telah membawa uang untukmu untuk membeli sebuah jubah. Tolong terimalah." Bhikṣu itu menjawab, “Aku tidak seharusnya menerima uang ini untuk membeli jubah. Jika aku memerlukan sebuah jubah, aku harus menerimanya secara murni dalam cara yang benar dan pada waktu yang tepat." Utusan itu berkata, “Āyuṣmant, apakah engkau memiliki asisten? " Bhikṣu yang membutuhkan sebuah jubah menjawab, “Ya, pengurus Saṅgha dan Upāsaka adalah asisten para Bhikṣu dan selalu membantu para Bhikṣu.” Setelah utusan itu pergi ke tempat asisten dan memberinya uang untuk membeli sebuah jubah, ia kembali ke Bhikṣu itu dan berkata, “Āyuṣmant, aku telah memberikan uang untuk membeli sebuah jubah kepada asisten yang engkau telah tunjuk. Āyuṣmant, pada waktunya engkau dapat pergi ke sana dan mengambil jubahnya.”Jika Bhikṣu itu membutuhkan sebuah jubah, ia harus pergi ke asisten dua atau tiga kali dan berkata, "Aku butuh sebuah jubah." Jika ia pergi dua atau tiga kali untuk mengingatkan sang asisten dan mendapatkan jubahnya, itu bagus. Jika tidak, ia dapat pergi untuk yang ke empat, kelima, atau keenam kalinya dan berdiri diam di depan sang asisten untuk mengingatkannya. Jika ia pergi untuk yang keempat, kelima, atau keenam kalinya, berdiri diam di depannya, dan mendapatkan jubahnya,itu baik. Jika ia tidak mendapatkan jubahnya, tetapi mencoba lagi untuk mendapatkannya dan ia mendapatkannya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika. Jika ia gagal mendapatkannya, ia harus mengirim seseorang ke tempat di mana utusan itu datang dan berkata [kepada donatur], “Engkau mengirim seseorang untuk memberikan uang untuk membeli sebuah jubah untuk Bhikṣu, tetapi Bhikṣu itu tidak mendapatkannya. Pergi dan dapatkan kembali uang itu agar tidak hilang. Ini adalah cara yang tepat."
11. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah baru dengan sebuah campuran sutra mentah, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
12. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah baru dengan wol domba hitam murni, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
13. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah [wol] baru, ia harus menggunakan dua bagian wol domba hitam murni, bagian ketiga [wol] putih, dan bagian keempat [wol] campuran. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah [wol] baru tanpa menggunakan dua bagian wol domba hitam murni, bagian ketiga [wol] putih, dan bagian keempat [wol] campuran, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
14. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah baru, ia harus menggunakannya setidaknya selama enam tahun. Jika ia menggunakannya kurang dari enam tahun dan membuat sebuah jubah baru tanpa melepaskan [jubah lamanya], ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika kecuali [diijinkan oleh] Saṅghakarman.
15. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah kain duduk baru, ia harus mengambil [sepotong bagian] sepanjang satu bentang jari tangan Buddha dalam panjang dan lebarnya dari (kain) yang lama dan ditempelkan ke yang baru untuk merusak warnanya. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah kain duduk baru dan tidak mengambil [sepotong bagian] sepanjang satu bentang jari tangan Buddha dalam panjang dan lebarnya dari (kain) yang lama dan ditempelkan ke yang baru untuk merusak warnanya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
16. Jika seorang Bhikṣu menerima wol domba saat dalam perjalanan, ia dapat menerimanya jika ia memerlukannya. Jika tidak ada seorang pun yang membawanya, ia dapat membawanya sendiri hingga tiga Yojana. Jika tidak ada orang yang membawanya dan ia membawanya sendiri lebih jauh, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
17. Jika seorang Bhikṣu menyuruh seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungna keluarga dengannya untuk mencuci, mencelup, atau menyisir wol domba, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
18. Jika seorang Bhikṣu secara pribadi menerima emas, perak, atau uang, memberi tahu seseorang untuk menerima itu untuknya, atau menerima itu secara lisan, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
19. Jika seorang Bhikṣu membeli atau menjual barang-barang berharga, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
20. Jika seorang Bhikṣu terlibat dalam kegiatan bisnis dalam bentuk apa pun, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
21. Seorang Bhikṣu dapat menyimpan mangkuk derma ekstra selama sepuluh hari tanpa pemberian murni. Jika ia menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
22. Jika seorang Bhikṣu memiliki sebuah mangkuk derma yang diperbaiki di kurang dari lima tempat tetapi tidak bocor, dan ia mencari dan memperoleh sebuah mangkuk derma baru hanya karena itu lebih baik, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika. Ia harus mengambil mangkuk derma ini dan mempersembahkannya kepada para Bhikṣu lainnya dengan urutan senioritas ke yang terakhir. Ia kemudian menerima mangkuk dari Bhikṣu terakhir yang mengatakan kepadanya. "Simpan mangkuk derma ini, Avuso, sampai mangkuk ini pecah. Ini adalah cara yang tepat.”
23. Jika seorang Bhikṣu secara pribadi meminta benang [dan memperolehnya] dan menyuruh seorang penenun yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya membuat (benang) itu menjadi sebuah jubah untuknya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
24. Jika sebuah pasangan perumah tangga menyuruh seorang penenun membuat sebuah jubah untuk seorang Bhikṣu. Bhikṣu itu, tanpa diminta untuk memilih, pergi ke tempat penenun dan berkata, "Jubah ini ditenun untukku. Tenunlah dengan baik—lebar, panjang, tahan lama, dan tenunlah dengan rapat. Jika ini selesai, aku akan membayarmu dengan sejumlah ini dan itu." Jika Bhikṣu itu membayarnya, bahkan sesedikit [biaya untuk] sebuah makanan dan memperoleh jubah, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
25. Jika seorang Bhikṣu memberikan sebuah jubah kepada Bhikṣu yang lain dan kemudian karena marah mengambil jubah itu kembali atau memberi tahu seseorang untuk mengambil jubah itu kembali, dengan mengatakan, "Kembalikanlah jubah ini kepadaku. Aku tidak mau memberikannya kepadamu,” Bhikṣu itu harus mengembalikan jubahnya. Jika ia mengambilnya, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
26. Seorang Bhikṣu yang sakit dapat menyimpan obat-obatan seperti ghee, minyak [sayur], mentega, madu, dan gula batu, dan mengambil sisanya untuk tujuh hari. Jika ia mengambil sisanya setelah hari ketujuh, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
27. Ketika satu bulan waktu musim semi yang tersisa, seorang Bhikṣu dapat meminta sebuah jubah untuk mandi dikala hujan dan menggunakannya untuk mandi tiap setengah bulan [sebelum musim semi berakhir]. Jika seorang Bhikṣu meminta sebuah jubah untuk mandi dikala hujan sebelum bulan terakhir dari musim semi dan menggunakan itu untuk mandi lebih dari setengah bulan [sebelum musim semi berakhir] ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
28. Jika seorang Bhikṣu dengan mendesak dipersembahkan sebuah jubah sepuluh hari sebelum akhir dari tiga bulan Varṣā, dan ia tahu bahwa itu adalah jubah yang dipersembahkan dengan mendesak, ia seharusnya menerimanya dan menyimpannya hingga akhir periode yang ditetapkan untuk [menerima ekstra] jubah. Jika ia menyimpannya lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
29. Jika seorang Bhikṣu menjalankan tiga bulan Varṣā musim panas hingga selesai pada hari ke 15 dari bulan lunar kedelapan. Jika ia pergi untuk tinggal di sebuah tempat yang jauh, tempat terasing yang ia curigai dapat berbahaya, untuk alasan ini ia dapat meninggalkan salah satu dari tiga jubahnya di sebuah desa dan terpisah dari jubahnya hingga enam malam. Jika [ia tetap terpisah dari jubahnya] lebih lama, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
30. Jika seorang Bhikṣu mengetahu bahwa suatu persembahan adalah untuk Saṅgha, lalu meminta dan memperolehnya untuk dirinya sendiri, ia melakukan sebuah Naiḥsargika Pāyattika.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan tiga puluh Naiḥsargika Pāyattika. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Sembilan Puluh Pāyattika
Para Āyuṣmant, sembilan puluh Pāyattika berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu dengan sengaja berbohong, ia melakukan sebuah Pāyattika.
2. Jika seorang Bhikṣu memfitnah Bhikṣu lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
3. Jika seorang Bhikṣu menabur perselisihan di antara para Bhikṣu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
4. Jika seorang Bhikṣu melewati malam dengan tidur di ruangan yang sama dengan seorang wanita, ia melakukan sebuah Pāyattika.
5. Jika seorang Bhikṣu melewati malam dengan tidur selama lebih dari tiga malam di ruangan yang sama dengan seseorang yang belum menerima pelatihan penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
6. Jika seorang Bhikṣu membaca [Prātimokṣa] Sūtra bersama dengan seseorang yang tidak menerima pelatihan penuh, ia melakukan sebuah Pāyattika.
7. Jika seorang Bhikṣu mengetahui seorang Bhikṣu telah melakukan pelanggaran serius dan mengungkapkannya kepada seseorang yang tidak sepenuhnya ditahbiskan, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali Saṅgha telah melakukan rehabilitasi Karman.
8. Jika seorang Bhikṣu mengatakan tentang kemampuan batin luar biasa kepada seseorang yang tidak sepenuhnya ditahbiskan, dengan mengatakan, “Aku mengetahui hal ini. Aku melihatnya,” ia melakukan sebuah Pāyattika, bahkan jika apa yang ia katakan itu benar.
9. Jika seorang Bhikṣu mengajarkan lebih dari lima atau enam kalimat Dharma kepada seorang wanita tanpa kehadiran pria yang berpengetahuan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
10. Jika seorang Bhikṣu menggali tanah atau menyuruh orang lain untuk menggalinya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
11. Jika seorang Bhikṣu merusak sebuah desa hantu dan makhluk halus, ia melakukan sebuah Pāyattika.
12. Jika seorang Bhikṣu berbicara mengelak atau mengganggu Saṅgha, ia melakukan sebuah Pāyattika.
13. Jika seorang Bhikṣu mengeluh dan mengangkat kesalahan-kesalahan atau melecehkan Bhikṣu lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
14. Jika seorang Bhikṣu mengambil tempat tidur tali milik kumpulan, tempat tidur kayu, kain tidur, atau bantal, meletakkannya di tanah kosong atau menyuruh orang lain melakukannya, dan pergi tanpa mengangkatnya atau meminta orang lain melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
15. Jika seorang Bhikṣu mengambil kain tidur tali milik kumpulan dan meletakkannya di dalam ruangan Vihara atau menyuruh orang lain melakukannya, duduk atau berbaring di sana dan pergi tanpa mengangkatnya atau meminta orang lain melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
16. Jika seorang Bhikṣu mengetahui Bhikṣu lain telah berdiam di suatu tempat tertentu, dan bertentangan dengan kehendaknya yang terakhir, ia meletakkan kain tidurnya sendiri di tempat yang sama dan tidur di sana dengan berpikir, “Jika ia tidak suka keramaian, ia akan menjauh dariku dan pergi." Jika seorang Bhikṣu bertingkah laku dengan tidak hormat hanya untuk mengusir Bhikṣu lainnya, bukan untuk hal lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
17. Jika seorang Bhikṣu menarik Bhikṣu lain yang tidak disukai dan dibencinya keluar dari sebuah ruangan di Vihara atau menyuruh orang lain melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
18. Jika seorang Bhikṣu duduk atau berbaring di tempat tidur tali atau tempat tidur kayu dengan kaki yang longgar di sebuah loteng, ia melakukan sebuah Pāyattika.
19. Jika seorang Bhikṣu mengetahui ada serangga di dalam air dan secara pribadi menuangkannya ke tanah atau rumput atau menyuruh orang lain melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
20. Jika seorang Bhikṣu membangun sebuah rumah besar dengan pintu, jendela, dan dekorasi, ia dapat menutupi atapnya dengan dua atau tiga lapisan jerami. Jika ia menggunakan lebih banyak, ia melakukan sebuah Pāyattika.
21. Jika seorang Bhikṣu menginstruksikan para Bhikṣuṇī tanpa ditugaskan oleh Saṅgha, ia melakukan sebuah Pāyattika.
22. Jika seorang Bhikṣu, setelah ditugaskan oleh Saṅgha, menginstruksikan para Bhikṣuṇī setelah matahari terbenam, ia melakukan sebuah Pāyattika.
23. Jika seorang Bhikṣu berkata kepada para Bhikṣu lainnya, “Para Bhikṣu menginstruksikan para Bhikṣuṇī demi makanan,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
24. Jika seorang Bhikṣu memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, kecuali dalam pertukaran untuk salah satu jubahnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
25. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah untuk seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
26. Jika seorang Bhikṣu duduk di tempat terasing dengan seorang Bhikṣuṇī, ia melakukan sebuah Pāyattika.
27. Jika seorang Bhikṣu merencanakan perjalanan bersama seorang Bhikṣuṇī, bahkan dari satu desa ke desa lain, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu tertentu. Waktu tertentu itu adalah jika teman perjalanan [diperlukan] di tempat-tempat yang dapat berbahaya. Ini adalah waktu [tertentu].
28. Jika seorang Bhikṣu merencanakan untuk menaiki sebuah perahu di hulu atau hilir bersama dengan seorang Bhikṣuṇī, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali jika itu untuk menyeberang langsung [ke sisi sungai yang lain].
29. Jika seorang Bhikṣu memakan derma makanan yang ia ketahui
telah dipersembahkan karena ia dipuji oleh seorang Bhikṣuṇī, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali donaturnya sebenarnya memiliki niat [untuk mempersembahkan itu kepadanya].
30. Jika seorang Bhikṣu merencanakan perjalanan bersama seorang wanita, bahkan dari satu desa ke desa lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
31. Jika seorang Bhikṣu yang sehat menetap suatu di tempat di mana hanya mempersembahkan satu porsi makan, ia harus makan satu porsi saja. Jika ia mengambil lebih banyak, ia melakukan sebuah Pāyattika.
32. Jika seorang Bhikṣu makan di suatu tempat dan kemudian di tempat lain, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Waktu tertentu adalah ketika ia sedang sakit dan selama periode Kaṭhina. Ini adalah waktu [tertentu].
33. Jika seorang Bhikṣu makan terpisah dari kumpulan, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu tertentu seperti ketika ia sedang sakit, membuat jubah, persembahan jubah, bepergian di jalan, bepergian dengan perahu, persembahan makanan dengan pelepasan, atau ada suatu puja besar. Ini adalah waktu [tertentu].
34. Jika seorang Bhikṣu pergi ke suatu rumah penyokong dan dengan sungguh-sungguh ia dipesembahkan kue atau tepung goreng. Jika ia membutuhkannya, ia dapat menerima dua atau tiga mangkuk penuh untuk dibawa ke Vihara dan dibagikan kepada para Bhikṣu lainnya. Jika ia tidak sakit dan menerima lebih dari tiga mangkuk penuh dan tidak membaginya dengan para Bhikṣu lainnya setelah membawa (makanan) itu ke Vihara, ia melakukan sebuah Pāyattika.
35. Jika seorang Bhikṣu yang telah selesai makan menerima undangan dan memakan lebih banyak makanan yang tidak tersisa, ia melakukan sebuah Pāyattika.
36. Jika seorang Bhikṣu mengetahui bahwa seorang Bhikṣu lain telah selesai makan dan hanya boleh memakan makanan yang tersisa. Ketika Bhikṣu lainnya menerima undangan, Bhikṣu pertama mendorongnya untuk makan, dengan berkata, “Āyuṣmant, ambilah makanan ini." Akibatnya, Bhikṣu lainnya memakan makanan yang tidak tersisa. Jika Bhikṣu pertama dengan sengaja menyebabkan Bhikṣu lain melakukan sebuah pelanggaran, ia melakukan sebuah Pāyattika.
37. Jika seorang Bhikṣu makan pada waktu yang salah, ia melakukan sebuah Pāyattika.
38. Jika seorang Bhikṣu memakan sisa makanan yang disimpan semalaman, ia melakukan sebuah Pāyattika.
39. Jika seorang Bhikṣu memasukkan makanan atau obat ke dalam mulutnya yang tidak diberikan kepadanya, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali itu adalah air atau sebuah sikat gigi.
40. Jika seorang Bhikṣu yang tidak sakit meminta makanan yang baik seperti susu, keju, ikan, atau daging untuk dirinya sendiri, ia melakukan sebuah Pāyattika.
41. Jika seorang Bhikṣu memberikan makanan kepada seorang pria non Buddhist atau seorang wanita non Buddhist, ia melakukan sebuah Pāyattika.
42. Jika seorang Bhikṣu telah menerima undangan untuk jamuan utama, kemudian pergi ke rumah lainnya antara fajar dan waktu makan atau antara saat waktu makan hingga tengah hari tanpa memberi tahu Bhikṣu lain, ia melakukan sebuah Pāyattika, kecuali pada waktu-waktu tertentu seperti ketika ia sakit, menjahit jubah, atau perjalanan. Ini adalah waktu-waktu [tertentu].
43. Jika seorang Bhikṣu bersikeras untuk tinggal di sebuah rumah penyokong di mana terdapat sebuah harta, ia melakukan sebuah Pāyattika.
44. Jika seorang Bhikṣu duduk di suatu tempat terasing di sebuah rumah penyokong di mana terdapat sebuah harta, ia melakukan sebuah Pāyattika.
45. Jika seorang Bhikṣu duduk sendirian dengan seorang wanita di ruangan terbuka, ia melakukan sebuah Pāyattika.
46. Jika seorang Bhikṣu berkata kepada Bhikṣu lain, “Āyuṣmant, mari kita pergi bersama ke desa. Aku akan memberimu makanan." Kemudian Bhikṣu ini tidak memberikam Bhikṣu lain makanan namun mengatakan, “Āyuṣmant, pergilah! Aku tidak suka duduk dan berbicara denganmu. Aku suka duduk sendirian dan berbicara pada diriku sendiri.” Jika ia mengusir Bhikṣu lain pergi karena alasan ini dan bukan yang lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
47. Jika seorang Bhikṣu yang sehat dipersembahkan obat-obatan selama empat bulan musim panas, ia dapat menerimanya. Jika ia menerima itu melebihi waktu tersebut, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali penyokongnya mengungkapkan keinginan mereka untuk mempersembahkan obat-obatan secara terus menerus, mempersembahkan obat-obatan lagi, mempersembahkan secara individu kepada Bhikṣu, atau mengungkapkan keinginan mereka untuk mempersembahkan obat-obatan sepanjang hidup mereka.
48. Jika seorang Bhikṣu pergi menonton suatu parade militer, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali jika itu untuk sebuah alasan yang diperbolehkan.
49. Seorang Bhikṣu dapat tinggal dua atau tiga malam di suatu kamp militer jika itu untuk sebuah alasan yang diperbolehkan. Jika ia tinggal lebih lama, ia melakukan sebuah Pāyattika.
50. Jika seorang Bhikṣu tinggal di barak militer selama dua atau tiga malam berturut-turut. Selama periode itu, jika ia menonton parade militer dan latihan atau peragaan kekuatan penuh pasukan, gajah, dan kuda, ia melakukan sebuah Pāyattika.
51. Jika seorang Bhikṣu meminum minuman keras, ia melakukan sebuah Pāyattika.
52. Jika seorang Bhikṣu bermain di air, ia melakukan sebuah Pāyattika.
53. Jika seorang Bhikṣu memukul Bhikṣu lain dengan jari tangan atau kakinya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
54. Jika seorang Bhikṣu tidak menerima nasihat, ia melakukan sebuah Pāyattika.
55. Jika seorang Bhikṣu menakuti Bhikṣu lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
56. Seorang Bhikṣu yang sehat dapat mandi sekali setiap setengah bulan. Jika ia (mandi) melebihi itu, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu-waktu tertentu seperti saat cuaca panas, ia sedang sakit, ia melakukan pekerjaan kasar, ada suatu angin kencang, saat hujan, atau ia telah melakukan perjalanan panjang. Inilah waktu-waktu tertentu.
57. Jika seorang Bhikṣu yang sehat membuat sebuah api di atas tanah kosong untuk menghangatkan dirinya, atau memberitahu orang lain untuk melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika kecuali pada waktu-waktu tertentu.
58. Jika seorang Bhikṣu secara pribadi menyembunyikan mangkuk derma, jubah, kain duduk, atau kotak jarum Bhikṣu lain atau menyuruh seseorang untuk melakukannya, ia melakukan sebuah Pāyattika, bahkan jika ia melakukannya hanya untuk bersenang-senang.
59. Jika seorang Bhikṣu memberikan sebuah jubah murni karena kemurahan hati kepada seorang Bhikṣu, Bhikṣuṇī, Śikṣamāṇā, Śrāmaṇera, atau Śrāmaṇerī, dan kemudian mengambilnya kembali dan memakainya tanpa meminta izin pemiliknya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
60. Ketika seorang Bhikṣu mendapatkan sebuah jubah baru, ia harus menandainya dengan satu dari tiga warna tidak menarik: hijau keruh, hitam, atau coklat. Jika seorang Bhikṣu mendapatkan sebuah jubah baru tetapi tidak melakukan ini, ia melakukan sebuah Pāyattika.
61. Jika seorang Bhikṣu dengan sengaja membunuh seekor binatang, ia melakukan sebuah Pāyattika.
62. Jika seorang Bhikṣu meminum air, mengetahui ada serangga di dalamnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
63. Jika seorang Bhikṣu dengan sengaja mengganggu Bhikṣu lain, ia melakukan sebuah Pāyattika, bahkan jika pada akhirnya ia dibuat tidak bahagia walau hanya sesaat.
64. Jika seorang Bhikṣu mengetahui Bhikṣu lain yang telah melakukan suatu pelanggaran yang serius dan menyembunyikannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
65. Jika seorang Bhikṣu mengetahui seseorang berusia di bawah 20 tahun dan memberinya pelatihan penuh, orang itu tidak menerima pelatihan penuh. Para Bhikṣu adalah tercela karena ketidaktahuan mereka, dan mereka melakukan sebuah Pāyattika.
66. Jika seorang Bhikṣu membuka kembali perselisihan dalam kumpulan meskipun ia tahu (masalah) itu telah diselesaikan sesuai dengan Dharma, ia melakukan sebuah Pāyattika.
67. Jika seorang Bhikṣu pergi ke suatu kota atau desa dengan seseorang yang ia kenal sebagai seorang pencuri, ia melakukan sebuah Pāyattika.
68. Jika seorang Bhikṣu mengatakan, “Aku mengerti Dharma yang diajarkan oleh Sang Buddha. Bersenang dalam nafsu seksual bukanlah sebuah halangan untuk Sang Jalan,” Bhikṣu yang lain harus menasihatinya, dengan mengatakan,“ Āyuṣmant, janganlah mengatakan hal seperti itu. Janganlah memfitnah Sang Bhagava. Tidaklah baik memfitnah Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Dengan terampil dalam berbagai cara tak terhingga untuk menjelaskan makna Sang Bhagava mengajarkan bahwa nafsu seksual adalah sebuah halangan untuk Sang Jalan dan bahwa melakukan pelanggaran seksual adalah halangan untuk Sang Jalan.” Jika Bhikṣu itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣu [yang bajik], ia harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, ia melakukan sebuah Pāyattika pada peringatan ketiga.
69. Misalkan seorang Bhikṣu mengetahui bahwa [Bhikṣu] lain telah mengatakan hal-hal [absurd] demikian [seperti di atas], belum direhabilitasi dengan suatu Karman yang tepat, bertahan dalam tindakan salahnya, dan menolak untuk menyesalinya. Jika ia menyediakan untuknya, menghadiri Karman yang sama dengannya, atau tidur di ruangan yang sama dengannya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
70. Jika seorang Śrāmaṇera berkata, “Aku mengerti Dharma yang diajarkan oleh Sang Buddha. Bersenang dalam nafsu seksual bukanlah sebuah halangan untuk Sang Jalan,” seorang Bhikṣu harus menasihati Śrāmaṇera itu, dengan mengatakan, “Śrāmaṇera, janganlah mengatakan hal seperti itu. Janganlah memfitnah Sang Bhagava. Tidaklah baik memfitnah Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Dengan terampil dalam berbagai cara tak terhingga untuk menjelaskan makna Sang Bhagava mengajarkan bahwa nafsu seksual adalah sebuah halangan untuk Sang Jalan dan bahwa melakukan pelanggaran seksual adalah halangan untuk Sang Jalan.” Jika Śrāmaṇera itu terus bertahan dalam tindakan salahnya dan menolak untuk menyesalinya ketika ditegur oleh Bhikṣu itu, Bhikṣu itu harus menegurnya tiga kali. Jika ia menyesal dengan peringatan ketiga, itu bagus. Jika tidak, Bhikṣu itu harus berkata kepada Śrāmaṇera, “Mulai sekarang, engkau bukan lagi seorang siswa Buddha. Engkau tidak dapat mengikuti praktik para Bhikṣu. Tidak seperti Śrāmaṇera lainnya, engkau tidak boleh berbagi tempat menginap dengan para Bhikṣu selama dua atau tiga malam. Pergilah; enyahlah. Engkau tidak dapat tinggal di sini." Jika seorang Bhikṣu mengetahui seorang Śrāmaṇera telah diusir demikian dan kemudian tetap bersamanya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
71. Ketika dinasihati sesuai dengan Dharma, jika seorang Bhikṣu mengatakan, “Aku tidak akan mengikuti Śīla ini sampai aku berkonsultasi dengan seorang praktisi Śīla yang bijaksana, aku akan menanyakan pertanyaanku kepada mereka,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
72. Pada saat pembacaan Śīla, jika seorang Bhikṣu mengatakan, “Para Āyuṣmant, apakah gunanya Śīla-Śīla yang sepele ini? Membacakannya hanya membuat seseorang menjadi kesal, malu, dan curiga,” karena menghina dan merendahkan Śīla, ia melakukan sebuah Pāyattika.
73. Jika seorang Bhikṣu pada saat pembacaan Śīla mengatakan, “Para Āyuṣmant, aku baru saja mengetahui pelatihan-pelatihan ini dari Prātimokṣa Sūtra yang dibacakan setiap setengah bulan." Bhikṣu lain yang mengetahui bahwa ia telah menghadiri pembacaan Śīla dua atau tiga kali, atau bahkan lebih. Bahkan jika ia tanpa pengetahuan dan pemahaman, ia harus diurus dengan benar jika ia melakukan sebuah pelanggaran, dan terlebih untuk pelanggaran karena tidak mengetahui. Mereka berkata kepadanya, “Āyuṣmant, engkau tidak menerima manfaat dan engkau mengumpulkan keburukan karena engkau tidak penuh perhatian selama pembacaan Śīla dan tidak mendengarkan dengan perhatian terpusat." Karena tidak mengetahui Śīla, ia melakukan sebuah Pāyattika.
74. Setelah melakukan sebuah Karman dengan Bhikṣu lain, jika seorang Bhikṣu mengatakan, “Para Bhikṣu memberikan kepemilikan kumpulan kepada orang-orang yang dekat dengan mereka,” ia melakukan sebuah Pāyattika.
75. Jika seorang Bhikṣu bangkit (dari tempat duduknya) dan pergi selama sebuah Saṅghakarman, ia melakukan sebuah Pāyattika.
76. Jika seorang Bhikṣu meminta Bhikṣu lain untuk menjelaskan ketidakhadirannya dan menyampaikan perkenannya untuk sebuah Karman dan setelahnya menegurnya, ia melakukan sebuah Pāyattika.
77. Setelah beberapa Bhikṣu telah bertengkar, jika seorang Bhikṣu mendengarnya dan berbicara kepada Bhikṣu lain tentang (pertengkaran) itu, ia melakukan sebuah Pāyattika.
78. Jika seorang Bhikṣu memukul Bhikṣu lain dengan amarah dan dendam, ia melakukan sebuah Pāyattika.
79. Jika seorang Bhikṣu mencengkram Bhikṣu lain dengan tangannya karena marah dan dendam, ia melakukan sebuah Pāyattika.
80. Jika seorang Bhikṣu karena marah dan dendam dan tanpa bukti menuduh seseorang melakukan sebuah Saṃghāvaśeṣa, ia melakukan sebuah Pāyattika.
81. Jika seorang Bhikṣu memasuki pintu istana seorang Raja yang dinobatkan sebelum Sang Raja telah keluar dan harta telah disembunyikan, ia melakukan sebuah Pāyattika.
82. Jika seorang Bhikṣu menyimpan harta atau barang berharga atau memberitahu seseorang untuk melakukannya, kecuali itu di sebuah Vihara (Saṃghārāma) atau tempat tinggal sementara, ia melakukan sebuah Pāyattika. Jika ia menyimpan harta atau barang berharga di Vihara atau tempat tinggal sementara atau memberitahu seseorang untuk melakukannya, ia harus mengembalikannya setelah pemiliknya mengenalinya.
83. Jika seorang Bhikṣu memasuki suatu kota atau desa pada waktu yang salah tanpa memberi tahu Bhikṣu yang lain, ia melakukan sebuah Pāyattika.
84. Ketika seorang Bhikṣu membuat sebuah tempat tidur tali atau tempat tidur kayu, kaki-kaki bagian bawah dari tempat tidur yang dimasukkan ke dalam sambungan tidak boleh lebih dari delapan ruas jari tangan Buddha. Jika kaki-kaki itu lebih panjang, ia melakukan sebuah Pāyattika.
85. Jika seorang Bhikṣu menggunakan benang tula untuk membuat sebuah tempat tidur tali, sebuah tempat tidur kayu, kain tidur, atau sebuah bantal, ia melakukan sebuah Pāyattika.
86. Jika seorang Bhikṣu menggunakan tulang, gading, atau tanduk untuk membuat sebuah kotak jarum, ia melakukan sebuah Pāyattika ketika telah selesai dibuat.
87. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah kain duduk, ia harus membuatnya sesuai dengan ukuran—dua bentang jari tangan Buddha panjangnya dan satu setengah bentang jari tangan lebarnya, dengan sebuah batas ditambahkan di semua sisi setengah bentang jari tangan [lebarnya]. Jika itu lebih besar, ia melakukan sebuah Pāyattika.
88. Jika seorang Bhikṣu membuat kain untuk menutupi luka, ia harus membuatnya sesuai dengan ukuran—empat bentang jari tangan Buddha panjangnya dan dua bentang jari tangan lebarnya. Jika ia membuatnya lebih besar, ia melakukan sebuah Pāyattika.
89. Jika seorang Bhikṣu membuat sebuah jubah untuk mandi sewaktu hujan, ia harus membuatnya sesuai dengan ukuran— enam bentang jari tangan Buddha panjangnya dan dua setengah bentang jari tangan lebarnya. Jika ia membuatnya lebih besar, ia melakukan sebuah Pāyattika.
90. Jika seorang bhikṣu membuat sebuah jubah, jubah itu harus sama dengan jubah Buddha dalam ukuran—sepuluh bentang jari tangan Buddha panjangnya dan enam bentang jari tangan lebarnya. Ini adalah ukuran jubah Buddha. Jika ia membuatnya lebih besar, ia melakukan sebuah Pāyattika.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan sembilan puluh Pāyattika. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Empat Pratideśanīya
Para Āyuṣmant, empat Pratideśanīya berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Jika seorang Bhikṣu yang tidak sakit memasuki sebuah desa, menerima makanan dengan tangannya sendiri dari seorang Bhikṣuṇī yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya, dan menelannya, Bhikṣu ini harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣu lain, “Āyuṣmant, aku telah melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang mengakui kepada Āyuṣmant." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
2. Jika beberapa Bhikṣu sedang menyantap makanan di rumah seorang perumah tangga. [Karena keberpihakan] seorang Bhikṣuṇī memberikan arahan [kepada penyokong], dengan mengatakan, “Berikan sup dengan begini dan begitu, berikan nasi dengan begini dan begitu.” Para Bhikṣu harus berkata kepada Bhikṣuṇī ini, “Bhagini, berhentilah. Semua Bhikṣu telah menerima makanan [yang setara].”Jika tidak ada para Bhikṣu yang berkata kepada Bhikṣuṇī ini, “Bhagini, berhentilah. Semua Bhikṣu telah menerima makanan [yang setara].” Para Bhikṣu ini harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣu lain, “Āyuṣmant, aku telah melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang mengakui kepada Āyuṣmant." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
3. Ada perumah tangga yang terpelajar [dengan pencapaian tinggi] untuk mereka Saṅgha telah melakukan suatu Saṅghakarman. Jika seorang Bhikṣu yang tidak sakit mengetahui seorang perumah tangga yang terpelajar, dan tanpa diundang sebelumnya, menerima makanan [dari perumah tangga] dengan tangannya sendiri dan menelannya, Bhikṣu ini harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣu lain, “Āyuṣmant, aku telah melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang mengakui kepada Āyuṣmant." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
4. Jika seorang Bhikṣu yang tinggal di kediaman hutan (Araṇya) dalam kejauhan, tempat terpencil yang bisa saja berbahaya tidak memberi tahu para penyokong sebelumnya [tentang bahaya di area tersebut], tidak meninggalkan kediaman untuk menerima makanan [di suatu tempat yang aman], dan menerima makanan dengan tangannya sendiri dan memakannya di kediaman hutan ketika ia tidak sakit, Bhikṣu ini harus menyesalinya dengan berkata kepada Bhikṣu lain, “Āyuṣmant, aku telah melakukan suatu pelanggaran yang tercela; Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku sekarang mengakui kepada Āyuṣmant." Inilah yang disebut sebuah Pratideśanīya.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan empat Pratideśanīya. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Seratus Śaikṣadharma
Para Āyuṣmant, seratus Śaikṣadharma berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan.
1. Melatih ini: Memakai jubah bawah (antarvāsas) dengan rapi.
2. Melatih ini: Memakai tiga jubah dengan rapi.
3. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan memakai sebuah jubah dalam diluar.
4. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan memakai jubah dalam diluar.
5. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan sebuah syal di leher.
6. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan sebuah syal di leher.
7. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan kepala tertutup.
8. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan kepala tertutup.
9. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan melompat-lompat.
10. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan melompat-lompat.
11. Melatih ini: Tidak berjongkok di rumah seorang perumah tangga.
12. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tanganmu menyentuh pinggulmu.
13. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan tanganmu menyentuh pinggulmu.
14. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan mengayunkan tubuh.
15. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan mengayunkan tubuh.
16. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan lengan menggelantung.
17. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan lengan menggelantung.
18. Melatih ini: Memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tubuh tertutup rapat.
19. Melatih ini: Memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan tubuh tertutup rapat.
20. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan melihat sekeliling.
21. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan melihat sekeliling.
22. Melatih ini: Memasuki rumah seorang perumah tangga dengan tenang.
23. Melatih ini: Memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan tenang.
24. Melatih ini: Tidak memasuki rumah seorang perumah tangga dengan bercanda dan tertawa.
25. Melatih ini: Tidak memasuki dan duduk di rumah seorang perumah tangga dengan bercanda dan tertawa.
26. Melatih ini: Menerima makanan dengan hati-hati.
27. Melatih ini: Menerima makanan dalam kapasitas mangkuk derma.
28. Melatih ini: Menerima sup dalam kapasitas mangkuk derma.
29. Melatih ini: Menunggu untuk makan hingga nasi dan sup disajikan.
30. Melatih ini: Makan dengan sikap yang tertib.
31. Melatih ini: Tidak memakan apa yang hanya ada di tengah mangkuk derma.
32. Melatih ini: Seorang Bhikṣu yang sehat tidak boleh berupaya untuk mendapatkan sup atau nasi untuk dirinya sendiri.
33. Melatih ini: Tidak menutupi sup dengan nasi dengan harapan mendapat lebih banyak sup.
34. Melatih ini: Tidak melihat dan membandingkan makanan di dalam mangkuk derma seseorang yang duduk di dekatnya.
35. Melatih ini: Perhatian penuh pada mangkuk derma ketika makan.
36. Melatih ini: Tidak mengambil terlalu banyak makanan ke dalam mulut saat makan.
37. Melatih ini: Tidak membuka mulut lebar-lebar ketika menunggu suapan.
38. Melatih ini: Tidak berbicara dengan makanan di mulut.
39. Melatih ini: Tidak membentuk makanan menjadi gumpalan dan melemparnya ke mulut.
40. Melatih ini: Tidak menjatuhkan makanan dari mulut ketika makan.
41. Melatih ini: Tidak mengisi mulut dengan makanan sehingga pipinya mengembang ketika makan.
42. Melatih ini: Tidak mengunyah makanan dengan berisik.
43. Melatih ini: Jangan menghirup makanan dengan mulut terbuka lebar ketika makan.
44. Melatih ini: Tidak menjilati makanan dengan lidah ketika makan.
45. Melatih ini: Tidak menggoyangkan tangan seseorang ketika makan.
46. Melatih ini: Tidak makan dengan makanan berserakan.
47. Melatih ini: Tidak membawa mangkuk derma dengan tangan kotor.
48. Melatih ini: Tidak membuang air bekas mencuci mangkuk derma di rumah seorang perumah tangga.
49. Melatih ini: Tidak membuang air kecil, membuang lendir, atau meludah di rumput yang hidup, kecuali engkau sedang sakit.
50. Melatih ini: Tidak membuang air kecil, membuang lendir, atau meludah di air yang bersih, kecuali engkau sedang sakit.
51. Melatih ini: Tidak membuang air kecil sambil berdiri.
52. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang tidak sopan menggunakan sebuah jubah dalam diluar kecuali orang itu sedang sakit.
53. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sebuah syal di lehernya kecuali orang itu sedang sakit.
54. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang kepalanya tertutup kecuali orang itu sedang sakit.
55. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sebuah topi kecuali orang itu sedang sakit.
56. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berdiri dengan tangan di punggungnya kecuali orang itu sedang sakit.
57. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sepatu kulit kecuali orang itu sedang sakit.
58. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memakai sandal kayu kecuali orang itu sedang sakit.
59. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang menunggangi seekor binatang atau di dalam sebuah kendaraan kecuali orang itu sedang sakit.
60. Melatih ini: Tidak berdiam di sebuah Stūpa kecuali sebagai penjaganya.
61. Melatih ini: Tidak menyimpan barang bawaan di sebuah Stūpa kecuali untuk mengamankan [barang berharga].
62. Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan memakai sepatu kulit.
63. Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan membawa sepatu kulit di tanganmu.
64. Melatih ini: Tidak mengelilingi sebuah Stūpa dengan memakai sepatu kulit.
65. Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan memakai sepatu boot pendek yang berornamen.
66. Melatih ini: Tidak memasuki sebuah Stūpa dengan membawa sepatu boot pendek yang berornamen di tanganmu.
67. Melatih ini: Tidak duduk di kaki sebuah Stūpa untuk makan dan meninggalkan rumput atau makanan di atas tanah.
68. Melatih ini: Tidak melewati kaki sebuah Stūpa dengan membawa seonggok mayat.
69. Melatih ini: Tidak mengubur seonggok mayat di sebuah Stūpa.
70. Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat di kaki sebuah Stūpa.
71. Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat dengan menghadap sebuah Stūpa.
72. Melatih ini: Tidak mengkremasi seonggok mayat di sisi mana pun dari sebuah Stūpa sehingga membuat bau busuk.
73. Melatih ini: Tidak melewati kaki sebuah Stūpa dengan membawa jubah-jubah dan kain tidur mendiang kecuali mereka telah dicuci, dicelup, dan diharumkan dengan zat pengharum.
74. Melatih ini: Tidak membuang air kecil di kaki sebuah Stūpa.
75. Melatih ini: Tidak membuang air kecil dengan menghadap sebuah Stūpa.
76. Melatih ini: Tidak membuang air kecil di sisi mana pun dari sebuah Stūpa sehingga membuat bau busuk.
77. Melatih ini: Tidak membawa gambar Buddha ke toilet.
78. Melatih ini: Tidak menyikat gigimu di kaki sebuah Stūpa.
79. Melatih ini: Tidak menyikat gigimu dengan menghadap sebuah Stūpa.
80. Melatih ini: Tidak menyikat gigimu di sisi mana pun dari sebuah Stūpa.
81. Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah di kaki sebuah Stūpa.
82. Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah dengan menghadap ke sebuah Stūpa.
83. Melatih ini: Tidak membuang lendir atau meludah di sisi manapun dari sebuah Stūpa.
84. Melatih ini: Tidak duduk dengan kaki tejulur ke arah sebuah Stūpa.
85. Melatih ini: Tidak berdiam di ruangan utama ketika terdapat sebuah Stūpa yang diletakkan di ruangan yang lebih kecil.
86. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan berdiri kepada seseorang yang duduk kecuali orang itu sedang sakit.
87. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk kepada seseorang yang berbaring kecuali orang itu sedang sakit.
88. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk di tempat yang tidak sesuai kepada seseorang yang duduk di tempat yang sesuai kecuali orang itu sedang sakit.
89. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma dengan duduk di posisi yang lebih rendah kepada seseorang yang duduk di posisi yang lebih tinggi kecuali orang itu sedang sakit.
90. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan didepanmu kecuali orang itu sedang sakit.
91. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan di tempat yang lebih tinggi ketika engkau berjalan di tempat yang lebih rendah kecuali orang itu sedang sakit.
92. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang berjalan di tengah jalan saat engkau berjalan di bahu jalan, kecuali orang itu sedang sakit.
93. Melatih ini: Tidak berjalan bergandengan tangan di jalan.
94. Melatih ini: Tidak memanjat sebuah pohon ke posisi yang lebih tinggi dari manusia kecuali ada kesempatan untuk perilaku tersebut.
95. Melatih ini: Tidak memasukkan mangkuk derma ke dalam sebuah kantung jaring, menggantungnya di ujung sebilah tongkat, dan membawa tongkat di bahumu sambil berjalan.
96. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang tidak sopan memegang sebilah tongkat kecuali orang itu sedang sakit.
97. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah pedang kecuali orang itu sedang sakit.
98. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah tombak kecuali orang itu sedang sakit.
99. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebilah pisau kecuali orang itu sedang sakit.
100. Melatih ini: Tidak mengajarkan Dharma kepada seseorang yang memegang sebuah payung kecuali orang itu sedang sakit.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan seratus Śaikṣadharma. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti.
Tujuh Adhikaraṇaśamatha
Para Āyuṣmant, tujuh Adhikaraṇaśamatha berikut berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan. Ketika sebuah permasalahan muncul diantara para Bhikṣu, mereka harus menyelesaikannya.
1. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) kehadiran pihak-pihak (terkait), biarlah pihak-pihak (terkait) hadir.
2. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) mengingat peristiwa, biarlah mereka mengingatnya.
3. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) kewarasan, biarlah di sana menjadi waras.
4. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) pengakuan seseorang, biarlah pengakuan dibuat.
5. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) mayoritas, biarlah mayoritas menyelesaikannya.
6. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) menemukan di mana tanggung jawab berada, biarlah itu ditemukan.
7. Jika sebuah kasus dapat diselesaikan dengan (metode) menugaskan setiap perwakilan dari masing-masing pihak, biarlah perwakilan ditugaskan.
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan tujuh Adhikaraṇaśamatha. Sekarang aku bertanya kepada kalian, Para Āyuṣmant, apakah kalian murni? Kedua dan ketiga kalinya, apakah kalian murni? Para Āyuṣmant, karena kalian diam, kalian seharusya murni. Aku mengerti
Kesimpulan
Para Āyuṣmant, aku telah membacakan kata pengantar Prātimokṣa Sūtra, empat Pārājika, tiga belas Saṃghāvaśeṣa, dua Aniyata, tiga puluh Naiḥsargika Pāyattika, sembilan puluh Pāyattika, empat Pratideśanīya, seratus Śaikṣadharma, dan tujuh Adhikaraṇaśamatha. Semua ini diajarkan oleh Sang Buddha dan berasal dari Prātimokṣa Sūtra, yang dibacakan setiap setengah bulan. Jika terdapat Dharma Sang Buddha lainnya yang selaras dengan ini, latihlah juga mereka.
Syair Kesimpulan
Kesabaran adalah Jalan Utama dan terpenting. Sang Buddha menganggap hal ini sebagai yang tertinggi dalam ajaranNya. Ia yang telah meninggalkan kehidupan perumah tangga tetapi mengganggu yang lain tidaklah disebut seorang Śramaṇa. Ini adalah Vinaya dari Tathāgata Vipaśyin, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Seperti halnya seseorang dengan penglihatan yang jernih dapat menghindari suatu jalan yang berbahaya, demikian pula seorang bijaksana di dunia dapat menghindari semua hal buruk. Ini adalah Vinaya Tathāgata Śikhin, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Tidak memfitnah atau mendengki pada yang lain. Selalu menjaga Śīla. Menjadi puas dengan makanan dan minuman. Selalu menikmati hidup dalam suatu tempat terasing. Berkonsentrasi pada pikiran dan bersenang dalam usaha yang sepenuh hati. Ini adalah Vinaya Tathāgata Viśvabhu, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Seperti halnya seekor lebah yang mencari makan pada bunga hanya mengambil nektar mereka tanpa merusak warnanya atau baunya, demikian pula seorang Bhikṣu memasuki suatu kota atau desa dengan penuh perhatian hanya pada perilakunya sendiri untuk melihat apakah itu benar dan tidak mengganggu yang lain' mengingat atau menyelidiki apa yang mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan. Ini adalah Vinaya Tathāgata Krakucchanda, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Janganlah kehilangan kendali atas pikiran dan dengan tekun mempelajari Dharma yang Suci. Dengan terbebas dari kegelisahan dan dukacita, konsentrasikan pikiran dan masukilah Nirvāṇa. Ini adalah Vinaya dari Tathāgata Kanakamuni, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Untuk menghindari semua yang salah; Untuk membawa semua kebaikan pada kesempurnaan; Untuk sepenuhnya mendisiplinkan pikiranmu; ini adalah Ajaran Buddha. Ini adalah Vinaya Tathāgata Kāśyapa, Arhat, Samyaksaṃbuddhā.
Menjaga ucapanmu dengan baik, murnikan pikiranmu, dan hindari semua hal buruk dari tubuh sehingga perbuatan dari ketiga pintumu menjadi murni. Mampu melakukan semua ini adalah Jalan Bijaksanawan Agung. Ini adalah Vinaya Tathāgata Śākyamuni, Arhat, Samyaksaṃbuddhā, diajarkan kepada Saṅgha yang tidak tercemar selama 12 tahun [pertama]. Hanya setelah itu terjadi Ia menguraikannya.
Jika seorang Bhikṣu bersenang dalam Dharma dan dalam kehidupan suci, memiliki rasa integiritas diri dan mempertimbangkan orang lain, dan bersenang dalam mempelajari Śīla, ia harus mempelajari [ketujuh Vinaya] ini.
Seorang bijaksana yang mampu menjaga Śīla dapat menikmati tiga hal ini: (1) Reputasi baik dan perolehan materi [dalam kehidupan ini]; (2) Kelahiran di alam surgawi dalam kehidupan selanjutnya. (3) Engkau harus merenungkan demikian: Para bijaksanawan dengan tekun menjaga Śīla. Śīla yang murni memunculkan kebijaksanaan, dan tercapainya Jalan Tertinggi.
Para Buddha di masa lampau dan masa depan dan Sang Bhagava pada saat ini yang telah melampaui semua kesedihan, semuanya menghormati Śīla. Inilah Dharma dari semua Buddha. Mereka yang mencari Jalan ke-Buddha-an haruslah, demi keuntungan mereka sendiri, selalu menghormati Dharma Sejati. Inilah Ajaran semua Buddha.
Ketujuh Buddha, Sang Bhagava, mengajarkan tujuh Vinaya Sūtra untuk memotong semua kekotoran batin dan menghilangkan semua kesesatan selamanya sehingga makhluk hidup dapat terbebas dari semua belenggu dan memasuki Nirvāṇa.
Untuk mengikuti kata-kata Bijaksanawan Agung dan Śīla yang dihormati oleh Arhat—inilah praktik para siswa.
Ketika Sang Bhagava akan memasuki Parinirvāṇa, belas kasih yang besar dibangkitkan di dalam diriNya dan Ia mengumpulkan kumpulan monastik bersama dan memberikan instruksi ini:
“Jangan berkata setelah Parinirvāṇa-Ku bahwa praktek murni tidak memiliki pelindung. Sekarang Aku telah mengajarkan Prātimokṣa Sūtra dan Vinaya yang sangat baik, anggaplah hal ini sebagai Sang Bhagava setelah Parinirvāṇa-Ku.“
Jika Sūtra ini tetap bertahan di dunia, Buddhadharma akan tersebar luas, dan karena tersebar luas, Nirvāṇa dapat dicapai.
“Kegagalan dalam menjaga Prātimokṣa Sūtra dan melaksanakan Poṣadha sebagaimana mestinya seperti terbenamnya matahari, ketika kegelapan menyelimuti seluruh dunia.“
"Lindungilah dan jagalah selalu Śīla, seperti halnya seekor Yak melindungi ekornya. Tetaplah selalu bersama dalam harmoni sesuai dengan kata-kata Sang Buddha."
Aku telah membacakan Prātimokṣa Sūtra dan Poṣadha bagi kumpulan telah lengkap. Sekarang Aku mendedikasikan semua jasa dari pembacaan Prātimokṣa Sūtra sehingga semua makhluk dapat mencapai Kebuddhaan.